Friday, August 31, 2012

Parenting ala Yesus

Merenungkan: Mat 25:1-13

Anak bijaksana dan anak bodoh

Hari ini Yesus memberi perumpamaan tentang Kerajaan Surga dan urgensinya. Hal Kerajaan Surga seumpama sepuluh gadis yang mengambil pelita dan pergi menyongsong pengantin. Lima gadis dikatakan bodoh karena membawa pelita tanpa minyak dalam bulih-buih. Lima gadis yang lainnya membawa pelita dan minyak di dalam bulih-bulih. Karena lama menunggu maka mereka mulai malas dan tidur. Pada tengah malam pengantin datang. Para gadis bijak menyiapkan pelita dan minyak maka pelitanya tetap terang. Para gadis bodoh menyalahkan pelita dan tidak tahan lama, cepat padam dan mati. Para gadis bodoh berusaha: coba meminta bantuan pada kelima teman yang lain tapi tak direstui. Mereka pergi membelinya tetapi ketika kembali sudah terlambat dan pintu pun sudah ditutup. Tuan rumah tidak mengenal para gadis yang bodoh karena kelambanan mereka.

Kisah ini kelihatan sederhana tetapi menarik perhatian kita. Kerajaan Allah itu ibarat sebuah keluarga di mana ada anak-anak yang bijaksana dan ada juga yang bodoh. Anak-anak di dalam keluarga kebanyakan dikelompokkan atas dua bagian besar. Ada anak-anak yang rajin, tekun dan berhasil secara akademis. Mereka ini disebut anak-anak pintar. Ada juga anak-anak yang kalau belajar mandiri, perlu membaca sampai sepuluh kali baru mengerti. Anak-anak ini kadang-kadang disebut anak-anak bodoh atau anak-anak yang terbatas daya ingatnya. Situasi anak-anak secara akademis ini kadang-kadang membuat orang tua kurang menyadarinya. Orang tua menuntut supaya anak harus punya nilai yang tinggi, dan itu berarti anaknya hebat. Tuntutan-tuntutan yang berlebihan kadang membuat anak seakan-akan pincang dalam pertumbuhan secara intelektual. Anak-anak yang masih usia dini sudah dipaksa masuk kumon dan kalau sudah menghafal matematika maka dikatakan anak itu sudah hebat. Padahal anak-anak memiliki tahapan perkembangan yang jelas secara psikologis.

Sikap Yesus yang ditonjolkan di sini adalah Ia melihat jati diri anak-anak. Bahwa ada yang bijaksana atau tidak bijaksana alias bodoh itu adalah anugerah bagi setiap pribadi. Namun kemampuan setiap pribadi kalau dilatih maka akan berkembang dan mencapai ketajaman pada level tertentu. Tuhan tentu tidak akan membiarkan anak-anaknya tidak berkembang, Ia pasti membuka jalan supaya anak-anak juga bertumbuh menjadi bijaksana. Mari kita syukuri anugerah Tuhan bagi setiap pribadi. 

Lalu apa yang harus kita lakukan? 

Hai para orang tua, hargailah anak-anakmu. Jangan pernah berkata kepada anak-anakmu: “Kamu bodoh, bego, bloon”. Katakanlah sekarang ini, “Kamu pintar, hebat dan pasti bisa melakukannya!” Ketika mengeluarkan kata-kata seperti ini dapat membuat anak-anak menjadi kurang percaya diri. Hilangkan kebiasaan membandingkan anak-anak sebagai kakak beradik atau dengan orang lain. Anak-anak tetaplah anak-anak yang sedang berkembang. Bangunlah keterbukaan satu sama lain. Sebenarnya teman curhat pertama seorang anak adalah orang tuanya. Apabila orang tua bisa punya waktu untuk duduk bersama maka betapa anak-anak merasakan kehadiran orang tua dan tidak akan kehilangan figur ayah dan ibu. Anda tetaplah orang tua yang hebat!

PJSDB

Renungan 31 Agustus 2012

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXI
1Kor 1:17-25
Mzm 33:1-2.4-5.10ab.11
Mat 25:1-13

Salib adalah kekuatan dari Allah!

Menunggu itu suatu pekerjaan yang berat. Orang harus memiliki sikap rela berkorban. Orang mengorbankan waktu, pekerjaan untuk menunggu kedatangan pribadi atau orang yang ditunggu atau menunggu kendaraan untuk bepergian. Coba pikirkan saat menunggu kedatangan seorang sahabat. Dia terlambat karena kemacetan lalu lintas tetapi tidak menelpon atau mengirim pesan singkat. Tentu ada perasaan resah, kesal dan perasaan lainnya dan kadang orang tidak sabar menunggu. Ini memang sangat manusiawi tetapi sungguh terjadi. Atau coba pikirkan saat-saat melelahkan ketika menunggu penerbangan yang delay di airport. Apabila pesawat tersebut menginformasikan terlebih dahulu delay-nya maka orang kelihatan lebih siap untuk menerima kenyataan, tetapi kalau lambat apalagi pada menit terakhir pramugari baru meminta maaf karena “alasan operasional” maka biasanya menimbulkan sungut-sungut dan marah. Orang dapat saja menjadi bijakasana dan boleh mengerti keadaan atau orang dapat juga menjadi bodoh dan tidak mau kompromi dengan keadaan.

Semangat sebagai orang yang menanti kedatangan seseorang atau kendaraan tertentu hendaklah selalu dan harus dimiliki oleh setiap orang. Penginjil Matius memberi kesaksian: Yesus sungguh-sungguh menyiapkan para muridNya untuk mengerti dan memiliki semangat menanti setiap saat. Yesus mengingatkan para muridNya untuk berjaga-jaga atau bersiap siaga menanti kedatangan Anak Manusia. Ia memberi perumpamaan supaya orang selalu bijaksana dalam menanti kedatangan Tuhan.

Yesus menceritakan sebuah perumpamaan ini. Hal Kerajaan Surga itu seumpama sepuluh gadis yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong pengantin. Ada lima gadis yang bijaksana dan lima yang lainnya bodoh. Gadis-gadis yang bijaksana membawa pelita dan minyak sedangkan gadis-gadis bodoh hanya membawa pelita tanpa minyak di dalam buli-bulinya. Pengantin terlalu lama di tempat pesta dan tidak diketahui kapan tepatnya ia kembali ke rumah sehingga kesepuluh gadis itu tertidur. Sambil menikmati istirahat malam, terdengarlah suara berseru, “Pengantin datang dan sambutlah dia”. Kesepuluh gadis itu terbangun. Lima gadis bijaksana menyalakan pelita sedangkan kelima gadis bodoh dan sudah ketiduran menyalakan pelita tetapi sia-sia karena tanpa minyak. Mereka meminta kepada kelima rekan yang bijaksana tetapi tidak diberikan, mereka keluar dan membelinya tetapi terlambat dan pintu rumah ditutup. Tuan rumah berkata kepada gadis-gadis yang bodoh, “Sungguh, aku berkata kepadamu, aku tidak mengenal kalian”. 

Hal kedatangan Anak Manusia untuk mengadili orang yang hidup dan mati pada akhir zaman tidak diketahui dengan pasti. Oleh karena itu orang harus berjaga-jaga, bersiap siaga dan bijaksana di dalam hidupnya. Setiap orang hendaknya bijaksana dan pelitanya hendaknya tetap menyala. Setiap orang mesti setia dalam hidupnya artinya ia hidup bijaksana. Orang yang tidak setia dalam hidupnya, ia juga tentu tidak bijaksana atau bodoh. Dua kriteria ini sebelumnya juga digunakan Yesus ketika menutup diskursusnya di atas bukit Sabda Bahagia (Mat 7:24-27). Orang yang bijaksana adalah orang yang mendengar Sabda dan melakukannya di dalam hidup. Orang bodoh atau tidak bijaksana adalah orang yang mendengar Sabda tetapi tidak melakukannya di dalam hidup. Orang yang bijaksana akan selalu siap dengan pelita yang menyala dan Tuhan akan berkata kepadanya, “Aku mengenal engkau”. Sedangkan orang yang bodoh akan tetap dalam kegelapan dan Tuhan akan berkata kepadanya, “Aku tidak mengenal engkau”. 

Apa yang harus dilakukan supaya dalam masa penantian ini orang tetap hidup bijaksana atau hidup dalam terang? Ada satu syarat yang diberikan oleh Paulus dalam bacaan pertama yaitu supaya setiap orang terbuka hatinya untuk menerima Yesus di dalam hidupnya. Paulus mengakui bahwa dirinya diutus bukan untuk membaptis melainkan untuk mewartakan Injil. Yesus yang diwartakan dalam Injil adalah Dia yang tersalib. Salib adalah kebodohan bagi mereka yang merasa bijaksana secara manusiawi dan akan binasa tetapi bagi orang yang dianggap bodoh oleh manusia, salib adalah kekuatan Allah. Maka hal yang terpenting di sini adalah orang perlu memiliki kebijaksanaan dari Tuhan bukan dari manusia.  Orang yang bijaksana dari Tuhan akan merendahkan dirinya dan siap memikul salib seperti Yesus sendiri. Orang yang bijaksana dari dirinya sebagai manusia, dia akan menyombongkan dirinya dan tidak akan menerima salib.   

