Saturday, March 31, 2012

Renungan 31 Maret 2012


Hari Sabtu Pekan Prapaskah VB
Yeh: 37:21-28
Mzm (Yer 31: 10.11-12b.13) 
Yoh 11:45-56


Berapa harga sebuah persekutuan?

Hari ini giliran Nabi Yehezkiel curhat. Curhatnya adalah bahwa Tuhan menghendaki adanya persekutuan di antara umat kesayanganNya. Nubuatnya dalam bacaan liturgi hari ini mencakup berbagai dimensi kehidupan umat kesayangan Tuhan. Dimensi geografis: “Sungguh, Aku akan menjemput orang Israel dari tengah bangsa-bangsa, kemana pun mereka pergi. Aku akan mengumpulkan mereka dari segala penjuru dan akan membawa mereka ke tanah mereka.“ Dimensi sosiologis: “Aku akan menjadikan mereka satu bangsa yang dipimpin oleh seorang raja dan tidak akan menjadi dua bangsa dan tidak terbagi lagi menjadi dua kerajaan”. Dimensi teologis: “Mereka tidak lagi menajiskan dirinya dengan berhala-berhala atau dewa-dewi mereka yang menjijikan. Aku akan melepaskan mereka dari dosa sehingga mereka menjadi umatKu dan Aku menjadi Allah mereka”. Dimensi etis: Dalam upaya pertobatan kepada Allah sangat tergantung pada perjanjian damai yang kekal antara mereka dan Allah. Dimensi Misionaris: Bait Allah di Yerusalem merupakan tanda kehadiranNya di tengah umatNya.

Curhat Yehezkiel ini mencakup semua aspek kehidupan manusia. Semuanya ini adalah kehendak Tuhan bagi Israel sebagai umat kesayanganNya. Tuhan maharahim. Ia tetap menerima Israel apa adanya. Ia memberikan tempat untuk didiami, menjadikan mereka satu bangsa, menjadikan diriNya sebagai Allah bagi mereka, memberikan mereka anugerah pertobatan dan tetap tinggal bersama mereka. Segala sesuatu yang dimulai oleh Tuhan akan digenapi oleh Tuhan sendiri. Tuhan sungguh menghendaki umatNya menjadi satu bangsa atau satu keluarga. Tentu saja ini hal yang sulit dijangkau. Untuk itu sangatlah diperlukan iman dan kepercayaan kepadaNya. Tuhanlah yang mempersatukan dan Dia juga yang membentuk jalinan persaudaraan dan kekuatan untuk mengasihi.

Upaya mempersatukan umat kesayanganNya menjadi satu persekutuan yang sempurna hanya melalui kematian Yesus Kristus. Untuk menjelaskan rencana Bapa maka Yesus menggunakan Lazarus sebagai tanda. Lazarus telah wafat dan dibangkitkan oleh Yesus. Mujizat besar ini mengundang kontroversi di kalangan para pemimpin Yahudi. Pokok kontroversinya adalah pada ketakutan mereka akan banyaknya orang Yahudi yang menjadi percaya kepadaNya dan akan orang Romawi yang bisa saja datang dan merampas tempat suci mereka di Yerusalem. Tampilnya Kayafas membuka wawasan banyak orang akan kematian Yesus: “Kamu tidak tahu apa-apa! Kamu tidak insyaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita daripada seluruh bangsa binasa”. Kata-kata Kayfas ini membuat mereka terinspirasi dan mematangkan rencana untuk membunuh Yesus. Penginjil Yohanes yakin bahwa ini juga menjadi kesempatan untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai berai.

Tuhan mempersatukan anak-anakNya dalam diri Yesus Kristus PuteraNya. Semua orang yang dipercayakan Bapa kepada Yesus menjadi miliki bersama yakni milik Yesus (Sabda) dan Bapa karena Anak dan Bapa hanya satu. Dengan demikian Tuhan senantiasa mendampingi umat kesayanganNya dan mengharapkan agar semuanya menjadi satu. Ini juga yang menjadi Doa imamat Yesus dimana Dia dan Bapa adalah satu dan menghendaki agar semua yang menerima Yesus dan memperoleh pengajaranNya juga menjadi satu (Yoh 17:21).

Sabda Tuhan pada hari ini mau meneguhkan kita untuk membangun persekutuan. Di dalam Gereja memang terdapat persekutuan pribadi-pribadi berdasarkan kategori-kategori tertentu. Misalnya ada persekutuan doa. Persekutuan doa merupakan kumpulan pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran bersama untuk saling membantu dalam doa dan bertumbuh dalam satu iman. Kategorinya adalah berdoa bersama. Maka persekutuan doa dapat menjadi sarana untuk saling mempersatukan sebagai sesama dan saling mempersatukan dengan Tuhan sendiri.

Dunia ini menjadi indah ketika semua orang merasa sebagai saudara. Sama seperti nyanyian Daud ini: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun”. (Mzm 133:1). Tuhan menghendaki persekutuan bukan perpecahan. Kita semua tahu bahwa akibat dosa maka manusia telah terpisah satu sama lain dan terpisah dengan Tuhan. Namun Yesus telah mempersatukan kita semua dengan kematianNya. Mari kita bersatu sebagai saudara dalam Kristus. Kita berjalan bersama menuju kepadaNya. Amen

PJSDB

Friday, March 30, 2012

Teman, Kawan dan Sahabat


Memahami makna teman, kawan dan sahabat

Banyak orang menggunakan kata teman, kawan dan sahabat tetapi apakah memahami maknanya? Di saat ada demo seperti ini manakah yang patut dipertimbangkan? Pertemanan? Perkawanan atau persahabatan?

Teman. Manusia pada dasarnya adalah makluk sosial. Oleh karena itu teman adalah semua orang yg bersikap social dan baik kepada kita. Siapa saja boleh masuk kategori teman. Teman juga termasuk orang yang selalu ada disaat kita sedih maupun bahagia. Namun mereka ini hanya dapat mendengar tanpa suatu tindakan yang serius. Mungkin juga orang itu  hanya sekedar peduli terhadap kita. Diahanya bersimpati tetapi belum masuk kategori empati dengan kehidupan kita.

Kawan. Makna kata kawan itu mirip dengan teman. Namun rasa pedulinya cukup sehingga dapat dikatakan hanya sebagai teman maupun sebagai sahabat. Jadi kawan ini sebagai posisi penyeimbang antara teman dan sahabat. Kawan itu hanya sebatas kenal dan paham akan diri kita. Dia dapat membantu kita tetapi porsinya sangat terbatas. Ikatan batinnya sangat terbatas. Kawan itu bisa saja jauh dari kita. Dia dapat bersimpati tetapi tidak akan memiliki rasa empati.

Sahabat. Sahabat adalah seorang pribadi yang istimewa. Kadang-kadang dia lebih mengenal diri kita dari pada kita sendiri. Ada yang berani mengatakan bahwa sahabat adalah bagian lain dari jiwa kita yang ada pada tubuh orang lain. Sahabat adalah orang yang selalu ada disaat kita senang maupun sedih dan perannya bisa melebihi saudara kandung sendiri maupun keluarga. Apa yang kita alami pasti dia turut merasakannya. Ketika kita sedang merasa sedih maka secara spontan pasti dia merasa khawatir dan punya rasa peduli yang tinggi. Sebaliknya kalau kita sedang bahagia maka dia juga akan merasa bahagia. Dia pasti selalu ada waktu untuk berkumpul apabila sudah tidak lama bertemu dan merupakan tempat curhat tanpa harus ada yang dirahasiakan karena dia juga mengerti dan paham akan maksud kita. Sahabat yang baik merasakan empati dengan diri kita.

Jadikanlah dirimu sebagai sahabat sesama karena sahabat bukan hanya sekedar teman ataupun kawan. Dia lebih dari teman dan kawan. 

PJSDB

Renungan 30 Maret 2012

Hari Jumat Pekan Prapaskah VB
Yer 20:10-13
Mzm 18:2-3a.3b-4.5-6.7
Yoh 10:31-42


Bertahan dalam derita!


Nabi Yeremia curhat! Pokok persoalan yang membuatnya curhat hari ini adalah mengapa manusia dapat berubah-ubah pikiran dan perilakunya? Mengapa manusia dapat menjadi sahabat  pada saat ini dan nanti dapat berubah menjadi musuh. Atau sebaliknya mengapa ada manusia yang saat ini dapat menjadi musuh dan kemudian berubah menjadi sahabat? Pengalaman ini membingungkan Nabi Yeremia di hadapan manusia! Tetapi berbeda ketika berada di hadirat Tuhan. Ternyata Tuhan adalah pribadi yang tetap setia mendampinginya.

Nabi Yeremia mendengar bisikan banyak orang bahwa kegentaran datang dari berbagai jurusan dengan seruan untuk mengadukan dirinya. Ia juga mengakui bahwa semua sahabat karibnya mengintai apakah ia tersandung jatuh. Mereka berkata: “Barangkali ia membiarkan dirinya dibujuk, sehingga kita dapat mengalahkan dia dan melakukan pembalasan kita terhadap dia!” Di balik rencana jahat dari para sahabatnya, Yeremia sadar bahwa masih ada Tuhan yang setia padanya. Yeremia mengakui bahwa Tuhan menyertainya seperti pahlawan yang gagah perkasa dan pasti menaklukan para musuhnya. Dari situ Yeremia berdoa: “Ya Tuhan semesta alam, yang menguji orang benar, yang melihat bathin dan hati biarlah aku melihat pembalasanMu terhadap mereka, sebab kepadaMulah kuserahkan perkaraku.”

