Wednesday, February 29, 2012

Renungan 29 Pebruari 2012

Yun 3:1-10; Mzm 50:3-4.12-13.18-19; Luk 11:29-32

Yesus lebih dari segalanya

Seorang peziarah melakukan perjalanan yang jauh. Ia kelelahan dan duduk di bawah pohon beringin. Ia mengamati pohon-pohon disekitarnya dan merasa heran dengan pohon durian. Pohonnya berdahan kecil tetapi memiliki buah yang lebat sampai dahannya tak mampu menahannya. Dia menatap pohon beringin dan merasa kagum dengan kekuatannya tetapi sayang buahnya kecil. Ia berpikir dalam hatinya bahwa Tuhan keliru menciptakan kedua pohon ini. Ia pun tertidur di bawah pohon beringin. Dia akhirnya terbangun setelah buah pohon beringin yang kering itu jatuh dan mengenai daun telinganya. Dia terbangun dan berkata dalam hatinya bahwa  sangat beruntung baginya karena yang jatuh bukan buah durian yang masak melaikan buah beringin yang kering. Lalu dia menjadi sadar bahwa Tuhan tidak keliru dalam menciptakan segala sesuatu.

Kisah Yunus membuktikan rencana Allah yang besar bagi keselamatan manusia. Ninive adalah sebuah daerah di Asiria yang dihuni oleh orang-orang dari Kerajaan Israel. Penduduk Ninive jatuh dalam dosa dan mendapat pengajaran dan seruan tobat dari Yunus kira-kira delapan abad sebelum Kristus lahir. Mereka jatuh dalam dosa dan Tuhan memilih dan mengutus Yunus untuk mempertobatkan penduduk Ninive. Ia menyeruhkan tobat dengan hal-hal praktis seperti melakukan puasa dan menyesali dosa-dosa. Dampaknya adalah semua penduduk termasuk rajanya bertobat dan menyesali dosa-dosa mereka. Tuhan menunjukkan belas kasihNya kepada mereka.

Tuhan Yesus mengambil pengalaman Yunus sebagai contoh. Perjalanan Yunus untuk mempertobatkan orang-orang Ninive tidaklah mudah. Ia sebelumnya masuk dan menghuni perut ikan selama tiga hari dan tiga malam (Yun 1:17). Pada akhirnya ia sukses mempertobatkan orang-orang Ninive. Yesus mengambil pengalaman Yunus untuk menegaskan bahwa diriNya juga akan masuk dalam perut bumi dan pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati. Yesus melebihi Salomo yang bijaksana dan Yunus yang berani menyeruhkan pertobatan Ninive.

Kalau mau mengubah dunia, jangan pernah mengandalkan kata-kata tetapi andalkanlah perbuatan-perbuatanmu. Mengapa? Karena perbuatan-perbuatan baik lebih banyak berbicara dari pada kata-kata karena kadang-kadang kata-kata itu kosong. Yunus berhasil mempertobatkan orang Ninive karena dia sendiri berkorban bukan hanya dengan berkata-kata tetapi dirinya juga di buang ke laut, masuk perut ikan dan bekerja keras dalam menyeruhkan pertobatan Ninive. Yesus menyeruhkan seruan tobat, menghadirkan Kerajaan Allah dan mengorbankan dirinya dengan sengsara, wafat dan masuk perut bumi dan bangkit pada hari ketiga. Tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan Yesus yang wafat dan bangkit! Itulah sebabnya Ia mengatakan bahwa dirinya melebihi Salomo dan Yunus.

Tuhan juga tidak pernah keliru menciptakan pribadi-pribadi tertentu yang dapat mengubah kehidupan orang lain. Masing-masing orang diciptakan untuk berbagi bakat-bakat, kemampuan dan waktu kehidupan untuk kebaikan orang lain. Betapa indahnya orang yang berani memberi diri atau berbagi demi kebahagiaan orang lain. Yunus melakukannya dan Yesus menggenapinya bahkan melebihi segalanya.

Mari kita berbenah diri. Seruan tobat Yunus juga masih berlaku untuk kita. Hendaknya seruan tobat dan hadirnya Kerajaan Allah dalam diri Yesus mengubah seluruh hidup kita. Dia melebihi segalanya dan semua orang. Dia juga tidak pernah keliru dalam menebus dan menyelamatkan manusia. Terima kasih Tuhan Yesus!

PJSDB

Tuesday, February 28, 2012

Menghayati Doa Bapa Kami



MENGHAYATI DOA BAPA KAMI


Jangan Menyebut BAPA, kalau hidup kamu tidak berlaku sebagai anak ALLAH

Jangan berkata KAMI, kalau hidup kamu  diselimuti keegoisan cinta diri

Jangan berkata YANG ADA DI SURGA, kalau hidup kamu hanya memikirkan perkara–perkara duniawi semata.

