Saturday, June 30, 2012

Renungan 30 Juni 2012

Hari Sabtu, Pekan Biasa XII
Rat 22:2.10-14,18-19
Mzm 74:1-2.3-5a.5b-7.20-21
Mat 8:5-17
"Saya tidak pantas…"

Ada seorang bapak yang datang meminta intensi misa HUT perkawinan majikannya yang ke-35. Sambil ngobrol, ia bercerita pengalaman kerjanya selama 30 tahun sebagai sopir di dalam keluarga tersebut. Tugasnya mengantar anak-anak ke sekolah, mengantar nyonya ke pasar atau arisan, mengantar tuan ke kantor. Pokoknya deskripsi pekerjaannya jelas yakni sebagai sopir setiap hari. Hal yang membuat dia betah dan bertahan dalam pekerjaan sebagai sopir adalah tuannya itu baik hati. Ia selalu memperhatikan keluarga sopir ini seperti memperhatikan keluarganya sendiri. Anak-anak dilatih untuk tahu berterima kasih kepadanya. Kalau makan bersama, sering diajak duduk bersama di meja makan yang sama.

Pengalaman ini memang sederhana. Jarang orang bercerita tentang pekerjaan, apalagi sebagai sopir pribadi dalam keluarga, office boy, cleaning service, tukang cuci-gosok dan pekerjaan rumah lainnya. Orang mungkin lebih suka menceritakan pekerjaan-pekerjaan yang besar dengan gaji yang luar biasa. Namun demikian hari ini kita mendapat pencerahan dari bacaan Injil. Matius menceritakan bagaimana seorang perwira di Kapernaum bertemu dengan Yesus dan meminta bantuanNya untuk menyembuhkan hamba perwira tersebut yang sedang sakit lumpuh. Yesus menjawab dengan meyakinkan bahwa Ia akan datang untuk menyembuhkannya. Namun perwira itu tahu diri. Ia adalah orang Romawi bukan Yahudi, ia seorang bawahan dan di bawahnya juga masih ada prajurit dan hamba yang dapat diperintah olehnya. Maka di hadapan Yesus yang ada di atas segalanya, dia merasa tidak layak menerimaNya di rumah. Perwira itu berkata, “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan sepatah kata maka hambaku akan sembuh”. Memperhatikan sikap perwira ini, Yesus berkata, “Iman sebesar ini tidak pernah Kutemukan pada seorang pun di Israel.” Maka terjadilah, hamba dari perwira itu menjadi sembuh karena perkataan Yesus sebelumnya, ”Aku akan datang menyembuhkannya”.

Yesus juga menyembuhkan ibu mertua Petrus yang sakit demam. Setelah sembuh, ibu itu melayani Yesus dan para muridNya. Dengan peristiwa-peristiwa penyembuhan ini maka Yesus sungguh dianggap sebagai tabib bagi banyak orang. Dikisahkan oleh Matius bahwa pada hari itu banyak orang disembuhkan Yesus dari sakit penyakit mereka.

Kisah-kisah penyembuhan ini sangat menarik perhatian kita. Perwira Romawi di Kapernaum mewakili orang-orang bukan Yahudi yang percaya kepada Yesus. Ia berani menyatakan kasih, iman, keyakinan dan kerendahan hatinya di hadapan Yesus. Ia juga peduli dengan kesehatan hambanya bukan kesehatan dirinya atau keluarganya. Itu sebabnya ia berani memohon kesembuhan hambanya dari Yesus. Kepedulian terhadap sesama, bahkan hamba yang bekerja melayani perwira siang dan malam ini menggugah hati Yesus untuk bersedia menyembuhkannya. Lihatlah sikap dan kepedulian perwira ini. Terhadap Yesus, ia menunjukkan rasa hormat dan percaya bahwa dengan kuasa SabdaNya pasti dapat menyembuhkan bahkan pada jarak jauh. Ia juga peduli dengan hambanya. Hambanya adalah bagian dari hidupnya dan patut dikasihi.

Sikap perwira ini juga membantu kita untuk mengerti makna doa. Doa yang baik memiliki fondasi yang baik yakni: iman, cinta kasih, harapan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Ini semua merupakan ungkapan kasih kepada Tuhan. Doa menjadi sempurna ketika memiliki dampak positif dalam hidup yakni mengasihi sesama tanpa memandang status social dan melayani sebagai ungkapan  syukur. Nah perwira ini adalah orang asing. Dia masih percaya bahwa Yesus akan melakukan segala sesuatu sesuai dengan permohonannya. Itu sebabnya Yesus juga berani berkata, “Iman sebesar ini tidak Kutemukan di Israel. Banyak orang akan datang dari timur dan barat, dan duduk makan bersama Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga, sedangkan anak-anak Kerajaan ini akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sana ada ratap dan kertak gigi”.

Perkataan Yesus ini sekaligus membantu kita untuk memahami bacaan pertama yang mengisahkan pengalaman bangsa Israel khususnya dari Kerajaan Yehuda yang mengalami penderitaan di Babilonia. Sebagai konsekuensi dari dosa menyembah berhala maka akibatnya adalah penderitaan. Mungkin saja akibat perasaan status quo sebagai bangsa terpilih sehingga mereka juga mudah meningalkan Tuhan. Atau mungkin ada prinsip bahwa Tuhan ada di pihak mereka maka wajarlah untuk bersantai sampai lupa diri dan menyembah berhala serta melakukan dosa-dosa yang lain melawan Allah yang benar (Yahwe).

Sabda Tuhan hari ini membantu kita untuk mengoreksi diri berani berkata: “Ya Tuhan saya tidak pantas Tuhan datang pada saya!”. Pertama, Lihatlah kehidupan doa masing-masing. Apakah anda tekun berdoa, selalu bersyukur kepada Tuhan dalam segala situasi hidupmu? Kedua, Apakah doa-doamu itu memiliki dampak pada kasih dan kepedulian terhadap sesama seperti yang dihayati perwira di Kapernaum? Ketiga, Bagaimana sikap kita terhadap Sabda Tuhan. Apakah kita mendengar dan melakukan Sabda Tuhan dalam hidup kita? Ingat kembali kata-kata perwira asing itu,”Ya Tuan, saya tidak pantas Tuan datang ke rumahku, katakanlah sepata kata maka hambaku akan sembuh.”

Doa: Tuhan, mampukan kami pada hari ini untuk peduli terhadap sesama. Amen

PJSDB

Friday, June 29, 2012

Homili Hari Raya St. Petrus dan Paulus

Hari Raya St. Petrus dan Paulus, Rasul
Kis 12:1-11
Mzm 34:2-3.4-5.6-7.8-9
2Tim 4:6-8.17-18
Mat 16: 13-19

“Engkau adalah Mesias”

Pada hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan Hari Raya St. Petrus dan Paulus. Tentang Hari Raya kedua orang kudus ini, St. Agustinus menulis dalam Sermo 295, alasan mengapa kedua Rasul ini pestanya dirayakan bersama-sama. Agustinus menulis, “Memang mereka berdua adalah rasul yang berbeda tetapi memiliki satu semangat. Mereka menderita pada saat yang berbeda tetapi tetaplah satu semangat. Petrus mendahului, Paulus mengikuti jejaknya. Hari ini menjadi hari kudus karena kedua rasul ini menguduskannya dengan darah mereka. Marilah kita ikut menghayati iman dan kepercayaan mereka, hidup dan karya-karya mereka, penderitaan-penderitaan, pengajaran-pengajaran dan pengakuan iman mereka.”

Petrus, merupakan seorang nelayan kelahiran Bethsaida dan menjadi Uskup pertama di Roma. Yesus mengundangnya untuk mengikutiNya: “Aku akan menjadikanmu penjala manusia.” Ia orang sederhana, pekerja keras, murah hati, jujur dan sangat melekat pada Yesus. Nama aslinya adalah Simon tetapi Yesus mengubahnya menjadi Petrus yang berarti wadas. Yesus berkata kepadanya,  “Engkaulah Petrus dan di atas wadas ini kudirikan GerejaKu.” Petrus menjadi pemimpin para Rasul.  Ketika Yesus ditangkap,Petrus mengalami ketakutan luar biasa maka ia menyangkal Yesus tiga kali. Tetapi setelah bangkit Yesus menampakan diriNya dan bertanya kepada Petrus tentang kasih. Hal yang dituntut dari Petrus adalah “mengasihi Yesus lebih dari” para Rasul yang lain. Ia wafat di Roma sebagai martir pada tahun 67.