Pengalaman Yeremia juga mirip dengan pengalaman Yesus. Orang-orang Yahudi selalu ada bersama Yesus untuk mendengar pengajaranNya dan menyaksikan serta mengalami secara langsung perbuatan-perbuatan ajaib yang menunjukkan bahwa Kerajaan Allah sungguh-sungguh hadir ditengah-tengah mereka. Namun demikian orang-orang sebangsaNya mau melempariNya dengan batu. Mereka berprinsip bahwa Yesus layak dilempari dengan batu bukan karena perbuatan-perbuatan ajaib dan baik yang sudah dilakukannya tetapi karena Yesus menghujat Allah sekaligus menyamakan diri dengan Allah. Yesus telah mengakui diriNya sebagai Anak Allah.

Yesus berusaha melakukan pembelaan diri dengan mengingatkan orang Yahudi akan segala pekerjaan yang diberikan Bapa kepadaNya. Ia berkata: “Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan BapakKu, janganlah kamu percaya kepadaKu. Tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepadaKu, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti bahwa Bapa ada di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.”

Hidup menjadi lebih bermartabat ketika orang menerima hidup apa adanya dan juga menghayatinya sebagai sebuah anugerah dari Tuhan. Di saat-saat bergumul terutama dalam menghayati hidup sebagai sebuah anugerah ini, orang dapat merasakan bahwa ia “membutuhkan kehadiran dan campur tangan Tuhan”.  Ketika berhadapan dengan sahabat-sahabat yang tidak setia, Yeremia hanya punya harapan yakni Tuhan yang melihat bathin dan hati. Di saat ditolak oleh orang-orang Yahudi, Yesus masih meminta orang-orang Yahudi untuk percaya pada semua pekerjaan yang dipercayakan Bapa kepadaNya.


Hari ini kita bersukacita karena dalam bergumul dengan kehidupan ini, kita masih memiliki Tuhan yang setia. Para sahabat, atau teman dan kawan boleh meninggalkan kita tetapi Tuhan tidak meninggalkan kita karena Dia setia adanya. Dia tidak melupakan kita (Yes 49:15). Di saat-saat yang sulit seperti ada seribu satu beban hidup, saat mengalami luka dalam bathin, saat kita tidak lagi dihargai atau dianggap sampah ingatlah bahwa Tuhan tetap ada bersama kita. Ingatlah: Manusia boleh meninggalkanmu tetapi Tuhan tidak akan meninggalkanmu. Apakah anda dapat bertahan dalam derita?

Doa: Tuhan terima kasih atas penyertaanMu bagiku

PJSDB

Thursday, March 29, 2012

Renungan 29 Maret 2012

Kamis Pekan Prapaskah VB
Kej 17:3-9
Mzm 105: 4-5.6-7.8-9 
Yoh 8:51-59

Tuhan setia selamanya!



“Jadilah orang yang setia!” “Menjadi setia selamanya.” Ini adalah ungkapan-ungkapan yang mengisyaratkan harapan banyak orang  dan memberikan rasa optimis kepada pribadi-pribadi tertentu dalam hidupnya. Kesetiaan adalah sebuah kebajikan yang luhur dan  merupakan perjuangan bagi setiap orang. Kesetiaan yang paling sempurna hanya ada pada Tuhan. Ia setia selamanya atau kekal abadi kasih setiaNya.
Manakah bukti kesetiaan Tuhan?

Pada suatu ketika Tuhan menampakan dirinya kepada Abram dan mengikat Perjanjian dengannya. Tuhan berkata kepadaNya: “Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Karena itu namamu bukan lagi Abram melainkan Abraham. Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak, Aku akan memberikan negeri ini kepadamu dan keturunanmu. Aku akan menjadi Allahmu dan keturunanmu” Allah meminta kepada Abraham untuk memegang perjanjian  ini dan menurunkannya pada keturunannya.

Kisah ini membuka pikiran kita untuk mengerti bahwa hidup itu sebuah anugerah Allah. Hal ini menjadi sebuah pengalaman bagi Abraham dan keturunannya bahwa Tuhan mendampingi dan melindungi mereka. Mereka terikat perjanjian dengan Tuhan terutama pada tiga hal ini: Mereka menjadi satu bangsa, mereka diberikan tanah untuk didiami sebagai satu bangsa dan janji Tuhan bagi mereka bahwa Ia tetap bersama mereka selamanya. Relasi yang mendalam antara Abraham dan Tuhan harus berlangsung selama-lamanya dan diturunkan pada setiap generasi baru dari Abraham. Dengan demikian kesetiaan Allah kepada Abraham dan keturunannya tidak dapat disangkal. Tuhan membuat umatnya bertumbuh dan berkembang. Tempat atau tanah yang dihuni oleh keturunan Abraham nantinya akan menerima kehadiran Kristus yang menunjukkan kesetiaanNya dalam penebusanNya yang berlimpah.

Kesadaran sebagai anak-anak Abraham dipegang teguh oleh keturunannya. Semua ketetapan Tuhan dipegang teguh dan terus berbangga karena memiliki Bapa setenar Abraham. Mereka juga bangga karena bukan keturunan hamba. Namun semuanya berubah ketika berhadapan langsung dengan Yesus sang Putera Allah. Ketika Yesus mengingatkan mereka untuk menuruti SabdaNya supaya mereka tidak mati melainkan beroleh hidup kekal, mereka sepakat mengatakan bahwa Yesus kerasukan setan dan mau membunuhnya. Yesus terus menyatakan identitasNya kepada mereka kataNya: “Jikalau Aku memuliakan diriKu sendiri makan kemuliaanKu itu sedikit pun tidak ada artinya! Bapakulah yang memuliakan Aku!” Lebih tegas lagi Yesus berkata bahwa Ia mengenal Bapa dan menuruti firmanNya. Abraham dan para nabi juga mengenalNya, menuruti firmanNya tetapi mereka sudah mati. Orang-orang Yahudi yang mendengar Yesus pun mengakui bahwa Allah adalah Bapa bagi mereka tetapi mereka sendiri tidak mengenal Yesus sebagai Putera. Maka Yesus berkata: “Sesungguhnya, sebelum Abraham jadi, Aku ada!”

Kontroversi Yesus dan orang-orang Yahudi terjadi karena orang-orang Yahudi tidak mengenal siapakah Yesus itu yang sebenarnya. Mereka mengenal semua hal yang ditulis tentang Yesus di dalam Kitab para Taurat dan para Nabi, juga kitab Mazmur namun mereka tetap memiliki pemahaman yang sangat manusiawi. Mereka mengenal Yesus dan keluargaNya dari Nazaret, menyaksikan semua tanda heran dan mendengar SabdaNya tetap mereka tidak percaya. Tentu saja semua pengalaman ini terjadi juga dalam diri kebanyakan orang yang dibaptis dan mengakui dirinya percaya pada Yesus Kristus. Mungkin saja orang tersebut sudah dibaptis dan menerima pelayanan-pelayanan sakramen di dalam Gereja, tetapi hidupnya jauh dari kehidupan Yesus yang sebenarnya.  Mungkin saja orang itu hidup dalam kegelapan dan tidak mengenal Yesus sebagai Terang sejati.


Perjanjian! janji untuk setia! Kita semua sudah dibaptis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Pembaptisan menjadi saat di mana Allah mengikat dan menguduskan kita dengan diriNya dan kita juga menerima dan mengikat Allah di dalam hidup kita. Mengapa kita selalu membaharui janji baptis? Karena hal ini menandakan bahwa kita adalah orang-orang yang tidak sempurna yang suka melanggar dan mengingkar janji. Untuk itu Tuhan memberi kesempatan kepada kita untuk membaharui lagi janji kita kepadaNya. Di samping sakramen pembaptisan, para pasutri yang terikat oleh sakramen perkawinan juga membaharui janji pernikahan. Para biarawan dan biarawati membaharui kaul-kaul kebiaraan. Para imam membaharui janji imamat. Tuhan sendiri membaharui janjiNya  dan janjiNya yang kekal adalah bahwa Dia mengasihi kita dalam diri Yesus (Yoh 3:16). Hari ini kita pun dipanggil untuk membaharui janji-janji kita di hadiratNya. 

Sabda Tuhan hari ini menguatkan kita semua. Tuhan itu setia selamanya. Tuhan tahu bahwa manusia memiliki kelemahan dan cenderung jatuh dalam dosa tetapi Ia tetap setia untuk mau menyelamatkan. Tuhan tahu bahwa Ia memang mengikat perjanjian supaya firmanNya didengar dan dihayati turun temurun tetapi manusia tidak mendengarnya secara sempurna apalagi menghayatinya di dalam hidupnya. Tuhan Bapa di dalam Surga memberikan Yesus PuteraNya sebagai Penebus dunia tetapi dunia tidak mengenal Dia. Dunia bahkan membenciNya. Namun demikian, yang tetap merupakan suatu kepastian adalah Allah adalah kasih (1Yoh 4:8). Dan kasih setiaNya kekal, tidak berkesudahan. Ia setia selamanya kepada manusia yang berdosa.

Doa: Tuhan ampunilah kami. Amen

PJSDB

Wednesday, March 28, 2012

Anda mau menjadi orang merdeka?

Food for thought:


Anda mau menjadi orang merdeka?


Memiliki banyak idola! Ini prinsip kebanyakan orang muda masa kini. Coba masuklah ke kamar tidur seorang anak muda dan telitilah apa yang ada di kamarnya? Kalau dia seorang anak perempuan maka akan ditemukan foto artis Asia misalnya dari Korea atau dari Barat. Bisa juga foto seorang atlit. Ada kemiripan dengan anak laki-laki. Biasanya ada foto seorang atlit atau artis kebanggannya. Hanya sedikit anak muda yang berani meletakkan gambar para kudus dan Salib Tuhan Yesus di kamarnya.
Ya, masing-masing orang punya idola. Terkadang idola-idola ini memiliki pengaruh yang kuat dalam perubahan perilaku. Model rambutnya, bentuk kacamatanya, dan juga dandanannya. Perubahan perilaku ini berdampak positif bagi pribadi yang ingin berkembang. Namun demikian dapat juga terjadi perubahan perilaku ke arah negatif. Gaya hidup berubah seiring dengan perubahan biaya hidup yang besar kemungkinan akan  membengkak. Dampak lanjutan dari perubahan perilaku adalah situasi chaos. Maka perkelahian di dalam keluarga pun tidak dapat dihindari.
Apa yang harus dilakukan? Setiap orang tua dan para pendidik perlu tahu diri untuk menciptakan kondisi yang penting bagi pendidikan anak. Anak-anak juga harus bersikap sebagai orang-orang merdeka dalam arti "merdeka untuk" dan bukan "merdeka dari". Pokoknya anak-anak dibimbing untuk menjadi orang merdeka yang tahu bawa diri. 
Anda mau menjadi orang merdeka? 