Jangan berkata DIMULIAKANLAH NAMAMU, kalau kamu sebenarnya tidak menghormati ALLAH dengan pantas

Jangan berkata DATANGLAH KERAJAANMU, kalau hidup kamu lebih mencari kebanggaan duniawi

Jangan berkata JADILAH KEHENDAKMU DIATAS BUMI SEPERTI DI DALAM SURGA, kalau hidup kamu menuruti kehendak sendiri dan tidak berani belajar menyangkal diri

Jangan berkata BERILAH KAMI REZEKI PADA HARI INI, kalau hidup kamu tidak peduli pada penderitaan sesama

Jangan berkata AMPUNILAH KESALAHAN KAMI SEPERTI KAMI PUN MENGAMPUNI YANG BERSALAH KEPADA KAMI, kalau hidup kamu masih dikuasai kebencian dan dendam

Jangan berkata JANGANLAH MASUKKAN KAMI KE DALAM PERCOBAAN, kalau hidup kamu tidak berani dan sungguh–sungguh berhenti berbuat dosa

Jangan berkata BEBASKANLAH KAMI DARI YANG JAHAT, kalau kamu sendiri tidak tegas menolak segala kejahatan

Jangan berkata AMIN, kalau kamu tidak serius menghayati dan mengamalkan DOA BAPA KAMI.

Renungan 28 Pebruari 2012


Yes 55: 10-11; Mzm 33:4-7.16-19; Mat 6:7-15

Membangun komunikasi yang efektif…

Salah satu persoalan yang selalu dihadapi oleh setiap pribadi adalah bagaimana membangun komunikasi yang efektif antar pribadi. Secara umum komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap pada orang yg terlibat di dalamnya. Tujuannya adalah untuk memberi kemudahan dalam memahami pesan yang disampaikan antara pemberi dan penerima sehingga bahasa lebih jelas, lengkap, pengiriman dan umpan balik seimbang dan melatih penggunaan bahasa nonverbal lebih baik.

Yesaya dalam bacaan hari ini mencoba mengingatkan kita bagaimana komunikasi efektif dimulai oleh Tuhan melalui SabdaNya. Sama seperti hujan dan salju yang Ia berikan. Hujan dan salju itu mengairi bumi sehingga bumi ini subur, memiliki daya menumbuhkan tanaman, memberikan benih dan roti yang dapat dimakan oleh manusia. Demikian Sabda Tuhan memiliki pengaruh dalam kehidupan manusia. Sabda itu akan melaksanakan apa yang dikehendaki dan apa yang diperintahkan oleh Tuhan sendiri kepada manusia. Singkatnya, sabda Tuhan memiliki daya mengubah hidup manusia untuk selaras dengan kehendak Tuhan sendiri.

Yesus di dalam Injil mencoba membantu para muridNya untuk membangun komunikasi yang efektif dengan Bapa di surga dalam doa karena Bapa Surgawi sendiri mengetahui segala kebutuhan mereka. Yesus mengajar para MuridNya untuk menyapa Allah sebagai Bapa. Di dalam Kitab Perjanjian Lama, Allah sebagai Bapa dihubungkan dengan keadaan Israel sebagai bangsa terpilih. “Dia adalah Bapamu yang mencipta engkau, yang menjadikan dan menegakkan engkau (Ul 32:6). Para nabi mengajarkan Allah yang memiliki rasa belas kasih, menyayangi umat kesayanganNya (Yer 31:20).

Ketika Yesus mengajar para Murid untuk menyapa Allah sebagai Abba, Ia menunjukkan sebuah relasi yang baru dengan Allah. Relasi yang sederhana, intim, nyaman dan penuh kasih sayang. Jadi Allah tidak hanya sebagai Tuhan, Raja, Hakim, dan Pencipta sebagaimana dikatakan dalam dunia Perjanjian Lama tetapi Yesus memperkenalkan Allah sebagai Bapa yang memelihara semua orang (Mat 6:26-32), Bapa yang berbelas kasih (Luk 15:11-32), Bapa yang menjadi model pengampunan (Mat 6:14-15).

Allah adalah Bapa yang kekal bagi kita. Tugas kita adalah mendengar SabdaNya dan melakukanNya di dalam hidup kita. Inilah penghayatan komunikasi kita yang efektif dengan Tuhan dan menjadi nyata dalam membangun komunikasi dengan sesama kita. Bangunlah komunikasi yang baik dengan sesamamu.  

PJSDB 

Monday, February 27, 2012

Renungan 27 Pebruari 2012


Im 19:1-2.11-18; Mzm 18:8-11a.15; Mat 25:31-46

Mengasihi Tuhan dan sesama lebih sungguh…


Kekudusan dan cinta kasih tanpa pamrih adalah dua tema penting yang dapat direfleksikan selama masa prapaskah. Orang yang ingin mencapai kekudusan atau kesempurnaan hidup harus mampu menghayati cinta kasih di dalam hidupnya. Dengan kata lain, orang yang hendak menjadi sempurna “Seperti Bapa di Surga sempurna adanya” hendaknya memiliki kemampuan untuk mengasihi karena Bapa di Surga adalah kasih yang sempurna.