Pertanyaan selanjutnya adalah apa makna salib bagi para pengikut Kristus? Salib bukan hanya sebuah simbol berupa palang kayu yang kasar. Salib adalah segala duka dan kecemasan, segala penderitaan yang dialami setiap pribadi supaya pribadi lain menjadi bahagia. Orang yang bijaksana adalah orang yang siap memikul salib, menderita dan berkorban supaya sesamana menjadi baik dan bahagia. Misalnya, salib seorang isteri adalah segala pengorbanan dirinya, doa-doa, rasa malunya supaya suaminya dapat bertobat. Dan kalau suaminya bertobat maka salib itu sungguh-sungguh agung. Salib bagi seorang suami adalah segala pengorbanannya bekerja dan mencari uang sehingga anaknya yang malas dan nilainya merah berubah menjadi rajin dan memiliki nilai yang bagus. Salib bagi anak-anak adalah semua pengurbanan diri supaya orang tua mereka tetap setia di dalam menghayati sakramen perkawinan mereka. Yesus berkata, “Barangsiapa mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal diri dan memikul salibnya hari demi hari.” (Mat 16:24). Apakah anda dan saya siap memikul salib sebagai kekuatan dari Allah?

Doa: Tuhan, semoga aku mampu memikul salibku. Amen

PJSDB

Thursday, August 30, 2012

Renungan 30 Agustus 2012

Hari Kamis, Pekan Biasa ke –XXI
1Kor 1:1-9
Mzm 145: 2-3.4-5.7-7
Mat 24:42-51

Tuhan tetap setia selamanya!

Berita mengejutkan. Seorang sahabat saya mendadak meninggal dunia. Sehari sebelumnya kami masih berdiskusi tentang iman katolik. Dia sempat bertanya kepadaku tentang apa makna rohani doa salam Maria, “Doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati”. Saya berusaha menjelaskannya dengan mengutip ayat-ayat Kitab Suci dan penjelasan-penjelasan teologis lainnya. Dia kelihatan sangat serius mendengar penjelasan saya. Pada akhirnya ia berkata kepadaku, “Bunda Maria itu baik, dia selalu mendoakan hidup dan kematian kita. Saya yakin dia melakukannya untuk aku juga”. Saya hanya sekedar mendengar dan tidak berpikir tentang apa yang akan terjadi bagi dirinya. Hari berikutnya, saya diminta untuk merayakan misa requiem karena beliau kemungkinan meninggal pada pagi hari tetapi tidak diketahui oleh semua anggota keluarga.”

Yesus dari Injil hari ini mengajak para muridNya untuk berjaga-jaga karena mereka tidak tahu pada hari mana Tuhan datang. Tuhan yang punya kuasa memberi kehidupan, Dia juga yang punya kuasa mengambil kehidupan. Itu sebabnya sikap bathin yang harus dibentuk adalah selalu berjaga-jaga atau selalu siap siaga karena “Anak Manusia datang pada saat yang tidak diduga”. Apakah dengan berjaga-jaga berarti orang harus berhenti bekerja? Jawabannya adalah orang harus tetap bekerja. Lakukanlah pekerjaan-pekerjaan setiap hari dan berlakulah sebagai hamba yang setia. Hamba yang setia melakukan pekerjaannya dengan setia meskipun tanpa diawasi oleh tuannya. Hamba yang jahat akan berlaku malas dan bertindak tidak manusiawi terhadap sesama yang lain. Singkatnya, para pengikut Kristus sambil bekerja setiap hari sebagai hamba-hamba yang setia, mereka juga siap siaga menanti datangnya Tuhan di masa depannya.

Untuk lebih jelas, Yesus memberi perumpamaan tentang para hamba yang ditentukan untuk menjaga dan mengawasi segala milik tuannya. Yesus meskipun Allah, rela menjadi manusia dalam peristiwa inkarnasi, mengambil rupa sebagai hamba supaya setiap pribadi manusia dapat memiliki martabat sebagai anak-anak Allah. Setiap orang dipanggil untuk bersatu dengan Tuhan karena penebusan yang berlimpah dariNya. Yesus sendiri datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, artinya Ia menjadi seorang hamba yang setia. Yesus juga memiliki harapan yang sama kepada setiap pribadi untuk menjadi hamba atau abdi Tuhan yang setia.

Apa yang harus kita lakukan sambil berjaga-jaga atau bersiap siaga? 

Paulus dalam bacaan pertama merumuskan kita-kiat untuk menanti datangnya Tuhan. Pertama, Seperti Paulus, orang perlu merasa bahwa karena kehendak Allah maka mereka dapat menjadi rasul atau utusan Tuhan. Tugas para utusan atau Rasul adalah mewartakan kasih dan pengampunan Tuhan yang berlimpah-limpah kepada semua orang. Kedua, semangat mengabdi. Hamba yang setia adalah seumpama seorang rasuk yang ikut mewartakan kasih dan pengampunan Tuhan. Ketiga, Kekudusan. Bagi Paulus, orang-orang Korintus juga dipanggil juga kepada kekudusan. Kekudusan yang diperoleh karena jasa Yesus Kristus. Tuhan Bapa di Surga sendiri memiliki kasih yang besar bagi manusia dan kasihNya itu selalu menyertai setiap pribadi. Oleh karena kita merasakan kasih dan kebaikan Tuhan dalam hidup ini maka setiap pribadi juga diharapkan untuk selalu bersyukur di dalam hidupnya. Keempat, Syukur. Rasa syukur kepada Tuhan Yesus karena di dalam diriNya kita menjadi kaya dalam segala hal, baik perkataan maupun pengetahuan. Tuhan Yesus juga akan meneguhkan kita sampai kepada kesudahan karena Dia setia.

Sabda Tuhan hari ini membuat kita semakin sadar akan kasih Tuhan dan mensyukurinya. Oleh karena itu kita perlu membangun semangat selalu siap sedia menanti kedatangan Tuhan, dengan semua tindakan yang baik dan penuh semangat mengabdi. Dengan mencintai semua pekerjaan setiap hari maka turut mendukung jalan kekudusan kita. Tuhan itu setia selamanya, meskipun kita sendiri tidak setia kepadaNya. Apakah anda dan saya dapat menjadi hamba atau abdi yang setia di dalam hidup di hadirat Tuhan? 

Doa: Tuhan, jadikanlah kami abdi-abdiMu yang setia. Amen

PJSDB

Wednesday, August 29, 2012

Renungan 29 Agustus 2012

Kemartiran Yohanes Pembaptis
Yer 1:17-19
Mzm 71: 1-4a.5-6b.15ab.17
Mrk 6:17-29

Apakah perbuatan dosa dan salah sudah berlabel halal?

Yohanes Pembaptis adalah pribadi yang unik. Dia dikenal sebagai pembuka jalan bagi kedatangan Mesias dengan pembaptisan dan seruan tobat. Banyak orang mendengarnya dan minta diri untuk dibaptis. Cara hidupnya yang sederhana juga membuat banyak orang berubah dan hidup layak di hadirat Tuhan. Dia membawa murid-muridNya dan memperkenalkan mereka kepada Yesus dengan seruan, “Lihatlah Anak Domba Allah” (Yoh 1:29.36) dan para muridnya pun meninggalkannya dan mengikuti Yesus. Pokoknya sesuai misinya, segala sesuatu yang dia lakukan selalu berpusat pada Yesus. Itu sebabnya Yesus mengatakan bahwa Yohanes adalah “pribadi terbesar yang lahir dari rahim seorang wanita” (Mat 11:11).

Kisah tentang kemartiran Yohanes yang akan kita dengar dalam injil hari ini (Mrk 6: 17-19) terjadi di benteng Makherontes, sebuah tempat peristirahatan milik Herodes di dekat laut mati. Yesus mendengar bahwa Yohanes dipenggal kepalanya melalui para murid Yohanes termasuk Yohanes dan Andreas muridNya. Yohanes Pembaptis adalah pribadi yang hebat, Ia memiliki keinginan yang besar, “Sukacitaku menjadi penuh saat ini, dia harus semakin besar dan aku semakin kecil” (Yoh 3:29-30). Secara liturgis, pesta hari ini disesuaikan dengan pembangunan gereja St. Yohanes Pembaptis di Sebaste, Samaria. Yohanes menjadi martir karena memperjuangkan nilai-nilai Mesianis dalam pewartaannya. 

Sebuah pertanyaan yang muncul, mengapa Yohanes berani mewartakan nilai-nilai Mesianis kepada banyak orang saat itu? Yohanes berani karena ia melaksanakan panggilan dan perutusannya sebagai pembuka jalan bagi sang Mesias. Nilai-nilai moral dan religius tidak hanya menjadi slogan tetapi memiliki nilai luhur sehingga perlu ditegakkan. Masalah yang membuat Herodes dan Herodias luka bathin terhadap Yohanes adalah teguran Yohanes kepada Herodes yang merebut isteri saudaranya Filipus dan menjadikannya sebagai isteri. Tentu hal ini sangat memalukan. Sebagai leader atau public figure, seharusnya nilai-nilai etika dan moral ini ditegakkan. Apabila tidak ditegakkan maka akan ada krisis kepercayaan kepada mereka sebagai pemimpin. Setelah Yohanes menegur Herodes, tentu ia sangat marah dan hendak membunuh Yohanes. Hanya saja, Herodes segan dengan Yohanes karena ia adalah figur yang disegani banyak orang.

Upaya membunuh Yohanes pun berhasil ketika merayakan ulang tahun Herodes. Dalam pesta itu putri Herodias menari dan menyukakan hati Herodes, para tamu dan undangan. Di hadapan para tamu dan undangan Herodes berjanji akan memberi apa saja, termasuk setengah dari kerajaan kepada anak perempuan itu. Anak perempuan itu langsung menanyakan permintaan kepada ibunya Herodias dan ia menjawab, “Mintalah kepala Yohanes Pembaptis dalam sebuah talam”. Herodes meskipun segan tetapi karena janji dan gengsi maka ia mematuhi janjinya. Yohanes dipenggal kepalanya di benteng Makherontes. Jenasanya dikuburkan secara manusiwi oleh para muridnya.

