Monday, October 31, 2011

Renungan 31 Oktober 2011



Bacaan: Roma 11:30-36; Mzm 68:30-31.33-34.36-37; Luk 14:12-14

Memberi tanpa pamrih

Pada suatu ketika Yesus diundang untuk makan di rumah seorang pemimpin Farisi. Kesempatan ini digunakan oleh Yesus untuk mengajarkan kebijaksanaan baru.

Pengalaman hidup mengajarkan kita bahwa mengundang para sahabat, orang tua dan keluarga dekat merupakan suatu tanda cinta kasih yang mudah dan spontan. Tetapi ada satu ajaran baru dari Yesus yakni kita seharusnya mengundang orang-orang miskin, cacat, lumpuh dan buta untuk ikut dalam suatu perjamuan. Bagi Yesus, mereka ini akan memberikan kebahagiaan istimewa karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya tetapi Tuhanlah yang akan memperhitungkannya pada hari kebangkitan orang benar. Komunitas yang dibentuk oleh Kristus adalah komunitas yang diperuntukan bagi orang-orang kecil bukan orang yang menganggap dirinya elit. Sebuah komunitas universal di mana di dalamnya terdapat orang-orang miskin, cacat dan para pendosa yang tahu diri sehingga bertobat.

Pastilah komposisi komunitas seperti ini membuat kita bertanya mengapa Tuhan memilih orang-orang ini untuk ikut dalam perjamuan? Mengapa bukan orang-orang terbaik sesuai kategori pemikian kita? Santu Paulus mangatakan bahwa Tuhanlah yang punya kehendak untuk memilih dan menentukan siapa yang masuk dan ikut perjamuan kekal bersamaNya. Mereka yang berhak mengikuti perjamuan kekal adalah pribadi-pribadi yang setia mengikuti kehendak dan rencana Tuhan. Dan boleh dikatakan bahwa orang-orang miskin, cacat dan pendosa yang bertobat adalah mereka yang menyadari kehendak Tuhan dan mentaatinya.

Tuhan sendiri yang punya rencana dan kuasa untuk menentukan orang-orang pilihanNya untuk ikut dalam PerjamuanNya. Santu Paulus menulis “Alangkah dalamnya kekayaan, kebijaksanaan, dan pengetahuan Allah. Tidak ada seorang manusiapun yang mengetahui pikiran Allah. Tidak ada seorang manusiapun yang menjadi penasihat Allah. Karena segala sesuatu berasal dari Allah, ada karena Allah dan menuju kepada Allah.” Segala-galanya ada di dalam rencana Tuhan bukan rencana manusia.

Apa yang harus kita lakukan? Berikanlah yang terbaik kepada semua orang tanpa menuntut balasan. Diri kita sebagai pribadi yang terbaik, dengan hati sebagai seorang abdi dapatlah menjadi pemberian terbaik bagi Tuhan dan sesama. Maka jadikanlah hari ini sebagai petualangan yang sangat menarik dan menantang. Terimalah tantangan dan kesulitan yang datang dan pergi. Tangkaplah setiap kesempatan yang engkau temukan tanpa mempedulikan komentar orang lain. Jalanilah hari ini dengan mata terbuka, rasakanlah dalam-dalam kemenangan dan perjuanganmu. Terimalah yang baik maupun yang buruk, janganlah memilih salah satu saja. Hanya dengan begitu engkau akan menjadi sadar dan merasakan sukacita hidup karena memberi dan memberi tanpa menuntut balasan. Inilah kebijaksanaan baru dari Tuhan untuk kita.  PJSDB

Sunday, October 30, 2011

Homili 30 Oktober 2011


Homili Hari Minggu Biasa, XXXI/A, 30 Oktober 2011

Bacaan: I. Maleakhi 1:14b-2.2b.8-10
Mazmur:  131: 1.2.3
Bacaan II: 1Tes 2: 7b-9.13
Injil: Matius 23:1-12

Keteladanan Hidup Itu Penting!