Saul adalah seorang Yahudi, kelahiran Tarsus. Sebagai warga Negara Romawi, ia menggunaakan nama Paulus. Ia memperdalam pengajaran iman Yahudi dengan saksama. Sebelum mengenal Kristus, dia adalah penganiaya jemaat Kristen. Pada saat dia ditobatkan, Yesus berkata, “Saya akan menunjukkan bagaimana ia akan menderita bagiKu”. Ia terkenal sebagai rasul bangsa-bangsa  yang belum mengenal Tuhan. Ia meninggal di Roma sebagai martir.

Bacaan-bacaan suci pada Hari Raya ini mengatakan tentang hidup dan pengabdian kedua rasul ini kepada Yesus yang mereka kasihi. Kalau kita membaca Injil Sinoptik, Yesus digambarkan sebagai figur yang melakukan perbuatan-perbuatan besar dari Allah. Ia mengajar, menyembuhkan orang-orang sakit, mengusir roh jahat,  dan memperbanyak roti. Setiap kali mengajar, selalu dengan wibawa dan kuasa yang melebih para ahli Taurat. Tentu saja hidup Yesus seperti ini membuat banyak orang bertanya tentang diriNya. Bacaan injil hari ini mengisahkan bagaimana Yesus berkumpul bersama para rasulNya dan Ia bertanya tentang diriNya. Yesus bertanya, “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu? Pertanyaan tentang kata orang adalah pertanyaan yang mudah. Secara bergantian mereka mengulangi perkataan orang-orang: “Ada yang mengatakan Yohanes Pembabtis, Elia, Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Pertanyaan kedua yang lebih sulit adalah, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Simon Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup”. Dengan jawaban ini Petrus disapa Yesus “berbahagialah” karena Bapa di Surga membuka pikirannya untuk mengakui Yesus sebagai Mesias. Konsekuensinya adalah misi baru bagi Petrus: “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini akan Kudirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga, dan apa yang kaulepaskan di dunia akan terlepas di Sorga”

Jawaban Petrus ini merupakan ungkapan imannya pada Yesus. Memang orang-orang saat itu sedang menanti dan berharap akan kedatangan Mesias. Mesias itu bertugas untuk menata kembali kehidupan umat Allah seperti dahulu kala yaitu suasana damai, adil dan penuh sukacita. Bagi kebanyakan orang, Mesias adalah keturunan Daud yang akan menjadi pemimpin Israel untuk menjadi lebih dekat dengan Allah. Bagi orang Yahudi, menyebut Mesias selalu dikaitkan dengan pengertian “Anak Manusia” (Dan 7:13). Itu sebabnya Yesus bertanya tentang identitas Anak Manusia dan Petrus menjawab “Mesias”. Yesus menjadi sungguh-sungguh Mesias ketika Ia dengan berani melakukan kehendak Bapa di Surga dengan mengalami banyak penderitaan, ditolak oleh tua-tua dan imam-imam kepala. Ia wafat dan bangkit pada hari ketiga. Pengalaman Paskah ini yang membuat Para Rasul dan Gereja perdana mengakui Yesus sebagai Mesias.

Pengakuan iman Petrus ini membawa dampak bagi panggilan dan perutusannya. Sebelumnya, Yesus sudah mengatakan kepada para muridNya bahwa Ia sendiri yang akan menjadikan mereka Penjala Manusia. Kini secara istimewa Yesus memberi tugas kepada Petrus. Dia sebagai batu wadas (Petra) di mana Gereja didirikan. Sebagai Batu Karang, Petrus bertugas untuk menjadi pemimpin dan pelindung umat di mana tidak ada satu bahaya (syeol) yang dapat menghancurkan mereka. Kunci Kerajaan Allah juga diberikan kepada Petrus bukan untuk membuka dan menutup pintu Surga atau menentukan siapa yang layak masuk. Tugas Petrus dengan kunci tersebut adalah supaya kuasa-kuasa jahat tidak memasuki Kerajaan Surga. Maka apa yang diikat di bumi atau dilepas di bumi akan diikat atau dilepas di Surga.

Apa yang harus kita lakukan sebagai Gereja? Kita mengambil pengalaman apostolic dari Petrus dan Paulus yang berani bersaksi tentang Yesus. Dalam Bacaan Pertama dikisahkan bagaimana Petrus setelah Yakobus dibunuh ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara atas suruhan Herodes. Namun pengalaman yang mengesankan adalah Tuhan menyertai Petrus sehingga ia dilepaskan secara misterius dari Penjara. Paulus dalam bacaan kedua menghimbau Timotius sebagai pemimpin jemaat untuk melanjutkan semua pekerjaan, pengorbanan yang pernah dilakukan bersama Paulus. Kebersamaan perlu tetap di bangun sebagai kesatuan jemaat untuk kemuliaan dan keagungan Tuhan. Hal yang kiranya tetap menarik perhatiann kita adalah kesadaran Paulus bahwa ia memelihara iman kepada Kristus dan Tuhan sendiri mendampingi seluruh hidupnya. Keselamatan pun diberikan Tuhan kepadanya.

Sabda Tuhan membuat kita bertumbuh menjadi baru. Belajar dari kedua rasul ini, kita semua diingatkan bahwa Tuhan tetap menyertai kita bukan hanya pada saat yang membahagiakan saja tetapi dalam saat-saat yang sulit pun Tuhan hadir dan membahagiakan kita. Hanya Dia yang punya kuasa untuk membahagiakan kita. Tuhan juga tidak memperhatikan masa lalul kita. Dia selalu melihat keterbukaan hati kita untuk berubah menjadi baru dan melayaniNya. Ini sungguh-sungguh optimisme kristiani bagi kita. Yesuslah Mesias yang mengubah kita menjadi baru.

Doa: Tuhan, terima kasih atas anugerahMu. Buatlah aku menjadi baru. Amen

PJSDB

Thursday, June 28, 2012

Renungan 28 Juni 2012

St. Ireneus, Uskup dan Martir
2Raj 24:8-17
Mzm 37:3-4.5-6.30-31
Mat 7:21-29

Memahami dan Melaksanakan Kehendak Allah

Hari ini seluruh Gereja katolik merayakan pesta St. Ireneus, Uskup dan Martir. Ia lahir di Asia kecil pada tahun 140. Ia memulai pendidikannya di Smyrna. Ia belajar agama pada St. Polikarpus, seorang murid St. Yohanes Rasul. Ia kemudian berkarya di Lyon sebagai seorang imam. Setelah uskup Potinus di Lyon meninggal maka Ireneus diangkat menjadi uskup. Sebagai uskup, ia menggembalakan umatnya dengan kasih sayang. Ia menggunakan bahasa setempat untuk berkotbah. Ia membela ajaran iman yang benar. Ia memperjuangkan kesatuan Gereja dan menegakkan wibawa Paus. Dari namanya Ireneus berarti sang Pencinta damai. Ia mengusahakan perdamaian dalam tugasnya sebagai gembala di Lyon.  Ia meninggal tahun 202 sebagai martir.

St. Ireneus menginsipirasikan kita untuk memahami Injil kita pada hari ini. Perikop kita pada hari ini merupakan bagian penutup dari Kotbah di Bukit (dari Bab 5-7). Yesus memulai kotbahnya dengan berkata, “Bukan setiap orang yang berseru-seru kepadaKu, “Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di Surga.” Dengan melakukan kehendak Allah maka Yesus akan mengenal kita, sebaliknya apabila tidak melakukan kehendak Allah maka Yesus juga tidak akan mengenal kita.

Nah, menjadi pertanyaan kita adalah apa itu kehendak Allah? 

Ada beberapa pengertian Alkitabiah tentang kehendak Allah. Pertama, Kehendak Allah adalah Taurat Allah sendiri. Daud dalam Mazmur 40:9 menyamakan “TauratMu dengan KehendakMu”. Paulus juga menyamakan Perintah (Taurat) Allah dengan Kehendak Allah (Rom 2:17-18). Kedua, Kehendak Allah segala sesuatu yang diingini Allah dengan sempurna. Misalnya Allah menghendaki keselamatan semua orang (1Tim 2:4; 2Pt 3:9). Semua orang yang percaya yang sudah selamat tidak akan terpisah dari kasih karunia (Yoh 6:39). Ketiga, Kehendak Allah adalah segala sesuatu yang diijinkan terjadi oleh Allah sendiri. Misalnya banyak kesulitan dan kejahatan  yang menimpah kehidupan seseorang diijinkan oleh Allah (1Pt 3:17; 4:19) meskipun hal ini bukanlah merupakan keinginan atau kehendakNya yang utama bagi orang tersebut (1Yoh 5:19).

Orang yang memahami kehendak Allah dan melakukannya di dalam hidupnya disamakan dengan orang bijaksana. Mereka ini membangun rumah di atas wadas yang kokoh sedangkan orang bodoh membangun rumah di atas pasir. Orang bijaksana juga akan menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan dan dilimpahi berkat sedangkan orang yang bodoh akan menjauh dari Tuhan. 