Apa kiranya nilai-nilai luhur Yohanes Pembaptis bagi kita? Dia adalah pribadi yang jujur dan berani menegakkan kebenaran sejati. Perjuangan Yohanes Pembaptis adalah supaya semua orang boleh layak menerima kehadiran Yesus, sang Mesias sebagai manusia baru karena pertobatan. Namun demikian perjuangan Yohanes kandas di penjara karena kejujuran dan  usahanya untuk menegakkan kebenaran. Yohanes menjadi inspirator bagi banyak pribadi yang bekerja keras memperjuangkan kebenaran dan keadilan. “Kalau ya, katakan ya, kalau tidak katakan tidak” (Mat 5:37). Ini adalah tantangan bagi kita semua. Siapakah pengikut Kristus yang berani seperti Yohanes? Ketika berhadapan dengan pemerintah yang mengalami degradasi moral, digerogoti korupsi, kolusi dan nepotisme maka terkadang para pengikut Kristus sadar atau tidak sadar mengikuti arus ini demi kenyamanan. Suara hati boleh mengatakan perbuatan dosa dan salah tetapi demi kenyamanan maka dosa juga menjadi tidak dosa.

Kiranya merayakan pesta kemartirannya, banyak orang menjadi sadar untuk kembali ke jalan kejujuran. Yesus berkata dalam Injil, “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.” (Mat 22:21)Apakah ada pengikut Kristus yang bisa berubah karena gaya hidup Yohanes terutama dalam hubungan dengan pelayanan publik? Atau karena menemukan zona (comfort zone) nyaman dan tidak mau beranjak ke zona keberanian (courage zone). Semoga suara hati kembali jernih dan spirit Yohanes bertumbuh kembali di dalam hati setiap pengikut Kristus.

Doa: Tuhan, semoga darah Yohanes Pembaptis membuat kami menjadi pribadi yang jujur dan tulus. Amen

PJSDB

Tuesday, August 28, 2012

Renungan 28 Agustus 2012

St. Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja
2Tes 2:1-3a.13b-17
Mzm 96:10-13
Matius 23:23-26

Terlambat aku mencintai Engkau

Santo Agustinus lahir di Tagaste, Afrika tahun 354. Ia mencari kebenaran sejati setelah hidup dalam kegelapan dan akhirnya ia mengambil keputusan yang tepat untuk menerima Yesus di dalam hidupnya. Ia dibaptis oleh St. Ambrosius yang saat itu menjadi uskup di Milano. Setelah dibaptis, Agustinus kembali ke Afrika dan memulai hidup askesis. Ia diangkat menjadi Uskup di Hippo dan menjabat selama 34 tahun sebagai gembala, ia mengajar mereka dengan tulisan dan homili-homilinya. Ia juga menentang ajaran-ajaran sesat yang mengancam Gereja. Pada tahun 430, ia meninggal dunia.

Agustinus dikenal di dalam Gereja sebagai orang kudus yang penuh perjuangan. Ia mengawali hidupnya dengan pengalaman duniawi yang menyesatkan. Ibunya, St. Monika membantunya dengan kasih sebagai seorang ibu namun butuh proses yang lama. Ia mengakui di dalam bukunya yang terkenal “Pengakuan” bahwa ia terlambat mencintai Tuhan. Pertobatan Agustinus merupakan model pertobatan radikal mirip dengan pertobatan St.Paulus di dalam Kisah Para Rasul. Artinya, sekali ia memilih dan mengikuti Kristus maka itu berlaku selama-lamanya. 

Kita kembali ke bacaan-bacaan liturgi kita pada hari ini. Penginjil Matius melanjutkan kisah tentang kecaman-kecaman yang dibuat oleh Yesus terhadap para ahli Taurat dan kaum Farisi di bab ke-23 ini. Untuk memahami perikop kita hari ini, saya coba mengingatkan kita semua agar sebaiknya kita memahaminya secara global. Hal pertama yang kiranya perlu dikoreksi Yesus adalah kemunafikan kedua kelompok  Yahudi  yang menduduki “Kursi Musa”. Mereka mengklaim diri sebagai rabi, bapa dan pemimpin. Ya, harus diakui bahwa pengajaran mereka sangat bagus karena berdasarkan Taurat Musa tetapi perbuatan-perbuatan mereka jauh dari Wajah Tuhan. Oleh karena itu Yesus membuka pikiran para muridNya untuk tidak berlaku demikian. Mereka dianjurkan Yesus untuk mengikuti pengajaran mereka dan bukan perbuatan mereka. Para murid juga diharapkan untuk menjadi pelayan yang baik dan rendah hati (23:1-12). 

Setelah menghimbau para muridNya, Yesus melanjutkan dengan kecaman-kecaman terhadap para ahli Taurat dan kaum Farisi. Kecaman-kecaman ini dapat kita baca pada 23:13-36. Ada tujuh kecaman yang diucapkan Yesus yaitu:

  1. Ayat 13 
  2. Ayat 15
  3. Ayat 16-22
  4. Ayat 23-24
  5. Ayat 25-26
  6. Ayat 27-28
  7. Ayat 29-30

Nah, perikop kita hari ini termasuk pada kecaman nomor 4 dan 5.

Untuk kecaman ke-4 pada ayat 23 dan 24, Yesus mengatakan bahwa celaka bagi para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena persepuluhan dibayar tetapi hal utama yaitu keadilan, belas kasihan dan kesetiaan diabaikan. Penghayatan mereka akan hukum Taurat hanya pada level eksternal sedangkan inti terpentingnya tidak dihayati yaitu tiga nilai atau triade moral yakni keadilan (relasi dengan sesama), Belas kasihan (mengikuti kehendak ilahi atau hesed), kesetiaan (berpegang teguh pada janji seperti yang dibuat Tuhan dengan kebenaran (emet) sejati. Kesetiaan (fidelity) juga berhubungan dengan iman kepada Allah. Tentang keadilan, di dalam Kitab Perjanjian Lama, kita dapat menemukannya dalam Amos 5:24; Hosea 4:1-2. Nah, ini boleh juga disebut triade yang meringkasi seluruh hukum Taurat. Ketiga hal ini sangat peting dalam membangun relasi yang baik dengan sesama.

Kecaman ke-5 yaitu pada ayat 25-26. Yesus mengatakan bahwa celaka bagi para ahli Taurat dan kaum Farisi karena mereka membersihkan bagian luar cawan dan pinggan saja. Ini adalah kecaman terhadap kemunafikan mereka yang lebih memprioritaskan urusan lahiria belaka dengan ketakutan bahwa kalau mereka tidak berhati-hati maka mereka akan terkontaminasi dengan hal-hal yang kotor, padahal di dalam hati mereka juga kotor. Jadi di luar diri mereka kelihatan bagus, bersih dan rapi tetapi bagian dalamnya kotor! Mengapa? Karena semua yang mereka makan dan minum juga berupa rampasan dan kerakusan. Jadi bagi Yesus, hal yang terpenting adalah kemurnian hati.

Apa yang harus kita lakukan? Yesus di alam bacaan Injil meminta kita untuk bermetanoia. Ada semangat untuk mengubah kiblat hidup sebagai pengikut Kristus dengan menjaga kemurnian hati kita. Hidup kita akan lebih berarti bukan karena penampilan cashing diri kita tapi yang terpenting adalah jati diri kita. Maka hendaknya hidup kita disokong oleh triade ini: keadilan, belas kasih dan kesetiaan!

St. Paulus dalam bacaan pertama, mengingatkan kita untuk tidak disesatkan oleh orang karena Tuhan Allah telah memilih untuk menyelamatkan kita dalam Roh dan kebenaran. Dengan menerima Injil berarti menerima kemuliaan Yesus Kristus. Dengan menerima Kristus maka diharapkan kita berdiri teguh dan berpegang pada ajaran-ajaran Tuhan serta tradisi tertulis dan lisan dari para rasul. Dengan sikap bathin seperti ini kita boleh layak menanti kedatangan Tuhan dan kemuliaanNya. 

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk bersikap adil terhadap sesama. Amen

PJSDB

Monday, August 27, 2012

Parenting ala Yesus

Meditasi  Luk 7: 11-17

Berbelas kasih seperti Yesus

Penginjil Lukas mengisahkan bahwa Yesus bersama para muridNya melakukan suatu perjalanan ke kota Nain. Ketika itu ada seorang janda barusan kehilangan putera tunggalnya dan sedang dibawa ke kuburan. Melihat janda itu, Yesus tergerak hati oleh belas kasihan dan mengatakan kepada ibu itu, “Jangan menangis”. Yesus mendekati usungan dan membangkitkan anak itu. Anak itu bangkit dan Ia menyerahkannya kepada ibunya. Tanda heran ini cepat tersiar dan mereka berkata, “Seorang nabi besar telah muncul di tengah kita. Allah telah melawat umatNya”.

Ada beberapa unsur penting dalam kisah ini:

Pertama, Yesus berjalan bersama para muridNya. Dalam hal parenting, kebersamaan merupakan hal yang amat mahal harganya. Para orangtua zaman ini selalu sibuk dengan pekerjaan, cari duit dan hampir tidak ada waktu untuk bersama dengan anak-anak. Pada pagi hari mereka meninggalkan rumah, malam ketika kembali anak-anak sudah tidur. Demikianlah ritme kehidupan setiap hari. Anak-anak kadang hanya bertumbuh bersama pembantunya. Itu sebabnya kadang dia lebih segan dengan pembantu dari pada dengan orang tua sendiri. Perilakunya juga sangat dipengaruhi oleh pembantu. Misalnya cara berbicara dengan orang tuanya seolah seorang pembantu dengan majikannya.