Saya terinspirasi oleh tulisan Wilferd A. Peterson (1900-1995), seorang penulis kawakan di bawah ini:
“The art of being yourself at your best is the art of unfolding your personality into the person you want to be...Be gentle with yourself, learn to love yourself, to forgive yourself, for only as we have the right attitude toward ourselves can we have the right attitude toward others.”
Kita menjadi orang merdeka ketika kita sendiri mampu menerima diri kita apa adanya, mencintainya dan mengampuninya. Kita menjadi sempurna ketika melihat dalam diri kita berbagai kelemahan hidup yang siap untuk diubah dan menyadari sebagai pribadi yang bertumbuh menuju kepada kematangan hidup. Kita sendirilah yang mampu mengendalikan perkembangan hidup kita. Be yourself! Jadilah dirimu!

PJSDB

Renungan 28 Maret 2012

Rabu Pekan Prapaskah ke-VB
Dan 3:14-20.24-25.28
Mzm Dan 3:52.53.54.55.56
Yoh 31-42

Kebenaran yang memerdekakan kamu!


Tony de Mello bercerita dalam Bukunya “Burung Berkicau”: Ada seorang suci yang diberi karunia untuk mengerti dan berbicara bahasa lebah. Ia pun mendekati seekor lebah jantan yang dinilainya paling pandai. Ia bertanya: “Seperti apakah Tuhan yang Mahakuasa itu? Apakah Ia mempunyai kesamaan dengan lebah?” Lebah yang pandai itu menjawab: “Tuhan? Tentu saja tidak! Kami, para lebah ini, hanya mempunyai satu sengat saja, sedangkan Tuhan mempunyai dua sengat.” Kalau lebah pandai ini ditanya lagi tentang Surga maka ia akan menjawab: “Di sana kita akan menjadi sama seperti Dia. Setiap lebah akan mempunyai dua sengat, hanya yang satu lebih kecil” Sebuah kisah sederhana tetapi bermakna yang dapat menjelaskan betapa Tuhan adalah Kebenaran sejati yang dapat memerdekakan kita. Dia yang menciptakan dan melengkapi kita dengan akal budi di mana diharapkan akal budi ini dapat menjadi bagian kehidupan yang membuat kita lebih bermartabat.

Daniel dalam nubuatnya mengisahkan tiga pemuda yakni Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang setia dan memberi kesaksian iman mereka tentang Allah yang benar.  Nebukadnezar  adalah raja Babel yang meminta Sadrakh, Mesakh dan Abednego untuk menyembah berhala. Ia membuat patung emas dan meminta mereka untuk menyembahnya. Namun karena mereka tidak mau menyembahnya maka ketiga-tiganya dicampakkan ke dalam dapur api yang panas. Di tengah ancaman itu ketiga pemuda ini menjawab: “Tidak ada gunanya kami memberi jawaban kepada tuanku. Jika Allah yang kami puja sanggup melepaskan kami, Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari tanganmu, ya Raja. Tetapi seandainya tidak, hendaklah Tuanku mengetahui, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu”.

Jawaban ketiga pemuda ini membuat geram raja sehingga mereka dimasukkan ke dalam dapur api yang panas. Apa yang terjadi? Ternyata Tuhan membebaskan mereka. Ia tetap memberikan mereka hidup. Maka Nebukanezar pun memuji Allah katanya: “Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego! Ia telah mengutus malaikatNya dan melepaskan hamba-hambaNya yang menaruh percaya kepadaNya tetapi melanggar titah Raja. Mereka tidak mau memuja allah lain selain Allah mereka yang benar.”

Setiap orang dapat saja mengalami goncangan iman apalagi ketika dihadapkan pada  pilihan dan situasi yang sulit. Orang dapat menjadi murtad seketika karena merasa tidak bebas, penuh ancaman dan ketakutan. Untuk bebas dari ancaman maka mereka memilih murtad sebagai suatu pilihan. Namun ketiga pemuda dari dalam tanur api tetap teguh pada Allah yang benar. Dengan demikian mereka menjadi orang merdeka, luput dari kematian dan mereka juga membuat Nebukadnezar mengakui Allah yang benar. Allah memang sanggup mengubah sesuatu yang mustahil di mata manusia. Maut diubahNya menjadi hidup, kejahatan diubahNya menjadi kebaikan. Sungguh, iman kepada Allah merupakan kebenaran yang memerdekakan manusia.

Yesus dalam Injil mengharapkan agar para muridNya tetap setia mendengarNya. Ia berkata: “Jikalau kamu tetap dalam firmanKu, maka kamu benar-benar muridKu, dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu”. Yesus adalah Putera Allah. Dia adalah kebenaran sejati yang memerdekakan manusia dari dosa dan kematian. Namun demikian orang-orang pada waktu itu tidak mengerti semua Sabda Yesus. Mereka justeru melihat Yesus dengan mata manusiawi. Ketika Yesus berbicara tentang kemerdekaan, mereka langsung berpikir tentang Abraham. Mereka mengakui diri sebagai keturunan Abraham bukan keturunan budak atau hamba. Yesus lalu mengatakan  bahwa kalau mereka mencintai Abraham maka mereka seharusnya juga mencintai Dia. Untuk mempertegas pengajaranNya, Ia berkata: “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan untuk kehendakKu sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku”.

Berbahagialah orang yang mendengar Sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya di dalam hidupnya. Dengan mendengar dan melakukan Sabda maka mereka juga akan menjalin ikatan kasih dengan Tuhan sebagai orang-orang merdeka. Kristus sebagai Sabda kebenaran akan memerdekakan mereka dari dosa dan kematian. Berbahagialah mereka yang menaruh kepercayaan penuh kepada Tuhan karena Tuhan akan sanggup melepaskan mereka dari berbagai kesulitan hidup. Tuhan pasti sanggup membuka pintu keselamatan dalam situasi yang sulit sekali pun bagi orang percaya. Tuhan pasti sanggup meniadakan perkara yang membelanggu. Ingat kisah di atas: “Ketika bersatu denganNya, kita sama-sama memiliki dua sengat, hanya berbeda dalam ukuran.”

Doa: BagiMu Tuhan segala pujian dan kemuliaan selamanya. Amen

PJSDB 

Tuesday, March 27, 2012

Renungan 27 Maret 2012

Selasa Pekan Prapaskah VB
Bil 21:4-9
Mzm 102:2-3.16-21
Yoh 8:21-30

Ketika Anak Manusia ditinggikan…



“Pelupa! Generasi ini generasi pelupa. Lupa segala-galanya. Melupakan kebaikan Tuhan. Melupakan kebaikan orang tua. Melupakan kebaikan guru. Sungguh, generasi pelupa!” Demikian petikan homili seorang romo kepada para siswa di sebuah sekolah. Ketika mendengarnya saya merasa biasa saja, tetapi setelah merenungkannya saya dapat mengakui bahwa memang sangat muda orang menjadi pelupa. Pada saat-saat yang membahagiakan, orang mudah menjadi pelupa. Tidak hanya lupa Tuhan dan sesama tetapi lupa diri sendiri juga.

Kitab Bilangan memberi kesaksian bahwa bangsa Israel pun menjadi bangsa pelupa. Ketika mereka dalam perjalanan di Padang gurun, mereka bergumul dengan diri sendiri dan bergumul sebagai satu bangsa di hadapan Tuhan. Berbagai protes ditujukan kepada Musa sebagai leader mereka. Hal-hal sederhana juga diprotes. Kepada Musa mereka berkata: “Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di Padang gurun? Sebab di sini tidak ada roti, dan tidak ada air, dan akan makananan hambar ini kami telah muak”. Karena sikap mereka yaitu memberontak melawan Musa dan Tuhan maka Tuhan menghukum mereka. Tuhan menyuruh ular tedung untuk memagut mereka sehingga banyak yang mati. Musa sebagai pemimpin yang baik berdoa memohon pengampunan Tuhan atas bangsanya. Maka Tuhan menyuruhnya membuat patung ular dari tembaga sehingga setiap orang yang dipagut ular, dengan memandang patung ular tembaga itu tidak mati.

Yesus dalam bacaan Injil menjelaskan bahwa Dia akan pergi ke tempat yang tidak dijangkau oleh orang-orang Farisi. Mereka justru akan mati karena dosa mereka. Dan dosa pokok mereka adalah mereka tidak percaya kepada Yesus. Mengapa? Karena mereka berasal dari bawah, dari dunia sedangkan Yesus berasal dari atas dan bukan dari dunia.  Yesus berkata tentang Bapa yang mengutusNya tetapi orang-orang Farisi tetap tidak percaya. Untuk itu Yesus mengatakan bahwa orang-orang Farisi menjadi percaya pada saat DiriNya ditinggikan: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia barulah kamu tahu bahwa Akulah Dia”. Yesus juga mempertegas diriNya: “Dan Ia yang telah mengutus Aku, Ia menyertai Aku. Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepadaNya”

Umat Allah mengalami saat-saat yang sulit di Padang gurun. Mereka meragukan Tuhan dan pertolonganNya sehingga yang ada hanya sikap bersungut-sungut. Dosa ketidakpercayaan pada Yahve dan keterbukaan hati dan budi pada dewa-dewi lain. Jalan keluar yang telah ditempuh Tuhan adalah hukuman pedagogis bagi mereka dan pengakuan dosa mereka secara umum. Meskipun umat berdosa, Tuhan sabar dan mengampuni mereka.