Kutipan dari Kitab Imamat kali ini memiliki pesan istimewa terutama tentang tugas dan tanggung jawab istimewa terhadap sesama. Semuanya bermuara pada kekudusan karena berasal dari Tuhan yang kudus adanya. Perhatikan pesan Tuhan bagi umatNya melalui Musa: “Kuduslah kamu, sebab Aku Tuhan Allahmu, kudus.” Kekudusan ini dapat diperoleh dengan menghayati kesepuluh perintah Tuhan. Menghayati perintah-perintah Tuhan menunjukkan sikap “takut akan Tuhan” dalam arti cinta kasih yang sempurna hanya bagi Tuhan. Dengan mengasihi Tuhan setiap pribadi juga akan memiliki kemampuan untuk mengasihi sesama seperti dirinya sendiri. Jadi cinta kasih yang sempurna itu dapat diukur oleh kualitas dan kemampuan untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama seperti diri sendiri.

Tuhan juga akan menggunakan hukum kasih untuk mengadili kita pada saat pengadilan terakhir. Dia tidak akan mengadili kita berdasarkan berapa perbuatan dosa yang sudah kita lakukan karena Tuhan sendiri melemparkan dosa-dosa kita ke dalam tubir-tubir laut (Mikha 7:19). Dia justru akan mengadili kita berdasarkan berapa besar perbuatan kasih kepada sesama terutama mereka yang kecil, hina dan miskin. Mereka inilah saudara Yesus. Dia sendiri berkata:“Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan. Ketika Aku haus kamu memberi Aku minum. Ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan. Ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian, Ketika Aku sakit kamu melawat Aku. Ketika Aku di dalam penjara kamu mengunjungi Aku. Sebab segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudaraKu yang paling hina, kamu melakukannya untuk Aku” (Mat 25: 35-36.40). Apabila tidak melakukan perbuatan kasih maka neraka menjadi tempat hunian (Mat 25:41).

Betapa indahnya dunia ini apabila setiap pribadi hidup dalam kasih persaudaraan. Tidak ada lagi kota-kotak pemisah karena kita berasal dari Bapa yang sama. Dialah kasih abadi dan sempurna, Dialah yang mengerti dan peduli dengan kehidupan kita. Dialah yang mengampuni segala dosa kita. Maka sekarang mari kita bertanya pada diri kita masing-masing: Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dan sikap berpasrah kepadaNya? Apakah kita memiliki sikap “takut akan Tuhan”? Apakah anda sudah mengasihi sesama seperti dirimu sendiri? Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati dan jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu (Ul 6:5) dan lakukanlah perbuatan kasih tanpa pamrih kepada sesama yang  paling hina (Im 19:18). Apakah anda mampu?

PJSDB

Sunday, February 26, 2012

Homili Minggu Pertama Prapaskah/B


Kej 9:8-15; Mzm 25:4b-5b.6-6bc.8-9;Ul 10; 
1 Ptr 3:18-22; Mrk 1:12-15

Masa Pencobaan, Ujian Kesetiaan kepada Allah

Hari ini kita memulai pekan pertama Prapaskah. Boleh dikatakan bahwa masa Prapaskah itu ibarat sebuah retret agung selama 40 hari. Sebuah pertanyaan yang muncul adalah apa kekhasan masa prapaskah? Kita semua sudah tahu jawabannya. Tentu pikiran kita terarah pada puasa dan pantang, karya amal kasih, semangat doa, mendengar Sabda Tuhan, semangat pertobatan dan pendalaman iman di lingkungan. Tentu saja semuanya ini sudah lazim karena menyangkut hal-hal yang umumnya dilakukan oleh setiap umat katolik.

Pertanyaan lebih lanjut adalah apa saja yang secara rohani dapat kita renungkan dan hayati lebih mendalam dalam masa prapaskah? Pada pekan pertama ini sekurang-kurangnya ada dua hal penting sebagai bahan permenungan kita.

Pertama adalah permenungan tentang Sakramen Pembaptisan yang sudah kita terima. Pembaptisan adalah sakramen yang menjadi tanda kita semua dikuduskan pertama kali dalam hidup. Dengan air pembaptisan, nama kita disebut dan dikuduskan oleh Allah Tritunggal Mahakudus. Dengan demikian kita semua menjadi ciptaan baru.