Seorang sahabat saya pernah menulis kepadaku kalimat-kalimat ini, “Hal yang tidak dapat dilakukan oleh nasihat terkadang dapat dilakukan oleh teladan. Demikian juga, sesungguhnya jauh lebih berharga kita mencari dan memperoleh hikmat melebihi perolehan emas, kita mendapat pengertian jauh lebih berharga daripada mendapatkan perak.”

Anak-anak dalam sebuah keluarga membutuhkan sebuah keteladanan dari kedua orang tuanya. Jika ayah dan ibunya adalah pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai rohani  dan moral maka dengan sendirinya, anak-anak akan mengikuti teladan mereka. Demikian terjadi juga dengan para pemimpin atau tokoh masyarakat dan gereja,  mereka tidak hanya boleh berbicara tentang peraturan dan disiplin kepada sesamanya tetapi mereka juga dituntut untuk memiliki semangat pelayanan dan pengabdian yang tulus. Jadi terdapat sinkronisasi antara apa yang dibicarakan dan yang dilakukan.

Akan tetapi pengalaman juga menunjukkan bahwa banyak kali ditemukan kehidupan ganda dalam diri orang-orang tertentu. Dalam artian apa yang dikatakan tidak selaras atau sinkron dengan yang dihayati dalam kehidupan praktis. Mereka ini persis seperti orang Farisi modern yang pantas dikecam oleh Yesus karena mereka “menduduki kursi Musa”. Mereka adalah pengajar resmi dan terhormat karena mengetahui Kitab Taurat, namun demikian kehidupan mereka jauh dari ajaran-ajaran dan pengetahuan mereka tentang Taurat. Maka tepat apa yang Yesus anjurkan: “Turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu tetapi janganlah kamu menuruti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.” (23:3).

Lalu bagaimana menjadi pemimpin yang diharapkan menurut Yesus? Tentu saja kepemimpinan yang berbeda dengan apa yang sedang dihayati oleh para ahli taurat dan orang-orang Farisi saat itu. Kepemimpinan yang paling tepat dalam komunitas kristiani adalah yang bersifat melayani tanpa pamrih dan bukan pada pengajaran semata-mata. Yesus Menunjukan sesuatu yang baru dalam komunitas: tidak ada lagi orang yang disebut bapak dan guru tetapi semua orang adalah saudara yang memiliki satu Bapak di Surga dan Yesus sebagai Rabbi. Tentu saja kebajikan kerendahan hati menjadi kebajikan yang penting untuk menjadi pemipin yang mampu melayani seperti Yesus sang pelayan abadi.

Hal yang menjadi fokus kritik Yesus ini sebetulnya sudah terjadi dalam dunia Perjanjian Lama. Maleakhi (Bacaan I) menuduh para imam sebagai pemimpin jemaat yang tidak setia dalam pelayanan-pelayanan rohani mereka. Teguran keras kepada para imam adalah bahwa pada pengadilan terakhir, mereka juga akan dibuang oleh Tuhan sebab mereka membawa perjanjian dan umat dalam bahaya. Para pelayan Tuhan ini telah menyesatkan umat dan membuat umat jauh dari Tuhan dan dekat dengan diri mereka sebagai pelayan. Hal yang diwartakan bukan Sabda Tuhan tetapi tafsiran picik dan menyesatkan bagi banyak orang.

Kalau begitu apa yang seharusnya dilakukan oleh para pelayan Tuhan atau para pemimpin? Paulus (bacaan II) memberikan syarat penting untuk melayani dengan baik: ada rasa empathy atau rasa prihatin terhadap orang yang dilayani dan bersikap rendah hati. Sikap empathy dan kerendahan hati yang ditunjukkan oleh Paulus membuat jemaat di Tesalonika mengakui Paulus sebagai rasul sehingga pewartaannya berhasil di sana. Jadi yang diwartakan bukan hanya kata-kata kosong tetap hidup yang nyata. Ada keselarasan atau sinkronisasi antara apa yang di wartakan dan apa yang dihayati di dalam hidup.

