Wednesday, July 31, 2013

Renungan 31 Juli 2013

St. Ignasius Loyola
Hari Rabu, Pekan Biasa XVII
Kel 34:29-35
Mzm 99:5.6.7
Mat 13:44-46

Wajah yang bercahaya

Salah seorang konfrater imam menyukai ayat Kitab Suci ini: “Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau. Tuhan menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia. Tuhan menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera” (Bil 6:24-26). Setiap kali memimpin perayaan Ekaristi, beliau selalu menyanyikannya dengan meriah sebagai bagian dari berkat perutusan. Banyak umat merasa dibantu untuk merasakan kehadiran dan berkat Tuhan. Ada seorang bapak pernah berkata, “Tuhan begitu baik sehingga Ia masih mau menyinari aku dengan wajahNya dan menghadapkan juga wajahNya kepadaku, padahal aku ini orang berdosa”.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Musa di kaki Gunung Sinai bersama bangsa Israel. Musa digambarkan sebagai seorang figur di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yang sangat akrab dengan Tuhan. Musa dapat berbicara berhadapan muka dengan Tuhan dan merasakan kemuliaan Tuhan yang luar biasa. Dikiahkan bahwa ketika ia turun dari gunung dengan membawa dua loh batu yang berisikan hukum Allah, Musa memiliki perubahan kulit wajahnya. Wajahnya bercahaya karena ia telah berbicara dengan Tuhan. Harun dan semua orang Israel melihat Musa, tampak kulit wajahNya bercahaya sehingga merekapun takut mendekati Dia. Tentu saja perubahan wajah seperti ini menakutkan banyak orang, apalagi Musa sebagai pemimpin mereka. Namun, ia tetap memanggil Harun dan orang-orang Israel untuk mendekatinya dan ia memberi kepada mereka semua perintah Tuhan ang ditulis Tuhan sendiri di atas dua loh batu itu. 

Pengalaman Musa menunjukkan bahwa Tuhan menunjukkan kasihNya yang besar kepada orang yang dekat denganNya. Wajah Musa bercahaya karena ia berbicara dengan Allah. Artinya Musa berdoa kepada Allah. Maka boleh dikatakan bahwa orang yang selalu bersatu dengan Allah dapat memancarkan sinar kasih Allah kepada orang lain. Para Rasul pun pernah mengalaminya bersama Yesus. Petrus, Yakobus dan Yohanes adalah para rasul yang menjadi saksi mata ketika melihat Yesus berubah rupa di gunung Tabor. Penginjil Lukas menceritakan bahwa pada saat itu Yesus sedang berdoa, wajahNya berubah dan pakaianNya menjadi putih berkilau-kilau (Luk 9:28-29). Yesus sebagai Musa baru juga berubah  rupa pada saat Ia berbicara dengan Bapa dalam doa. Bagaimana dengan anda dan saya? St. Paulus kepada jemaat di Korintus menulis, “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.” (2Kor 3:18). Di bagian lain Paulus menulis: “Sebab Allah yang telah berfirman, “Dari dalam gelap akan terbit terang!”, Ia juga yang membuat terangNya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2Kor 4:6).

Setiap orang yang dibaptis dalam nama Tritunggal Mahakudus dipanggil untuk memancarkan kasih Tuhan kepada sesama. Melalui doa, percakapan yang terus menerus dengan Tuhan secara pribadi dan komunitas maka kita juga dapat memancarkan kasih Allah kepada sesama yang lain, bahkan orang jahat sekalipun dapat berubah. Kerajaan Surga yang diwartakan oleh Yesus adalah Kerajaan kasih dan damai. Kerajaan itu sangat mahal nilainya sehingga butuh pengorbanan yang besar untuk meraihnya. Pengorbanan bisa dalam wujud pengorbanan diri, harta benda untuk memilikinya.

Yesus dalam bacaan Injil pada hari ini mengajar banyak orang bahwa hal Kerajaan Surga itu seumpama harta yang terpendam di ladang dan dipendamkannya lagi. Dengan sukacita yang besar sang penemu itu pergi dan menjual segala yang dimilikinya untuk membeli ladang tersebut. Bagi Yesus, Kerajaan Surga juga serupa dengan seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah menemukan mutiara itu ia juga menjual segala yang dimilikinya untuk membeli mutiara itu. Pengajaran Yesus tentang Kerajaan Surga dalam perumpamaan ini memang menarik perhatian kita semua. Kerajaan Surga itu sangat bernilai, sangat berharga dan indah. Orang yang menemukannya tidak langsung meraihnya tetapi mengurbankan diri dan harta untuk meraihnya.

Pengajaran Yesus ini sangat konkret. Pada zaman dahulu orang suka menyembunyikan hartanya di dalam tanah karena takut dengan pencuri. Kadang-kadang harta itu milik pribadi, rahasia maka ketika orang itu meninggal dunia, anggota keluarga tidak mengetahuinya. Harta itu pun tetap ada di dalam ladang tersebut. Nah kalau orang yang tamak, ketika mendapatkan harta terpendam atau mutiara langsung mengambilnya menjadi milik. Tetapi orang yang disebutkan di dalam Injil adalah orang yang bijaksana. Ia harus berjuang, mengurbankan diri supaya dapat memperoleh Kerajaan Surga. Kita pun dipanggil untuk mengurbankan diri dan memiliki sikap lepas bebas terhadap segala yang kita miliki supaya lebih bebas mengasihi Tuhan. Kerajaan Surga itu bernilai, indah dan selalu menjadi harapan kita untuk meraihnya.

Pada hari ini kita belajar dari St. Ignasius dari Loyola. Ia mengawali hidup sebagai prajurit yang tentu saja mengandalkan diri dan kekuatannya, juga  sebagai bangsawan ia pasti mengandalkan harta kekayaan yang dimiliki keluarga. Tetapi Tuhan memiliki rencana yang luhur. Pengalaman penderitaan di dalam perawatan berubah menjadi sukacita iman ketika mengenal Yesus dalam buku “Mengikuti Jejak Kristus”. Wajahnya yang lama berubah menjadi baru, terang kekudusan Tuhan bersinar di dalam dirinya. Ignasius berhasil menemukan Kerajaan Surga yang sangat berharga dengan meninggalkan egoisme serta harta kekayaan yang dimilikinya. Kini semuanya untuk kemuliaan Tuhan. Ad Maiorem Dei Gloriam.