Pembaptisan juga menyerupai Perjanjian kasih antara Allah dan kita sebagai manusia. Sama halnya dengan kekuatan Perjanjian yang dilakukan oleh Allah dengan Nuh dan segala makhluk hidup. Perjanjian itu menunjukkan penyertaan Allah selama-lamanya. Allah menyertai manusia dan segala ciptaan karena Ia telah membuat mereka menjadi baru setelah peristiwa air bah. Maka manusia yang lama yang penuh dengan dosa sudah lenyap dan yang ada sekarang adalah generasi baru yang layak dihadapan Tuhan. Itu sebabnya, di hadapan generasi yang baru ini Allah membuat perjanjian dan sebagai tanda perjanjian itu adalah bahwa Ia menaruh busur di awan dalam bentuk pelangi sehingga setiap kali melihat awan, Allah akan selalu mengingat perjanjianNya. Maka yang terjadi dengan makhluk generasi baru adalah keselamatan total. Allah tidak menghendaki kebinasaan tetapi keselamatannya. Itulah buah pembaptisan bagi setiap pribadi.

Bahtera adalah sarana yang menyelamatkan Nuh dan keluarganya dari kebinasaan. Kristus ibarat Bahtera yang menyelamatkan kita. Dengan air pembaptisan kita semua juga memperoleh keselamatan dalam Kristus. Mengapa? Karena kita percaya kepadaNya. Dalam arti apa kita percaya kepada Kristus? Petrus dalam suratnya menegaskan bahwa kita harus mengakui Yesus sebagai satu-satunya yang wafat satu kali untuk dosa-dosa kita. Dialah persembahan sejati karena mempersembahkan diriNya untuk keselamatan kita. Kristus telah mati dalam daging namun dibangkitkan dalam Roh. Ia juga telah naik ke Surga dan duduk di sisi kanan Bapa dan segala kuasa ditaklukan pada Kristus. Artinya bahwa semua orang yang dibaptis memperoleh keselamatan dalam Kristus. Dia membaptis kita dengan darahNya yang mulia.

Kedua, Pencobaan sebagai saat untuk menujukkan kesetiaan. Pekan pertama ini juga memiliki kekhasan karena kita mendengar kisah Injil tentang Yesus dicobai di Padang Gurun. Yesus tinggal di antara binatang liar dan dilayani oleh para malaikat. Kita lalu mengingat pengalaman Musa dan Elia yang juga dilayani oleh Tuhan dengan makanan dan perlindungan terhadap binatang-binatang buas. Yesus adalah Musa dan Elia baru karena Ia menyampaikan Firman Allah dan menyelamatkan manusia.

Apa artinya pencobaan Yesus bagi kita? Masa prapaskah menjadi saat kita memandang Yesus dan mendengarkan Dia. Dia memulai dengan pergumulan di Padang gurun sebagai simbol perjuangan, kesulitan tetapi Dia harus melewatinya untuk keselamatan manusia. Dampaknya bagi kita adalah masa prapaskah menjadi saat kita juga mengalami pencobaan dan bagaimana kita menunjukkan kesetiaan kepada Allah sebagai orang-orang yang sudah dikuduskan atau sudah dibaptis. Ini berarti sebagai orang-orang yang sudah dikuduskan dalam Pembaptisan, kita pun dipanggil untuk melawan iblis.

Iblis berasal darai kata bahasa Yahudi: syatan atau dalam bahasa kita setan artinya musuh. Orang-orang Yunani menyebutnya diabolos artinya pemfitnah atau pemecah belah. Dengan demikian iblis bisa juga menunjukkan segala sesuatu yang menjadi musuh karena memecah belah persekutuan. Misalnya tindakan korupsi yang merajalela meskipun ada sloga anti korupsi. Tindakan korupsi menghancurkan semangat berbagi terutama dengan kaum papa dan miskin. Tindakan sewenang-wenang dari pribadi atau kelompok tertentu yang mengatasnamakan kebenaran dan keadilan padahal berselimutkan agenda kejahatan terstruktur. Singkatnya, tindakan ketidakadilan terstruktur dalam masyarakat kita. Maka kita sungguh memerlukann generasi baru yang sudah dibaharui dengan rahmat pembaptisan untuk mengubah dunia yang sudah dikuasai oleh diabolos.

Maka dari itu, apakah sebagai orang yang dibaptis kita mampu melawan iblis atau diabolos  yang selalu mencari dan menyesatkan serta menghancurkan kita? Apakah kita mampu melewati padang gurun kehidupan kita, lewati pergumulan, perjuangan bahkan salib kehidupan yang harus kita pikul sambil mengikutiNya? Bertahanlah dalam hidup karena Ia menguatkan kita. Dialah Yesus yang sudah menang dalam pencobaan di padang gurun pasti akan memampukan kita untuk menang dalam pergumulan kita.

Doa kita: Tuhan setia bagi orang yang berpegang pada perjanjianNya!