Pelayan yang rendah hati seperti Yesus sendiri. Meskipun Allah Ia rela mengosongkan diri dan merendahkan diri untuk keselamatan manusia. Maka belajar dari Yesus hendaknya kitapun selalu rendah hati, lemah lembut dan sabar. Ia juga yang berlutut di depan manusia yang berdosa dan menunjukkan kasih dan kerendahan hatiNya dengan membasuh kaki para muridNya, sekaligus mengajak kita untuk melakukan hal yang sama: “Jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu, sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” (Yoh: 13: 14-15).

Keteladanan yang baik tetaplah menjadi cita-cita dan harapan setiap orang untuk membangun generasi baru yang lebih baik. Sabda Tuhan pada hari Minggu ini menegur kita untuk membenahi diri kita di hadapan Tuhan dan sesama. Mungkin selama ini banyak yang “menduduki kursi Musa” sehingga mampu mengajar dengan baik tetapi tidak dapat melakukan pengajarannya maka saat ini adalah saat yang tepat untuk memohon ampun kepada Tuhan. Orang tua yang mengajarkan disiplin hidup dan peraturan di dalam keluarga tetapi dia sendiri yang melanggarnya layak untuk meminta maaf kepada anak-anaknya. Ini akan membantu pertumbuhan sebuah generasi yang baru, yang lebih jujur dan bukannya generasi yang munafik. Para pemimpin yang pandai berbicara tetapi tidak sinkron dengan pembicaraannya patut meminta maaf kepada bawahan dan berusaha untuk menjadi pelaku-pelaku Firman yang tepat.

Tugas perutusan dari para pemimpin adalah membawa semua orang kepada kebaikan. Semua orang dibimbing untuk menuju kepada Tuhan bukan kepada diri pemimpin atau yang menduduki “kursi Musa”. Semua orang akan merasa sebagai saudara yang berjalan bersama menuju kepada satu-satunya Bapa, dan satu-satunya Rabbi yakni Yesus Kristus. Semua orang dilayani dan membuat mereka bahagia dalam hidup. Sesungguhnya kriteria yang baik untuk mengukur keberhasilan dalam kepemimpinan dan pelayanan adalah menghitung jumlah orang yang telah bahagia dalam hidupnya karena perbuatan baik yang kita lakukan. Kita tetap dipanggil untuk melayani dengan rendah hati. PJSDB

Saturday, October 29, 2011

Renungan 29 Oktober 2011


Bacaan: Roma 11:1-2a.11-12.25-29; Mzm 94: 12-13a.14-15.17-18; Luk 14:1.7-11

“Rendah Hatilah Sebab Kita Hanyalah Debu”

Ada sebuah baut kecil yang dipasang bersama ribuan baut seukuran untuk menahan lempengan-lempengan baja di tubuh sebuah kapal besar. Baut kecil ini terancam untuk lepas dari baut-baut lain dalam sebuah perjalanan melintasi sebuah samudera yang ganas. Maka baut-baut lain meneguhkannya, “Hati-hati! Berpeganglah erat-erat. Jika kamu lepas, kami juga akan lepas.” Ternyata teriakan ribuan baut kecil itu didengar oleh lempengan baja dan seluruh isi kapal. Maka mereka semua memberi dukungan kepadanya bahwa baut kecil ini juga penting bagi keselamatan seluruh kapal. Dukungan ini membuat baut kecil merasa dirinya berharga bersama komponen lain di dalam kapal itu. Dia pun berusaha sekuat tenaga untuk bertahan demi keselamatan kapal itu. Baut kecil, terlupakan tetapi penting sekali untk sebuah kapal yang besar.