Pemahaman kita diperkaya tentang makna diangkat atau ditinggikan. Dalam Kitab Bilangan, patung ular tembaga dipancang pada tiang yang tinggi dan semua yang dipagut ular memandang ke atas. Dalam Injil, Yesus mengatakan bahwa Dia berasal dari atas dan bahwa pada saat DiriNya diangkat dari dunia maka semua orang akan mengakuiNya. Apa artinya ini? Ketika seorang jatuh dalam dosa Ia mati karena dosa-dosanya. Supaya tetap hidup Ia harus mengangkat kepala, memandang langit seraya memohon belas kasih Tuhan. Ketika seorang bergumuldalam hidupnya, Ia perlu memandang Kristus tersalib. Disanalah Ia akan menamukan keselamatan yang benar.


Fokus perhatian kita adalah pada Yesus yang ditinggikan di atas kayu salib. Dia menderita sengsara untuk keselamatan kita.Dengan memandangNya di atas kayu Salib kita melihat aliran keselamatan yakni cinta kasih yang total dari Bapa kepada manusia. Yesus berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia, sehingga Dia mengutus PuteraNya yang Tunggal sehingga setiap orang yang percaya kepadaNya akan beroleh hidup kekal” (Yoh 3:16). Pandanglah Salib Kristus dan pikulah Salibmu hari demi hari mengikutiNya. Tuhan terima kasih, sebab dengan salibMu, Engkau telah menebus dunia.

PJSDB

Monday, March 26, 2012

Homili HR Maria Menerima Kabar Sukacita

Yes 7:10-14;8:10
Mzm 40:7-8a.8b-9.10.11
Ibrani 10:4-10
Luk 1:26-38

Kabar Sukacita buat Maria

Hari ini kita merayakan Hari Raya Maria menerima Kabar Sukacita. Biasanya Hari Raya Bunda Maria menerima Kabar Sukacita dari Malaikat Gabriel dirayakan setiap tanggal 25 Maret. Tetapi pada tahun ini perayaannya bersamaan dengan Minggu Sengsara atau Hari Minggu pekan Prapaskah ke- V sehingga diundur pada hari ini.

Perayaan Hari Raya Bunda Maria menerima Kabar Sukacita dari Tuhan melalui Malaikat Gabriel membawa kita kepada permenungan yang mendalam tentang Misteri Inkarnasi Putera Allah. Logos (Sabda) yang dari kekal adalah Allah Bapa sendiri menjadi dekat dengan manusia, sama seperti manusia dalam segala hal kecuali dalam hal dosa. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam banyak agama, pemahaman tentang Allah itu sangat berbeda dengan pemahaman Kristiani. Bagi mereka, Allah itu sempurna dan kudus maka Dia sangat jauh. Dia berbeda dengan manusia yang berdosa. Manusia justru memerlukan keselamatan dariNya.

Di dalam pandangan kristiani,  Allah itu dekat dengan manusia. Dia adalah imanuel, artinya Allah beserta kita. Dalam diri Yesus, sang Logos yang menjelma menjadi manusia. Dalam Yesus, Allah juga  menunjukkan diriNya: “Meskipun Allah, Dia rela menjadi manusia dengan merendahkan diriNya bahkan Ia wafat di kayu salib” (Flp 2:8). Perayaan Kabar Sukacita menjadi perayaan penebusan manusia. Allah mencari seorang manusia yakni seorang wanita sesuai kehendakNya untuk dijadikanNya Bunda Yesus sang Putera. Maria menjadi bagian dari rencana keselamatan yang ditawarkan oleh Tuhan dan Dia juga menjadi model bagaimana kita dapat menerima Tuhan di dalam hidup kita.

Nabi Yesaya berusaha untuk mempersembahkan kepada raja Ahaz suatu tanda yang dapat memberi kesaksian tentang pendampingan atau penyertaan Tuhan yang terus menerus kepada manusia. Tetapi raja menolak karena dia lebih memahami perjanjian politik yang semata-mata berasal dari logika manusia dari pada ilahi. Ahaz berkata kepada Yesaya: “Aku tidak mau minta! Aku tidak mau mencobai Tuhan!” Maka Yesaya dengan tegas mengatakan kepadanya tentang sebuah tanda dari Tuhan: “Sesungguhnya, seorang perempuan muda akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamai Dia imanuel, artinya Allah berserta kita”

Nubuat nabi Yesaya menjadi sempurna dalam Injil. Sikap raja Ahaz adalah dia tidak percaya karena dia masih sibuk dengan pemikiran bahwa tanda dari Tuhan itu dapat mengubah semua rencananya sebagai raja.  Berbeda dengan Maria, ia mulanya ragu karena belum bersuami tetapi sikapnya berubah ketika ia berusaha mentaati kehendak Allah: “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendakMu”. Sikap Maria inilah yang harus kita ikuti yakni kemampuan untuk menerima Tuhan di dalam hidupnya. Menerima Tuhan berarti membiarkan Tuhan berkarya dalam diri kita. Dia tidak menghapus kebebasan kita tetapi Dia justru menyempurnakan hidup kita.

Sikap Maria yang menerima tawaran kasih Allah ini membuatnya penuh rahmat. Hidupnya dipenuhi oleh kasih Tuhan. Pengalaman Bunda Maria dapatlah menjadi pengalaman kita ketika dengan terbuka kita membiarkan Tuhan berkarya dalam diri kita. Biarkan Dia membuat pikiran dan perasaan kita menyerupai pikiran dan perasaanNya dan sikap hidup kita selalu mengikuti logika Injil.

Tuhan memiliki rencana untuk menyelamatkan manusia. Dalam Perjanjian Lama kita diingatkan pada rencana Tuhan yang membimbing para Bapa bangsa seperti Abraham, Ishak dan Yakob. Ia juga membimbing Bangsa Israel ke tanah yang Ia janjikan. Dia mengikat mereka dengan Perjanjian yang dapat diperbaharuiNya secara terus menerus. Sejalan dengan rencana keselamatan ini maka tepatlah apa yang dikatakan penulis kepada umat Ibrani bahwa Yesus Kristus telah datang untuk menghapus kurban Perjanjian Lama yakni darah lembu jantan atau darah anak domba jantan dan menggantinya dengan Tubuh dan DarahNya sendiri. Ini adalah kehendak Bapa yang harus Dia taati.

Pada hari ini mata kita semua memandang Maria, seorang wanita sederhana dari Nazaret. Apakah ada sesuatu yang indah dari Nazaret? Yah, ada yang indah dari sana yakni Maria Bunda Yesus. Dia yang mengatakan “Terjadilah padaku menurut kehendakMu”. Dia yang dihormati, diberikan berbagai gelar sehingga membuat namanya tetap disalami setiap hari: “Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu Yesus. Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati”, Amin.

PJSDB

Sunday, March 25, 2012

Biji Gandum

Food for thought:

Begitu bernilaikah sebiji gandum?

Dalam perjalanan melewati beberapa daerah pertanian di Israel saya selalu terpesona melihat keindahan ladang dengan tanaman gandum. Saya pernah melihat orang-orang di luar Yerusalem menabur benih gandum di ladang, membersihkan dan memanen gandum. Pada saat orang mulai menabur benih, pikiran mereka adalah kira-kira hasilnya seperti apa? Kalau berhasil maka orang tidak kelaparan tetapi kalau gagal panen gandum maka banyak orang akan mengalami kelaparan. Di samping itu ada bahaya rumput liar, sejenis alang-alang yang mirip sekali dengan tanaman gandum. Para petani tentu harus sabar dan berhati-hati pada saat membersihkan ladang gandum. Nah, para petani ketika ditanya bagaimana menjelaskan makna gandum bagi hidup mereka maka pemahaman mereka mungkin hanya pada gandum sebagai makanan yang diperoleh dengan bekerja keras di ladang. Akan tetapi kalau pertanyaannya adalah apa makna gandum secara rohani maka wawasan mereka akan berubah.

Tuhan Yesus dalam Injil hari ini berkata: “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24). Kata Yesus ini benar! Namun kalau para petani ditanya lebih lanjut pasti mereka sulit menjelaskan mengapa biji gandum yang mati dan hanya satu biji saja mampu menghasilkan banyak biji gandum yang baru. Mungkin common sense mereka berkata: “Yang tahu jawaban pasti hanya Tuhan, kami hanya para pekerja saja!”

Yesus sebenarnya menjelaskan diriNya sendiri kepada mereka. Laksana satu biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati maka akan menghasilkan banyak buah. Demikian Yesus seorang diri yang masuk ke dalam liang kubur akan memberikan buah kehidupan melimpah kepada semua orang. Ciptaan baru, manusia baru akan tumbuh dengan subur karena jasa Yesus Kristus. Hidup baru adalah anugerah yang cuma-cuma dari Tuhan, sang biji gandum sejati. Dia yang melakukan semuanya dengan inisiatifNya sendiri dan menggenapi semuanya.

Andaikan semua orang menyadari dirinya sebagai biji gandum yang dapat mati maka betapa berlimpahnya buah-buah gandum baru di dunia. Butuh kesabaran, butuh ketenangan dalam memelihara gandum. Butuh orang-orang yang memiliki kesabaran dan ketenangan untuk membangun dunia ini. Buanglah egoismemu. Buanglah segala perhitungan untung dan rugimu. Tuhan pasti mencukupi hidupmu. Nah, siapa lagi kalau bukan anda dan saya yang mendengar Sabda ini?