PJSDB

Saturday, February 25, 2012

Renungan 25 Pebruari 2012

Yes 58:9b-14; Mzm 86:1-6; Luk 5:27-32


Dia memanggil orang berdosa…

Seorang Bapa setelah selesai mengaku dosa menyatakan suka citanya kepadaku. “Aku merasa sangat bahagia hari ini karena aku boleh berkata jujur kepada Tuhan dalam pengakuan dosa kali ini” katanya kepada saya. “O ya. Mengapa demikian?” saya bertanya. “Selama ini kadang saya tidak jujur dalam pengakuan dosa-dosaku. Tetapi hari ini saya jujur mengakuinya dan merasa legah karena Tuhan mengampuniku” katanya kepadaku.

Tuhan Yesus senantiasa berjalan dalam lorong-lorong kehidupan manusia untuk mencari dan menyelamatkan orang-orang berdosa. Ketika berjumpa dengan Lewi sang pemungut cukai, Ia memanggilnya: “Ikutlah Aku” dan Lewi meninggalkan semua pekerjaannya, berdiri dan mengikuti Yesus. Sebagai jawaban atas panggilan Tuhan padanya, Lewi melakukan perjamuan besar untuk Yesus dan yang turut makan dalam perjamuan itu adalah para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Sungguh perasaan Lewi adalah suka cita karena "Pengampunan yang Kau beri Pulihkanku..." Namun demikian orang-orang Farisi tidak melihat perbuatan baik yang dilakukan Yesus yang berani memanggil orang berdosa untuk bertobat tetapi melihat situasi nyata Yesus yang makan bersama kaum pendosa.

Perjumpaan dengan Yesus secara pribadi dapat mengubah seluruh hidup kita. Lewi mengalaminya. Ia berubah dari Lewi menjadi Matius, dari pemungut cukai menjadi penulis Injil. Itulah rencana Tuhan bagi setiap pribadi. Kerendahan hati Matius dan kesiapannya untuk bertobat dan menerima Yesus itulah yang membuatnya menjadi baru. Perjumpaan pribadi dengan Yesus bisa dialami dalam saat kita berekaristi dan mengakui dosa-dosa kita. Pada saat itu kerahiman Tuhan kita alami karena Ia juga membagi diriNya untuk kita.

Pengikut Kristus yang setia tidak akan merasa tergoda dengan kaum pendosa dan perbuatannya. Kita memang tidak menyukai perbuatan dosanya tetapi pribadinya sebagai manusia tetaplah menjadi sesama kita. Apabila dia berada dalam kesulitan maka tugas kita adalah menolongnya, mengentasnya dari pergumulannya. Terkadang kita memang hanya memandang perbuatan dosanya dan denan demikian langsung menolak pribadi orang tersebut. Yesus sendiri tidak takut bergaul dengan kaum pendosa. Ia justru mengubah hidup mereka dengan kehadiranNya.  

Apa yang harus kita lakukan? Pertama, Jangan pernah berlaku sebagai orang Farisi modern yang hanya melihat kesalahan orang tanpa berani mengoreksi diri sendiri. Adalah lebih mudah melihat kesalahan orang lain dari pada melihat dan mengoreksi diri sendiri. Kedua, Lakukanlah perbuatan amal kasih kepada kaum miskin dan papa dan Tuhan akan membalasnya kepadamu. Perbuatan kasih itu laksana terang yang menerangi orang lain dalam kemiskinan dan kegelapan akibat dosa. Jangan pernah berhenti berbuat baik dan mengasihi.

Doa kita: Tuhan ajarilah kami jalan-jalanMu!

PJSDB

Friday, February 24, 2012

Renungan 24 Pebruari 2012

Yes 58:1-9a; Mzm 51: 3-6a.18-19; Mat 9:14-15

Berpuasa yang dikehendaki Tuhan... 

Banyak orang bertanya tentang puasa dan pantang. Puasa adalah sebuah tindakan sukarela untuk tidak makan atau tidak minum seluruhnya atau mengurangi makan dan minum. Orang-orang yang berusia 18-60 melakukan puasa dengan makan kenyang hanya satu kali dalam sehari pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Apakah hanya sebatas ini? Bukan! Berpuasa berarti usaha memurnikan hati sehingga mempermudah konsentrasi saat berdoa dan bermeditasi. Puasa juga berarti persembahan diri kepada Tuhan dengan cara menata kembali perilaku hidup rohaninya dengan baik. Orang juga dapat menunjukkan bahwa dirinya membutuhkan Tuhan dan sesama dan dengan demikian berusaha untuk melupakan dirinya dan ikut terlibat dalam pelayanan kasih bagi orang-orang kecil. 

Pantang wajib dilakukan bagi orang yang berusia 14 tahun ke atas. Pantang berarti pantang daging, rokok, garam, gula dan semua manisan, hiburan (radio, tv, bioskop, pengunaan gadget seperti bbm, sms). Pantang dilakukan bersamaan dengan puasa pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Pantang juga dilakukan sepanjang masa puasa terutama semua hari Jumat. 