Baut kecil yang terlupakan ini ibarat kebajikan kerendahan hati. Mengapa? Kerendahan hati merupakan sebuah kebajikan yang luhur dan terkadang dilupakan. Kebajikan ini tidak dapat diungkapkan dengan mulut, tidak dapat diraba tetapi hanya bisa ditunjukkan dan orang melihatnya, juga dirasakan di saat kita mendengarnya. Rasanya kerendahan hati adalah adalah kebajikan yang aneh karena begitu kita mengira telah mendapatkannya, kita kehilangan sifat itu.

Dalam budaya daerah-daerah sekitar laut tengah, mereka memiliki kebiasaan mencari tempat terhormat sesuai dengan status sosial mereka. Ketika menghadiri sebuah pesta perkawinan misalnya, orang secara otomatis berlomba mencari tempat terdepan. Sikap mencari kedudukan, status sosial dan pujian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Di samping itu, tidak ada kata terima kasih yang boleh diucapkan oleh orang kalau menerima sesuatu. Ia yang menerima sesuatu dari orang lain harus membalasnya dengan memberi juga.

Ketika bertamu di rumah pemimpin orang-orang Farisi untuk makan bersama, Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengoreksi perilaku orang-orang sejamanNya yang selalu berusaha mencari posisi terhormat pada pesta perkawinan atau pun di rumah-rumah ibadat. Ia membangun kesadaran baru dalam diri setiap orang untuk rendah hati dengan berpikir bahwa mungkin masih ada orang lain yang lebih terhormat daripada dirinya. Orang harus sadar berani memilih tempat yang terendah. Ketika orang bisa memiliki kesadaran seperti ini, pintu kebahagiaan juga terbuka baginya: “Sahabat silakan duduk di depan” dan pribadi seperti ini patut dihormati oleh orang lain.

Tentu saja “memilih tempat terendah” yang dimaksudkan oleh Yesus bukan tentang perilaku manusia yang sebenarnya di dalam pesta tetapi Yesus berbicara tentang sikap yang tepat yaitu rendah hati untuk masuk di dalam Kerajaan Allah: “Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan; barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan.” Tuhanlah yang mengetahui kedalaman hati orang dan menyempurnakan hati manusia sesuai kehendakNya.

Tuhan juga menghendaki keselamatan semua orang. Ia terus menerus memanggil manusia kepada kekudusan. Orang yang sombong di sadarkan untuk rendah hati. Paulus memberi kesaksian bahwa Allah juga tetap memberi kesempatan kepada bangsanya yang sombong untuk menyadari panggilannya sebagai bangsa terpilih dan diselamatkan.

Sabda Tuhan hari ini menyapa kita untuk menyadari panggilan luhur kita yang telah dikuduskan lewat sakramen pembabtisan untuk bersatu dengan Tuhan. Tuhan tidak akan membuang umatNya. Dan untuk mewujudkan panggilan luhur ini kita perlu bersikap rendah hati di hadiratNya. Orang-orang yang percaya kepada Tuhan mengenakan kerendahan hati (Kolose 3:12), berpakaian dengan kerendahan hati (1Petrus 5:5) dan berjalan dengan kerendahan hati (Efesus 4:1-2). Bersikap rendah hatilah sebab kita berasal dari tanah!. PJSDB

Friday, October 28, 2011

Renungan 28 Oktober 2011: Pesta Simon dan Yudas

Bacaan: Ef 2:19-22; Mzm 19:2-3.4-5; Luk 6:12-19

“Meninggalkan dan Melupakan”

Hari ini kita memperingati pesta dua rasul Yesus yakni  Simon dan Yudas. Simon menurut Injil Lukas memiliki nama samaran orang Zelot (Luk 6:15; Kis 1:3), kemungkinan dia orang Kana (Mat 10:4; Mrk 3:18). Zelot dalam bahasa Yunani Zelotes atau Zealot berarti orang yang setia dan entusias. Kaum Zelot pada zaman Yesus merupakan komplotan geriliawan Yahudi yang memiliki idealisme teokratis dan mesianis. Mereka percaya bahwa Mesias yang datang akan memerdekakan orang-orang Yahudi dari penjajahan Romawi. Mereka juga biasanya melawan orang-orang Romawi, dan orang-orang Yahudi yang kebetulan bekerja bersama orang Romawi dalam pemerintahan (mis. pegawai pajak).