Doa: Tuhan, Sinarilah selalu wajah kami dengan wajahMu yang kudus agar kami pun menjadi kudus menyerupai Engkau sendiri. Amen

PJSDB

Tuesday, July 30, 2013

Renungan 30 Juli 2013

Hari Selasa, Pekan Biasa XVII
Kel 33:7-11;34:5b-9.28
Mzm 103: 6-7.8-9.10-11.12-13
Mat 13:36-43

Inilah Allah yang diimani Musa

Kalau kita rajin membaca Kitab Perjanjian Lama, ada figur-figur tertentu yang memiliki relasi yang sangat akrab dengan Tuhan. Sebut saja Abraham. Dia adalah orang yang berani berdebat dengan Tuhan, bernegosiasi untuk membebaskan Sodom dan Gomora dari hukuman Tuhan. Abraham berkata kepada Tuhan: “Janganlah kiranya Tuhan murka kalau aku berkata” (Kej 18:20-32). Ini adalah satu model doa permohonan yang terbesar dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Figur lain yang menjadi sahabat Allah adalah Musa. Dari Musa kita belajar bahwa doa berarti bercakap-cakap dengan Allah. Dalam semak yang menyala, Allah membuat percakapan nyata dengan Musa dan Allah memberinya tugas. Musa mengajukan keberatan dan pertanyaan. Allah lalu menyatakan kepada Musa namaNya yang kudus (Kel 3:1-22). Seperti Musa yang kemudian percaya kepada Allah dan menjalankan pelayanannya dengan sepenuh hati, maka kita juga harus berdoa dan masuk dalam sekolah Allah.

Pada hari ini kita mendengar bagaimana  relasi Musa dan Allah begitu akrab. Pada waktu itu Musa mengambil sebuah kemah dan membentangkannya jauh di luar perkemahan dan disebut Kemah Pertemuan. Kemah itu sungguh menjadi tempat perjumpaan antara Tuhan dan manusia. Ketika Musa pergi ke kemah itu, semua mata tertuju kepadanya hingga ia masuk ke dalam kemah. Ketika Musa berada di dalam kemah, turunlah tiang awan dan berhenti di depan pintu kemah lalu Tuhan berbicara dengan Musa. Tiang awan adalah shekina, tempat di mana Tuhan ada dan hadir. Pada kesempatan itu bangsa Israel berdiri dan menyembah Tuhan dari pintu kemahnya masing-masing. Hal ini merupakan sebuah gambaran relasional antara Tuhan dan manusia dan manusia dengan Tuhan. 

Tuhan menunjukkan keakrabanNya dengan manusia dan manusia juga seharusnya menjadi akrab dan bersahabat dengan Tuhan. Relasi anatara Tuhan Allah dan Musa dikatakan bersahabat dan akrab. mengapa demikian? Karena di depan Kemah Perjanjian, Tuhan berbicara dengan Musa dengan berhadapan muka seperti orang berbicara dengan temannya. Tentu saja bangsa Israel merasa heran dengan pengalaman iman seperti ini. Di mata mereka hanya tiang awan yang kelihatan di berada di depan pintu kemah perjanjian. Namun Musa berbicara layaknya di hadapan seorang manusia. Orang-orang Israel juga mendengar suara yang lain selain suara Musa dan merasa heran tetapi takjub pada kebesaran Tuhan.

Tuhan tidak hanya memperdengarkan suaraNya ketika berbicara dengan Musa. Ia juga digambarkan berjalan lewat di depan Musa sambil berseru: “Tuhan adalah Allah yang penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setiaNya, rahmat dan kesetiaanNya berlimpah-limpah. Ia meneguhkan kasih setiaNya kepada beribu-ribu orang, Ia mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa. Tetapi orang yang bersalah tidak sekali-kali Ia bebaskan dari hukuman. Dan kesalahan bapa akan dibalaskanNya kepada anak-anak dan cucunya, sampai keturunan yang ketiga dan keempat.” Reaksi Musa setelah mendengar kata-kata Tuhan adalah berlutut ke tanah, sujud menyembah dan memohon kepada Tuhan untuk berbelas kasih kepada umat Israel. Ia bahkan meminta Tuhan untuk berjalan di tengah-tengah mereka sebagai bangsa yang berdosa, seraya memohon pengampunan dosa. Musa bahkan memohon supaya Tuhan mengambil mereka menjadi milikinya. Musa juga mengadakan puasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam.

Kisah relasi Musa dan Tuhan memang menarik perhatian kita semua. Musa selalu bercakap-cakap dengan Tuhan. Sebagai seorang pemimpin, ia tidak pernah mengusahakan kebahagiaan dirinya secara pribadi. Ia justru bertindak sebagai pendamai antara Tuhan Allah dengan Israel sebagai bangsa yang berdosa. Oleh karena imannya yang kuat maka Tuhan juga mendengar semua permohonannya. Pengampunan berlimpah diberikan Tuhan kepada bangsa Israel. Menjadi pemimpin memang harus berani melupakan diri dan mengusahakan kebahagiaan sesama. Hal ini yang selalu dilupakan oleh manusia masa kini. Pemimpin justru dilayani dan dihargai. Pemimpin justru mencari kesempatan untuk memperkaya diri. Andaikan Musa berada di sini, ia akan meminta semua pemimpin untuk melayani dengan sungguh. Yesus sebagai Musa baru menunjukkan teladanNya sebagai Pemimpin dan Penyelamat, tanpa meminta imbalan apa-apa.

Tuhan tidak hanya menunjukkan belaskasihNya kepada manusia. Ia juga menunjukkan kesabaranNya yang begitu besar bagi manusia. Seorang pemuda pernah bertanya kepadku, "Apakah Tuhan Allah itu sabar dengan manusia?" Satu jawaban yang pasti adalah Tuhan memang sungguh sabar dengan manusia. Perumpamaan tentang lalang yang bertumbuh bersama gandum merupakan salah satu contoh Tuhan yang sangat sabar dengan manusia. Perikop Injil kita hari ini menjelaskan makna dari perumpamaan ini. Yesus sebagai Anak Manusia menaburkan benih. Benih adalah Sabda atau semua perkataan yang keluar dari mulut Tuhan. Ladang adalah tempat di mana manusia berpijak. Iblis adalah musuh yang menaburkan lalang atau kejahatan. Akhir zaman adalah saat menuai dan para penuai adalah malaikat-malaikat Tuhan. Anak manusia memiliki kuasa untuk meminta para UtusanNya, dalam hal ini para Rasul untuk mengumpulkan segala sesuatu. Lalang dipotong dan dibakar, gandum disimpan di lumbung.