Kedua, Yesus tergerak hati oleh belas kasih. Yesus memiliki rasa empati dengan umat manusia. Ia tidak hanya merasakan tetapi melakukan dalam perbuatan nyata. Sebagai orang tua rasa tergerak hati dan belas kasih itu sangatlah penting. Ketika seorang anak mengalami kesulitan orang tualah yang seharusnya menjadi orang pertama untuk hadir dalam hidupnya. Masuklah lewat pintu hati anak itu, dan biarlah dia sendiri merasa bahwa dirinya diperhatikan dan dikasihi.

Ketiga, Yesus mendekati ibunya dan mengatakan, “Jangan menangis”. Tugas orangtua adalah selalu menghibur anak ketika mengalami kesulitan atau penderitaan. Janganlah anak dibiarkan menangis sendirian sedangkan orang tua tertawa di atas penderitaan anak sendiri.

Keempat, Yesus menyerahkan anak itu kepada ibunya. Orang tua perlu memiliki sikap membaktikan diri kepada anak. Anak merasakan kehadiran orang tua di dalam hidupnya. Apakah orang tua menyadari penyerahan diri secara total bukan hanya kepada pasangan tetapi juga kepada anak-anaknya?

Seandainya semua orang tua seperti Yesus, maka keluarga-keluarga akan selalu indah dan bahagia. Hai orang tua, kamu pasti bisa!

PJSDB

Renungan 27 Agustus 2012

Peringatan St. Monika
2Tes 1:1-5.11b-12
Mzm 96: 1-2a.2b-3.4-5
Luk 7:11-17

Kamu juga layak bagi panggilanNya!

Hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan peringatan St. Monika, Ibunya St. Agustinus. Monika, seorang ibu yang baik, kelahiran Tagaste, Afrika Utara tahun 331. Kehidupan rohaninya tidak terpisah dari kehidupan sang putera yaitu St. Agustinus. Suaminya bernama Patrisius. Monika memiliki banyak kebajikan sebagai seorang ibu. Ketika berhadapan dengan anaknya yang nakal dan bandel Monika menunjukkan kesabarannya. Dia mengalami juga kesulitan berhadapan dengan Patrisius suaminya yang masih kafir. Monika dicemooh terutama saat berdoa dan mendampingi anaknya Agustinus. Apa yang dilakukan Monika dalam situasi yang sulit? Ia selalu sabar, tekun berdoa dan pada akhirnya anak dan suaminya bertobat dan dibaptis. Keindahan hidup Monika adalah pada salib. Salib adalah semua pengorbanan diri dan penderitaan dengan tujuan supaya sesama dapat berubah menjadi baik. Salib bagi Monika adalah pengalaman kegelapan Agustinus anaknya dan Patrisius suaminya. Salibnya bermakna ketika anak dan suaminya bertobat. Ia meninggal dunia pada tahun 387. Dalam "Pengakuan"-nya, Agustinus menyapa ibunya sebagai wanita yang berjiwa bahagia dan kudus.

Pengalaman rohani St. Monika adalah pengalaman yang heroik. Dalam bacaan Injil, Penginjil Lukas juga menunjukkan sikap heroik seorang janda yang kehilangan putera tunggalnya. Janda tersebut adalah orang baik sehingga banyak orang datang dan meneguhkan sekaligus menghiburnya. Tentu dia juga memiliki relasi yang akrab dengan Tuhan sehingga ketika Yesus melihatnya, Ia cepat tergugah hati oleh belaskasih. Tuhan Yesus pun menghampirinya dan meneguhkan dengan kata-kata ini: “Tenanglah, jangan menangis”. Karena iman ibunya maka pemuda dari Nain ini dibangkitkan Yesus: “Hai pemuda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!” Yesus menyerahkan putera yang dibangkitkan itu dan semua orang yang menyaksikan mukjizat ini memuji Allah katanya, “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita dan Allah telah mengnjungi umatNya”. 

Iman seorang janda di Nain dapat membuat Yesus tergugah hati dan berbelas kasih. Belas kasih Tuhan merupakan tanda keberpihakan Tuhan pada orang yang dianggap lemah dan tak berdaya dalam masyarakat. Justeru pada orang seperti ini Tuhan sungguh-sungguh berkarya karena memang orang tersebut mengimani Yesus. Sikap Yesus seperti ini hendaknya menjadi sikap kita terutama ketika berhadapan dengan orang yang sedang mengalami kesulitan, penderitaan bahkan kematian. Opsi kita pada mereka dalam pelayanan kita adalah tanda kita melayani Yesus. Yesus berkata, “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk saudara yang paling hina ini, kalian lakukan untuk Aku” (Mat 25:40).

Santu Paulus dalam bacaan pertama, menulis, “Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu”. Tugas seorang pengikut Kristus bagi Paulus adalah mewartakan kasih karunia Allah kepada sesama dan mengingatkan bahwa Tuhan senantiasa menyertai setiap hidup pribadi. Warta sukacita ini kiranya tepat dengan kehidupan St. Monika yang tak kenal lelah memperkenalkan Yesus kepada anak dan suaminya. Paulus juga bersukacita karena iman jemaat di Tesalonika makin bertambah, cinta kasih juga makin tumbuh subur di dalam jemaat dan mereka juga tabah dalam segala penderitaan. Bagi Paulus, semua hal ini sangat menyenangkan hatinya dan ia mengatakan bahwa nama Tuhan akan dipermuliakan dalam diri mereka dan mereka sebagai jemaat ada di dalam Tuhan.

Sambil merayakan peringatan St. Monika, kita patur bersyukur kepada Tuhan karena Ia selalu memberi model kehidupan melalui para kudus. Santa Monika memberi inspirasi kepada semua ibu yang memiliki beban di dalam keluarga: sulit dalam pendidikan anak-anak dan komunikasi yang tidak positif dengan sang suami. Di dalam kesulitan-kesulitannya, Monika mendapat anugerah istimewa dari Tuhan dengan memenangkan jiwa anak dan suaminya. Maka janga cepat putus asa, kuatkan hatimu karena Tuhan pasti akan menaruh belas kasih ke atasmu.

Yesus juga memberi insipirasi tersendiri bagi kita. Ia begitu terbuka dan menaruh belaskasih kepada janda di Nain. Tentu janda itu sangat menderita karena nyaris kehilangan puteranya tetapi Yesus hadir dan membangkitkannya. Yesus selalu siap untuk memperhatikan orang yang membutuhkan bantuanNya. Sikap Yesus ini mendorong kita untuk memiliki opsi yaitu perhatian kepada kaum miskin dan lemah. Semua orang akan mengagungkan Tuhan ketika martabat kaum kecil diangkat, diperhatikan oleh sesamanya. Terkadang para janda selalu menjadi korban pelecehan verbal dan fisik. Nah, hari ini Tuhan mengubah arah pikiran dan pandangan kita untuk memperhatikan martabat mereka yang kecil dan nyaris tersingkir dalam masyarakat kita.

Doa: Santa Monika, doakanlah kami. Amen

PJSDB

Sunday, August 26, 2012

Parenting ala Yesus

Meditasi: (Yoh 6:1-69)

Sikap kritis anak, bagaimana menanggapinya?

Selama lima pekan terakhir (Minggu Biasa XVII-XXI), Bacaan Injil dalam perayaan Ekaristi diambil dari Injil Yohanes 6:1-69. Yesus membuat sebuah diskursus panjang tentang Roti Hidup. Yesus coba menjelaskan makna Roti hidup dengan mengambil contoh Mana di padang gurun yang sudah dimakan nenek moyang orang Israel dan juga telah meninggal, tetapi Roti yang mau diberikan Yesus akan memberi hidup yang kekal. Roti itu adalah daging TubuhNya dan darahNya memberi hidup kekal. Semakin dalam menjelaskan diskursus ini, diharapkan murid-murid dapat mengambil hikmah dan keputusan yang tepat untuk memilih mengimani Yesus atau mengundurkan diri dari keanggotaan sebagai murid Yesus. Ternyata banyak yang merasa bahwa kata-kata Yesus keras dan susah dipahami sehingga mereka memilih mundur, sedangkan Petrus dan teman-temannya yang lain mengakui janji setia untuk tetap mengikuti Dia karena Dialah Sabda hidup dan bahwa Dialah Mesias, Anak Allah yang hidup.

Komunitas Yesus ini ibarat sebuah keluarga yang nyata. Di pihak orang tua, banyak kali memberi nasihat dan wejangan-wejangan dan diharapkan bahwa anak-anak akan menerima dan mengikutinya. Terkadang orang tua berpikir bahwa anak-anak itu “seperti mereka sebagai orang tua” maka dengan instan berharap bahwa sekali memberi wejangan, anak langsung berubah sesuai selera orang tua. Ternyata tidaklah demikian. Anak-anak tetaplah anak-anak! Kadang-kadang wejangan orang tua mungkin terlalu keras sampai anak mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah. Orang tua menjadi stress dan merasa tidak bernilai di hadapan anak-anak mereka. Akibatnya sumpah dan kutukan tanpa sadar keluar dari mulut mereka sebagai orang tua. 

Anak-anak adalah gambaran para murid yang masih membutuhkan motivasi untuk menjadi anak yang baik. Sesuai perkembangan, mereka bisa menjadi penurut tetapi banyak kali juga mengatakan bahwa wejangan-wejangan orang tua terlalu keras dan memojokan, mematikan kreasi mereka. Anak-anak juga mengalami Krisis Galilea. 