Dalam bacaan pertama dikisahkan bahwa Raja Yoyakin yang baru berusia 18 tahun memerintah Kerajaan Yehuda. Ia melakukan yang jahat di hadirat Tuhan seperti yang dilakukan ayahnya. Ini menunjukkan bahwa Ia tidak setia lagi kepada Tuhan. Akibatnya adalah Yerusalem diserang oleh Nebukadnezar Raja Babel dan pasukannya. Yerusalem dilumpuhkan dan raja beserta keluarga dan  pendudukan Yerusalem diangkut untuk menjadi budak di Babel. Jumlah mereka sekitar 10.000 orang. Semua harta kerajaan Yehuda, emas dan perhiasan Bait Suci dijarah oleh pasukan Nebukadnezar. Raja Babel mengangkat paman Yoyakim bernama Matanya menjadi Raja Yehuda dengan nama baru Zedekia. Yah, menolak Allah berarti memihak dosa dan yang ada adalah kebinasaan. Kisah di bacaan pertama ini menjadi contoh  bagaimana orang menolak Tuhan itu seperti membangun rumah di atas pasir.

Pertanyaan lain yang kiranya menjadi permenungan kita adalah apa maksud Yesus dalam perumpamaan tentang membangun rumah di atas batu wadas dan pasir? Yesus menganggap orang itu bijaksana kalau ia "mendengar perkataan Yesus dan melakukannya". Tentu saja kita perlu sadar bahwa kita dipanggil untuk menilai kembali komitmen iman akan Yesus Kristus. Komitmen ini tidak hanya sebatas mengucapkan atau menulisnya dalam wujud kata-kata yang indah tetapi hendaknya nampak dalam perbuatan baik dan perbuatan kasih. Artinya bahwa kita dipanggil untuk mendengar SabdaNya (perkataan-perkataan) dan melakukannya di dalam hidup kita. Dalam bacaan injil hari ini dikisahkan juga bahwa dengan kuasa cinta kasihNya Yesus mengungkapkan kuasaNya melalui kata-kata yang menggugah para pendengarNya: “Banyak orang takjub mendengar pengajaranNya sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, bukan seperti ahli-ahli Taurat mereka”

Sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita untuk melakukan kehendak Allah. Ia memiliki kehendak yang indah bagi setiap pribadi. Semakin banyak kita mendengar SabdaNya semakin kita juga terbuka untuk memahami kehendakNya dan melakukannya di dalam hidup kita. Kita belajar dari Yesus yang datang bukan untuk melakukan kehendakNya sendiri melainkan untuk melakukan kehendak Bapa secara sempurna. Kita juga belajar dari Bunda Maria yang begitu terbuka pada kehendak Allah: “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu” (Luk 1:38).

Doa: Tuhan, jadilah kehendakMu di dalam diriku.

PJSDB

Wednesday, June 27, 2012

Renungan 27 Juni 2012

Hari Rabu, Pekan biasa XII
2Raj 22:8-13; 23:1-3
Mzm 119: 33-34.35-36.37.40
Mat 7:15-20

“Dari buahnyalah kalian akan mengenal mereka”

“Hanya seporsi bakmi lalu aku mengkhianati Yesus Tuhanku? Sekali-kali tidak!” Demikian seorang sahabat menceritakan pengalamannya ketika ditawari seporsi bakmi campur di sebuah kedai. Sambil duduk dan menunggu bakmi pesanannya, ia di datangi seorang pemuda yang berpakaian rapi dan halus budi bahasanya. Sambil ngobrol, pemuda itu mulai “sok akrab sok dekat”. Ia menanyakan identitas sahabat saya dan dengan polos ia memberi identitasnya kepada pemuda itu. Setelah ngobrol, pemuda itu bahkan membayar makanan sahabat saya. Mengherankan karena orang yang barusan dikenal begitu baik dan murah hati. Keesokan harinya datanglah pemuda itu dan temannya, berpakaian rapi mengunjungi sahabat saya dan mulai “mencuci otaknya”dengan pengajaran-pengajaran yang sesat. Hari berikutnya pada jam yang sama datang lagi pemuda itu dan temannya dan mengajar, memberi buku dan pamphlet. Hari berikutnya pemuda itu datang lagi dengan temannya dan melanjutkan pengajaran mereka. Sahabat saya sudah tahu bahwa mereka adalah saksi Yehova maka ia pun mulai cerdik. Sebelum pemuda itu datang, sahabat saya menyiapkan altar kecil, meletakkan patung Bunda Maria yang besar dan beberapa Rosario.  Ketika mereka tiba, sahabatku mengajak mereka masuk ke ruang doa untuk berdoa Roario. Kedua orang itu langsung minta pamit dan tidak muncul lagi di rumah itu. Yah, orang bisa tersesat hanya karena seporsi bakmi campur.

Setelah mengajak para muridNya untuk berjuang masuk melalui pintu yang sempit, Yesus memberi nasihat lain tentang bagaimana bertahan dalam iman dan menghasilkan buah yang baik. Untuk bertahan dalam iman, Ia menasihati para muridNya supaya tegar menghadapi nabi-nabi palsu. Ia bersabda, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu mengenal mereka” Orang dapat saja berpakaian rapih, halus budi bahasanya tetapi berniat untuk menyesatkan seperti kisah di atas. Banyak orang menjadi murtad karena pengaruh orang yang “sok akrab sok dekat”.

Menjadi pertanyaan kita adalah, siapakah nabi palsu itu sehingga patut diwaspadai? Di dalam Kitab Suci terdapat  banyak pengertian mengenai nabi palsu. Nabi palsu adalah orang yang pura-pura mengatakan bahwa dirinya disuruh Allah (Yer 23:17,18,31) atau tidak disuruh oleh Allah (Yer 14:14; 23:21; 29:31). Mereka yang dipakai Allah untuk mencobai orang Israel (Ul 13:13). Nabi palsu adalah orang yang ceroboh dan pengkhianat (Zef 3:4), yang serakah dengan uang (Mi 3:11), orang mabuk (Yes 28:7), yang berzinah dan tidak jujur (Yer 23:11,14). Mereka juga bernubuat dengan palsu (Yer 5:31), palsu atas nama Tuhan (Yer 14:14), nubuat palsu berdasarkan rekaan hatinya (Yer 23:16, 26; Yeh 13:2). Dari pemahaman biblis tentang nabi palsu ini maka jelaslah bagi kita betapa banyak nabi palsu yang pernah masuk dalam lingkaran kehidupan dan mau menyesatkan kita.

Selanjutnya Yesus membuka pikiran para muridnya untuk memahami kehadirannya dan para nabi palsu yang menyesatkan. Ia berkata,”Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik sedangkan pohon yang tidak baik akan menghasilkan buah yang tidak baik pula.” Tentu saja buah anggur pasti dari pohon anggur, buah ara pasti dari pohon ara. Jadi bagi Yesus, “Dari buah pohonnya kita akan mengenal pohon yang menghasilkan buah tersebut”. Pohon itu ibarat nabi sebagai utusan Allah atau nabi palsu. Oleh karena itu kita perlu mawas diri terhadap berbagai ancaman dan pengaruh yang menyesatkan dari pribadi atau kelompok-kelompok tertentu.

Pengajaran Yesus ini membuat kita merenungkan lebih dalam pengajaranNya dalam Injil Yohanes. Ia berkata, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Tinggalah dalam Aku, dan Aku di dalam kamu. Barangsiapa tinggal bersama Aku, akan menghasilkan banyak buah.” (Yoh 15:1.5). Yesus sebagai pokok anggur sekaligus sebagai pohon yang memberi buah yang baik. Maka konsekuensinya adalah para ranting yaitu kita semua yang dibaptis memiliki tugas untuk menghasilkan buah yang baik. Hidup dan kesaksian hidup kita hendaknya menghasilkan buah penebusan bagi banyak orang.

Sabda Tuhan mendorong untuk memahami tugas dan panggilan hidup kita. Kita dikuatkan untuk menjadi pohon yang baik sehingga menghasilkan buah yang baik pula. Artinya kita tidak boleh berhenti pada kata atau pengajaran yang baik dan intensi-intensi yang saleh saja karena menjadi pohon yang baik supaya menghasilkan buah yang baik merupakan tugas dan tanggung jawab yang besar dan sulit. Hanya dengan bantuan Allah kita dapat berhasil. Pohon yang baik ada di dalam keluarga masing-masing. Orang tua yang baik memiliki anak-anak yang baik pula. Pohon yang baik adalah para pembina dan guru yang berada di lembaga-lembaga pendidikan. Para siswa dianggap sungguh-sungguh manusia kalau para pembina dan gurunya manusia yang baik. 