PJSDB

Homili Hari Minggu Prapaskah VB

Yer 31:31-34 
Mzm 51: 3-4.12-13.14-15 
Ibr 5:7-9 
Yoh 12: 20-33

Sengsara Yesus Menyelamatkanku



Pernakah anda memperhatikan rumput-rumput di kebun atau di taman? Rumput-rumput itu memberi pelajaran yang  sangat berharga bagi kehidupan kita.  Untuk dapat berguna maka rumput-rumput itu harus dipotong, dibuang dan dibakar. Misalnya, ketika dibutuhkan untuk menjadi makanan hewan atau untuk merapihkan halaman supaya terlihat lebih indah maka rumput itu harus siap dipotong, dibuang dan dibakar. Betapa menderitanya rumput: siap dipotong, dibuang dan dibakar! Padahal manfaatnya besar yakni sebagai makanan hewan dan menyuburkan tanah. Kadang rumput itu dijadikan atap pada gubuk untuk melindungi manusia yang berteduh dibawahnya. Memang, kebahagiaan sejati hanya dapat diperoleh ketika ada orang yang siap untuk berkorban, siap untuk menderita, siap untuk dipotong, dibuang dan dibakar.

Kita berada di pekan terakhir sebelum memasuki pekan suci. Hari Minggu ini dikenal juga sebagai Hari Minggu sengsara. Permenungan umum sepanjang minggu ini adalah bahwa sengsara Yesus sungguh mendatangkan keselamatan. Pada SalibNya tersingkap hukuman dunia dan kuasa sang Penyelamat bersinar karena penyerahan diriNya yang total bagi manusia. Luar biasa kasih Tuhan bagi kita! 


Sabda Tuhan pada hari ini juga menggambarkan kehidupan manusia yang nyata dan segala pergumulannya di hadapan Tuhan. Kaum Israel mengalami pengalaman yang keras dan menyedihkan di Asyiria dan kaum Yehuda mengalami kerasnya hidup di Babel. Selama hampir 70 tahun kaum Yehuda berada di Babel, mereka terbayang oleh kisah-kisah masa silam yang pernah dialami oleh nenek moyang mereka. Perlindungan Tuhan dalam perjalanan di padang gurun. Kemegahan Zion di mana Allah diyakni bertakta di sana. Tetapi semua ini hanya kenangan manis. Mungkin saja mereka bertanya, “Tuhan di manakah Engkau? Apakah Engkau sudah melupakan kami?”

Tentu saja kecemasan-kecemasan semacam ini dijawab oleh Tuhan. Manusia boleh melupakan Tuhan tetapi Tuhan tidak akan melupakan manusia. Tuhan sendiri berfirman: “Seorang perempuan dapat melupakan anak yang ada di dalam kandungannya, tetapi Aku tidak akan melupakan engkau“ (Yes 49:15). Tuhan juga berjanji melalui Nabi Yeremia untuk mewujudkan kasih sayangNya. FirmanNya: “Sungguh, akan datang waktunya Aku akan mengikat perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda”. Tuhan mau mengikat perjanjian baru karena perjanjian yang telah diikat bersama mereka melalui Musa di Gunung Sinai sudah mereka ingkari. Tuhan membuat perjanjian baruNya yakni: “Aku akan menaruh TauratKu dalam bathin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka. Maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka menjadi UmatKu. Semuanya akan mengenal Allah dan  mengampuni kesalahan mereka dan tidak akan mengingat-ingat dosa mereka".

Kita harus mengatakan dengan suara lantang bahwa Allah kita luar biasa! Manusia boleh jatuh dalam dosa terus menerus, ada kecenderungan dan kebiasaan berbuat jahat dalam hidup tetapi Tuhan berinisiatif mengikat perjanjian baru dan takkan lagi mengingat dosa-dosa manusia. Ini adalah sebuah peneguhan yang luar biasa. Peneguhan Tuhan sebagai tanda kasihNya menjadi sempurna dalam diri Yesus Kristus PuteraNya. Kristus telah belajar menjadi taat dan menjadi pokok keselamatan kita. Penulis surat kepada umat Ibrani bersaksi bahwa Kristus telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Bapa di Surga. Namun kehendak Bapa harus Dia taati. Ketaatan ini menjadi nyata dalam penderitaanNya. 


Orang-orang yang taat pada Yesus akan mengalami keselamatan abadi. Filipus dan Andreas adalah dua murid pertama yang mengenal Yesus dari orang-orang lain. Mereka bertemu dengan Yesus dan tinggal bersamaNya (Yoh 1:39.46). Orang-orang Yunani mendekati kedua murid Yesus dan meminta untuk bertemu dengan Yesus. Kemungkinan orang-orang Yunani ini mendengar tentang Yesus yang barusan membersihkan Bait Allah di Yerusalem. Hal yang menarik perhatian kita adalah peristiwa ini menjadi kesempatan istimewa supaya Yesus menjelaskan “SaatNya” untuk dimuliakan. Kemuliaan Yesus terletak pada pengalaman diriNya menjadi taat dan ditinggikan di atas kayu Salib, wafat dan bangkit dari alam maut.

Ketaatan bukanlah sebuah teori tetapi ketaatan merupakan bagian pengalaman hidup nyata. Yesus mengerti rencana Bapa untuk menyelamatkan manusia yang berdosa maka Dia taat sampai mati di kayu salib. Wafat Kristus di atas kayu salib ini diibaratkanNya sendiri ketika berkata: “Sesungguhnya, jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jika mati maka ia akan menghasilkan banyak buah.” Yesus juga laksana biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati dan menghasilkan buah penebusan yang berlimpah.

Konsekuensi dari penebusan adalah rasa syukur dan tinggal bersama Tuhan. Yesus berkata: “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikuti Aku, dan dimana Aku berada, di situ pun pelayanKu akan berada. Ia juga dihormati Bapa”. Tentu saja di sini, Yesus membaharui relasi Bapa dan manusia. Oleh karena itu Dia harus ditinggikan di atas kayu Salib. Yesus menyadari misinya dan terharu. Bapa di surga juga mengakui rencana dan kehendakNya ketia Ia berkata: “Aku telah memuliakanNya dan dan Aku akan memuliakanNya lagi.” Bapa memuliakan Yesus PuteraNya ketika sang Putera taat pada kehendak BapaNya.  Sebuah relasi yang intim, saling percaya, punya nilai pengurbanan yang tinggi untuk keselamatan manusia yang berdosa.

Warta sukacita pada pekan ke-V Prapaskah ini adalah Pertama, inisiatif Tuhan untuk mengikat umatNya dengan Perjanjian Baru. Tuhan mau menaruh Taurat dalam bathin umatNya dan menuliskannya dalam hati mereka. Dalam terang kristiani mau dikatakan bahwa Tuhan itu sabar dengan manusia. Apapun dan bagaimanapun hidup manusia, kasihNya tetap melimpah dan tiada batasnya. Maka jawaban pasti dari manusia atas perjanjian baru ini adalah membangun sikap tobat atau metanoia. Perubahan kiblat hidup manusia dalam semangat tobat itu berasal dari dalam dirinya bukan dari luar dirinya. Pertobatan itu hal yang sangat pribadi. Kedua, Keselamatan itu harganya mahal karena dilakukan oleh Allah Bapa dengan mengorbankan Yesus PuteraNya. Allah Bapa rela meninggikan PuteraNya di atas kayu Salib sehingga dengan menumpahkan DarahNya yang mulia dapat menebus umat manusia.

Dunia akan menjadi indah, demikian juga hidup kita akan semakin bermakna hari demi hari ketika setiap pribadi menyadari dirinya sebagai biji gandum yang jatuh  ke tanah dan mati sehingga menghasilkan buah yang berlimpah. Setiap pribadi juga hendaknya menyadari dirinya seperti rumput yang siap dipotong, dibuang dan dibakar sehingga memberi hidup baru kepada sesama. Mari kita berjalan bersama, mengikuti Yesus sampai saatNya dimuliakan. Tuhan beranikanlah kami dan mampukan kami untuk berkorban bagi keselamatan dan kebahagian sesama.

PJSDB

Saturday, March 24, 2012

Renungan 24 Maret 2012

Sabtu Pekan Prapaskah ke-IVB
Yer 11:18-20
Mzm 7:2-3.9b-11.18 
Yoh 7:40-53
Siap menderita!


Ibu dan anak perempuan kecil itu sering mandi berduaan. Pada suatu hari anak itu melihat ada bekas luka jahitan di perut maminya. Sambil memegang bekas jahitan itu, ia bertanya: “Mami, wajah mami cantik tapi kenapa perut mami ada bekas luka yang kasar?” “Dulu belum ada obat seperti sekarang” kata ibunya. “Tapi kenapa papi tidak mencari obat yang baik untuk mami?” Tanya anak itu. “Papi sudah mencarinya ke mana-mana dan mendapatkan obat yang bagus.” Kata ibunya. “Tapi kenapa seperti ini diperut mami?” Maka ibu itu mulai menangis dan berterus terang dalam ceritanya. Ketika melahirkan putri semata wayang itu air ketuban ibunya kering maka tidak ada pilihan lain selain operasi mendadak untuk menyelamatkan bayi dan dirinya. Anak itu mengangguk dan memeluk maminya. Siap menderita untuk kebaikan orang lain itu membahagiakan!