Berhadapan dengan sikap kritis anak-anak, apa yang harus dilakukan para orang tua? Belajarlah dari Yesus. Sikap Yesus dari perikop Injil Yohanes ini adalah: Dia terbuka dan memberi kemerdekaan kepada para muridNya. Ia bertanya, “Apakah kamu juga tidak mau pergi?” (Yoh 6:67). Kalau saja Yesus tidak sabar mungkin Dia langsung mengambil sikap ekstrim untuk meninggalkan semua muridNya. Ternyata Dia sabar, mendengar dan berkomunikasi baik dengan para muridNya.

Nah, andaikan orang  tua memiliki kesabaran seperti Yesus, mengontrol emosi, punya waktu untuk mendengar dan berbicara atau berkomunikasi dengan anak-anak seperti Yesus sendiri maka keluarga akan memiliki keindahan yang luar biasa. Hai para orang tua, refleksikan dan berubahlah menjadi orang tua yang lebih baik lagi. Anda pasti bisa sebagai orang tua! 

PJSDB 

Homili Hari Minggu Biasa, Pekan ke-XXI

Hari Minggu Biasa Pekan ke-XXI
Yos 24:1-2a.15-17.18b
Mzm 34:2-3.16-17.18-19.20-21.22-23
Ef 5:21-32
Yoh 6:60-69
Tentukanlah Pilihan, Ambillah Keputusan dan imanilah Dia!


Seorang misionaris dari Belanda telah melayani umat sebuah paroki di pedalaman selama 40 tahun. Sejak awal kehadirannya di daerah itu, ia merasa diterima dengan baik. Orang-orang yang belum beragama tertarik dengan gaya hidup misionaris yang sederhana dan bersahaja ini sehingga mereka memohon untuk belajar agama katolik dan dibaptis. Dengan demikian daerah itu menjadi pusat penyebaran agama katolik. Banyak orang merasa “dari orok” sudah dibaptis menjadi katolik. Tentu saja secara kuantitatif perkembangan seperti ini melegahkan. Artinya gereja katolik bertumbuh secara kuantitatif. 

Imam misionaris itu pernah memberi kesaksian seperti ini: “Memang pada mulanya saya bangga sebagai misionaris di daerah ini. Tetapi dalam perjalanan waktu 40 tahun ini saya belum menemukan pertumbuhan kualitas iman yang memadai. Saya pernah kecewa ketika menyaksikan tokoh umat yang masih aktif membuat upacara adat dan memberi sesajian kepada leluhur mereka di gunung, di pohon besar atau di atas batu besar. Saya bertanya kepada mereka mengapa masih menyembah berhala. Dan mereka menjawab disinilah nenek moyang kami bersatu dengan sang pencipta matahari dan bulan. Tuhan Allah kami sembah di dalam Gereja pada hari Minggu tetapi di sini nenek moyang kami juga bersatu dengan Tuhan mereka.” Saya mengatakan kepada mereka, “Kita memiliki tujuan yang sama yakni sembah sujud kita kepada Tuhan pencipta, tetapi ingatlah bahwa kalian sudah dibaptis menjadi abdi Tuhan!” Ini adalah sebuah kesaksian sederhana seorang abdi Tuhan dan membawa kita untuk berfokus pada Sabda Tuhan hari ini tentang relasi yang menumbuhkan iman. 

Apa makna iman di dalam Gereja Katolik? Di dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik dikatakan, “Iman adalah anugerah cuma-cuma dari Allah dan tersedia bagi semua orang yang memintanya dengan rendah hati. Iman merupakan keutamaan adikodrati yang perlu bagi keselamatan. Tindakan iman adalah tindakan manusiawi yaitu tindakan akal budi manusia, yang atas dorongan kehendak yang digerakkan oleh Allah mengamini dengan bebas kebenaran ilahi. Iman juga pasti karena berdasarkan Sabda Allah, iman itu bekerja oleh kasih (Gal 5:6) dan iman itu tumbuh terus menerus dengan mendengarkan Sabda Allah dan doa. Iman membuat kita mengecap sukacita surga bahkan mulai sekarang ini juga.” (KKGK, 28).

Pertanyaan yang kiranya muncul dari Sabda Tuhan adalah apa wujud nyata relasi yang menumbuhkan iman? Yosua dalam bacaan pertama memberi kesaksian yang sangat menarik. Umat terpilih sudah menghuni tanah Kanaan. Mereka perlahan-lahan menata hidupnya berdasarkan suku-suku anak Israel. Yosua bersama semua suku Israel sedang berada di Sikhem. Sikhem adalah sebuah tempat di dekat gunung Ebal dan Garizim, letaknya sekitar 56 km dari Yerusalem. Pada saat ini daerah Sikhem termasuk bagian dari kota Nablus, Palestina. Di tempat ini Yosua meminta kepada semua suku untuk membuat pilihan bebas: Apakah sesudah tiba di tanah Kanaan ini, anak-anak Israel mau kembali menyembah dewa-dewi nenek moyang mereka atau mereka mau setia menyembah Allah yang benar. Yosua sendiri menekankan bahwa, “Aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan!”. 

Para wakil anak Israel yang mendengar perkataan dan janji setia Yosua kepada Yahwe berjanji, “Jauhlah dari kami meninggalkan Tuhan untuk beribadah kepada allah lain! Sebab Tuhan Allah kita, Dialah yang menuntun kita dan nenek moyang kita dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan. Dialah yang telah melakukan tanda-tanda mukjizat yang besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi kita sepanjang jalan yang kita tempuh, dan di antara bangsa yang kita lalui. Kami pun akan beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita”. Kehebatan Yosua (nama yang sama dengan Yesus: Yehosua) adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak Israel untuk memilih dan memutuskan pilihan mereka. Apakah memilih untuk kembali kepada iman nenek moyang mereka di seberang sungai Efrat atau memilih untuk mengimani Allah yang benar. Mereka menentukan pilihan mereka untuk menyembah Allah yang benar.

Janji setia kaum Israel kepada Allah yang benar menunjukkan bahwa relasi antar pribadi mereka dengan Allah ini dibangun di atas dasar kasih Allah yang tiada habis-habisnya kepada mereka. Memang dalam perjalanan di padang gurun, mereka jatuh dalam dosa tetapi Allah selalu berinisiatif untuk menyelamatkan mereka. Pengalaman dikasihi Allah inilah yang membuat mereka berjanji, ”Kami akan beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita”

Pengalaman kasih dan mengasihi juga dialami oleh para murid Yesus. Penginjil Yohanes selama lima Hari Minggu terakhir menghadirkan diskursus Yesus tentang Roti Hidup. Para murid mendengar pengajaran dan diharapkan bahwa mereka memahami dan mengimani Yesus sebagai Roti Hidup yang turun dari Surga dan yang memberi hidup kekal. Maksud Yesus tentang Roti Hidup adalah daging TubuhNya dan darahNya sendiri. Barangsiapa makan Tubuh dan minum DarahNya akan memperoleh hidup kekal. Masalahnya adalah para murid yang mendengar diskursus ini kecewa karena Yesus mengatakan “makan Tubuh dan minum darahNya”. Mereka berkata, “Perkataan ini keras! Siapakah yang sanggup mendengarkannya?” Yah, ini tanggapan para murid yang wajar karena mereka belum mengerti makna pengorbanan Yesus. Yesus mengingatkan mereka, “Adakah perkataan itu mengguncangkan imanmu?” Padahal semua yang diajarkan dalam diskursus Roti Hidup adalah roh dan hidup bukan daging! Yesus juga mengingatkan mereka bahwa mereka dapat datang kepadaNya karena anugerah Bapa, mereka ditarik oleh Bapa (Yoh 6:44). 

Perkataan Yesus dinilai keras dan menimbulkan krisis Galilea yang mengancam relasi persahabatan para murid dan Yesus sendiri. Banyak murid mundur di Galilea sehingga Yesus bertanya, “Apakah kamu juga tidak mau pergi?” Petrus mewakili para murid mengakui imannya, “Tuhan kepada siapa kami akan pergi? SabdaMu adalah Sabda hidup yang kekal. Kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau adalah yang Kudus dari Allah”. Nah, pertanyaan dan jawaban Petrus memperkuat relasi Yesus dan para muridNya. Para murid sebetulnya berada dalamm situasi memilih untuk tetap berlasi atau tidak berelasi dengan Yesus. Yesus memberi kebebasan kepada mereka untuk menetukan pilihan yang tepat. Ada yang menentukan pilihan untuk mundur dari Yesus, dan Petrus dan teman-teman lain memilih untuk tetap setia kepada Yesus.

Nah, nyata di sini bahwa relasi antar pribadi para murid dan Yesus belumlah utuh. Mereka boleh tinggal bersama Tuhan Yesus dan menyaksikan segala karya dan SabdaNya namun relasinya masih dangkal. Motivasi persekutuan dengan Yesus masih pada level manusiawi sehingga begitu mendengar kata-kata yang keras mereka langsung memilih mundur atau murtad. Lalu apa relasi yang betul-betul menunjukkan keutuhan pribadi dengan pribadi?

Santu Paulus dalam bacaan kedua memberi contoh relasi utuh suami dan isteri sebagai simbol perwujudan relasi Kristus dengann gerejaNya. Kepada para suami dan isteri pertama-tama dianjurkan untuk memiliki kebajikan kerendahan hati. Dengan kebajikan kerendahan hati maka para isteri dapat tunduk kepada suami seperti mereka tunduk kepada Tuhan. Para suami dengan rendah hati mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat atau Gereja. Suami mengasihi isteri seperti ia mengasihi tubuhnya sendiri. Dia merawat dan mengasuh tubuhnya. Maka relasi mereka menjadi sempurna terutama “Laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging”. Relasi intim antara suami dan isteri menjadi simbol relasi intim Kristus dan jemaat atau GerejaNya. Paulus juga menekankan supaya pria dan wanita menentukan pilihan yang tepat dan cocok karena sebagai suami dan isteri mereka melambangkan relasi Kristus dan Gereja.