Perumpamaan Yesus ini menjadi konkret dalam hidup sebagai Rasul. Sabda Tuhan yang sudah diwartakan hendaknya didengar oleh banyak orang. Dampak dari pewartaan Sabda adalah jemaat semakin bertumbuh menjadi dewasa dalam iman. Kedewasaan iman itu memang sangat pribadi, tetapi dapat ditunjukkan dalam kebersamaan. Orang yang dewasa dalam iman akan peka terhadap semua pekerjaan yang dipercayakan kepadaNya. Musa di dalam Peranjian Lama merupakan contoh pribadi yang sangat kuat relasinya dengan Tuhan. Ia dapat tahan di hadapan wajah Allah yang mulia, dapat menjadi juru damai Allah dan manusia, dalam hal ini bangsa Israel.

Sabda Tuhan hari ini sangat kaya maknanya bagi kita. Allah mewahyukan diriNya sebagai sahabat manusia. Abraham dan Musa, Yesus sebagai Musa baru adalah contoh bagaimana Tuhan begitu bersahabat dengan manusia. Apakah relasi yang bersahabat ini merupakan salah satu kebutuhan hidup kita di hadirat Tuhan dan sesama? Apakah kita juga merasa diri sebagai gandum yang akan membahagiakan sesama dalam karya-karya pelayaan mereka? Mari kita merenungkan belas kasih Tuhan dan tetap mau mendengar Sabda Tuhan di dalam hidup kita.

Doa: Tuhan, terima kasih atas belas kasihMu yang berlimpah bagi kami. Amen.

PJSDB

Monday, July 29, 2013

Renungan 29 Juli 2013

Peringatan St. Marta
Hari Senin, Pekan Biasa XVII
Kel 32:15-24.30-34
Mzm 106:19-20.21-22.23
Mat 13:31-35

Tuhan, Jadikanlah Aku Pembawa Damai!

Ada seorang Misionaris yang melayani suatu daerah di Timor Leste selama lebih kurang 40 tahun. Ia meninggalkan negaranya di Eropa, datang ke pedalaman Timor Leste saat usianya masih muda dan tak kenal lelah melayani jemaat di daerah tersebut. Banyak kali ia terhibur, merasa bahagia karena kelihatan pelayanan dan karya misionernya berhasil. Semua orang juga segan dan memberi rasa hormat kepada pelayanannya. Akan tetapi pada suatu hari ia jatuh dalam penyesalan dan kekecewaan yang luar biasa. Ia hendak melakukan perjalanan ke Dili. Di pertengahan jalan ia harus kembali karena mengalami gangguan kesehatan. Dia merasa heran karena orang-orang di kampung tersebut sedang berjalan menuju ke gunung sambil membawa sesajian. Ia bertanya kepada mereka apa yang hendak mereka lakukan. Orang-orang itu berkata, “Ini adalah upacara adat kami. Sekarang kita sudah mengalami kemerdekaan maka sepatutnya kami juga mau mengucap syukur kepada nenek moyang kami di gunung”. Pastor itu berkata, “Tetapi itu berarti kalian menyembah berhala”. Mereka menjawab, “Menyembah berhala itu menurut pastor, bukan menurut kami”. Pastor Misionaris itu kembali ke pastoran dan merenungkan semua pengalaman yang barusan terjadi. Ternyata umat masih mengalami dualisme dalam imannya. Pada Hari Minggu mereka ke Gereja, pada hari yang lain mereka menyembah nenek moyang dan para leluhur di gunung.

Pada hari ini kita mendengar kisah yang menarik dalam bacaan pertama. Cukup lama Musa dan Yosua menghadap Allah di gunung. Mereka turun dengan membawa dua loh batu bertuliskan semua hukum Allah. Itu adalah tulisan tangan Allah sendiri di atas loh batu. Ketika mereka sudah mendekat daerah perkemahan Israel, kedengaran oleh mereka nyanyian bersahut-sahutan dan berbalas-balasan. Ternyata orang-orang Israel sedang menyembah patung lembuh buatan tangan mereka. Apa reaksi dari Musa sebagai leader mereka? Ia menghancurkan dua loh batu di kaki gunung Sinai, mengambil patung anak lembu buatan tangan mereka, membakarnya, menggilingnya, menaburkan di dalam air dan memberi semua orang Israel meminum air tersebut. Musa juga merasa kesal dengan Harun karena kurang bertanggung jawab terhadap orang Israel sehingga membuat dosa besar melawan Tuhan. Harun membela diri di hadapan Musa, namun dosa sudah terjadi.
Dalam situasi yang kacau balau ini, Musa berkata kepada bangsa Israel: “Kalian telah berbuat dosa besar, tetapi sekarang aku akan naik menghadap Tuhan, mungkin aku dapat mengadakan pendamaian karena dosa-dosamu itu”. Di hadirat Tuhan Musa berkata: “Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. Tetapi sekarang kiranya Engkau menghapus dosa mereka. Dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam Kitab yang telah Kautulis”. Tuhan menjawab Musa, “Barangsiapa berdosa terhadapKu, nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam KitabKu. Tetapi pergilah sekarang, tuntunlah bangsa itu ke tempat yang telah Kusebutkan kepadaMu. Tetapi pada hari pembalasanKu, Aku akan membalaskan dosa mereka kepada mereka”.

Relasi Musa dengan Yahwe sangat akrab. Mereka sangat bersahabat satu sama lain. Perjalanan Bangsa Israel di padang gurun selalu ditandai dengan jatuh dan bangun. Mereka menggerutu soal makan dan minum bahkan membuat patung anak lembu dari emas dan menyembahnya. Kehadiran Musa memang sangat penting. Ia berbicara dengan Tuhan supaya ada pendamaian dan pengampunan. Dalam negosiasi itu Tuhan tetap menaruh kasih sayangNya kepada Musa tetapi akan memberi balasan setimpal kepada bangsa Israel yang berdosa. Musa bertindak tegas untuk mengoreksi hati orang Israel yang membatu. Ia juga membawa memohon damai Tuhan atas Israel. Apakah kita juga dapat memiliki sikap seperti Musa yang membawa damai?