Kita semua juga diingatkan untuk mawas diri terhadap berbagai godaan dan pengaruh dari orang-orang di sekitar kita. Mereka ibarat nabi palsu yang dapat menyesatkan kapan saja. Apa yang harus kita lakukan? Pandanglah Yesus, Dialah pohon kehidupan yang memberikan segalanya bagi kita. Dialah satu-satunya penyelamat kita.

Doa: Tuhan, jadikanlah aku pohon yang baik yang mampu menghasilkan buah yang berlimpah.

PJSDB 

Tuesday, June 26, 2012

Renungan 26 Juni 2012

Hari Selasa, Pekan Biasa XII
2Raj 19:9b-11.14-21.31-35a.36
Mzm 48:2-3a.3b-4.10-11
Mat 7:6.12-14

Masuklah melalui pintu yang sempit!

Ada seorang artis penyanyi terkenal. Ia sangat konservatif memegang tradisi para artis penyanyi terdahulu. Dari cara berpakaian sampai goyang di atas panggung selalu mengikuti tradisi para pendahulunya. Apabila ada artis penyanyi pendatang baru yang berpakaian dan bergoyang di atas panggung tidak sesuai dengan aliran musik dan kebiasaan umum maka dialah orang pertama yang membuka mulut dan memberikan kritikan yang pedas. Namun pada suatu kesempatan terdapat pentas musik di tempat yang berbeda dan sadar atau tidak sadar ia melakukan goyangan yang mengarah ke goyangan erotis. Pada saat setelah kejadian ini facebook, twitter dan surat khabar angkat bicara. Ia dikritik habis-habisan. Grafik penghargaan dan konsep dirinya pun menurun drastis. Ia kehilangan pamornya sebagai artis penyanyi yang disegani mereka yang lebih muda.

Hari ini Tuhan Yesus memperjelas pengajaran di bukit dengan sebuah pengajaran yang sederhana. Ia berkata, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki diperbuat orang kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan Kitab para nabi.” Pengajaran Yesus ini berkaitan dengan upaya menghayati hukum kasih. Cinta kasih itu universal maka harus dihayati dengan tuntas. Kita mengenal hukum kasih yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Mengasihi Tuhan dapatlah dipahami karena Tuhan adalah segalanya bagi kita. Mengasihi sesama berarti porsi kasih kepada diri sendiri harus sama dengan porsi kasih kepada sesama. Sebelumnya Yesus sudah mengajarkan hal-hal lain yang praktis seperti: mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya para muridNya (Mat 5:44), memberi sedekah atau beramal (Mat 6:2-3). Perbuatan-perbuatan kasih ini nilainya sangat mahal. Maka Ia menghendaki agar para muridNya melakukan sebuah perbuatan kasih sehingga orang juga dapat melakukan hal yang sama.

Setelah menjelaskan hukum kasih, Yesus mengajak para muridNya untuk memiliki visi ke depan tentang hidup kekal. Ia berkata, “Masuklah melalui pintu yang sempit itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kebinasaan, dan banyak orang telah masuk melalui pintu dan jalan itu. Tetapi sempitlah pintu dan sesaklah jalan yang menuju kehidupan, dan sedikitlah orang yang menemukannya.” Perikop ini paralel dengan perikop dalam Injil Lukas, “Dan ada orang yang berkata kepada Yesus, ‘Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?’Yesus menjawab,”Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu. Sebab Aku berkata kepadamu, banyak orang berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat” (Luk 13: 23-24).  

Apa makna yang terkandung dalam pengajaran Yesus  tentang pintu yang sempit ini? Mungkin latar belakang pertanyaannya mirip dengan Injil Lukas yaitu, “Siapakah yang akan diselamatkan?” (Mat 19:25). Yesus tidak pernah mengatakan dengan jelas berapa orang yang akan diselamatkan. Ia hanya berkata bahwa sedikit orang saja yang dipilih dari banyak orang yang dipanggil. Banyak orang memiliki kesempatan untuk mengenal Yesus tetapi hanya sedikit saja yang mengasihiNya. Banyak orang berbondong-bondong mengikutiNya tetapi hanya sedikit saja yang akan mengalami kekayaan injili dan menghasilkan banyak buah untuk dirinya dan sesama. Orang-orang pilihan Tuhan adalah mereka yang tetap bertahan  dan setia mengikuti Kristus meskipun nyawa menjadi taruhan.  Banyak orang juga yang tidak bertahan dalam pemuridan. Mereka-mereka ini dianggap oleh Yesus sebagai pribadi yang melewati pintu yang lebar dan jalan yang luas. Mereka ini adalah pribadi yang memiliki pola hidup gampang, tidak berani berkorban untuk mempertahankan iman. Mereka juga sudah tidak punya hati nurani yang membedakan tentang hidup dalam dosa atau dalam rahmat.

Pengajaran Yesus tentang pintu yang sempit ini membantu kita untuk mengerti apa yang Dia katakan sebelumnya, ”Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela atau dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacitalah dan bergembiralah karena upahmu besar di sorga sebab demikian juga telah dianiaya para nabi yang sebelum kamu” (Mat 5:11-12).

Pengalaman dalam dunia Perjanjian Lama juga membuktikan bagaimana orang harus berjuang untuk melewati pintu yang sempit. Dalam Bacaan Pertama dikisahkan bahwa setelah Raja Asyur menguasai Kerajaan Israel di Samaria dan membawa banyak orang dari Samaria untuk menjadi budak di kota-kota Kerajaan Asyur maka ketakutanlah Raja Hizkia di Kerajaan Yehuda. Raja Hizkia lalu berdoa memohon bantuan Tuhan  sehingga Tuhan menolongnya. Tuhan mengutus MalaikatNya dan membunuh 185 ribu tentara Asyur di perkemahan mereka. Dengan kejadian ini maka bangsa Asyur tidak menyerang Yerusalem. Kiranya yang menjadi modal raja Hizkia adalah imannya kepada Yahwe. Ketakutan dan penderitaan berubah menjadi sukacita.

Sabda Tuhan menguatkan kita untuk beberapa hal mendasar dalam hidup kita sebagai pengikut Kristus. Pertama, Hukum cinta kasih harus kita hayati  sebagai kunci untuk membuka pintu yang sempit. Cinta kasih inilah yang mengantar kita kepada keselamatan kekal. Maka hasilkanlah buah dalam ketekunan dan keteladanan hidup. Kedua, Pintu yang sempit adalah salib dan pengurbanan kita setiap hari dalam mengikuti Yesus. Dengan memikul salib hari demi hari dan mengikutiNya maka pintu kebahagiaan yang sempit akan terbuka. Kesaksian hidup sebagai bentuk kemartiran juga menjadi kunci untuk membuka pintu yang sempit. Banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih untuk melewati pintu yang sempit.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk layak memasuki pintu yang sempit yakni pintu keselamatan.

PJSDB

Monday, June 25, 2012

Renungan 25 Juni 2012

Hari Senin Pekan Biasa XII
2Raj 17:5-8.13-15a.1
Mzm 60: 3.4-5.12-13
Mat 7:1-5

Janganlah menghakimi!

Ada seorang mahasiswa yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah pedalaman. Ia harus melewati sungai yang panjang dan dalam supaya dapat mencapai kampung di mana ia akan melakukan KKN. Ia pun menyewa sebuah perahu yang dikemudi oleh seorang Bapa yang sudah tua. Dalam perjalanan terjadilah dialog sebagai berikut: Mahasiswa itu bertanya, “Apakah bapak bisa berbahasa Inggris? Orang tua itu menjawab, “Saya ini orang kampung dan tidak tahu bahasa seperti itu anak” . Mahasiswa itu berkata. “Wah, bahasa Inggris itu penting kalau bapak tidak tahu maka bapa sudah kehilangan 1/5 usia hidupmu.” Ia bertanya lagi,“Apakah bapak tahu menggunakan internet?” Bapak itu menjawab, “Tidak bisa”. Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Apakah bapak pernah bersekolah?” Bapak itu menjawab, “Saya tidak pernah bersekolah, hanya tahu mendayung perahu ini.” Mahasiswa itu berkata, “Pantasan bapak tidak tahu bahasa Inggris dan internet. Padahal itu adalah napas hidup kita saat ini”

Sambil berbicara seperti itu, langit kelihatan mendung dan angin bertiup kencang, terdengar juga bunyi guntur, mulai kelihatan petir. Sambil memandang mahasiswa tersebut, Bapak itu berkata bahwa sebentar lagi akan ada angin sakal maka masing-masing orang harus menyelamatkan dirinya ke tepi sungai. Ia bertanya kepada mahasiswa itu, “Apakah anak tahu berenang?” Mahasiswa itu menjawab, “Saya tidak tahu berenang”. Bapak itu berkata, “Kalau begitu pakailah bahasa Inggrismu, bukalah komputer dan internetmu dan mintalah mereka untuk menyelamatkanmu dari badai ini. Anda akan kehilangan seluruh hidupmu di sungai ganas ini” Sambil berkata demikian, Bapak itu melompat keluar dan berenang menyelamatkan dirinya sebelum badai menghanyutkan perahu itu. Mahasiswa itu pun tenggelam di sungai dengan segala kesombongannya.