Sabda Tuhan pada hari ini memberikan kepada kita buah-buah rohani yang sangat bernilai. Pertama, Allah menghendaki agar kita tetap bersekutu denganNya. Dia yang menarik setiap pribadi kepada Yesus PuteraNya. Oleh karena itu sebagai orang yang dibaptis kita perlu mengakui iman kita: “Tuhan, kepada siapa kami akan pergi? SabdaMu adalah Sabda hidup kekal dan kami percaya bahwa Engkau adalah yang kudus dari Allah.” Oleh karena itu “Kami pun akan tetap beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah yang benar.”  Kedua, Setiap keluarga katolik diteguhkan relasinya melalui seruan Paulus supaya suami dan isteri menjadi model yang tepat relasi Kristus dan GerejaNya di dunia ini. Kerendahan hati hendaknya menjiwai kepatuhan dan kasih sebagai suami dan isteri. 

Ketiga, Tubuh dan Darah Kristus adalah bukti kasih Allah yang sempurna bagi manusia. Ini mengundang kita untuk menyadari Ekaristi sebagai saat berelasi utuh dengan Kristus, sebelum memasuki perjamuan kekal di Surga. Apakah anda menyadari Ekaristi sebagai saat bersyukur atas keselamatan kekal dalam diri Yesus Kristus? Relasi antar pribadi hendaknya mendukung pertumbuhan iman kita. Keempat, Kita juga diarahkan untuk membuat discernment iman. Kita harus menentukan pilihan hidup yang tepat dalam hal beriman atau pun dalam menjawabi panggilan Tuhan. Discernment akan membantu kita mengambil keputusan yang matang dan tepat dalam beriman dan berelasi dalam panggilan hidup.

Doa: Tuhan, terima kasih atas Ekaristi yang selalu kami rayakan bersama, semoga Ekaristi menyempurnakan relasi Engkau dan kami umatMu. Amen

PJSDB

Saturday, August 25, 2012

Renungan 25 Agustus 2012

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke XX
Yeh 43:1-71 
Mzm 85: 9ab.10-14
Mat 23:1-12

Jangan hanya banyak bicara tanpa aksi nyata!

Seorang sahabatku memiliki jabatan yang penting dalam sebuah perusahan. Seringkali ia share pengalamannya kepada saya tentang pekerjaan di perusahannya. Ia bercerita bahwa mereka melakukan banyak pertemuan untuk merencanakan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan. Saat pertemuan menjadi saat untuk mengamati perilaku rekan-rekan kerjanya. Ada yang diam-diam atau tidak banyak berbicara tetapi kemampuan dan ketekunan kerjanya luar biasa. Ada rekan lain yang banyak berbicara tetapi ketekunan kerjanya terbatas. Jadi kelihatan tidak ada sinkronisasi antara mulut dan tangan yang bekerja. Saya mendengar dengan tenang dan membayangkan juga di dalam komunitas-komunitas biara. Setiap kali kalau ada pertemuan komunitas, banyak orang mau berbicara. Misalnya tentang hidup doa atau upaya menghayati kaul-kaul kebiaraan. Pembicaaraannya bagus tetapi tidak sinkron dengan perbuatan nyata setiap hari. Seorang suster pernah bertanya kepadaku, apakah di komunitas para biarawan juga ada orang yang banyak berbicara tetapi tidak memberi kesaksian hidup yang baik? Saya menjawab ada dan banyak. Kemudian saya bertanya kepadanya, kalau dalam komunitasmu bagaimana suster. Dia mengatakan banyak yang OD alias "Omong Doang" tapi tanpa aksi nyata.

Kisah-kisah ini akrab dengan kehidupan kita. Terkadang kita tidak menyadarinya dan semuanya datang dan berlalu di dalam hidup. Melalui kesaksian-kesaksian di atas kita semua diarahkan untuk tidak hanya berbicara banyak tetapi hendaknya pembicaraan itu diwujudkan di dalam hidup sebagai pelayan-pelayan yang  baik. Ada orang yang banyak berbicara tetapi tidak menghayatinya. Ada orang yang diam-diam tetapi melakukannya dengan sempurna tugas-tugasnya. Ada orang yang pasif, dalam arti hanya menunggu dan menilai kelebihan dan kekurangan orang lain. 

Hari ini Yesus mengingatkan para muridNya bahwa para ahli Taurat dan orang-orang Farisi sudah menduduki "Kursi Musa". Para ahli Taurat adalah kelompok orang-orang yang mengakui dirinya mahir dalam memahami Kitab Taurat. Kaum Farisi (perusim) adalah kelompok yang memisahkan diri dalam masyarakat Yahudi di mana mereka bertekad untuk melaksanakan ajaran agama Yahudi secara murni. Hanya saja kedua kelompok ini memiliki perilaku yang mirip dengan kesaksian-kesaksian di atas. Dalam arti pembicaraan dan pengajaran mereka bagus tetapi mereka sendiri tidak menghayatinya di dalam hidup. Itu sebabnya Yesus mengatakan bahwa mereka telah menduduki Kursi Musa. Para muridNya diharapkan melakukan pengajaran para ahli Taurat dan orang-orang Farisi tetapi tidak boleh mengikuti pola tindakan mereka karena apa yang mereka ajarkan tidak sinkron dengan kesaksian hidup mereka. Mereka banyak bicara tetapi tidak melakukannya di dalam hidup. Mereka mengungkapkan diri dalam tampilan lahiria sehingga menuntut orang lain untuk menghormati mereka, tetapi mereka sendiri tidak menghormati orang lain. 

Para ahli Taurat dan kaum Farisi juga suka disebut rabi, bapa dan pemimpin. Yesus mengingatkan para murid untuk sadar diri terhadap ketiga ungkapan ini. Kepada para muridNya, Ia berkata, “Janganlah kamu disebut rabi karena hanya satu Rabimu dan kamu adalah saudara. Jangan kamu menyebut siapa pun bapa di bumi karena hanya ada satu bapamu di Surga. Janganlah kamu disebut pemimpin karena hanya ada satu pemimpinmu yaitu Kristus.” Semua larangan Yesus ini dipahami dalam konteks kebersamaan di dalam komunitas sebagai murid atau di dalam Gereja sebagai umat. Hendaklah semua orang menjujung tinggi semangat pelayanan dan persaudaraan. Pada akhir pembicaraanNya Yesus berkata, “Siapa pun yang terbesar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu. Barangsiapa meninggikan dirinya akan direndahkan dan barang siapa merendahkan dirinya akan ditinggikan.” Hendaklah setiap pribadi merasa sebagai saudara di dalam komunitas karena mendengar seorang Rabi atau Maestro yang membimbing dan memimpin kita, Dia yang menjadikan kita sebagai anak-anak Allah Bapa di Surga. Dialah Yesus Kristus Tuhan kita! 

Sabda Tuhan menyadarkan kita untuk bertumbuh bersama sebagai satu komunitas persaudaraan yang saling melayani. Seorang guru, bapa dan pemimpin adalah pelayan ang rendah hati dan setia di dalam komunitas persaudaraan. Semangat pelayanan ini yang sering dilupakan. Itu sebabnya banyak orang suka berbicara tetapi tidak mampu melayani dengann baik. Banyak orang mau melayani tetapi tidak rendah hati, sombong dan arogan. Mari kita terinspirasi untuk membenahi diri kita masing-masing dan bertumbuh sebagai saudara dan pelayan yang rendah hati. Yesus penebus kita memberi contoh bahwa Ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani bahkan menyerahkan nyawaNya sampai tuntas untuk keselamatan kita.

Kesadaran diri yang kiranya dimiliki setiap pribadi di samping kebajikan kerendahan hati adalah bahwa kemuliaan Tuhan hendaknya nampak di dalam hidup kita. Kepada umat Israel yang masih berada di Babel, Yehezkiel mengingatkan mereka tentang kehadiran Tuhan di dalam Bait SuciNya. SabdaNya dibaca, didengar dan direnungkan sehingga membuat hati bergembira. Ini membangun kesadaran mereka untuk kembali ke Yerusalem  dan merasakah kemuliaan Tuhan di dalam BaitNya yang Kudus. Kemuliaan Tuhan hendaknya terpancar juga di dalam diri kita saat ini. Paulus mengatakan bahwa Tubuh kita adalah Bait Roh Kudus ( 1Kor 3:16). Apakah anda juga dapat memancarkan kemuliaan Allah lewat pelayanan dan perbuatan-perbuatanmu yang baik.

Doa: Tuhan, jadikanlah kami pelayan-pelayanMu yang setia. Amen

PJSDB

Friday, August 24, 2012

Renungan 24 Agustus 2012

St. Bartolomeus, Rasul
Hari Jumat, Pekan Biasa XX
Why 21: 9b-14
Mzm 145: 10-11.12-13b. 17-18
Yoh 1:45-51

Kami telah menemukan Yesus!