Yudas adalah rasul yang disebut juga Tadeus (Mrk 3:18; Mat 10:3) atau Yudas anak Yakobus (Luk 6:16; Kis 1:13). Pada malam perjamuan terakhir, Yudas Tadeuslah yang bertanya kepada Yesus alasan mengapa Yesus hanya mewahyukan diriNya kepada para rasul dan bukan kepada dunia. Yesus mewahyukan diriNya secara istimewa kepada orang yang mencintaiNya dengan jalan mendengar dan melakukan SabdaNya (Yoh 14:22). Mengapa Yudas bertanya demikian? Karena ia melihat Yesus sebagai calon penguasa negeri. Yesuslah yang cocok dengan aspirasi politik mereka.

Mengikuti Yesus secara radikal berarti siap untuk mengubah diri secara radikal. Simon sang geriliawan ini memang memiliki idealisme tersendiri dalam hidup bermasyarakat tetapi ia berhasil mengubah dirinya menjadi saudara bagi semua orang. Ia hidup bersama Lewi (Matius) mantan pegawai pajak Romawi dan lain seperti Zakeus kepala cukai. Maka mengikuti Yesus bagi para rasul adalah meninggalkan dan melupakan segala sesuatu yang mengikat hatinya dan hidupnya hanya terarah kepada Yesus saja. Contohnya pada Simon dan Yudas. Mereka masing-masing mempercayakan diri kepada Kristus dan setia mengikutiNya, meskipun mereka gagal dalam cita-cita mereka tentang Yesus sebagai penguasa untuk mengusir penjajah romawi. Mereka justru membawa banyak orang untuk datang mendengar Yesus dan untuk disembuhkan dari penyakit dan kuasa-kuasa yang jahat tanpa melihat golongan atau anggota partai mana orang itu masuk.

Tuhan Yesus juga selalu mempunyai rencana istimewa bagi kita sebagai pribadi. Kita harus berani meninggalkan dan melupakan segala-galanya serta mengarahkan pandangan kita hanya kepadaNya. Tentu saja bukan hanya harta yang mengikat hati dan ikatan keluarga tetapi kehidupan sosial politik pun perlu ditinggalkan.  Kita perlu belajar dari para rasul untuk hidup sebagai saudara di dalam aneka perbedaan yang kita miliki. Kiranya kita juga sama dengan mereka yang hanya berfokus pada satu semangat yaitu mewartakan Kerajaan Allah.

Semangat para rasul ini yang seharusnya mengikis sikap dan perilaku kita yang masih mengkotak-kotakan diri di antara sesama, menyimpan amarah dan dendam lama terhadap sesama yang bersalah terhadap kita. Betapa sulitnya mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Hari ini, jadilah rasul atau utusan Tuhan yang membawa damai dan cinta kasih kepada semua orang. Apakah anda siap untuk perutusan semacam ini? Kini saatnya kita jadi utusan (rasul). Selamat pesta nama Simon dan Yudas Tadeus. PJSDB

Thursday, October 27, 2011

Renungan 27 Oktober 2011


Bacaan: Roma 8:31b-39; Mzm 109:21-22.26-27.30-31; Luk13:31-35

“Memilih yang paling sulit”

T. Harv Eker pernah berkata, “Jika anda hanya melakukan hal-hal yang mudah, hidup ini akan menjadi sulit. Akan tetapi, jika anda dengan rela melakukan hal-hal yang sulit, hidup ini akan menjadi mudah.” Ibu Theresia dari Kalkuta juga mengatakan hal yang mirip bahwa kristianitas akan menjadi bermakna apabila setiap orang yang dibabtis berani memilih yang paling sulit di dalam hidupnya.