Sikap Musa ini patut kita ikuti di dalam hidup setiap hari. Musa berani memberi koreksi ketika melihat orang Israel berbuat salah. Ia tidak tinggal diam. Musa juga berani untuk menghadap Tuhan dan memohon pendamaian dari Tuhan kepada Israel. Ia tentu punya harapan supaya tidak ada hukuman apa pun terhadap Israel, sebagai umat kesayanganNya. Banyak kali orang bersikap masa bodoh, tidak berani memberi koreksi dan membiarkan dosa bertumbuh subur. Banyak kali orang juga memiliki sikap menyalahgunakan kebaikan orang lain dengan dosa. Sikap-sikap ini ada di dalam masyarakat dan kalau tidak ada orang yang berani mengoreksi akan tetap ada selamanya.

Kerajaan Surga yang diwartakan oleh Tuhan adalah Kerajaan damai. Tuhan menghendaki agar pemerintahanNya berlangsung damai di dalam hati segenap umat manusia. Di samping damai, Kerajaan Surga juga merupakan suasana sukacita kekal yang dialami di dalam hidup setiap hari. Di dalam bacaan Injil hari ini, Tuhan Yesus mengumpamakan Kerajaan Surga dengan biji sesawi. Biji sesawi memang kecil tetapi akan bertumbuh menjadi pohon besar, hingga burung-burung dapat bersarang di atasnya. Kerajaan surga juga seumpama ragi yang diambil seorang wanita dan diadukan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai seluruhnya beragi. Perumpamaan ini memang sederhana dan titik fokalnya adalah pada keadaan awal dan akhir. Biji sesawi itu kecil akan menjadi besar. Ragi sedikit akan membuat adonan menjadi besar.

Perumpamaan ini mau mengatakan tentang pewartaan yang sedang dilakukan Yesus dan yang menjadi saksi hanya 12 RasulNya. Namun kedua belas rasul ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi pertumbuhan Gereja. Hal ini menjadi nyata hingga saat ini. Gereja berkembang dalam komunitas-komunitas kecil, mengalami penganiayaan sehingga seolah-olah menjadi kerdil tetapi tetap bertumbuh menjadi besar. Biji sesawi menjadi pohon sayuran merupakan bahasa simbolis bagi komuntas Mesianik yang mendengar dan merasakan kehadiran Yesus (Yeh 17: 22-23; 31:6; da 4:9.18). 

Rencana Tuhan untuk menghadirkan Kerajaan Surga di dalam diri Yesus berkembang hingga saat ini. Tuhan yang memulai, Tuhan juga yang menggenapi. Sekecil apapun biji sesawi akan menjadi pohon, demikian juga ragi akan menjadi adonan besar. Maka Sabda Tuhan, meskipun sangat sederhana tetapi memiliki power yang luar biasa untuk mengubah hidup manusia secara pribadi dan jemaat. Bangsa Israel sudah mengalaminya. Mereka berubah dengan teguran dari Tuhan melalui Musa. Apakah kita secara pribadi merasakan bertumbuhnya Kerajaan Surga di dalam hidup pribadi?

Doa: Tuhan, kami bersyukur kepadaMu karena Engkau mengingatkan kami untuk tetapi setia kepadaMu. Bantulah kami semua untuk tetap mendengar SabdaMu dan setia melakukannya di dalam hidup setiap hari. Amen


PJSDB

Renungan 29 Juli 2013

Peringatan St.Marta
1Yoh 4:7-16
Mzm 34:2-3.4-5.6-7.8-9
Yoh 11:19-27


Tuhan sekiranya Engkau ada di sini!


Pada hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan peringatan St. Marta. Marta berarti nyonya rumah. Kisah hidupnya kita ketahui dari Injil Lukas dan Injil Yohanes. Di dalam Injil Lukas terungkap jelas bahwa Marta memiliki dua saudara yaitu Maria dan Lazarus. Mereka bertiga adalah sahabat-sahabat yang disayangi Yesus. Ketika Yesus dan para muridNya mengunjungi keluarga ini, Marta sibuk melayani sedangkan Maria duduk dekat kaki Yesus dan mendengar semua perkataanNya. Ketika Lazarus jatuh sakit, Marta dan Maria mengirim khabar kepada Yesus. Pada saat itu Yesus berada di seberang sungai Yordan, jauh dari Betania, kampung halamannya Lazarus. Isi penyampaian memang singkat tetapi sangat berarti: “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit”. Yesus sengaja tinggal di sana dua hari lalu pergi ke Betania untuk menghibur Maria dan Marta.

Ketika Marta berjumpa dengan Yesus, Marta berkata, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak akan mati. Tetapi sekarang pun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepadaMu segala sesuatu yang Engkau minta kepadaNya”. Yesus berkata kepada Marta, “Saudaramu akan bangkit”. Marta berkata kepada Yesus: “Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman”. Yesus menjawab, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walau pun sudah mati”. Marta mengungkapkan imannya dengan berkata, “Ya Tuhan, aku percaya bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dunia ini”

Di dalam  perikop Injil hari ini kita berjumpa dengan figur-figur penting. Pertama, Yesus sendiri. Yesus adalah sahabat Marta, Maria dan Lazarus. Diceritakan bahwa Yesus mengasihi Marta, Maria dan Lazarus (Yoh 11: 5-6). Dalam konteks relasi persahabatan di antara mereka, benar-benar menunjukkan bahwa Yesus sungguh Allah dan sungguh manusia. Yesus sungguh manusia ditunjukkan dengan persahabatan yang akrab dengan Marta dan Maria serta saudara mereka Lazarus. Berita tentang sakit dan kematian Lazarus cepat menyebar. Yesus ketika mendengar kematian Lazarus, Ia berkata, “Lazarus saudara kita tertidur.” Yesus menunjukkan ke-Allahannya dengan membangkitkan Lazarus yang sudah meninggal 4 hari. Kedua, Marta membantu kita untuk memahami makna cinta kasih yang benar kepada Tuhan melalui semangat melayani. Ia selalu siap untuk melayani Tuhan dan sesama manusia, kapan dan di mana ia dibutuhkan. Ia juga bergerak, pergi mendapatkan Yesus untuk berbicara tentang Lazarus. Dalam dialog dengan Yesus, ia menujukkan perkembangan iman yang menakjubkan. Ketiga, Maria. Dikisahkan bahwa Maria tetap berada di rumah. Ia tinggal karena masih berduka atas meninggalnya saudara mereka Lazarus dan menerima tamu yang datang untuk menghibur mereka. Ia tetap menunjukkan hidupnya sebagai murid yang tekun mendengar Sabda dan melakukannya di dalam hidup.