Seorang anak selalu mengikuti orang tuanya ke Gereja. Setiap kali orang tuanya maju dan menerima komuni, ia selalu ikut dan memperhatikan apa yang dilakukan orang tuanya dan pelayan komuni. Dia dengan sopan kembali ke tempat duduk bersama orang tua. Dia memperhatikan orang tuanya berlutut dan berdoa, dia juga melakukan hal yang sama. Orang tuanya duduk kembali dan dia juga demikian. Pada suatu hari ia bertanya kepada maminya, “Mami, mengapa kita selalu melakukan hal yang sama setiap hari Minggu di Gereja?” Ibunya menjawab, “Karena kita bertamu di rumah Tuhan Yesus”. “Apa yang mami terima di Gereja?” “Tuhan Yesus”, jawab maminya. “Apakah saya juga bisa menerima Tuhan Yesus seperti mami?” “Iya nanti kalau kamu sudah sekolah pasti akan menerima Tuhan Yesus” Jawab maminya. Untuk memberi semangat kepada anaknya, ibu itu selalu menyiapkan permen khusus yang bentuknya seperti hosti dan setiap hari minggu anak itu menerima dari tangan maminya di Gereja. Anak itu merasa bahwa Tuhan Yesus itu manis seperti permen.

Hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan Pesta St. Bartolomeus. Tidak diketahui nama yang sesungguhnya. Bartolomeus berasal dari keluarga bar-Tolomeus artinya anak Tolomeus. Dia orang Kana di Galilea. Mari kita mengenal bagaimana perjumpaan dan dialog hangat Bartolomeus atau Natanael dengan Yesus. Perjumpaan itu mengesankan dan membuatnya bersatu selamanya dengan Yesus.

Ketika Yesus mulai tampil di depan umum, banyak orang terpesona dengan karya-karya yang Yesus lakukan. Ia membuat banyak mukjizat, pengajaranNya penuh kuasa dan wibawa, pribadiNya menarik perhatian banyak orang. Yohanes pembaptis memiliki murid dan ia sendiri mengantarnya kepada Yesus dan berkata, “Lihatlah Anak domba Allah” (Yoh 1:29.36). Para murid pertama yang adalah murid Yohanes Pembaptis juga terpesona dengan Yesus dan mengikutiNya. Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata, “Kami telah menemukan Dia yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat  dan oleh para nabi yaitu Yesus, Anak Yusuf dari Nazaret” . Para murid perdana memiliki semangat terpesona dan misioner. Filipus melakukan itu kepada Natanael. Natanael merasa heran karena mendengar pribadi yang sudah disebut dalam Kitab Suci yaitu Yesus, orang Nazaret. Memang daerah asal Yesus yaitu Nazaret tidaklah terkenal seperti daerah lain di Galilea. Filipus pun membawa Natanael untuk bertemu dengan Yesus.

Yesus mengenal setiap pribadi. Ketika Natanael bertemu dengan Yesus, Yesus berkata kepadanya, “Lihatlah, inilah orang Israel, tidak ada kepalsuan di dalamnya.” Yesus mengenal setiap pribadi bukan hanya sebatas nama tetapi juga daerah asalnya. Ia memperkenalkan keaslian Natanael. Natanael heran karena Yesus mengasihinya dengan menyapa dan menyebut daerah asalnya. Apalagi sudah melihat Natanael duduk di bawah pohon ara. Dalam Kitab Suci, ungkapan “duduk di bawah pohon ara” berarti tempat menimba kebijaksanaan. Natanael merasa dikasihi Tuhan Yesus sehingga ia mengakui imannya: “Rabi, Engkau anak Allah, Engkau Raja orang Israel!” Yesus berkata kepadaNya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia”.

Di dalam diri para Rasul, Tuhan Yesus memberi GerejaNya dasar yang kokoh supaya Gereja menjadi lambang abadi yang menampakkan kehadiran dan anugerahNya bagi semua orang. Maka setiap kali merayakan Pesta para Rasul, kita seharusnya merasakan kehadiran Tuhan. Pengakuan iman mereka menjadi warisan yang mulia dan selalu diulangi setiap kali berekaristi bersama.

Pengalaman iman yang menarik perhatian kita sehubungan dengan pesta Santo Bartolomeus ini adalah bahwa Yesus mengenal setiap pribadi. Ia berkata kepada Natanael, “Aku telah melihat engkau”. Ia juga melihat setiap pribadi dengan wajah yang penuh kasih. Keakraban Yesus ini memiliki nilai tambah tersendiri bagi Natanael. Pengalaman Yesus dan Natanael ini membuat kita terdorong untuk mengoreksi diri kita terutama bagaimana kita berkomunikasi dengan sesama. Kata-kata sesederhana apa pun memiliki power bagi setiap pribadi. Apakah komunikasi yang kita alami setiap hari memperkuat persekutuan kita satu sama lain atau komunikasi yang menghancurkan?

Pengalaman lain yang kiranya kita miliki sebagai gereja adalah menjadi misionaris. Yesus adalah misionaris  sejati. Filipus adalah seorang misioner yang membawa Natanael kepada Yesus. Ini adalah inspirasi bagi kita untuk tekun membawa Yesus yang kita imani, kita kasih kepada sesama kita. “Mari dan lihatlah” adalah ajakan yang bagus dan hendaknya menjadi milik kita. Kita mengajak saudara-saudara yang belum mengenal Yesus atau yang sudah mengenal tetapi menjauh, “Mari dan lihatlah”. Lihatlah Yesus, kagumi dan cintailah Dia! Katakanlah "Kami telah melihat Yesus!" Inilah tugas misioner kita di dalam Gereja. Beranikah anda bersaksi telah menemukan Yesus dalam hidupmu? Ini menantang kita semua yang mengimaniNya.

Doa: Tuhan, terima kasih karena Engkau mengenal dan mengasihi kami secara pribadi. Amen

PJSDB

Thursday, August 23, 2012

Renungan 23 Agustus 2012

Hari Kamis, Pekan ke –XX
Yeh 36:23-28
Mzm 51:12-15.18-19
Mat 22:1-14

Jangan mengabaikan kebaikan Tuhan!

Tuhan memiliki rencana agar seluruh ciptaan memiliki suatu tatatan hidup yang harmonis. Sebuah tatanan yang harmonis ini dapat terwujud dengan sempurna dalam Yesus Kristus. Dialah yang diutus Bapa untuk menghadirkan Kerajaan Allah dengan ciri khas mengharmoniskan segalanya. Manusia yang jatuh ke dalam dosa mengakibatkan relasinya dengan Tuhan terputus, relasinya dengan sesama dan lingkungan hidupnya juga terganggu. Yesus adalah utusan Bapa untuk mendamaikan segala sesuatu. TugasNya adalah menghadirkan Kerajaan Surga dan membiarkan semua orang boleh menikmatinya. Dampaknya adalah relasi dengan Tuhan pulih kembali dan manusia memiliki martabat sebagai anak Allah. Manusia juga memiliki relasi yang baik dengan semua orang sebagai saudara. Relasi dengan lingkungan hidup juga menjadi seperti Firdaus baru.

Untuk dapat memberi pemahaman yang baik tentang Kerajaan Surga, Yesus biasanya menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Hari ini Ia berbicara kepada para imam kepala dan pemuka rakyat tentang Kerajaan Surga dalam satu bentuk perumpamaan. DikatakanNya, Kerajaan Surga itu seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya. Ia menyuruh para hamba untuk memanggil para undangannya tetapi mereka tidak mau datang, padahal raja sendiri sudah menyembeli ternak-ternaknya untuk perjamuan ini. Para undangan memiliki alasan tersendiri. Ada yang pergi ke kebun, ada yang mengurus usahanya dan undangan lain justru menangkap, menyiksa dan membunuh para hamba utusan raja tersebut. Dengan demikian raja menjadi murka dan membinasakan kota itu. Raja terus menerus mengharap kehadiran para undangan dalam perjamuan. Maka Ia menyuruh para hambanya untuk mengundang orang-orang  di jalan, orang yang baik dan jahat. Namun ketika menyalami semua undangan ini, raja melihat seorang yang tidak berpakaian pesta sehingga ia menyuruh para hambanya untuk mengikat kaki dan tangan undangan yang tak layak ini dan mencampakannya ke tempat yang paling gelap, disana terdapat ratap dan kertak gigi. Mengapa? Karena banyak yang dipanggil tetapi sedikitlah yang dipilih.

Perumpamaan ini memiliki penuh dengan kiasan. Raja adalah Allah sendiri. Perjamuan perkawinan merupakan lambang kebahagiaan di zaman Mesias. Anak raja adalah Yesus sebagai Mesias. Para hamba yang diutus adalah para nabi yang mempersiapkan kedatangan Mesias dan  para rasul. Orang Yahudi yang masih sibuk dengan kebun dan usaha adalah mereka yang tidak mengindahkan undangan raja melalui para hambanya. Mereka juga membinasakan para hamba utusan raja. Dampaknya adalah kota Yerusalem sendiri dibakar. Mereka yang dikumpulkan dari jalan adalah orang-orang berdosa dan kaum kafir. Mereka ini diundang untuk menghadiri pesta dan diharapkan mereka menjadi baru. Namun ada juga yang tidak bertobat dilambangkan dengan orang yang tidak berpakaian pesta sehingga layak mendapat hukuman kekal.

Kita bersyukur kepada Tuhan karena Dia selalu punya inisiatif untuk mencari dan menyelamatkan manusia. Tuhan melalui para hambaNya keluar, mencari dan mengajak manusia untuk terlibat dalam perjamuan kekal di Surga. Bukti kasih yang terbesar ialah mengutus Yesus PuteraNya untuk menyelamatkan semua orang yang baik dan jahat. Masalahnya adalah ajakan Tuhan diabaikan karena pekerjaan bahkan lebih ekstrim menghalangi dan mematikan para agen pastoral, keengganan untuk terlibat dalam kegiatan menggereja. Orang baik dan jahat dikumpulkan untuk diselamatkan. Diharapkan orang baik dengan kebaikannya dapat mengubah orang yang jahat untuk menjadi baik. Masalahnya adalah orang yang jahat atau berdosa tidak mau berubah. Mereka tidak “berpakaian pesta” tetap hidup di dalam dosa.