Bacaan-bacaan suci hari ini berbicara kepada kita tentang nilai rohani penderitaan. Nabi Yeremia mengalaminya ketika nyawanya terancam di Anatot. Tuhan memanggilnya untuk bernubuat di tengah umatNya yang sudah tidak memperhatikan keadilan sosial di antara mereka. Nabi Yeremia muncul untuk meluruskan hidup mereka. Tetapi usahanya nyaris gagal total. Dia dianiaya. Tuhan sendiri memperlihatkan perbuatan jahat umatNya kepadanya untuk diketahui. Di saat seperti ini, Yeremia mengingat kembali pengalaman masa lalu dan Tuhan mengingatkannya bahwa dulunya dia pernah seperti anak domba jinak yang dibawa untuk di sembelih. Atau seperti sebatang pohon yang hendak dibinasakan sekalian dengan buah-buahnya. Tentu saja bagi Yeremia, semua ini adalah nubuat dari atas tetapi sedang dialami secara nyata dalam hidupnya. Pengalaman penderitaan bukan hanya sekedar nubuat yang diwartakannya tetapi sedang dihayatinya dalam iman. Apa yang diungkapkan menjadi sempurna dalam penghayatan.

Pengalaman Yeremia juga menjadi pengalaman Yesus. Orang-orang mempertentangkan identitasNya sampai menyelidiki Kitab Suci. Perdebatan yangterjada adalah apakah Yesus sungguh-sungguh Mesias, nabi yang akan datang atau bukan. Mengapa Dia orang Galilea tetapi berlaku seolah-olah Dia adalah Mesias, padahal Mesias haruslah berasal dari keturunan Daud di tanah Bethlehem? Semua ini bertumbuh menjadi niat jahat untuk menangkap dan membinasakan Yesus. Namun di antara mereka ada juga yang masih percaya bahwa Yesus sungguh Mesias dan nabi yang akan datang.

Yeremia dan Yesus mewakili banyak orang yang diutus Tuhan untuk membawa UmatNya ke jalan yang benar. Nubuat dan pengajaran diberikan kepada umatNya tetapi yang ada adalah situasi pertentangan dan kekacauan. Rencana jahat untuk membasmi orang benar pun dilakukan. Yeremia dan Yesus sama-sama mengalami ancaman pembunuhan. Hal yang kiranya menjadi tanda kehebatan Yeremia dan Yesus adalah mereka tidak takut. Mereka taat pada kehendak Bapa di Surga. Yeremia banyak mengalami penderitaan tetapi membawa banyak orang kembali ke jalan yang benar. Yesus menderita sampai wafat di Salib tetapi kebangkitanNya membawa hidup baru bagi umat manusia. Penderitaan membawa kebahagiaan.

Dunia ini akan menjadi indah ketika semua orang menyadari makna penderitaan secara positif. Penderitaan memiliki makna positif dalam arti saya (kita) menderita supaya orang lain menikmati kebahagiaan. Saya menderita supaya orang lain dapat memiliki nilai kehidupan. Yesus melakukannya ketika Dia mengikuti kehendak Bapa dengan memikul SalibNya. SalibNya menguduskan dunia. SalibNya membuat hidup kita bermakna, dan punya nilai di hadapan Tuhan dan sesame. Betapa berharganya diri kita sehingga Yesus sendiri menebusnya dengan darahNya yang mulia dan TubuhNya yang kudus. Terima kasih Tuhan Yesus. Engkau menderita bagi kami. Amen

PJSDB

Friday, March 23, 2012

Tetaplah berharap

Food for thought:

Tetaplah berharap

Siang itu saya membuka jendela kamarku. Seorang muda sedang mendengar lagu “Pasti Sanggup” yang dinyanyikan bersama Maria Shandy dan Mike Idol. Beberapa kali ia memutarnya kembali dan tanpa sadar dia ikut menyanyikan lagu itu: “Kuatkanlah hatimu, Lewati setiap persoalan, Tuhan Yesus selalu menopangmu, Jangan berhenti harap padaNya.. Tuhan pasti sanggup…TanganNya takkan terlambat ‘tuk mengangkatmu, Tuhan masih sanggup…Percayalah, Dia tak tinggalkanmu…” Saya juga sempat ikut-ikutan menyanyikan lagu itu dari balik jendela kamarku.

Ya, Tuhan pasti sanggup. Jangan berhenti harap padaNya! Saya lalu mengingat kembali sharing bersama teman-teman beberapa hari yang lalu. Masing-masing orang memiliki pergumulan tertentu. Seorang rekan imam merasa heran ketika salah seorang pastor paroki yang lebih senior marah tanpa mengendalikan dirinya. Umat yang berada di depan pintu gereja dimarahinya karena mereka tidak masuk dalam gereja untuk berdoa dan salah seorang ibu dengan suara lantang berkata, “Pak Romo, kami bukan orang katolik, kami hanya baby sister aja!” Seorang ibu mengaku marah sama suami dan tidak mau berbicara lagi dengan suaminya karena suami terlalu keras dan pelit. Seorang anak muda kurang percaya diri karena tidak didengar oleh orang tuanya. Yah ini beberapa hal yang pernah dialami oleh beberapa temanku. Pengalaman-pengalaman ini kadang-kadang membawa orang kepada titik ekstrim: kehilangan harapan! Mungkin mirip dengan pengalaman Ayub: “Hari-hariku berlalu lebih cepat daripada torak dan berakhir tanpa harapan” (Ayub 7:6) dan juga “Dimana harapanku? Siapakah yang melihat adanya harapan bagiku?” (Ayub 17:15).

Jangan berhenti berharap! Tuhan pasti sanggup, “Sebab Engkaulah harapanku, ya Tuhan, kepercayaanku sejak masa muda, ya Allah” (Mzm 71:5). Dan Tuhan juga akan menjawab: ”Masih ada harapan untuk masa depanmu” (Yer 31:17). Mengapa? Karena “Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepadaNya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci” (1Yoh 3:3).

Saya teringat kata-kata bijak ini dan patut kita renungkan:

“Man can live about forty days without food, about three days without water, about eight minutes without air, but only for one second without hope”

Mari, tetaplah berharap padaNya

PJSDB

Renungan 23 Maret 2012


Jumat Pekan Prapaskah IVB
Keb 2:1a.12-22
Mzm 34:17-18.19-20.21.23
Yoh 7: 1-2.10.25-30

Berapa harga sebuah pengorbanan?

Napoleon Hill, seorang penulis dan Sastrawan Amerika pernah berkata bahwa kesuksesan manusia itu lahir dari pengorbanan besar dan tidak pernah berasal dari keegoisan pribadinya.  Yah, berkorban dalam bentuk apapun bukanlah pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Berkorban untuk kebaikan orang lain itu mahal harganya. Apabila pengorbanan itu dilakukan dengan tulus ikhlas maka akan menghasilkan sesuatu yang baik bagi sesama dan diri kita sendiri dalam kebersamaan.

Bacaan-bacaan dalam liturgi hari ini mengarahkan kita untuk memahami makna pengorbanan. Orang-orang benar sangat dikasihi Tuhan. Siapakah orang benar itu? Mereka adalah orang-orang miskin (kaum anawaim) yang hidupnya semata-mata berada di tangan Tuhan dan penyelenggaraanNya. Orang-orang yang menderita demi kebahagiaan orang lain. Orang-orang yang rendah hati dan suci hatinya di hadapan Tuhan. Singkatnya, orang-orang benar itu hidupnya sungguh berlainan dengan orang lain karena mereka hidup dari dan untuk Tuhan. Biasanya orang-orang seperti ini layak di hadapan Tuhan tetapi sangat dibenci oleh sesama manusia. Mereka menjadi batu sandungan bagi orang lain yang memiliki kecenderungan untuk berbuat jahat. Orang jahat selalu memiliki rencana untuk menghancurkan, menindas bahkan membunuh orang benar.

Pengalaman orang-orang benar dalam Perjanjian Lama juga menjadi pengalaman Yesus. Ia melakukan hal-hal besar dalam Sabda dan Karya. Namun demikian ada saja orang-orang Yahudi tetap menolakNya. Lebih lagi ketika Yesus melakukan mukjizat pada hari Sabat dan menyapa Allah sebagai BapaNya. Yesus sendiri berkata: “Aku datang bukan atas kehendakKu sendiri, tetapi diutus oleh Dia yang benar, yang tidak kamu kenal. Aku mengenal Dia sebab Aku datang dari Dia. Dialah yang mengutus Aku” Dari kata-kata ini, bagi orang-orang Yahudi, tidak ada hukuman lain yang lebih cocok bagi Yesus selain hukuman mati karena Ia menghujat Allah! Berbagai ancaman untuk membunuh Yesus dilancarkan hanya belum ada yang berani menyentuhNya karena saatnya belum tiba.

Sikap rela berkorban memberikan warna kehidupan yang indah. Seorang yang rela berkorban akan melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukan oleh orang lain, tetapi apa yang dilakukannya itu memberikan dampak bagi kehidupan orang lain. Betapa indahnya dunia ini ketika semua orang memiliki sikap rela berkorban. Ketika semua orang menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu memberi arti kehidupan bagi sesama. Yesus menunjukkannya ketika menyerahkan diri sampai tuntas di atas kayu Salib. Dengan Salib suciNya Ia telah menguduskan dunia. Saudara, jangan merasa rugi atau penuh perhitungan apabila pengorbanan diri dituntut untuk kebaikan sesama. Yesus sendiri menggunakan Tubuh dan DarahNya yang mahal untuk keselamatan kita. Apakah anda berani?

PJSDB 

Thursday, March 22, 2012

Komentar Injil Yohanes 6:48-58

Renungan 22 Maret 2012

Hari Kamis Pekan Prapaskah ke IV/B
Kel 32:7-14
Mzm 106:19-23 
Yoh 5:31-47

Masih adakah bangsa yang tegar tengkuk?


Anak kuliahan! Dosa-dosa umumnya adalah membohongi orang tua dalam banyak hal: bolos kuliah tapi kepada ortu mengaku aktif kuliah. Boros uang tapi kepada ortu mengaku buat keperluan kuliah. Dosa-dosa ini bertumpuk sampai pada rasa enak yang tak disadari yaitu memeras orang tua. Kalau saja orang tua tidak merestui seribu satu permintaannya maka munculah murka melawan orang tua. 