Semua figur di dalam Alkitab menjadi model kekudusan bagi kita semua. Seluruh hidup mereka hanya untuk Tuhan. Ini juga merupakan persembahan yang sangat berarti bagi Tuhan. Dasarnya adalah cinta kasih. Yohanes dalam bacaan pertama, menulis, “Anak-anakku yang terkasih, marilah kita saling menaruh cinta kasih, sebab cinta kasih berasal dari Allah, setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah, sebab Allah adalah cinta kasih”. Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Dari kodratNta Dialah kasih sejati, yang tidak berkesudahan. Di samping Allah digambarkan sebagai kasih yang kekal, Ia juga yang memulai segalanya dalam kasih. Ia mencurahkan segala kasihNya kepada manusia dan diharapkan bahwa kita semua juga saling mengasihi satu sama lain.

Santa Marta hari ini menginspirasikan kita untuk menjadi pribadi yang setia di dalam rumah tangga dan komunitas, memiliki semangat iman, praktis, ramah dan rajin dalam berkarya. Di samping itu imannya kepada Yesus juga berkembang. Tadinya mungkin ia hanya mengenal Yesus sebagai sahabat yang sering menginap di rumahnya, tetapi seiring waktu ia juga melihat ke-Allahan Yesus. Ia menyatakan imannya kepada Yesus bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Ungkapan iman yang lebih sempurna adalah ketika ia takjub melihat saudaranya Lazarus yang sudah berada di liang kubur 4 hari dapat dibangkitkan oleh Yesus. Lazarus bangun dan keluar dari kuburnya. Ini adalah peristiwa yang sangat meneguhkan iman Marta dan tentu bagi kita semua semua saat ini. Yesus adalah segalanya!

Setiap orang memiliki pergumulan hidup tertentu. Ada orang bergumul dengan dirinya karena banyak persoalan yang harus dicari solusinya. Ada orang yang mengalami penolakan tertentu di dalam hidupnya. Ada juga yang kehilangan orang-orang yang dikasihi karena kematian atau perpindahan ke tempat tugas yang baru. Pergumulan hidup itu jangalah menjadi penghalang untuk berjumpa dengan Tuhan. Kata-kata Marta: "Tuhan, sekiranya Engkau berada di sini!" Di dalam pergumulan hidup kita juga sering bertanya, tentang eksistensi Allah, "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini maka... tetapi mengapa masih ada kejahatan, pertikaian di dunia?". Kita percaya kepada semua rencana dan kehendak Tuhan di dalam hidup pribadi, komunitas dan segala pekerjaan kita.

Doa: Tuhan, kami berterima kasih kepadaMu karena Engkau menganugerahkan kami Santa Marta. Ia menunjukkan kekudusan dalam hidupnya. Semoga kekudusannya menginspirasikan seluruh hidup kami saat ini. Amen

PJSDB

Sunday, July 28, 2013

Homili Hari Minggu Biasa XVII/C

Hari Minggu Biasa XVII/C
Kej 18:20-32
Mzm 138: 1-2a.2bc-3.6-7ab.7c-8
Kol 2:12-14
Luk 11:1-13

Tuhan, ajarlah kami berdoa!

Ada seorang sahabat pernah mengatakan bahwa usaha mendefinisikan doa itu mudah tetapi menjadi seorang pendoa itu suatu perjuangan sepanjang hidup kita. Ketika mengingat kembali pernyataan ini saya merasa ada benarnya juga. Banyak kali kita hanya berada pada level akal budi dalam arti mampu memahami definisi doa tetapi belum mampu menyelami doa secara mendalam. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa doa berarti mengarahkan hati kepada Allah. Ketika seseorang berdoa, saat itu ia masuk dalam hubungan yang hidup dengan Allah. Orang itu tentu percaya bahwa ada Allah sehingga ia dapat berkomunikasi denganNya. Semakin orang tekun berdoa, ia juga akan akrab dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan (KGK 2558-2565). Saya teringat Filsuf Soren Kierkegaard (1813-1855) pernah mengungkapkan pengalaman doanya dengan berkata: “Berdoa bukan berarti mendengarkan apa yang engkau ucapkan sendiri; berdoa berarti mengheningkan diri dan menunggu sampai engkau mendengar Allah berbicara”. St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus berkata: “Bagiku, doa adalah ayunan hati, suatu pandangan sederhana ke surga, seruan syukur dan cinta kasih, baik di tengah percobaan maupun kegembiraan”.

Pertanyaan sederhana bagi kita semua adalah apakah kita pernah merasa bahwa kita berdoa dengan penuh iman dan kepercayaan? Orang-orang Yahudi memiliki tiga waktu doa dalam sehari yakni Shaharit (pagi-pagi buta), Minha (siang menjelang sore) untuk mengiring persembahan di Bait Suci Yerusalem dan Maariv (malam). Para Rabi Yahudi memiliki lebih banyak waktu untuk berdoa dan mereka juga memiliki tugas untuk mengajar para muridnya untuk berdoa mulai dari doa sederhana yang mudah diingat sampai doa yang rumit dan panjang. Yesus juga mengalami hal yang sama. Para muridNya memohon supaya Ia mengajar mereka berdoa seperti Yohanes juga mengajar para muridnya berdoa. Sebuah permohonan yang bagus: “Tuhan ajarlah kami berdoa”. Yesus mengajar para murid berdoa dengan berkata: “Apabila kamu berdoa, katakanlah”.