Dalam hidup kita setiap hari, kita selalu menemukan bahkan mengalami dan melakukan sendiri sikap menghakimi sesama. Dengan memandang “cashing”atau penampilan orang seadanya kita langsung menilai atau menghakimi pribadi tersebut: orangnya begini dan begitu. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini mengingatkan kita supaya jangan menghakimi orang lain. Tentang hal ini Yesus berkata, “Janganlah menghakimi supaya kalian tidak di hakimi sebab dengan penghakiman yang kalian pakai untuk menghakimi, kalian sendiri akan dihakimi.”

Mengapa orang suka menghakimi orang lain? Perhatikanlan cara anda menunjuk sesuatu. Bagaimana posisi jari-jari tangan anda? Akan terlihat dua jari menuju ke depan yakni ke objek yang ditunjuk sedangkan tiga jari menunjuk kepada dirimu sebagai pemilik tangan. Ini berarti setiap kali kita menghakimi sesama dengan menunjuk bahwa pribadi itu begini atau begitu, kita menghakimi secara verbal,  semuanya ini adalah cerminan pribadi kita yang tidak sempurna. Ini adalah sikap proyeksi diri kita dengan segala kelemahan yang kita bebankan pada pribadi yang lain. Maka tentu yang tidak sempurna adalah mata, pikiran dan hati kita bukan orang lain. Itu sebabnya Yesus sendiri berkata, “Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui? Keluarkanlah balok itu dari matamu hai orang munafik supaya engkau dapat melihat jelas dan dapat mengeluarkan selumbar dari mata saudaramu.”

Ketika seseorang terbiasa berbuat dosa misalnya menghakimi orang lain, dia akan merasa biasa saja, tanpa ada dosa. Hal ini pernah dialami orang-orang di Kerajaan Israel di Samaria sebagaimana dikisahkan dalam bacaan pertama. Mereka berdosa melawan Yahwe dengan menyembah berhala kepada para baal di gunung Ebal dan Garizim tetapi mereka tidak menyadarinya sebagai sebuah dosa. Mereka juga tidak mau bertobat dan kembali kepada Allah yang benar padahal Tuhan sudah mengutus para nabi untuk mengingatkan mereka. Itu sebabnya kerajaan Israel dihancurkan oleh Salmaneser, raja Asyur dan mendeportasi orang-orang Israel ke daerah kekuasannya. Hukuman sebagai budak di daerah Asyur bukan karena Tuhan membenci mereka melainkan karena perbuatan dosa dan salah yang mereka lakukan.

Pesan Sabda Tuhan hari ini sangat praktis bagi kita: “Janganlah menghakimi supaya kamu tidak dihakimi”. Maka, janganlah berprasangka buruk kepada orang lain dengan hanya menilai orang dari kulit luarnya (cashing), dari daerah asal atau suku tertentu. Setiap pribadi memiliki kelebihan dan kekurangan. Ya, tidak seorang pun sempurna! Namun, Tuhan memiliki kuasa untuk memberkati, menguduskan dan menyempurnkan kita. Mari kita membenahi diri kita pada hari ini. Jangan main hakim sendiri!

Doa: Tuhan, Bantulah kami untuk tidak menghakimi sesama kami. Amin

PJSDB

Sunday, June 24, 2012

Homili Hari Raya Kelahiran Yohanes Pembaptis


Homily HR Kelahiran Yohanes Pembaptis
Yes 49:1-6
Mzm 139: 1-3.13-14ab.14c-15
Kis 13:22-26
Luk 1:57-66.80
Namanya adalah Yohanes

Di dalam kehidupan manusia nama seseorang itu merujuk pada totalitas kehidupannya. Nama itu dapat mencerminkan jati diri orang tersebut. Gambaran seluruh hidupnya juga terukir di dalam namanya. 
Dalam kehidupan modern nama memiliki nilai bisnis atau nilai jual tersendiri. Itulah sebabnya banyak public figure mengubah nama mereka dan ternyata perubahan nama itu membawa keberuntungan. Misalnya, artis-artis tertentu menjadi terkenal setelah nama mereka berubah. Sebut saja, Virgiawan Listanto menjadi Iwan Fals, Rianto menjadi Tukul Arwana, Ahmad Ashadi menjadi Dorce Gamalama, Ayu Rosmalia menjadi Ayu Ting Ting. Ayu Rosmalia misalnya, pernah mengeluarkan sebuah Album perdana pada tahun 2007 di mana terdapat sebuah lagu berjudul Ting ting. Namun album itu tidak laku di pasaran. Pada tahun 2011 Ayu Rosmalia mengubah namanya menjadi Ayu Ting Ting maka kehidupannya juga berubah total. Ada nilai jualnya tersendiri. Itulah the power of name.
Di dalam gereja, kita mengenal nama baptis. Nama baptis biasanya diambil dari nama tokoh-tokoh tertentu di dalam Alkitab atau nama tokoh-tokoh tertentu yang memiliki kehidupan istimewa di hadapan Tuhan dan patut menjadi model kekudusan. Siapa yang mengambil namanya menjadi nama Baptis, ia harus mengikuti gaya hidup orang kudus tersebut supaya pada gilirannya ia juga dapat menjadi kudus. Nah, nama tokoh alkitab atau nama orang kudus itu selalu berhubungan dengan Tuhan. Misalnya Yakub dalam Kitab perjanjian Lama (Kej 32:28). Yakub artinya “pemegang tumit” berubah nama menjadi Israel. Abraham artinya Bapa segala bangsa. Amos artinya beban. Alexander artinya pejuang atau pemberani. 
Hari ini kita merayakan Hari Raya kelahiran Yohanes Pembaptis. Nama Yohanes berasal dari bahasa Yahudi “Yehohanan” atau lebih singkat “Yohanan”. Nama ini berasal dari akar kata “HNN” yang berarti rahmat atau menunjukkan kesukaan besar. Maka Yohanes berarti “Allah telah memberi rahmat”. Ini bukan nama yang lazim dalam Kitab Suci. Di dalam Kitab Perjanjian Lama, kita hanya menemukannya dalam keluarga Makabe dalam hal ini kakek dari Yudas Makabeus bernama Yohanes sehingga saudara tuanya juga dipanggil dengan nama yang sama (1Mak 2:1). Seorang dari keluarga Makabe yakni Yohanes Hirkanus nantinya menjadi imam agung dan raja.
Yohanes Pembaptis memang pribadi yang istimewa. Ibunya Elisabeth dan ayahnya Zakharias. Elisabeth dikenal sebagai wanita yang mandul (mati rahimnya) tetapi Tuhan membuka rahimnya dan memberikan Yohanes sebagai buah rahim. Zakharias bekerja sebagai pelayan Tuhan di dalam Bait Allah. Tentu sebagai orang tua mereka juga mengharapkan keturunan. Tuhan menunjukkan kasihNya kepada keluarga Elisabeth dan Zakharias seorang putera yang diberi nama Yohanes. Nama ini menimbulkan keheranan banyak orang karena menjadi nama baru di dalam keluarga Zakharias.
Memahami kehidupan Yohanes Pembaptis tidak terlepas dari kehidupan Yesus sendiri. Yohanes adalah jembatan penghubung Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ada beberapa hal yang menarik perhatian kita dalam merenungkann kehidupan Yohanes dalam hubungannya dengan Yesus. Elisabeth ibundanya sudah tua, dianggap mandul (rahimnya sudah mati) sedangkan Maria ibu Yesus masih perawan. Zahkarias ayah Yohanes adalah seorang abdi Allah yang siang dan malam melayani Tuhan. Dia diberi tanda khusus yakni menjadi bisu. Yoseph, ayah pemelihara Yesus, bekerja sebagai tukang kayu dan siang dan malam melayani Putera Allah. Yohanes adalah suara yang berseru, yang menyiapkan kedatangan Yesus dengan seruan tobat dan pembaptisan. Yesus adalah suara yang menghadirkan Kerajaan Allah di mana semua orang bertobat dan diselamatkan supaya bersatu dengan Bapa di Surga.
Santu Agustinus pernah menulis tentang Zakharias, ayahanda Yohanes. Baginya, Zakharias diberi tanda yakni menjadi bisu. Mengapa menjadi bisu? Karena anaknya yang lahir akan menjadi “suara yang berseru di padang gurun”. Jadi kebisuan akan diganti dengan suara dengan seruan yang kuat supaya semua orang berpaling kepada Allah. Tentu saja misi Yohanes sebagai suara membawa dampak yang positif. Kesederhanaan hidupnya, matiraganya menginspirasikan banyak orang saat ini untuk senantiasa mengarahkan pandangannya kepada Yesus yang “meskipun Allah, rela menjadi miskin sehingga membuat kita menjadi kaya”. Yohanes juga yang menyiapkan murid-muridnya untuk nantinya menjadi murid Yesus.
Apa dampak perayaan kelahiran Yohanes Pembaptis bagi kita? Kita sebagai orang-orang yang dibaptis dipanggil untuk menjadi penunjuk jalan bagi saudara-saudara untuk bertemu dengan Kristus. Sama seperti Yohanes membawa para muridnya dan mengatakan “Lihatlah Anak domba Allah” dan para muridnya mengikuti Yesus, demikian kita juga memiliki tugas yang sama untuk membawa banyak orang menjadi sahabat Kristus. Di samping itu kesederhanaan hidupnya membuat kita terbuka untuk memiliki harapan hanya kepada Allah. Maka mengikuti makna nama Yohanes marilah kita menjadi berkat bagi sesama.
Doa: Tuhan semoga kami dapat membawa sesama kepada Yesus PuteraMu. Amen
PJSDB