Dari bacaan Injil, kita mendapat informasi bahwa Tuhan Yesus masih dalam perjalanan menuju ke Yerusalem untuk mewujudkan pilihanNya yakni menebus umat manusia sesuai rencana Bapa. Sambil menuju ke Yerusalem, Kerajaan Allah tetaplah  menjadi fokus pewartaanNya dan ini menarik perhatian banyak orang termasuk Herodes Antipas si pembunuh Yohanes Pembabtis yang memerintah saat itu. Sementara orang-orang Farisi meminta Yesus untuk meninggalkan mereka dengan alasan adanya rencana Herodes untuk membunuhNya. Tetapi Yesus tidak takut dengan pilihanNya dan berani mengatakan Herodes sebagai “serigala”, hewan yang memakan bangkai, kotor! Yesus tetap melakukan perutusanNya dengan mengusir setan-setan dan menyembuhkan orang-orang sakit sesuai dengan waktu yang ditentukan Bapa yakni “hari ini dan besok dan pada hari yang ketiga akan selesai.” Kesadaran Yesus akan pilihanNya yang sulit juga terungkap dalam kata-kataNya: “Sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh di Yerusalem”.

Yerusalem berarti kota damai tetapi bagi Yesus kota ini yang membunuh nabi-nabi dan merajam para utusan Tuhan. Dari situ Yesus punya kerinduan untuk mengumpulkan anak-anak Israel laksana induk ayam mengumpulkan anak-anaknya.  Kerinduan Yesus semata-mata karena belas kasihNya yang besar kepada manusia yang akan diwujudkanNya sendiri dalam drama Paskah. CintaNya kepada manusia dicurahkan dengan mengurbankan segalanya untuk manusia.

Penderitaan manusia datang silih berganti. Paulus menyadari semua bentuk penderitaan manusia: Penindasan, kesesakan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya dan pedang senantiasa menjadi ancaman Gereja dari awal. Dengan demikian Paulus memberi peneguhan kepada para murid Kristus untuk setia dalam pilihannya yang sulit untuk mengikuti Kristus. Mengapa? Karena cinta kasih Tuhan itu mengatasi segalanya. “Jika Allah di pihak kita, siapa yang akan melawan kita?” Sebab aku yakin, baik maut maupun hidup, malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa baik yang di atas maupun di bawah, atau suatu makhluk lain manapun, tidak akan memisahkan kita dari kasih Allah yang ada di dalam diri Yesus Kristus, Tuhan kita.”

Luar biasa Sabda Tuhan hari ini. Tuhan meneguhkan kita untuk memilih yang paling sulit dalam hidup supaya orang lain menjadi bahagia. Dan bahwa cinta kasih itu mengatasi segalanya karena cinta kasih itu sendiri berasal dari Allah. Doa kita: “Selamatkanlah aku sesuai dengan kasih setiaMu, ya Tuhan”. PJSDB

Wednesday, October 26, 2011

Renungan 26 Okrober 2011


Bacaan: Roma 8: 26-30; Mzm 13:4-6; Luk 13:22-30


“Berjuanglah masuk melalui pintu yang sempit”

Dalam perjalanan ketigaNya ke Yerusalem, Tuhan Yesus ditanya oleh seseorang: “Tuhan, sedikit sajakah orang yang berada di jalan keselamatan?” Pertanyaan ini mungkin berawal dari keterpesonaan banyak orang atas perumpamaan Yesus tentang Kerajaan Allah yang diumpamakan dengan biji sesawi dan ragi.  Apakah biji yang kecil dan ragi yang sedikit dapat menjadi banyak? Yesus tidak menjawab pertanyaan yang tidak berguna tentang kuantitas melainkan kualitas orang yang layak memperoleh keselamatan. Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengingatkan kembali mereka tentang pentingnya pertobaan sesuai dengan waktu yang disiapkan Tuhan bagi mereka. Itu sebabnya dia mengatakan, “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit karena banyak orang yang berusaha namun tidak dapat masuk.” (ayat 24). 