Yesus mengajar mereka pertama-tama menyapa Allah sebagai Abba artinya "Bapa tersayang". Setelah itu Ia mengajar mereka lima kalimat doa. Dua kalimat doa berupa doa pengharapan yang menyangkut jati diri Bapa  yakni dikuduskanlah namaMu dan datanglah KerajaanMu. Tiga kalimat bersifat permintaan untuk kebutuhan manusia yakni  berikanlah kami, ampunilah kami dan janganlah membawa kami. Di samping mengajar mereka lima kalimat doa ini, Yesus juga mengajar para muridNya tentang sikap-sikap yang baik untuk berdoa serta alasan-alasannya yakni kalau berdoa hendaknya mereka memiliki sikap meminta seperti seorang sahabat kepada sahabatnya, meminta dengan nekat atau tekun dan dengan demikian  permintaan itu akan dikabulkan oleh Bapa di surga.
  
Pengajaran Yesus tentang doa ini membuka wawasan kita untuk berani berdoa. Doa menjadi sebuah kebutuhan kita setiap saat. Doa seorang pengikut Yesus Kristus adalah seperti sebuah percakapan antara seorang anak dan dengan Bapa. Dalam suasana sebagai sahabat yang akrab maka kita akan menyampaikan kepada Bapa semua permintaan yang kita inginkan, bahkan yang paling mendesak sekali pun. Dialah yang menjadikan segalanya bagi kita. Di samping itu ada satu harapan manusia yakni Allah yang disapa sebagai Bapa dapat menyempurnakan segala pekerjaanNya yang sudah di mulai dalam diri Yesus PutraNya yakni menegakkan pemerintahan, kerajaanNya di tengah umatNya. Dengan menegakkan pemerintahanNya maka semua makhluk akan mengakui, tunduk dan memuliakan namaNya.
Di samping pengajaran tentang harapan kepada Bapa, Yesus juga mengajar para murid untuk berani meminta untuk memenuhu segala kebutuhan hidup. Permintaan supaya setiap hari bekal jasmani dan rohani dipenuhi sehingga mereka dapat bertahan hingga keabadian. Di samping itu semoga Tuhan juga mengampuni dosa dan salah yang sudah diperbuat. Mereka juga semakin terbuka untuk menerima pengampunan dari Bapa dan mereka sendiri memiliki kemampuan untuk mengampuni kesalahan sesama. Pada akhirnya mereka juga memohon agar Bapa tidak memberi pencobaan hidup yang berat karena dapat membuat mereka kehilangan iman atau murtad. Semua harapan dan permohonan ini didoakan dengan penuh kepercayaan dan ketekunan.

Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kita menemukan figur Abraham sebagai model dan teladan doa. Abraham mendengar Allah. Dia taat kepadaNya dan mau pergi kemana saja sesuai dengan perintah Allah serta melakukan apa yang dikehendakiNya. Sikap Abraham yakni mendengar dan siap sedia menjadi pendorong kehidupan doa pribadi kita. Ia berani untuk mendirikan altar dan tempat untuk berdoa. Abraham juga memiliki pengalaman doa yang mendalam sebagaimana kita temukan dalam bacaan pertama. Ketika Abraham melihat bahwa Allah hendak menghancurkan kota Sodom yang penuh dosa, Abraham berusaha membela kota itu habis-habisan. Dia bahkan berdebat dengan Tuhan demi Sodom. Pembelaan untuk Sodom merupakan sebuah contoh doa permohonan yang terbesar di dalam Kitab Perjanjian Lama. Abraham berkata: “Janganlah kiranya Tuhan murka kalau aku berkata”.

Debat antara Abraham dan Allah membantu kita untuk melihat Allah sebagai Bapa yang berbelas kasih dan rela mendengar umat kesayanganNya. Ia tidak menghendaki kehancuran manusia tetapi keselamatan. Allah yang suka memaafkan manusia. Pada zaman ini banyak orang berbuat dosa, Allah ditinggalkan begitu saja. Namun demikian, Ia tidak pernah melupakan manusia. Ia tetap memberikan anugerah kehidupan kepada mereka. Ia juga tetap menghendaki pertobatan manusia. Kita lalu dikuatkan oleh doa yang selalu diucapkan dalam Ekaristi: “Tuhan Yesus, jangan memperhitungkan dosa-dosa kami, tetapi perhatikanlah iman GerejaMu”. Tuhan selalu melihat iman dan selalu mengampuni dosa dan salah.

Tuhan mengampuni dosa dan salah kita melalui Yesus Kristus PutraNya. Paulus dalam bacaan kedua menjelaskan peran Tritunggal Mahakudus dalam keselamatan kita. Ia berkata: ”Kamu telah dihidupkan Allah bersama dengan Kristus, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran.” Rujukan Paulus adalah pada Sakramen Pembaptisan. Dalam sakramen pembaptisan kita semua telah dikuburkan bersama Kristus, kita juga dibangkitkan bersama Kristus. Iman dan kepercayaan akan kuasa Allah di dalam Yesus PutraNya menyelamatkan kita semua. Di bawah bimbingan Roh Kudus, kita semua menjadi baru. Kita meninggalkan hidup lama dan mengenakan hidup baru dalam Kristus.

Sabda Tuhan pada hari Minggu Biasa XVII/C ini luar biasa. Kita diarahkan Yesus untuk tetap bersatu dengan Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Tritunggal yang kita sembah dan puji serta memuliakan namaNya, kini dan selama-lamaNya. Semoga mulai hari ini kita semakin terbuka kepada Tuhan dalam doa pengharapan dan permohonan. Saya akhiri homili ini dengan mengutip Charles de Foucauld yang pernah berkata: “Berdoa berarti berpikir dengan penuh kasih mengenai Yesus. Doa merupakan perhatian dari roh yang memusatkan diri pada Yesus.Semakin engkau mengasihi Yesus, semakin baik engkau berdoa”. Bagaimana kehidupan doamu? Apakah anda akrab dengan Tuhan seperti Abraham hambaNya?