Saturday, June 23, 2012

Renungan 23 Juni 2012

Sabtu, Hari biasa Pekan XI
2Taw 24: 17-25
Mzm 89: 4-5.29-30.31-32. 33-34; 
Mat 6:24-34
Mengapa harus khawatir?
Kekhawatiran selalu menjadi bagian dari hidup manusia. Rasa khawatir adalah perasaan terganggu akibat bayangan atau pikiran buruk akan sesuatu yang dapat dialami sendiri atau dialami oleh orang yang dekat dengan kita. Biasanya rasa khawatir ini menimbulkan perasaan tidak nyaman karena bayangan kesulitan hidup yang akan dialami. Orang tua mungkin mengalami rasa khawatir ini ketika anak-anaknya belum ada yang menikah. Di satu pihak orang tua mau memiliki cucu, di lain pihak anak-anak belum siap untuk menikah. Rasa khawatir juga dapat terjadi dalam kehidupan ekonomi keluarga. Ketika pekerjaan sudah tidak menentu arahnya maka ada kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan hidup baik secara pribadi atau keluarga. Inilah pengalaman hidup yang tidak dapat kita pungkiri. 
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengingatkan kita: “Jangan khawatir akan hidupmu, apa yang hendak kalian makan atau minum, dan jangan khawatir pula akan tubuhmu, apa yang hendak kalian pakai. Bukankah hidup ini lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?” Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana manusia khawatir dengan hidupnya terutama akan masa depan dan kebutuhan hidup yang semakin hari semakin bertambah. Untuk menguatkan para muridNya, Yesus memberi contoh konkret supaya jangan menjadi manusia yang khawatir: “Pandanglah burung-burung di langit yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, toh diberi makan oleh Bapamu yang di Surga. Kalian melebihi burung di langit. Perhatikanlah bunga bakung di ladang yang tumbuh tanpa bekerja dan memintal.”
Lalu solusi apa yang tepat supaya manusia jangan khawatir di dalam hidupnya? Yesus menegaskan kepada para muridNya untuk menaruh seluruh harapannya kepada Allah. Caranya adalah dengan sikap menyembah kepadaNya sebagai satu-satunya Tuhan dan Allah. Jadi tepat apa yang dikatakan Yesus sendiri, “Tidak seorang pun dapat menyembah kepada dua tuan: misalnya di satu pihak menyembah Tuhan dan di lain pihak menyembah mamon (uang).” Terkadang manusia lebih menyembah uang dari pada Tuhan. Yesus juga mengingatkan para muridNya untuk selalu mencari Tuhan dan berharap kepadaNya. Dengan tegas Yesus berkata,“Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya maka semuanya akan ditambahkan kepadamu”. 
Rasa khawatir juga dapat melanda manusia terutama berdasarkan posisi atau status sosialnya. Orang-orang dapat bermusuhan karena rencana yang jahat yang keluar dari hatinya. Bacaan pertama memberi contoh rasa khawatir secara politis. Sesudah imam Yoyada meninggal maka para pemimpin Yehuda datang dan menyembah raja dan raja pun mendengarkan mereka. Mereka meninggalkan rumah Tuhan dan menyembah berhala kepada tiang-tiang dan patung-patung. Para nabi diutus Tuhan untuk menyadarkan mereka supaya kembali kepada Tuhan dan menyembahNya tetapi mereka tidak menerimanya bahkan membunuh para utusan Tuhan ini. Raja Yoas misalnya lupa diri ketika membunuh Zakharias, Putera Yoyada padahal Yoyada itu setia kepada Yoas. Pada akhirnya Yoas pun dibunuh. Kekhawatiran dapat membuat relasi antar pribadi berantakan.
Pada tahun yang lalu (2011) saya membaca sebuah buku karangan Paulus Wiratno berjudul “Kalahkanlah kekhawatiran dengan 5-B”. Buku kecil ini menarik perhatian karena memberi kiat 5B untuk mematikan rasa khawatir di dalam hidup kita. Apa yang dimaksud dengan 5B? Menurut Wiratno, supaya tidak ada rasa khawatir maka kita perlu “Berpikir positif, Berusaha, Berdoa, Berserah dan Bersyukur”. Apabila masing-masing pribadi menggunakan prinsip 5B ini maka tentu dunia kita menjadi baru.
Apakah dengan mengatakan “Jangan khawatir” dan memberi contoh burung di langit dan bunga bakung itu berarti manusia tidak perlu memaksa diri untuk bekerja? Yesus tidak memikirkan pola hidup seperti ini. Bekerja tetaplah menjadi bagian dari hidup manusia karena dengan bekerja setiap pribadi akan sungguh-sungguh menjadi manusia. Setiap pribadi juga akan mewujudkan hidup mereka sebagai bagian dari Tuhan sang  Pencipta. Yesus sendiri mengakui diriNya sebagai pekerja tulen dan bahwa Bapa di Surga juga tetap bekerja hingga saat ini (Yoh 5:17; 9:4).
Sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita untuk menggantungkan seluruh hidup kita hanya pada rencana dan kehendak Tuhan Allah. Dialah Allah yang benar yang patut disembah. Kita ingat kata-kata peneguhan dari Petrus: “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1Pet 5:7). Apakah anda masih khawatir juga? 
Doa: Tuhan, jauhkanlah kami dari segala kekhawatiran. Biarlah kami hanya menyembah Engkau, satu-satunya Tuhan dan Allah kami. Amen
PJSDB

Friday, June 22, 2012

Renungan 22 Juni 2012

Hari Jumat, Pekan Biasa XI
2Raj 11:1-4.9-18.20;
Mzm 132: 11.12.13-14.17-18
Mat 6:19-23
Kumpulkan bagimu harta di Surga!


Seorang ibu merasa pusing mengurus anaknya yang baru kelas V SD. Ia heran mengapa anaknya berubah perilaku ketika dihadiai BB oleh ayahnya. sejak saat itu ia tidak dapat melepaskan dirinya dari BB. Lebih mengherankan lagi, ketika pergi toilet, sambil duduk di kloset pun ia masih BBM-an dengan teman-temanya. Ibu itu mengatakan bahwa ia tidak heran mengapa anak-anak muda seringg menggunakan BB di dalam gereja. Di toilet aja BBM-an apalagi di Gereja. Seorang suami juga merasa ada perubahan perilaku isterinya setelah menggunakan Iphone 4S. Ia banyak kali tertawa sendiri di depan layar Iphone 4S, mungkin sedang chating FB-an dengan teman-teman arisannya. Dia lupa bahwa di depannya ada suami, anak-anak dan makanan yang siap di santap. Suami itu merasa bahwa perkawinan ternyata masih dibatasi oleh dunia maya. Yah, perubahan perilaku karena harta kekayaan yang dimiliki setiap pribadi.