Nabi Yesaya juga berusaha untuk menjelaskan makna puasa yang benar. Baginya puasa yang benar adalah ketika kita bertemu dengan Tuhan sebagai sumber cinta kasih dan mengalaminya. Tugas kita selanjutnya adalah meneruskan kasih Tuhan kepada sesama terutama mereka yang miskin dan menderita. Jadi cinta kasih persaudaraan merupakan salah satu bentuk puasa yang benar. Kita mengurbankan diri kita supaya orang lain menjadi bahagia. Apabila orang menjalani dengan baik puasanya maka dengan sendirinya puasa menjadi doa. 

Penginji Matius memahami puasa sebagai sebuah persekutuan pribadi dengan Kristus sang mempelai. Persekutuan itu terjadi bukan hanya pada saat-saat yang menyenangkan saja tetapi juga pada saat-saat yang sedih. Ada selalu sukacita ketika orang tinggal bersama Yesus. Namun akan menjadi derita dan rasa kehilangan Yesus ketika orang tidak menyesal dan bertobat. Yesus sendiri berbicara dengan para murid Yohanes Pembaptis bahwa saat mesianis itu terjadi saat ini maka mereka seharusnya bersukacita bukan merasa sedih. Saat mesianis itu serupa dengan pesta perkawinan (Mat 9.15; Yes 54:5). Para murid melakukan puasa ketika Yesus harus menjalani penderitaanNya sebagai Mesias. 

Masa prapaskah menjadi indah ketika masing-masing kita berusaha merasakan sukacita Tuhan dengan membangun semangat tobat dan melakukan perbuatan amal kasih kepada sesama yang miskin dan menderita. Lakukanlah Aksi Puasa Pembangunan dengan saling berbagi. Apakah anda mau? 

PJSDB

Thursday, February 23, 2012

Renungan 23 Pebruari 2012


Ul 30:15-20; Mzm 1:1-4.6; Luk 9:22-25

Memikul Salib hari demi hari

Masa prapaskah diisi dengan puasa dan pantang. Puasa dan pantang memiliki dampak secara rohani bagi kita dan salah satunya adalah setiap orang semakin akrab dengan Tuhan, mencintai, mentaati dan menyembahNya.

Dalam perjalanan dari Mesir ke Tanah Terjanji, orang-orang Yahudi mengalami  pasang naik dan pasang surut berelasi dengan Tuhan. Mereka diingatkan oleh Musa sebagai pemimpin mereka untuk mencintai Tuhan Allah dengan segenap hati dan akal budi (Ul 6:4-5). Artinya totalitas kehidupan mereka hanya untuk Tuhan. Oleh Karena itu mereka perlu berdiscernimen (pembedaan Roh) untuk memutuskan apakah tetap setia kepada Tuhan atau menjauh dari Tuhan. Proses discernimen ini penting supaya mereka dapat membedakan mana perbuatan yang baik dari perbuatan yang jahat, kehidupan dari kematian, berkat dari kutukan. Dengan discernimen ini maka umat Israel tentu diarahkan untuk mengambil keputusan yang tepat supaya memilih yang baik, hidup dan berkat. Semuanya ini akan berjalan dengan baik ketika orang menjadi taat pada kehendak Tuhan.

Ketaatan pada kehendak Tuhan sudah dihayati oleh Kristus sendiri. Ia  menderita, sengsara, wafat dan bangkit untuk keselamatan manusia. Untuk itu setiap orang yang percaya dan mengikutiNya harus: menyangkal diri dan memikul salib hari demi hari. Pada zaman Yesus, salib (Yunani: stauros) hanya diperuntukan bagi orang-orang yang jahat. Bagi orang-orang Yahudi salib adalah skandal (1Kor 1:18-25) tetapi bagi kita, Salib adalah keselamatan kita. Dengan memandang salib, kita memandang Juru Selamat yaitu yang menyelamatkan kita.

Tugas kita sekarang adalah membawa berkat, kebaikan dan kehidupan bagi sesama.  Salib yang benar adalah apabila setiap pengalaman penderitaan, pergumulan hidup setiap hari berubah menjadi berkat bagi kebaikan orang lain. Mari kita menyangkal diri dan memikul Salib mengikuti Kristus. Bersedia?

PJSDB

Wednesday, February 22, 2012

Understanding the Lenten Season


Lenten Season

Lent is the time of fasting and abstinence concluding to the banquet of Easter, bringing to mind Jesus' 40-day fast in the rough countries. Catholic Lent starts on Ash Wednesday and ends earlier than the twilight of Masses of Holy Thursday.