Doa: Tuhan, kami bersyukur atas SabdaMu pada hari ini. Kami tetap memohon ajarlah kami berdoa! Amen

PJSDB

Saturday, July 27, 2013

Renungan 27 Juli 2013

Hari Sabtu, Pekan Biasa XVI
Kel 24:3-8
Mzm 50:1-2.5-6.14-15
Mat 13:24-30

Tuhan Selalu Sabar

Kisah perjalanan umat Israel berlanjut. Kali ini mereka sudah berada padang gurun sekitar kaki gunung Sinai. Relasi mereka dengan Tuhan perlahan berkembang. Pengenalan mereka akan diriNya sebagai Allah nenek moyang mereka yakni Abraham, Ishak dan Yakub juga semakin kuat. Kekuatan itu ditunjukkan dengan adanya ikatan perjanjian antara Allah dengan umat Israel melalui perantaraan Musa. Kehadiran Tuhan dengan kuasaNya yang dahsyat ditunjukkan dalam fenomena-fenomena alam yakni kilat, petir dan guntur. Umat Israel pun menjadi taat kepadaNya. Bukti ketaatan Umat Israel adalah adanya ikatan perjanjian antara Allah dan mereka dengan adanya sepuluh perintah Allah yang ditulis di atas dua loh batu. Kesepuluh perintah Allah ini diberikan Tuhan Allah kepada umat Israel melalui Musa untuk diterima secara pribadi. Ikatan perjanjian Allah dan manusia bukan sifatnya kolektif melainkan sifatnya sangat pribadi. Ia tidak menyapa dengan kata “kalian” tetapi “engkau”. Sapaan ini mengingatkan relasi pribadi antara Tuhan dan setiap anak Israel. Hingga saat ini juga relasi mendalam dengan Tuhan memang sifatnya pribadi. Tuhan menghormati kebebasan setiap pribadi dan memberikan kehendakNya kepada manusia untuk bersatu denganNya.

Pada hari ini kita mendengar bagaimana ikatan perjanjian antara Yahwe dan bani Israel di perbaharui. Pada suatu kesempatan Tuhan memanggil Musa, Harun Nadab, Abihu dan tujuh puluh orang tua-tua Israel untuk menghadap Tuhan sambil menyembah dari jauh. Musa sendiri adalah satu-satunya di antara mereka yang diperkenankan mendekati Tuhan untuk mendengar pesanNya. Setelah bersatu dengan Tuhan, Musa kembali dan memberitahukan kepada bangsa Israel segala Firman dan peraturan dari Tuhan sebagai wujud kehendakNya untuk dapat ditaati. Bani Israel pun serentak menjawab: “Segala Firman yang telah diucapkan Tuhan itu akan kami lakukan” (Kel 24:3). Janji tanpa ada bukti nyata dapat menjadi janji yang kosong. Musa mengetahui mentalitas bangsanya. Oleh karena itu Musa juga menuliskan segala Firman Tuhan, mendirikan mezbah di kaki gunung dan meminta kaum muda Israel untuk mempersembahkan kurban bakaran kepada Yahwe. Mereka pun mempersembahkan kurban bakaran dan menyembelih lembu-lembu jantan sebagai korban keselamatan dari Tuhan.

Tanda lain yang dilakukan Musa adalah mengambil sebagian darah dan diletakkan di dalam pasu dan sebagian juga disiram di atas mezbah. Firman Tuhan pun dibacakan dengan suara lantang supaya dapat didengar oleh segenap umat Israel. Agar perjanjian dengan Tuhan itu lebih kuat lagi maka Musa mengambil darah hewan sembelihan di dalam pasu dan menyiramkannya kepada bangsa Israel sambil berkata: “Inilah darah perjanjian yang diadakan Tuhan dengan kamu berdasarkan segala firman ini” (Kel 24:8).

Apabila kita perhatikan baik-baik acara pembaharuan ikatan perjanjian antara Yahwe dan bani Israel maka pikiran kita akan langsung tertuju pada sakramen Ekaristi yang selalu kita rayakan bersama. Di dalam perayaan Ekaristi terdapat dua bagian penting yaitu bagian Sabda dan bagian Ekaristi. Bagian Sabda berisikan Sabda Tuhan yang didengar oleh semua umat Tuhan. Setiap kali mengakhiri Sabda selalu dengan kalimat: “Demikianlah Sabda Tuhan” dan umat menjawab “Syukur kepada Allah”. Bagian kedua dalam perayaan Ekaristi adalah liturgi Ekaristi yang berisi kenangan akan pengurbanan Kristus di kayu Salib hingga kebangkitanNya yang mulia. Persembahan roti yang akan menjadi Tubuh Kristus dan anggur menjadi Darah Kristus merupakan kehadiran nyata Yesus di dalam perayaan Ekaristi.

Apa yang menarik dari perayaan Ekaristi? Demikian pertanyaan dari salah seorang muda kepadaku. Menurut saya seluruh perayaan ekaristi selalu menarik. Di dalam perayaan Ekaristi terdapat kesempatan untuk merasakan kesabaran Tuhan. Bagaimana kita dapat merasakan kesabaran Tuhan? Sejak awal perayaan Ekaristi, kita semua diajak oleh imam untuk memeriksa bathin, menyesali dosa dan salah dan menyatakan dengan terbuka pertobatan kita di hadapan Tuhan dan sesama. Apa yang diharapkan dari pertobatan dalam perayaan Ekaristi? Kita semua yang ikut dalam perayaan Ekaristi dapat merasakan kesabaran Tuhan dan melalui pengampunanNya yang baru hari demi hari. Di samping pernyataan tobat, setiap pribadi yang sedang merayakan Ekaristi juga bukanlah orang yang sempurna. Ada orang yang baik dan ada juga orang yang jahat. Mereka sama-sama berkumpul untuk mendengar Sabda yang sama dan Tubuh serta Darah Kristus yang satu dan sama. Maka dengan merayakan Ekaristi setiap hari, kita juga merasakan kesabaran dan belas kasih Tuhan.