Harta dalam bahasa Yunani disebut thesaurus. Yesus dalam bacaan Injil hari ini berkata, “Di mana ada hartamu, di situ juga hatimu berada” (Mat 6:21). Dalam alam pikir Yahudi, hati merupakan simbol totalitas kehidupan manusia dan juga merupakan tempat di mana manusia melakukan penilaian dan keputusan-keputusan tertentu. Kita perlu menyadari bahwa pada zaman ini banyak orang tidak memiliki harta tetapi hartalah yang memiliki manusia. Hal ini terwujud dalam gaya hidup tertentu. Di samping itu banyak di antara kita yang memahami harta hanya sebatas material yang dimiliki setiap pribadi. Yesus tidak hanya memaksudkan bahwa harta itu material tetapi yang juga termasuk harta adalah pribadi-pribadi yang kita kasihi melampaui  kasih kepadaTuhan. 
Dalam budaya Yahudi, mengumpulkan harta adalah bagian dari hidup. Mereka biasanya mengumpulkan aneka jenis kain, gandum, hewan-hewan, emas, dan batu-batu yang berharga. Mereka biasanya menyimpannya di tempat-tempat yang nyaman dan rahasia, misalnya di ladang (Mat 13:44). Namun demikian barang-barang ini sifatnya fana dan dapat hancur. Kain-kain dan pakaian dapat hancur karena ngengat (Yes 51:8), tikus dapat memakan gandum, bahan-bahan metalik seperti emas dan perak dapat berkarat. Para pencuri dapat mencurinya dengan mudah. Ketika para pencuri mengetahui di mana diletakan harta di dalam gudang, mereka juga akan mencari jalan misalnya menggali tanah dan membuat saluran yang menghubungkan bagian luar rumah dan bagan dalam rumah terutama gudang.  
Orang mengumpulkan harta karena menginginkan kenyamanan tertentu dan menghilangkan kecemasan. Namun demikian, semua harta yang ada di dunia sifatnya sementara. Orang seharusnya bijaksana dalam menggunakannya. Yakobus dalam suratnya menulis: “Sekarang mengenai kamu orang-orang kaya. Menangislah meratapi kemalangan yang akan menimpamu. Kekayaanmu akan membusuk dan pakaianmu akan dimakan ngengat. Perak dan emasmu akan berkarat dan karatnya akan menjadi saksi melawan kamu. Ia akan makan dagingmu laksana api, karena kamu telah menumpuk kekayaan untuk hari akhirat.” (Yak 5:1-3). 
Lalu apa yang harus kita lakukan kalau semua yang ada di atas dunia ini fana? Yesus mengingatkan kita dalam Injil hari ini, “Kumpulkan harta di surga”. Tentu saja perkataan Yesus ini bukan dimaksudkan untuk membooking tempat di surga. Perkataan Yesus ini berarti setiap pegikutNya harus menggantungkan seluruh harapan hidupnya pada Tuhan. Artinya setiap pribadi harus membangun relasinya dengan Tuhan yang mengenal kita, menerima kita apa adanya, dan memberi arti kehidupan kepada kita. Tuhan haruslah menjadi satu-satunya dalam hati kita, dan kita bersekutu denganNya. Dialah yang menyediakan segalanya bagi kita (Mat 6:33). 
Selain membicarakan harta kekayaan, Yesus juga berkata, “Mata adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik maka seluruh tubuhmu akan terang. Jika matamu sakit maka seluruh tubuhmu akan gelap. Kalau terangmu sudah menjadi gelap maka betapa hitamnya kegelapan itu.”  Mata adalah simbol hati nurani manusia. Mata yang terang menandakan pribadi tersebut memiliki kebajikan kemurahan hati. Mata yang gelap menandakan kepicikan dan menutup jalan untuk bertemu dengan Tuhan.
Sebagaimana di katakan di atas bahwa harta kekayaan bukan hanya terbatas pada materi  tetapi juga pada pribadi-pribadi tertentu. Karena gengsi dan posisi secara politis maka gampang sekali orang lain menjadi korban. Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah kematian Ahazia. Ibunya yang bernama Atalya membunuh semua anak raja, kecuali Yoas yang diculik dan disembunyikan oleh Yoseba di rumah Tuhan. Kisah selanjutnya menunjukkan bahwa Imam Yoyada menggalang pasukan untuk setia kepada keturunan raja. Yoas pun diangkat menjadi raja Yehuda sedangkan Atalya dibunuh di luar Bait Allah. 
Sabda Tuhan hari ini mendorong kita untuk bersikap lepas bebas. Artinya, kita semua diingatkan untuk tidak melekat sepenuhnya pada harta kekayaan yang ada. Harta kekayaan adalah sarana untuk membuat kita bertumbuh, sekaligus kita bersyukur kepada Tuhan karena semuanya adalah anugerah. Kalau toh kita sudah mengalami bahwa kekayaanlah yang memiliki diri kita maka kita masih punya kesempatan untuk berubah. Kita perlu mengubah kiblat kita yang tadinya cenderung membangun “kerajaan pribadi” dengan gaya hidup tertentu menjadi pribadi yang menghayati keluhuran nilai kemiskinan injili. Yesus sendiri berkata, “Berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang memiliki Kerajaan Sorga” (Mat 5:3). Ingatlah, kumpulkanlah bagimu harta Sorgawi, semua dicukupkan olehNya!
Doa: Tuhan, semoga hanya Engkaulah harta kekayaan kami. Amen

PJSDB

Thursday, June 21, 2012

Renungan 21 Juni 2012

St. Aloysius Gonzaga
Sir 48: 1-14
Mzm 97:1-2.3-4.5-6.7
Mat 6:7-15
Mengampuni berarti melupakan!
Hari ini seluruh Gereja katolik merayakan pesta Santo Aloysius Gonzaga (1568 – 1591). Dia dihormati sebagai pelindung kemurnian kaum muda katolik yang dilambangkan dengan seorang frater dan bunga lili (bakung).
Aloysius adalah putra sulung keluarga Castiglione. Ibunya memandang dia sebagai karunia istimewa Tuhan, sehingga ia membesarkan Aloysius dengan penuh perhatian dan bijaksana. Ibunya memiliki harapan bahwa kelak Aloysius dapat menjadi seorang imam. Ia pun mendidiknya dengan baik. Meskipun masih anak kecil, ia sudah bisa mengucapkan dengan penuh kepercayaan seruan ini: “Dalam nama Yesus dan Maria”. Ayahnya adalah komandan pasukan pada waktu pemerintahan Raja Philip II. Ia berharap bahwa kelak Aloysius dapat menjadi tentara yang perkasa. Namun demikian, Aloysius tidak menyukai para militer. Baginya, mereka represif!  Ketika berusia 9 (sembilan) tahun, ia berjanji akan tetap mempertahankan kemurnian hidupnya. Apa yang ia lakukan? Ia berusaha supaya dirinya terhindar dari godaan-godaan yang menyesatkan, ia selalu mengalihkan pandangan ke tempat lain ketika berpapasan dengan perempuan.
Ia menerima komuni pertama dari tangan Santo Karolus Boromeus. Pada usia 16 (enam belas) tahun, Aloysius memutuskan untuk masuk Serikat Yesus, tetapi ia ditolak dengan alasan masih terlalu muda. Pada usia 18 (delapan belas) tahun, ia berhasil masuk kolese Serikat Yesus di Roma. Ketika tiba di komunitas, Aloysius membisikkan kata-kata ini: “Di sinilah tempat ketenanganku, di sinilah aku ingin menetap!”. Ia sangat tekun berdoa, matiraga dan bersikap rendah hati. Dua tahun kemudian ia mengucapkan kaul dan belajar teologi. Pada tahun 1587 di kota Milan, ia aktif membantu di rumah sakit yang dibuka oleh para Jesuit untuk membantu orang-orang yang terkena wabah penyakit pes. Ia terus bekerja tanpa kenal lelah membantu para korban tanpa memperhatikan kesehatan dirinya sendiri sehingga akhirnya pun ia terjangkit penyakit itu. Pada usia 23 (dua puluh tiga) tahun, setelah menerima pemberkatan terakhir dari St Robertus Bellarminus, Aloysius pun meninggal dunia. Kata-kata terakhir yang diucapkannya adalah “Dalam nama Yesus dan Maria”. Ucapan yang sama ketika ia mulai bisa berbicara pertama kali.
Dari sekelumit riwayat Santo Aloysius ini kita belajar salah satu kebajikan yang ditunjukkan sebagai hasil didikan dari ibundanya yaitu semangat doa. Doanya pun singkat: “Dalam nama Yesus dan Maria”. Doa ini singkat namun sangat populer di dalam gereja di kemudian hari untuk memuji nama Tuhan Yesus, Maria dan Yoseph.
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini mengajar para murid untuk berdoa. Memang para muridNya sering melihat Yesus berdoa, apalagi mereka adalah mantan murid Yohanes Pembaptis dan tahu bahwa Yohanes mengajar mereka berdoa. Yesus berkata, “Bila kalian berdoa janganlah bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah...Bapamu tahu apa yang kalian perlukan, sebelum kamu meminta kepadaNya.” Tentu saja Yesus mengharapkan agar para muridNya dapat berdoa bukan dengan kata-kata yang panjang tetapi dengan penuh penyerahan diri, pasrah pada Bapa di Surga.  Bapa sayang anak-anakNya dan Dia tahu serta peduli dengan anak-anakNya. Itu sebabnya Yesus mengajar “Bapa kami” sebagai model doa yang tepat.
Doa Bapa kami memiliki tujuh intensi yaitu: Dimuliakanlah namaMu, Datanglah KerajaanMu, Jadilah kehendakmu di atas bumi seperti di dalam surga, Berilah kami makanan kami yang secukupnya, Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami, Jangan membawa kami ke dalam pencobaan, Bebaskanlah kami dari yang jahat. Ini tujuh intensi yang sempurna dari doa Bapa Kami. Setelah selesai mengajar doa Bapa kami, Yesus masih mengingatkan mereka bahwa doa-doa itu menjadi sempurna kalau setiap pribadi mewujudkan cinta kasih satu sama lain dalam suasana saling mengampuni. 
Doa memiliki kekuatan untuk mengubah hidup orang lain. Apabila kita mendalami doa Bapa kami, doa ini tidak hanya berdampak pada transformasi hidup rohani kita secara pribadi tetapi dengan sendirinya transformasi hidup rohani kita akan mempengaruhi hidup pribadi sesama. Nabi Elia adalah orang yang setia di hadapan Yahwe. Dia sungguh-sungguh memiliki kharisma yang dapat mengubah hidup orang lain. Ahab misalnya, dapat menyesali dosanya karena membunuh Nabot berkat teguran Tuhan melalui Nabi Elia. Elisa bukan hanya mendapat mantel nabi Elia, tetapi roh Elia pun diterima Elisa. Elia menghadirkan Allah di dalam hidup umat kesayanganNya. Itu sebabnya ia layak diangkat oleh Tuhan dengan jiwa dan raganya.
Sabda Tuhan hari ini membantu kita untuk lebih bersemangat lagi dalam hidup doa. Mungkin saja selama ini kita berdoa tetapi masih dengan penuh perhitungan-perhitungan misalnya kalimatnya harus bagus dan indah. Ternyata Tuhan menghendaki doa yang sederhana tetapi intensinya jelas seperti doa Bapa kami. Mungkin juga selama ini kita sudah puas dengan doa-doa kita terutama setelah dikabulkan Tuhan. Kita berhenti sejenak dan ketika perlu baru kita berdoa lagi. Berdoalah tanpa henti! Katakanlah secara sederhana isi hatimu. Bapa di Surga pasti mendengarnya.