Berjuanglah (agonisesthe) menjadi kata penting dengan makna eskatologis diucapkan Yesus untuk para muridNya supaya mereka memiliki komitmen moral dan hidup kristiani setiap hari supaya dapat berpartisipasi dalam perjamuan abadi di surga. Pintu yang sempit dilalui orang menuju ke ruang perjamuan abadi (Yes 25:6) namun banyak orang tidak mampu sampai ke ruangan perjamuan. Pintu yang sempit  adalah komitmen pribadi dan usaha yang besar dari setiap orang untuk mencari Kerajaan Allah dan masuk ke dalamnya. Komitmen itu didasarkan pada kesadaran bahwa diri pribadi kita adalah bagian dari Yesus sendiri. Komitmen untuk menjadi bagian dari Yesus adalah suatu pilihan mendasar di mana orang dengan sadar dan bebas mengikuti Yesus secara radikal: siap menderita dan bahagia bersama Yesus. Oleh karena itu belum cukup orang berbangga sebagai pribadi yang dibabtis, menerima aneka pelayanan sakramen. Ia akan berkata, “Aku tidak tahu dari mana kalian datang.” Orang harus bertobat dan membaharui komitmennya hari demi hari sebagai bagian dari Kristus. 


Paulus (bc 1) memberi peneguhan kepada kita dengan menjelaskan peran Roh Kudus yang senantiasa membantu kita dalam kelemahan. Roh Kuduslah yang oleh Paulus berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Allah juga turut bekerja demi kebaikan kita. Ia yang memanggil,  membenarkan serta memuliakan kita. Betapa berharganya kita di mata Tuhan. Syukurilah selalu hidupmu dan jangan takut melewati pintu yang sempit. 


Saya teringat kata-kata Hellen Keller: “Ketika satu jendela kebahagiaan tertutup, jendela lainnya terbuka, tetapi kita sering melihat terlalu lama jendela yang telah tertutup sehingga tidak melihat jendela lain yang terbuka untuk kita.” Memang ketika Tuhan menutup pintu, Dia akan membuka jendela. Namun sayang sekali, ada banyak orang yang terus saja melihat, meratapi dan menunggu pintu yang tertutup itu dan tidak berusaha mencari jendela yang telah dibukakan Tuhan.  


Doa kita: Aku percaya akan kasih setiaMu ya Tuhan. PJSDB 

Tuesday, October 25, 2011

Renungan 25 Oktober 2011

Bacaan: Roma 8:18-25; Lukas 13:18-21


Berani menderita! 


Pernakah anda melihat sebutir berlian mentah? Ia seperti batu kasar biasa. Tetapi batu kasar ini dipoles, digosok berulangkali hingga menjadi berlian yang ada di lemari perhiasan dan digemari banyak orang. Atau bagaimana proses pembuatan emas? Semakin panas api yang melebur semakin murni emas yang akan dihasilkan. Minuman anggur juga melewati proses buahnya diperas dan diperas sampai menghasilkan minuman anggur yang berkualitas. Demikianlah hidup manusia akan semakin berarti kalau melewati proses yang terus menerus: dipoles, digosok, dibakar, diperas. Masa yang sulit, masa buruk, masa menderita, semuanya ini berguna untuk membentuk diri kita menjadi pribadi yang bermakna. 


Santo Paulus (bc 1) mengatakan bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang dinyatakan kepada kita. Setiap makhluk yang menderita akibat dosa akan mengalami kemerdekaan sebagai anak Allah secara penuh. Maka orang yang telah menerima Roh Kudus hendaklah memiliki harapan akan kemuliaan yang akan dialami bukan kemuliaan yang sekarang kelihatan tetapi yang tidak kelihatan. Menurut Paulus, “Tetapi kalau kita mengharapkan kemuliaan yang tidak kita lihat, maka kita menantikannya dengan tekun.” Hidup dengan harapan akan kemuliaan yang akan datang dan dengan pengalaman penderitaan yang dialami sebagai murid Kristus membutuhkan daya tahan yang kuat untuk mewujudkan Kerajaan Allah. 