Penginjil Matius hari ini mengisahkan sebuah perumpamaan lain dari Yesus tentang lalang di antara gandum. Kerajaan surga yang diwartakan Yesus memang sangat bagus tetapi masalahnya adalah pada para pendengarnya. Sabda Tuhan diwartakan Yesus dan mereka yang menerimanya adalah orang baik dan jahat. Orang yang baik akan mendengar dan menjadi pelaku Firman. Orang yang jahat tidak mendengar Sabda dan melakukannya. Hal ini di gambarkan oleh Matius dalam perumpamaan lalang di antara gandum. Ada seorang menaburkan benih gandum tetapi ada musuh yang ikut menabur lalang pada malam hari.
Ada orang baik pasti ada orang yang jahat! Dalam kisah ini kelihatan manusia adalah selalu tidak sabar. Hal ini ditunjukkan ketika para pekerja meminta kepada pemilik ladang untuk mencabut lalang, tetapi pemilik ladang itu mengatakan "Biarkan keduanya bertumbuh bersama sampai waktu menuai tiba. Pada waktu itu Aku akan berkata: 'kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berkas-berkas untuk dibakar, kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lambungku". Kesabaran Tuhan ditunjukkan dengan membiarkan lalang dan gandum untuk tumbuh bersama sampai musim panen. Tuhan juga membiarkan orang baik dan jahat hidup bersama supaya kebaikan orang benar dapat mengubah orang jahat menjadi baik. Mengapa? Karena sejak semula Tuhan menabur hanya benih yang baik, tanpa lalang. Lalang itu adalah ulah manusia yang jahat. Maka Tuhan mengharapkan setiap orang untuk bertobat dan mempertobatkan sesama yang lain.

Doa: Tuhan Bapa yang mahabaik, Engkau selalu sabar dengan manusia ciptaanMu yang berdosa. Kami memohon kepadaMu untuk tetap mengampuni kami yang berdosa ini. Amen

PJSDB

Friday, July 26, 2013

Renungan 26 Juli 2013

St. Yoakim dan St. Anna
Sir 44:1.10-25
Mzm 132:11.13-14.17-18
Mat 13:16-17

Memuji orang-orang yang termashyur

Pada hari ini seluruh Gereja Katolik memperingati St. Yoakim dan St. Ana, orang tua dari Bunda Maria. Keduanya dikenal sebagai keturunan raja Daud. Mereka adalah orang yang setia melakukan kewajiban agama, dan setia mengasihi dan mengabdi Allah. Oleh karena itu mereka layak di hadirat Allah dan ikut serta dalam karya keselamatan manusia. Berdasarkan kisah-kisah dalam buku-buku pada abad kedua, diceritakan bahwa Yoakim dan Ana menanti kelahiran seorang anak. Mereka cukup lama menunggu dan mungkin saja St. Ana juga bertanya kapan Tuhan dapat menganugerahkan anak kepadanya. Masa penantian itu diisi dengan doa tanpa henti kepada Yahwe. Mereka juga menyempatkan diri untuk berziarah ke Yerusalem untuk berdoa di dalam Bait Allah. Ia berjanji bahwa kalau saja Tuhan mendengar doa-doanya maka ia akan mempersembahkan anak itu kepada Tuhan. Konon Tuhan mengunjungi Ana dan menyampaikan kabar sukacita bahwa ia akan melahirkan seorang anak perempuan yang dapat membawa sukacita besar bagi dunia. Nama Yoakim berarti persiapan bagi Tuhan, sedangkan Ana berarti rahmat atau karunia.

Bacaan-bacaan dari Kitab Suci pada hari ini mengingatkan kita pada figur orang tua. Di dalam bacaan pertama penulis Putra Sirakh mengajak kita untuk mengingat-ingat nama orang-orang yang berjasa di dalam kehidupan kita. Ia menulis: “Kami hendak memuji orang-orang termashyur, para leluhur kita menurut urutannya.” Mengapa nama mereka patut dipuji? Karena mereka adalah orang-orang baik. Dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang kesayangan, kebajikannya tidak akan terlupa, dan diwariskan turun temurun. Keturunan mereka juga lestari untuk selamanya. Ketika meninggal dunia, mereka juga akan dikuburka dengan wajar. Hanya ada satu yang tertinggal yaitu nama. Orangnya boleh meninggal dunia, tetapi namanya akan tetap hidup selamanaya. Nama mereka dikenal karena kebaikan dan kemasyhuran. Nama mereka juga akan hidup terus.

Ketika merayakan ekaristi saya pernah bertanya kepada seorang anak: “Apa yang engkau pikirkan tentang orang tuamu?” Ia memulai litani yang panjang tentang kebaikan dan kelemahan kedua orang tuanya. Namun demikian situasi berubah. Apa yang ia ingin terus merasakannya? Ia menjawab, “Aku butuh kehadiran dan kasih sayang orang tuaku. Jawaban sederhana ini sungguhlah mendalam. Anak-anak dari masa kecilnya butuh kasih  sayang dan kebaikan hati orang tua. Bunda Maria pasti mendapatkan semua ini dari Yoakim dan Ana sebagai rahmat istimewa dari Allah Bapa. Kekudusan dan kebaikan mereka dapat membantu kita untuk dapat berjalan menuju kekudusan.

Penginjil Matius melaporkan sebuah wejangan singkat dari Tuhan Yesus. Ia mengatakan bahwa banyak nabi dan orang benar pernah berpikir, berandai untuk melihat Yesus Putera Allah tetapi ternyata mereka tidak dapat melihatNya. Hanya para murid yang dipilih oleh Tuhan untuk melihat dan mendengar semua perkataanNya. Oleh karena itu Ia berkata: “Berbahagialah matamu karena telah melihat. Berbahagialah telingamu karena telah mendengar.” Perkataan Yesus kepada para muridNya juga tetap aktual di dalam Gereja. Tuhan tetap menyertai GerejaNya dengan SabdaNya di Kitab Suci, dengan Ekaristi yang dirayakan bersama, di mana kita merasakan kehadiran nyata Yesus di dalam sakramen mahakudus. Apakah kita pernah bersyukur karena melihat dan merasakan kehadiran nyata Yesus di dalam sakramen mahakudus?

Sambil kita mengingat dan menghormati orang tua Bunda Maria yakni St. Yoakim dan St. Ana, marilah kita mendoakan orang tua, bapa dan mama, semoga mereka selalu dilindungi dan diberkati oleh Tuhan. Kiranya mereka selalu menyadari panggilan untuk membahagiakan keluarga dan menjadi pendidik pertama bagi anak-anak. Harapan dari anak-anak pada zaman ini adalah selalu merasakan kehadiran dan pendampingan dari orang tua mereka.

Doa: Tuhan, kami bersyukur atas orang tua yang Engkau anugerahi kepada kami. Bantulah kami untuk mencintai dan mengabdi sebagai anak-anak mereka. Berkatilah kami semua. Amen


PJSDB