Kita juga diingatkan untuk saling mengampuni. Kalau kita saling mengampuni maka Tuhan juga mengampuni kita. Bagaimana dapat mengampuni sesama? Dalam bahasa Inggris dikenal istilah: "To forgive means to forget". Mengampuni yang benar berarti melupakan. Tuhan mengampuni kita dengan melupakan dosa-dosa kita. Kita juga dapat mengampuni kalau kita berusaha melupakan dosa-dosa yang dibuat oleh sesama kepada kita. Apakah anda dan saya dapat "mengampuni dengan melupakan" dosa dan salah sesama kita? Cobalah, Tuhan pasti menggenapinya dalam hidup ini.
Doa: Bapa kami yang ada di surga, terima kasih karena Engkau mengasihi kami. Amen
PJSDB

Wednesday, June 20, 2012

Renungan 20 Juni 2012

Hari Rabu Pekan Biasa XI
2Raj 2:1.6-14
Mzm 31: 20.21.24
Mat 6: 1-6.16-18
Jangan bersikap munafik!

Kita semua mengenal kata munafik. Dari segi etimologinya, kata munafik berasal dari bahasa Arab “munafik”. Kata ini memiliki banyak pengertian yaitu: Pribadi yang bermuka dua; orang yang perkataannya berbeda dengan isi hatinya; orang yang suka berbohong; orang yang berpura-pura percaya atau setia kepada agama tetapi di hatinya tidak; orang yang mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. 
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru kata munafik diterjemahkan dari kata “hupokrithes” dan disebutkan sebanyak 20 kali. Kata ini dikenal dalam bahasa Inggris hypocrite. Dalam Bahasa Yunani, kata ini secara harafiah berarti orang yang suka bermain drama. Di dalam Kitab Perjanjian Lama Septuaginta, kata ini hanya dipakai 2 kali yakni “kanef” yang berarti tidak bertuhan. Di dalam Kitab Perjanjian Baru kata munafik sering diidentikan dengan kaum Farisi. Mereka buta terhadap kesalahan sendiri (Mat 7:5). Buta terhadap pekerjaan Tuhan (Luk 12:56). Buta akan nilai-nilai yang benar (Luk 13:15). Terlalu menilai kebiasaan manusiawi secara berlebihan (Mat 23: 14-15.25.29). Mereka suka mempertontonkan dirinya (Mat 6:2). Tuhan Yesus mengenal isi hati mereka dan mengatakan bahwa mereka adalah orang munafik (Mat 23:27-28).
Bagaimana dengan hidup sebagai pengikut Kristus? Ada tiga hal penting yang diminta oleh Yesus untuk dilaksanakan dengan benar di hadapanNya yakni memberi sedekah, berdoa dan berpuasa. Ketiga hal ini adalah bentuk penghayatan iman kristiani yang benar dan layak di hadapan Tuhan Allah. Untuk lebih jelas, perhatikanlah perkataan Yesus ini: “Hati-hatilah, jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di depan orang supaya dilihat. Kalau memberi sedekah, janganlah mencanangkan hal itu seperti orang-orang munafik di rumah ibadat dan di lorong-lorong supaya dipuji orang. Hendaknya tangan kirimu tidak mengetahui apa yang dibuat tangan kananmu. Kalau kalian berdoa jangan seperti orang munafik tetapi masuklah ke dalam kamar, tutup pintu dan berdoalah. Kalau berpuasa jangan muram mukamu seperti orang munafik, tetapi minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu.” Motivasi yang mendasari ketiga penghayatan iman kristiani ini adalah cinta kasih kepada Allah dan sesama manusia.
Memberi sedekah bukan hanya sekedar materi yang diberikan kepada sesama. Dalam pemahaman yang lebih luas sedekah (alms) juga berarti berlaku adil terutama dalam berbagi dengan sesama manusia. Sikap adil itu dicontohkan dengan cara memberi supaya tangan kiri jangan mengetahui apa yang diberikan tangan kanan. Dengan bahasa yang sederhana, memberi sedekah berarti tidak melakukan perhitungan-perhitungan ketika menolong seseorang. Doa yang ditekankan di sini oleh Yesus lebih berhubungan dengan doa pribadi. Doa pribadi membuat orang bersatu, intim dengan Tuhan. Puasa merupakan upaya matiraga untuk menyelaraskan amal kasih dan doa. Bagaimana orang dapat beramal dan berdoa kalau ia tidak dapat bermatiraga atau menguasai dirinya (puasa). Ketiga hal ini merupakan pekerjaan-pekerjaan baik yang membuat banyak orang dapat memuliakan Tuhan. Tentu saja dilakukan dengan tulus bukan dengan kemunafikan.
Sebagai ganti kemunafikan, kita belajar kesetiaan. Kisah Elisa yang mengikuti Elia dalam bacaan pertama, menginspirasikan kita nilai luhur kesetiaan. Elisa meminta yang terbaik dari Elia yaitu rohnya sebagai nabi atau utusan Tuhan. Dengan demikian Elisa mengikuti Nabi Elia sebagai utusan Tuhan. Elia boleh naik ke Surga tetapi Elisa tetap melanjutkan semangatnya. Hal penting yang kiranya perlu kita lakukan dalam hidup adalah kharisma dan keteladanan. Sebagaimana Elia memiliki kharisma istimewa dan keteladanan yang baik membuat Elisa terpesona dan mengikutinya. Hal yang sama selalu terjadi di dalam Gereja. Setiap pribadi memilih nama Baptis yakni nama seorang kudus yang dijadikan model hidup yang tepat.
Sabda Tuhan hari ini mengundang kita untuk bertumbuh melalui perbuatan-perbuatan baik sehingga nama Tuhan tetap dimuliakan. Pertumbuhan itu ditandai dengan sikap saling berbagi dalam karya amal kasih dengan orang miskin, dengan doa yang tulus di hadirat Tuhan dan puasa sebagai upaya matiraga  yang membuat kita menguasai diri kita dengan baik sehingga dapat beramal dan berdoa. Kita patut bersyukur kepada Tuhan karena Ia senantiasa mengingatkan kita untuk bertumbuh dalam iman. Pesan istimewa bagi kita  adalah menjadi orang yang setia, dan jangan bersikap munafik di hadiratNya. 
Doa: Tuhan, semoga kami setia dalam hidup sebagai pengikutMu.
PJSDB