Origin and Development of Lent over the Time

The word Lent originates from a Germanic root meaning Spring but is more frequently connected with the 40 days from Ash Wednesday to Easter Saturday. It was initiated in the Babylonian pagan religious conviction, but was looped into Christianity when the Roman Empire accepted Christianity as its authorized religion

Here’s how it started. According to ritual Semeramis, the wife of Nimrod the King of Babylon, asserted she had been supernaturally impregnated by the Sun god and gave birth to Tammuz. Someday while hunting Tamuz was slaughtered by a wild boar. Semeramis lamented for 40 days, at the conclusion of which Tammuz was apparently transported back from the dead. She stated publicly herself as Queen of Heaven, established a priesthood to worship her son and stated its head priest flawless, and memorialized her grief in a yearly 40 day period of defiance. It was the world’s foremost imitation of the Biblical story of the Redeemer and developed into a mother-child sect that was copied in more or less every pagan legend.

Like all Christian holy days and holidays, it has altered over the years, but its reason has for all time been the identical: self-examination and remorse, verified by self abstinence, in preparation for Easter. Early church father Irenaus of Lyons noted down such a phase in the initial days of the church, but back then it survived just two or three days, not the 40 observed these days.

In 325, the Council of Nicea talked about a 40-day Lenten period of fasting, but it's uncertain whether its primary goal was just for new Christians getting ready for Baptism, but it soon included the entire Church.

How faithfully the churches tot up those 40 days differed based on locality. In the East, one only fasted on weekdays. The western church's Lent was one week shorter, but incorporated Saturdays. However in both regions, the adherence was both stringent and stern. Only one foodstuff was used a day, by the sunset. There was to be no meat, fish, or animal foodstuffs eaten.

Until the 600s, Lent started on Quadragesima (Fortieth) Sunday, but Gregory the Great shifted it to a Wednesday, now identified as Ash Wednesday, to have the accurate figure of 40 days in Lent—not including Sundays, which were actually buffet days. Gregory, who is regarded as the minister of the medieval papacy, is also accredited with the ritual that provides the day its forename. As Christians approach to the church for clemency, Gregory manifested their foreheads with ashes bringing in their mind the biblical sign of regret (sackcloth and ashes) and death.
By the 800s, some Lenten activities were turning out to be more comfortable. First, Christians were permitted to eat after 3 p.m. By the 1400s, it was noon. Ultimately, a variety of foods (like fish) were acceptable, and in 1966 the Roman Catholic church only limited fast days to Ash Wednesday and Good Friday. It must be observed, though, that observance in Eastern Orthodox churches are still pretty stringent.

Lenten Candles – The Color and the Significance

Lent candles have their own significance in the observance of Lent.  The burning candles stands for the arrival of Christ as the illumination of the world.  The shades of the candles can differ.  Conventionally, three purple candles and one rose-colored or pink candle are used.  The purple indicates that Lent is a period of regret as well as hope.  Many churches use blue candles instead of purple ones to highlight the positive hope of the period.  A candle is lit on the first Sunday of Lent with an additional one lit on every following Sunday.  The blissfully colored pink candle is set aside for the third Sunday of Lent, Gaudete Sunday.  Gaudete, which actually refers to "rejoice" in Latin, is the initial word of the Introit for that Sunday: 

Several Christians append an exact explanation to the four candles.  The first candle, or the Prophet Candle, stands for the optimism and expectation of Christ's incarnication as forecasted at so many places in the Old Testament.  The second candle recalls how Christ was born in modest style, in the trivial village of Bethlehem.  Therefore this candle is often referred to as the Bethlehem Candle.  The third candle is identified as the Shepherds' Candle.  It brings to mind the joy of the shepherds when they left after having seen the Christ-child in the stable.  The fourth candle is the Angels' Candle.  It take us back to the blissful crowd that declared the good news of our Savior's birth.

Lent Customs and Traditions

There are conventionally forty days in Lent which are highlighted by fasting, together from foods and revelry, and by other actions of abstinence. The three conventional rituals to be taken up with new strength for the period of Lent are prayer (honesty in the direction of God), fasting (honesty in the direction of self), and almsgiving (honesty in the direction of fellow citizen).

A lot of contemporary Protestants believe the commemoration of Lent to be a option, instead of a compulsion. They can make a decision to give up a preferred food or drink (e.g. chocolate, alcohol) or doings (e.g., watching cinema, playing games, etc.) for Lent, or they may as an alternative engage in a Lenten restraint for example working for a NGO. Roman Catholics can as well celebrate Lent in this approach adding to the food limits mentioned above, although this is no more obligatory connecting to the risk of mortal sin.

Aleluia dan Prapaskah

Mengapa Aleluia tidak dinyanyikan dalam masa Prapaskah?

Baru saja saya menjawab angka 40 hari Prapaskah, seorang yang lain lagi  bertanya mengapa Aleluia tidak dinyanyikan selama masa prapaskah?