Di dalam Kitab Perjanjian Lama, Tuhan juga merasa kecewa dengan umat kesayanganNya karena mereka memiliki hati yang keras dengan menajiskan namaNya. Tuhan menghendaki untuk mengumpulkan manusia dan menguduskan mereka. Sebagiamana digambarkan di dalam Injil dimana Tuhan mengumpulkan orang baik dan jahat untuk ikut dalam perjamuanNya, dalam dunia Perjanjian Lama, Tuhan juga mengumpulkan dan berhasrat untuk menguduskan mereka. Air jernih sebagai simbol Roh KudusNya dicurahkan untuk mentahirkan atau menguduskan mereka. Dengan demikian akan ada kesadaran baru bahwa mereka tetap menjadi umat Allah yang benar. Sekali lagi Yeheskiel dalam bacaan pertama menggambarkan Allah yang selalu berpihak pada manusia. Dialah yang keluar dari diriNya sendiri (kenosis) untuk mencari dan menyelamatkan, untuk memberi hati yang baru sehingga semuanya menjadi umat dan Dia menjadi Allah yang benar.

Kita bersyukur kepada Tuhan karena Dialah Allah yang murah hati dan memihak kita meskipun sering kita tidak menggunakan pakaian pesta. Kita masih belum layak dan perlu membaharui diri hari demi hari. Itulah metanoia, pertobatan hari demi hari. Perjamuan abadi di Surga, kekudusan menyerupai Dia yang adalah kudus adalah tujuan akhir hidup kita. Maka janganlah mengabaikan undangan Tuhan. Janganlah mengabaikan kebaikan Tuhan dalam hidupmu.

Sebagai refleksi kita, Ekaristi adalah perjamuan yang mengantar kita untuk masuk dalam perjamuan kekal di Surga. Apakah kita menyadari hidup kita di hadirat Tuhan saat berekaristi? Bagaimana kita berpakaian  ke Gereja? Apakah hati kita layak di hadiratNya saat berekaristi atau berekaristi sambil berbuat jahat di alam hati?

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk ikut dalam perjamuanMu. Amen

PJSDB

Wednesday, August 22, 2012

Renungan 22 Agustus 2012

Bunda Maria Ratu Surga
Hari Rabu, Pekan Biasa ke XX
Yeh 34:1-11
Mzm  23: 1a.3b-4.5-6
Mat 20:1-16a

Jangan iri hati dengan kebaikan orang!

Seorang Romo sharing pengalaman pastoral di parokinya. Ia merasa terbebani karena sering dicap umatnya sebagai Romo yang bergaul hanya dengan umat-umat tertentu yang rata-rata mampu secara ekonomis. Ia mengatakan bahwa anggapan bahwa dia hanya bergaul dengan umat yang kaya itu tidak selamanya benar. Ia memiliki prioritas dalam mengunjungi umatnya. Ia mengunjungi stasi yang paling jauh dengan pastoran dan perlahan mendekati pastoran tetapi apabila ada keluarga yang memiliki masalah dari wilayah lain di dalam Parokinya maka ia memprioritaskan mereka. Banyak keluarga yang ia kunjungi memang mampu secara ekonomis tetapi mengalami kesulitan dalam pendidikan anak atau masalah komunikasi suami isteri. Dengan pengalaman ini maka Romo selalu bertanya dalam hatinya mengapa umatku iri hati dengan semua kebaikan dan pelayananku? Semakin saya memberi diri dalam pelayanan, mengapa tidak diapresiasi tetapi malah dikritik?

Pengalaman yang mirip dirasakan oleh seorang ibu. Dalam counseling ia merasa kurang percaya diri di depan suami dan anak-anaknya yang beranjak dewasa. Ia hanya ibu rumah tangga biasa bukan wanita karir. Suaminya bekerja dengan penghasilan yang memuaskan tetapi wataknya keras dan penuh perhitungan. Banyak kali karena sibuk dengan pekerjaan maka ia gampang emosi dan terpancing untuk memarahi dia sebagai isteri di depan kedua anak mereka. Suaminya juga kadang-kadang bertindak keras terhadap kedua anak mereka. Hal yang dilakukannya sebagai isteri dan ibu adalah berusaha berbuat baik dan melayani tak kenal lelah. Tidak ada pembantu di rumah itu. Ia mengatur rumah sehingga teratur, makanan selalu siap dan perhatian sebagai seorang ibu dan isteri. Hanya dia merasa sedih karena selalu dimarahi suami. Anak-anak pun kurang menghargainya karena mereka tahu bahwa semua uang berasal dari upah ayah mereka bukan dari ibu. Ibu itu bertanya mengapa suami dan anak-anak tidak menyadari kebaikan hati dan cinta kasihnya.

Dua pengalaman yang mirip dan selalu terjadi di dalam hidup setiap pribadi. Banyak kali orang cenderung melihat kekurangan di dalam hidup sesama dibandingkan dengan kebaikan yang dilakukan sesama tersebut. Hari ini Yesus dalam Injil Matius memberi sebuah perumpamaan tentang Bapa di Surga yang murah hati. Kerajaan Surga itu diumpamakan dengan seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar dan mencari pekerja untuk kebun anggurnya. Ia bertemu dengan para pekerja dan menyepakati upah harian sebesar satu dinar. Pada pukul 9 pagi, pukul 12 siang, pukul 3 dan 5 petang tuan rumah itu berjumpa dengan para pekerja lain dan ia menyuruh mereka pergi dan bekerja di kebun anggurnya dengan upah sesuai kesepakatan. Ketika malam tiba ia membayar upah para pekerja. Ternyata semua mereka mendapat upah yang sama yakni satu dinar. Padahal para pekerja berpikir bahwa semakin lama bekerja tentu upah semakin besar, ternyata upahnya sama saja. Hal ini menimbulkan rasa iri hati di antara para pekerja upahan itu. Tuan rumah itu berkata, “Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.”

Sabda Tuhan mengundang kita untuk memahami bahwa logika dan perhitungan Tuhan itu sangat berbeda dengan manusia. Tuhan Allah laksana tuan rumah, sang pemilik kebun anggur yang keluar, mencari pekerja, menyepakati upah dan menyuruh mereka bekerja. Banyak kali kita berpikir secara manusiawi seperti para pekerja yang berpikir bahwa semakin lama bekerja upahnya semakin besar (Mat 20:10), tenyata Tuhan Allah sebagai Bapa yang Mahabaik mengasihi semua orang apa adanya. Ia membayar upah sesuai kesepakatan mereka. Ia berkata, “Mengapa engkau iri hati karena aku murah hati” (Mat 20:15). Yah, ukuran dari kasih adalah “tidak” ada ukurannya! Santo Bernardus pernah berkata, “Saya mengasihi karena kasih, saya mengasihi untuk kasih”. Kasih adalah kasih karena Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16).

Pertanyaan yang muncul dari kisah injil ini adalah adalah di manakah letak keadilan? Ternyata keadilan tetaplah ditegakkan, “Aku akan membayar sesuai dengan kesepakatan kita” (Mat 20:4). Allah selalu bersikap adil dan Ia memperlakukan kita sebagai anak-anakNya yang berakal budi. Ia selalu sepakat dengan manusia. Dalam perumpamaan tentang talenta, kita melihat bagaimana Tuhan begitu baik, mengambil talenta hamba yang malas dan memberikan kepada hamba yang sudah memilikinya. Tuhan memang adil. Cinta kasih tidak pernah bertentangan dengan keadilan, cinta kasih melebihi segalanya (1Kor 13:5).

Allah itu laksana gembala yang  baik. Yehezkiel dalam bacaan pertama melukiskan bagaimana umat Israel itu laksana domba-domba yang mengalami banyak penyesatan. Para gembala lebih banyak menggembalakan dirinya sendiri dari pada memperhatikan umatNya. Akibatnya kejahatan yang menguasai umatNya. Dengan demikian Tuhan berjanji untuk menjadi gembala yang baik bagi mereka. Tuhan berfirman, “Aku sendiri akan menuntun kembali domba-dombaKu dan senantiasa mencari mereka”. Apapun kehidupan manusia, Tuhan selalu berlaku adil, cintaNya kekal bagi seluruh umat kesayanganNya.

Sabda Tuhan hari ini membuka wawasan kita akan nilai luhur cinta kasih dan kemurahan hati. Tuhan sendiri menunjukkan cinta kasih dan kemurahan hatiNya kepada semua orang. Cinta kasih ada di atas segalanya. Itu sebabnya semua orang yang diajak untuk berkarya di kebun anggur, Ia sendiri yang mencari dan mengundang, menyepakati upah dan membayar upah sesuai kesepakatan bersama. Domba-domba yang tidak lain adalah umatNya tersesat tetapi Ia sendiri dengan cinta kasih dan kemurahan hati mencari dan menyelamatkan mereka. Semua ini juga sedang dilakukan Tuhan bagi setiap pribadi. Nah, bagaimana sikap Tuhan ini kita wujudkan dalam kebersamaan? Apakah kita hanya melihat kelemahan orang tanpa melihat kebaikan mereka? Janganlah anda iri hati dengan kebaikan dan kemurahan hati sesamamu!

Doa: Tuhan, terima kasih dan syukur kepadaMu atas cinta kasih yang tiada batasnya bagi kami. Amen

PJSDB