Bangsa Israel dalam perjalanan keluar dari tanah Mesir juga mengalami pergumulan dengan diri mereka sendiri dan pergumulan sebagai satu bangsa di hadapan Tuhan. Setelah jauh dari Musa sebagai leader, mereka mudah jatuh ke dalam penyembahan berhala. Mereka adalah suatu bangsa yang tegar tengkuk. Tuhan menyatakan kekesalanNya kepada Musa dan berjanji untuk membuat Musa menjadi sebuah bangsa yang besar sedangkan mereka yang menyembah berhala akan mengalami kebinasaan. Musa berusaha melunakan hati Tuhan dengan negosiasinya. Ia meyakinkan Tuhan akan semua kebaikan yang dia telah berikan kepada nenek moyang mereka. Tuhan akhirnya memadamkan murkaNya. Luar biasa kesabaran Tuhan bagi manusia.

Dialog Yesus dengan orang-orang Yahudi berlanjut. Apabila Yesus memberi kesaksian tentang diriNya sendiri maka kesaksianNya dianggap tidak benar. Tetapi Tuhan sendiri sudah mengirim para utusan yang member kesaksian. Yohanes diutus oleh Tuhan untuk bersaksi tentang Mesias. Dia melakukan tugasnya dengan baik. Maka Yesus menganggap Yohanes laksana pelita yang menyala dan bercahaya tetapi mereka hanya menikmati sebentar saja. Kesaksian yang paling tepat adalah pekerjaan-pekerjaan yang dilakukakan oleh Yesus. Semua pekerjaan yang sedang dilakukan Yesus merupakan pekerjaan-pekerjaan Bapa. Pekerjaan-pekerjaan inilah yang memberi kesaksian bahwa Dia dan Bapa adalah satu kesatuan dalam Roh Kudus. Konsekuensinya adalah kita semua sebagai pengikutNya juga menjadi satu keluarga besar dengan Allah Bapa.

Tuhan menyapa kita hari ini dengan sapaan kasih dan kesabaranNya. Berkali-kali kita jatuh dalam dosa seperti bangsa Israel tetapi para utusanNya selalu berusaha menyadarkan dan melunakan hati Tuhan sendiri. Tuhan yang murkaNya dikatakan menyala-nyala tetapi murkaNya dapat hilang begitu saja. Semua itu karena cintaNya tanpa habis-habisnya bagi manusia.  Peran Musa juga menjadi peran Yesus. Dia meluluhkan hati Bapa di surga dengan melakukan semua pekerjaan Bapa.  Lagi pula yang memberi keaksian otentik adalah Bapa surgawi sendiri.

Apakah kita juga termasuki bangsa yang tegar tengkuk? Apakah kita tetap mau bertahan dengan rasa marah yang menggelora kepada sesama? Apakah kita juga mampu memberi kesaksian tentang semua perbuatan kasih yang Yesus lakukan bagi kita? Bertobatlah dan baharuilah hatimu. Jauhilah prasangka-prasangka burukmu terhadap sesama. Singkirkanlah juga berhala-berhala dalam hidupmu di hadapan Tuhan Allahmu!

Doa: Ampunilah dosa-dosa umat kesayanganMu, ya Tuhan.

PJSDB

Wednesday, March 21, 2012

Lenten Season


LENTEN SEASON

The key to understanding the meaning of Lent is simple: Baptism. Preparation for Baptism and for renewing baptismal commitment lies at the heart of the season. Since the Second Vatican Council, the Church has reemphasized the baptismal character of Lent, especially through the restoration of the Catechumenate and its Lenten rituals. Our challenge today is to renew our understanding of this important season of the Church year and to see how we can integrate our personal practices into this renewed perspective.
Why is Baptism so important in our Lenten understanding? Lent as a 40-day season developed in the fourth century from three merging sources. The first was the ancient paschal fast that began as a two-day observance before Easter but was gradually lengthened to 40 days. The second was the catechumenate as a process of preparation for Baptism, including an intense period of preparation for the Sacraments of Initiation to be celebrated at Easter. The third was the Order of Penitents, which was modeled on the catechumenate and sought a second conversion for those who had fallen back into serious sin after Baptism. As the catechumens (candidates for Baptism) entered their final period of preparation for Baptism, the penitents and the rest of the community accompanied them on their journey and prepared to renew their baptismal vows at Easter.
Lent, then, is radically baptismal. In this Update we'll consider some of the familiar customs of Lent and show how we can renew some of our Lenten customs to bring forth the baptismal theme.

Why do some refer to Easter as Easter and others use Lent or Pentecost and what is the significance of each?
In the Catholic Church, the year is divided into liturgical seasons based on significant events in the life and earthly ministry of Jesus Christ as well as the great Mysteries of our Faith. The Church Year, as it is called, begins with Advent, which is celebrated as four weeks of preparation before Christmas.
Catholics are called to live liturgically by actually entering into the Church year. Such an approach to life and worship is not simply about re-enacting the great events of Salvation history - or what is called the "Paschal Mystery", the life, death and resurrection of Jesus Christ. Rather, it is an invitation to all the baptized, living their lives now in the Church which is the Body of Christ and thus to enter into the deeper meaning of our faith; to experience our Salvation as an ongoing process as we cooperate with grace and allow the Holy Spirit, the same Spirit which raised Jesus from the dead, to change us from within making us more like Him.
Easter, where we celebrate the resurrection of Christ, is preceded by Lent, a season of self-examination, fasting and penance in preparation for our Easter Day observance. So Lent is a 40 period prior to Easter Day. Also, beginning the Sunday before Easter we have Holy Week, with Palm Sunday (also called Passion Sunday), Holy Thursday, Good Friday and Holy Saturday.
Easter Day actually begins on Saturday evening with the Easter Vigil. The celebration of the Vigil is in keeping with the Jewish tradition of celebrating the day from sundown to sundown. Thus, the Saturday evening Vigil Mass is a Sunday Mass.
Easter is also a season that lasts 50 days and ends on Pentecost Sunday, which is an observance based on the second chapter of the Book of Acts where the Holy Spirit came down upon the apostles. This day is considered the birthday of the Church.
Why do we put ash on our forehead?
Ashes are applied to our forehead in the sign of the cross as the words, "Remember, you are dust and to dust you shall return" are spoken to us. The other formula which is used, "Turn away from sin and be faithful to the Gospel" emphasizes our call to continual conversion and holiness of life. This act symbolizes our mortality as well as our need for ongoing repentance. It is a reminder that this life is short and merely a foreshadowing of what we shall become through the redemption of Jesus Christ on the cross. The work of our redemption will not be complete until we are raised from the dead, in resurrected bodies like His own and called to the eternal communion of heaven.
Where do the ashes come from?
The ashes for Ash Wednesday normally are made from blessed palm branches from the previous Palm Sunday. The ashes are sprinkled with Holy Water and incensed before distribution.
When do I wash the Ashes off my face?
There is no specific instruction on how long ashes are to be worn. You can, in fact, wash them off immediately after the service if you want. Many people choose to wear their ashes for the remainder of the day both as a reminder of their own mortality and as a witness before those around that they are a follower of Christ and are entering into a season of examination and abstinence.
What is Fat Tuesday?
As the Church anticipates the Season of Lent, the evening before Ash Wednesday is called "Fat Tuesday" or Shrove Tuesday. Rich foods are consumed as the faithful prepare for time of fasting, abstinence, confession and penance.
Customs and practices arose for Fat Tuesday where people would empty their pantries of many items restricted during Lent
One of the terms often used with Mardi Gras is "carnival." We picture huge public celebrations or parades. Anyone who visits one of the big carnivals held on this day usually bring back stories of self-indulgence and hedonism that make most people blush.
Ironically, carnival comes from the Latin "carne vale" which means "farewell to meat" or "farewell to flesh" indicating the end to certain pleasures has come.
In some parts of the Christian world the commonly used term for the day is "Shrove Tuesday." To "shrive" means to present oneself for confession, penance and absolution. In some early practice, Lent was preceded by Shrovetide the week before Lent. The faithful were called to go to confession during that time in preparation for the Lenten observance.
The Catholic Encyclopedia explanation of Shrovetide includes a sentence from the Anglo-Saxon "Ecclesiastical Institutes." Translated from Theodulphus by Abbot Aelfric about A.D. 1000, it reads, "In the week immediately before Lent everyone shall go to his confessor and confess his deeds and the confessor shall so shrive him as he then may hear by his deeds what he is to do [in the way of penance]."
What is Pentecost?
Pentecost is a feast day based on the account in the second chapter of the Book of Acts where the Holy Spirit fell on the apostles as they were gathered together in the Upper Room. This is considered the birthday of the Church and the mission to evangelize the whole world.
The Catechism of the Catholic Church describes it as follows:
"On the day of Pentecost when the seven weeks of Easter had come to an end, Christ's Passover is fulfilled in the outpouring of the Holy Spirit, manifested, given, and communicated as a divine person: of his fullness, Christ, the Lord, pours out the Spirit in abundance.
"On that day, the Holy Trinity is fully revealed. Since that day, the Kingdom announced by Christ has been open to those who believe in him: in the humility of the flesh and in faith, they already share in the communion of the Holy Trinity. By his coming, which never ceases, the Holy Spirit causes the world to enter into the "last days," the time of the Church, the Kingdom already inherited though not yet consummated." (CCC 731,732)
What is the significances of the 40 weekdays before Easter?
The 40 days of Lent, which precedes Easter is based on two Biblical accounts: the 40 years of wilderness wandering by the Israelites and our Lord's 40 days in the wilderness at which point He was tempted by Satan.
Each year the Church observes Lent where we, like Israel and our Lord, are tested. We participate in abstinence, times of fasting, confession and acts of mercy to strengthen our faith and devotional disciplines. The goal of every Christian is to leave Lent a stronger and more vital person of faith than when we entered.
The Catechism of the Catholic Church states, "The seasons and days of penance in the course of the liturgical year (Lent, and each Friday in memory of the death of the Lord) are intense moments of the Church's penitential practice. These times are particularly appropriate for spiritual exercises, penitential liturgies and pilgrimages as signs of penance, voluntary self-denial such as fasting and almsgiving, and fraternal sharing (charitable and missionary works)." (CCC 1438)
Why is Lent observed in only some Christian Churches?
In the Protestant world, particularly among many evangelical denominations and independent churches, the Church Calendar is not observed. The seasons were omitted along with most of the sacraments and the use of liturgy in their approach to faith. These Christians do observe Christmas and Easter and some might even celebrate Pentecost.
When does Lent end?
Lent officially ends on Holy Thursday. That is when the "Triduum", great three Days of holy Thursday, Good Friday and Holy Saturday occur leading to Easter. Easter is not only a day but an Octave (eight day) celebration leading to a Season of the Church, Easter Season, which ends on Pentecost.
Ashes
Ash Wednesday liturgies are some of the best attended in the entire year. Some people suggest that is just because the Church is giving out something free, but I suspect there are deeper reasons! Ashes are an ancient symbol of repentance (sackcloth and ashes). They also remind us of our mortality ("remember that you are dust") and thus of the day when we will stand before God and be judged. This can be linked easily to the death and resurrection motif of Baptism. To prepare well for the day we die, we must die now to sin and rise to new life in Christ. Being marked with ashes at the beginning of Lent indicates our recognition of the need for deeper conversion of our lives during this season of renewal.