Inilah Jawabanku:

Arti dari Haleluya

Kata Haleluya atau Aleluia berasal dari bahasa Ibrani yang berarti "Pujian kepada Yahweh." Istilah ini lazim dipakai untuk menjelaskan kidung pujian atau paduan suara para Malaikat, karena mereka menyembah dan melayani Allah di Sorga. Para malaikat adalah pembantu Tuhan. Sebagai Pembantu mereka wajib bernyanyi bagi Tuhan. Dengan cara yang sama, penggunaan Haleluya selama Misa kudus merupakan cara kita berpartisipasi dalam ibadah sehingga menyerupai para malaikat di surga. Ini juga mengingatkan kita bahwa Kerajaan Surga sudah didirikan di bumi, dalam bentuk Gereja, dan bahwa partisipasi kita dalam Misa kudus memiliki kemiripan dengan partisipasi di dalam Surga kelak.

Selama masa Prapaskah, fokus kita adalah pada Kerajaan yang akan datang, bukan pada Kerajaan yang sudah datang. Bacaan-bacaan dalam Misa selama masa Prapaskah dan dalam Ibadat Harian berfokus pada perjalanan rohani bangsa Israel dalam Perjanjian Lama menuju kepada kedatangan Kristus, dan keselamatan umat manusia karena kematian dan kebangkitan-Nya. Itu juga yang menjadi perjalanan rohani kita.

Kita juga sedang melakukan sebuah perjalanan rohani, sebuah retret agung menuju kepada Kedatangan Yesus yang Kedua kalinya dan kehidupan masa depan di Surga. Selama masa prapaskah kita tidak menyanyikan lagu untuk memuliakan Tuhan seperti para malaikat tetapi kita justru mengakui dosa kita dan mempraktikkan pertobatan sehingga suatu hari nanti kita juga akan memiliki hak istimewa untuk menyembah Allah seperti para malaikat di surga.

Haleluya Paskah

Pada malam Paskah haleluia akan dimadakan sebanyak tiga kali oleh imam atau daikon dan diikuti serempak oleh seluruh umat dengan meriah. Ini menandakan Tuhan telah bangkit; Kerajaan telah datang; sukacita kita menjadi penuh dan bersama dengan paduan suara para malaikat dan orang kudus, kita juga menyapa Tuhan yang bangkit dengan seruan "Haleluya!"

PJSDB

40 hari Prapaskah


Mengapa Prapaskah lamanya 40 hari?

Seorang teman mengirim pesan singkat dan bertanya: “Berapa lamakah masa prapaskah itu?” Saya menjawab: “40 hari”. “Bagaimana cara mendapatkan angka 40 itu?” Ia bertanya lagi. Maka saya berusaha menjelaskannya sebagai berikut:

Kita Perlu melihat kembali ke masa awal Gereja. Murid-murid Kristus adalah orang-orang Yahudi tulen. Mereka dibesarkan dalam tradisi di mana hari Sabat adalah hari istirahat karena merupakan hari ketujuh dalam kisah penciptaan. Dalam kisah Penciptaan, hari ketujuh adalah hari istirahatnya Tuhan (Kej 2:2-3). Pengalaman lain dari para murid Kristus adalah kepercayaan bahwa Yesus bangkit pada “hari pertama minggu itu” (Mat 28:1; Mrk 16:2.9; Luk 24:1; Yoh 20:1). Hari pertama lalu dianggap sebagai hari kebangkitan Yesus Kristus. Kebangkitan Kristus membuat manusia menjadi ciptaan baru di hadapan Tuhan Allah. Dengan demikian para murid memindahkan ibadat mereka dari hari Sabtu ke Hari Minggu. Inilah yang disebut sebagai hari Tuhan (Dies Domini).

Bagi para murid dan pemahaman gereja perdana, setiap hari minggu adalah hari mengenang kebangkitan Kristus (paskah mingguan). Oleh Karena itu orang Kristen dilarang untuk berpuasa dan melakukan bentuk-bentuk penebusan dosa pada hari Minggu. Ketika Gereja memperluas periode puasa dan doa dalam persiapan untuk Paskah dari beberapa hari sampai 40 hari (mengikuti puasanya Kristus di padang gurun, sebelum Ia memulai pelayanan-Nya), maka hari Minggu tidak dapat dimasukkan dalam hitungan sebagai hari puasa.

Dengan demikian, agar hari-hari Prapaskah berjumlah 40 hari maka diperlukan waktu enam minggu penuh (dengan enam hari puasa dalam setiap minggu) ditambah empat ekstra hari-hari Rabu Abu dan Kamis, Jumat, dan Sabtu yang mengikutinya. Enam kali enam adalah tiga puluh enam, ditambah empat sama dengan empat puluh. Inilah cara perhitungan  sampai pada 40 hari Prapaskah!

PJSDB