Tuhan Yesus dalam Injil memberi perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi. Biji sesawi (sinapa) merupakan biji yang kecil tetapi dapat bertumbuh dengan cepat di hutan bahkan dengan gaya hiperbola Yesus mengatakan bahwa burungpun dapat bersarang di atasnya. Atau ragi dengan jumlah yang sedikit tetapi menghasilkan adonan yang besar untuk membuat roti. Demikian pengalaman Yesus dan Gereja. Yesus mulai mewartakan Kerajaan dengan kehadiranNya di dunia, mengalami penolakan dan penderitaan. Para rasul dipanggil dari kalangan orang sederhana, sebuah komunitas kecil yang juga mengalami aneka penderitaan. Demikian perjalanan Gereja dalam mewujudkan Kerajaan Allah, dari kelompok kecil ibarat biji sesawi dan ragi tetapi berkembang hingga saat ini. Roh Kudus menjadi daya yang menguatkan “dari dalam” sehingga Gereja tetap bertahan. 


Beranilah menderita supaya hidup dan iman kepada Kristus lebih bermakna. PJSDB

Monday, October 24, 2011

Renungan 24 Oktober 2011

Bacaan: Roma 8:2-17; Lukas 13:10-17



Dipimpin oleh Roh


Dari tiga Pribadi ilahi, Bapa, Putera dan Roh Kudus sepertinya yang sering dilupakan dalam doa-doa permohonan dan syukur adalah doa kepada Roh Kudus. Banyak orang lebih akrab dengan Bapa dan Putera dan lupa Roh Kudus dalam doa. Mungkin karena Roh maka sulit dibayangkan kalau dibandingkan dengan Bapa dan Putera. Di dalam Kitab Suci, gambaran tentang Roh Kudus menggunakan simbol burung merpati, air, angin, api. Simbol-simbol ini tidak banyak berarti kalau kita tidak melihatnya dengan iman. 

Santu Paulus (bc 1) menggubah himne kepada Roh Kudus bagi kita. Menurut Paulus, semua orang yang dipimpin oleh Roh Allah adalah anak Allah. Sebagai anak Allah kita berpartisipasi dalam kehidupan ilahi Yesus dan berseru “Abba” (artinya Bapa sayang) seperti sapaan Yesus dan menjadi ahliwaris seperti Yesus sendiri. Kita tidak lagi menjadi budak tetapi “diangkat” menjadi anak. Kehadiran Roh di dalam diri kita ditandai dengan kemampuan untuk mengasihi menyerupai Allah sendiri yang adalah kasih. Roh Allah membuat kita terbuka untuk menerima Tuhan dalam segala situasi hidup kita. 

Bacaan Injil menghadirkan wanita yang 18 tahun menderita sakit dan disembuhkan pada hari Sabat. Wanita ini tidak menutup diri seperti orang-orang farisi tetapi membuka diri pada rencana Allah dalam diri Yesus sendiri untuk disembuhkan. Sebagai anak, apapun dia, Tuhan punya kehendak untuk menyembuhkan. Manusia melihat bagian luar yakni hukum dan tradisi buatannya tetapi Tuhan melihat keluhuran manusia yang membutuhkan bantuanNya. Yang dikehendaki Tuhan adalah belas kasih dan bukan korban bakaran (Hos 6:6).  Sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita: kita adalah bagian dari Yesus yang menyapa Abba dan ahli waris. 

Maka singkirkanlah prasangka buruk terhadap orang lain. Jangan iri hati dengan orang lain yang berbuat baik. PJSDB