Giving something up
For most older Catholics, the first thought that Lent brings to mind is giving something up. In my childhood, the standard was to give up candy, a discipline that found suitable reward in the baskets of sugary treats we received on Easter. Some of us even added to the Easter surplus by saving candy all through Lent, stockpiling what we would have eaten had we not promised to give it up.
Some years ago a friend of mine told me that he had urged his children to move beyond giving up candy to giving up some habit of sin that marked their lives. About halfway through Lent he asked the children how they were doing with their Lenten promise. One of his young sons had promised to give up fighting with his brothers and sisters during Lent. When his father asked him how it was going, the boy replied, "I'm doing pretty good, Dad—but boy, I can't wait until Easter!"
That response indicates that this boy had only partly understood the purpose of Lenten "giving up." Lent is about conversion, turning our lives more completely over to Christ and his way of life. That always involves giving up sin in some form. The goal is not just to abstain from sin for the duration of Lent but to root sin out of our lives forever. Conversion means leaving behind an old way of living and acting in order to embrace new life in Christ. For catechumens, Lent is a period intended to bring their initial conversion to completion.

Scrutinies: Examining our lives
The primary way that the Church assists the catechumens (called the elect after the celebration of the Rite of Election on the First Sunday of Lent) in this conversion process during Lent is through the celebration of the rites called Scrutinies. These ritual celebrations on the Third, Fourth and Fifth Sundays of Lent are communal prayers celebrated around the elect to strengthen them to overcome the power of sin in their lives and to grow in virtue. To scrutinize something means to examine it closely. The community does not scrutinize the catechumens; the catechumens scrutinize their own lives and allow God to scrutinize them and to heal them.
There is a danger in celebrating the Scrutinies if the community thinks of the elect as the only sinners in our midst who need conversion. All of us are called to continuing conversion throughout our lives, so we join with the elect in scrutinizing our own lives and praying to God for the grace to overcome the power of sin that still infects our hearts.
Many parishes today seek to surface the concrete issues that the elect need to confront; these issues then become the focus of the intercessions during the Scrutinies. Some parishes extend this discernment process to the wider community so that all are called to name the ways that evil continues to prevent them from living the gospel fully. Even if the parish does not do this in an organized way, every Catholic should spend some time reflecting on what obstacles to gospel living exist in his or her own life. Then when the Scrutinies are celebrated, we will all know that the prayers are for us as well as for the elect.
Taking seriously this dynamic of scrutiny and conversion gives us a richer perspective on Lenten "giving up." What we are to give up more than anything else is sin, which is to say we are to give up whatever keeps us from living out our baptismal promises fully. Along with the elect we all need to approach the season of Lent asking ourselves what needs to change in our lives if we are to live the gospel values that Jesus taught us. Our journey through these forty days should be a movement ever closer to Christ and to the way of life he has exemplified for us.

Scrutinies and Penance
The elect deal with sin through the Scrutinies and through the waters of the font; the already baptized deal with sin through the Sacrament of Penance. The same kind of reflection that enables all members of the community to share in the Scrutinies can lead the baptized to celebrate this Sacrament of Reconciliation to renew their baptismal commitment.
Lent is the primary time for celebrating the Sacrament of Penance, because Lent is the season for baptismal preparation and baptismal renewal. Early Christian teachers called this sacrament "second Baptism," because it is intended to enable us to start again to live the baptismal life in its fullness. Those who experience the loving mercy of God in the Sacrament of Reconciliation should find themselves standing alongside the newly baptized at Easter filled with great joy at the new life God has given all of us.

Prayer, fasting and almsgiving
The three traditional pillars of Lenten observance are prayer, fasting and almsgiving. The key to renewed appropriation
of these practices is to see their link to baptismal renewal.
Prayer: More time given to prayer during Lent should draw us closer to the Lord. We might pray especially for the grace to live out our baptismal promises more fully. We might pray for the elect who will be baptized at Easter and support their conversion journey by our prayer. We might pray for all those who will celebrate the sacrament of reconciliation with us during Lent that they will be truly renewed in their baptismal commitment.
Fasting: Fasting is one of the most ancient practices linked to Lent. In fact, the paschal fast predates Lent as we know it. The early Church fasted intensely for two days before the celebration of the Easter Vigil. This fast was later extended and became a 40-day period of fasting leading up to Easter. Vatican II called us to renew the observance of the ancient paschal fast: "...let the paschal fast be kept sacred. Let it be celebrated everywhere on Good Friday and, where possible, prolonged throughout Holy Saturday, so that the joys of the Sunday of the Resurrection may be attained with uplifted and clear mind" (Liturgy, # 110).
Fasting is more than a means of developing self-control. It is often an aid to prayer, as the pangs of hunger remind us of our hunger for God. The first reading on the Friday after Ash Wednesday points out another important dimension
of fasting. The prophet Isaiah insists that fasting without changing our behavior is not pleasing to God. "This, rather, is the fasting that I wish: releasing those bound unjustly, untying the thongs of the yoke; setting free the oppressed, breaking every yoke; sharing your bread with the hungry, sheltering the oppressed and the homeless; clothing the naked when you see them, and not turning your back on your own" (Is 58:6-7).
Fasting should be linked to our concern for those who are forced to fast by their poverty, those who suffer from the
injustices of our economic and political structures, those who
are in need for any reason. Thus fasting, too, is linked to living out our baptismal promises. By our Baptism, we are charged
with the responsibility of showing Christ's love to the world, especially to those in need. Fasting can help us realize the suffering that so many people in our world experience every day, and it should lead us to greater efforts to alleviate that suffering.
Abstaining from meat traditionally also linked us to the poor, who could seldom afford meat for their meals. It can do the same today if we remember the purpose of abstinence and embrace it as a spiritual link to those whose diets are sparse and simple. That should be the goal we set for ourselves—a sparse and simple meal. Avoiding meat while eating lobster misses the whole point!
Almsgiving: It should be obvious at this point that almsgiving, the third traditional pillar, is linked to our baptismal commitment in the same way. It is a sign of our care for those in need and an expression of our gratitude for all that God has given to us. Works of charity and the promotion of justice are integral elements of the Christian way of life we began when we were baptized.

Stations of the Cross
While this devotion certainly has a place in Lent, the overemphasis given to it in the past tended to distort the meaning of the season. Because the stations were prayed publicly throughout the whole season, the impression was given that Lent was primarily about commemorating the passion and death of Christ.
Vatican II strongly endorsed the use of devotions as part of Catholic spirituality, but it also called for their renewal, to harmonize them with the sacred liturgy (see Liturgy #13).
The liturgy of Lent focuses on the passion and death of the Lord only near the end of the season, especially with the proclamation of the Passion on Palm (Passion) Sunday and again on Good Friday. The weekday readings between the Fifth Sunday of Lent and Palm Sunday also point toward the coming Passion, so that might also be an appropriate time to pray the Stations. The earlier weeks of Lent, however, focus much more on Baptism and covenant than on the Passion.
When we do pray the Stations of the Cross, we can also connect them with the baptismal character of Lent if we place the stations themselves in the context of the whole paschal mystery. In Baptism we are plunged into the mystery of Christ's death and resurrection, and our baptismal commitment includes a willingness to give our life for others as Jesus did. Recalling his passion and death can remind us that we, too, may be called to suffer in order to be faithful to the call of God.
One limitation with the traditional form of the Stations is the absence of the second half of the paschal mystery. The liturgy never focuses on the death of Christ without recalling his resurrection. Some forms of the Stations of the Cross include a 15th station to recall the resurrection as an integral part of the paschal mystery.
Some contemporary forms of the Stations also make clear the link between the sufferings of Christ in the first century and the sufferings of Christ's body in the world today. Such an approach can help us to recognize and admit the ways that we have failed to live up to our baptismal mission to spread the gospel and manifest the love of Christ to those in need.

Blessed palms
As we near the end of Lent, we celebrate Passion (Palm) Sunday. At the beginning of the liturgy, we receive palms in memory of Christ's triumphal entry into Jerusalem. As a symbol of triumph, the palms point us toward Christ's resurrection and might remind us of the saints in heaven "wearing white robes and holding palm branches in their hands" (Rev 7:9). The white robes remind us of baptismal garments, and the palms suggest their triumph over sin and death through the waters of Baptism.

From: www.catholic.org