Saturday, August 31, 2013

Food for thought: Belajar mengasihi dari Allah

Food for thought

Belajar mengasihi dari Allah

Saudara-saudari, kita mengakhiri hari ini dengan sebuah permenungan tentang "Belajar mengasihi dari Allah". Kalimat ini mengingatkan kita akan kata-kata Yohanes dalam suratnya: “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8). Memang “Bukan kita yang mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yoh 4:11). Yohanes juga menulis, “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam Dia” (1Yoh 4:16). 

Paulus juga mengajarkan hal yang sama kepada Jemaat di Tesalonika bahwa Allah adalah kasih dan daripadaNya kasih itu berawal. Ia menulis: “Kalian sendiri belajar kasih mengasihi dari Allah.” Kasih mengasihi sebagai saudara itu tidak hanya sebatas pada orang-orang yang kita kenal tetapi kepada semua orang. Mengapa Paulus menekankan hal tersebut? Karena Tuhan yang adalah Kasih juga mengasihi semua orang.

Kita harus merasa malu ketika kita tidak sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dan sesama. Orang selalu mengatakan agama nazrani adalah agama cinta kasih. Kenyataannya masih ada rasa dendam sehingga orang saling membunuh. Pada saat ini musim PILKADA di tingkat kabupaten dan provinsi. Dengan berjuang untuk sebuah kedudukan, orang lain bisa diperlakukan tidak adil, mengacaukan situasi bahkan sampai ke titik ekstrim yakni membunuh.Yah, mengaku pengikut Dia yang di salib tetapi dirinya membunuh orang. Cinta kasih lalu hanya menjadi sebuah selogan.

PJSDB

Renungan 31 Agustus 2013

Hari Sabtu, Pekan Biasa XXI
1Tes 4:9-11
Mzm 98:1.7-8.9
Mat 25: 14-30

Harga Sebuah Kasih Persaudaraan

Ketika masih menjadi mahasiswa di Yerusalem, saya merasakan betapa bernilainya kasih persaudaraan di dalam sebuah komunitas biara. Saya adalah satu-satunya mahasiswa dari Indonesia bersama para konfrater dari 25 negara yang berbeda. Kami semua tinggal bersama dalam komunitas, multi bahasa terutama bahasa-bahasa neolatin dan Inggris. Pada mulanya saya merasakan banyak benturan budaya tetapi lama kelamaan saya merasakan nilai luhur persaudaraan sejati bersama puluhan konfrater di dalam komunitas. Kebersamaan sebagai pengikut Kristus dari dekat, sebagai anggota tarekat yang sama: satu dalam semangat Salesian Don Bosco, satu perutusan kepada kaum muda yang miskin, satu bapa, guru dan sahabat yaitu Don Bosco. Setiap kali keluar dari komunitas, semua orang melihat komunitas kami yang paling majemuk tapi kompak. Semuanya kelihatan sehati dan sejiwa seperti komunitas gereja perdana. Saya melewati tahun-tahun sebagai mahasiswa teologi hingga imamat yang sangat indah.

Setiap orang memiliki pengalaman kasih persaudaraan yang berbeda-beda. Pengalaman itu bisa saja mendidik, menguatkan dan membuat orang bertumbuh dalam kasih. Santo Paulus menanamkan nilai-nilai kasih persaudaraan kepada jemaat di Tesalonika. Kasih itu bagi Paulus berasal dari Allah sendiri dan mereka memiliki kewajiban untuk menghayatinya dalam kebersamaan sehingga semuanya dapat mencapai kekudusan. Kasih yang dialami berasal dari Allah maka mereka juga harus membaginya kepada saudara-saudari, bahkan orang asing sekalipun. Paulus memang mengerti situasi orang-orang Tesalonika dan percaya bahwa mereka pasti akan menghayati kasih persaudaraan, namun Paulus meminta sesuatu yang lebih. Cinta kasih persaudaraan harus lebih bertumbuh, lebih dihayati karena mereka sendiri mengenal dan mengimani Yesus Kristus. Cinta kasih persaudaraan haruslah menjadi identitas komunitas kristiani dan pribadi orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Kekudusan adalah tujuan utama dari kasih persaudaraan.

Komunitas persaudaraan juga disokong oleh sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain.Orang boleh mengatakan banyak hal tentang cinta dan kasih tetapi lupa sikap saling menghormati dan menghargai manusia sebagai manusia. Santo Paulus kepada jemaat di Tesalonika mengatakan bahwa setiap pribadi mengharapkan untuk dihormati dan dihargai. Untuk itu ketika orang bertumbuh dalam kasih, dengan sendirinya orang juga semakin bertumbuh dalam sikap saling menghormati dan menghargai sebagai sesama. Banyak orang tidak mampu menghargai dan menghormati sesamanya, tetapi selalu berdalil mampu mengasihi. Ini adalah suatu kebohongan! Sikap saling menghargai, menghormati dan mengasihi sebagai saudara membantu setiap pribadi untuk berjalan dalam kekudusan.

Di dalam bacaan Injil hari ini, Yesus memberikan perumpamaan tentang Talenta. Sebagaimana perumpamaan tentang sepuluh gadis terpilih yang menyongsong kedatangan sang Pengantin, aspek kebijaksanaan, keaktifan juga sangat ditekankan dalam perumpamaan ini. Para murid Yesus diharapkan aktif menyiapkan diri untuk menanti kedatangan Tuhan. Dikisahkan dalam perumpamaan ini bahwa ada seorang yang mau bepergian ke luar negeri. Ia memanggil tiga hambanya dan mempercayakan kepada mereka hartanya. Hamba pertama diberi lima talenta, hamba kedua diberinya dua talenta dan hamba ketiga satu talenta. Semua talenta itu dipercayakan berdasarkan kemampuan masing-masing hamba. Ketiga hamba ini diharapkan menunjukkan kreativitas mereka supaya kepercayaan dari tuannya itu dapat terwujud. Hamba pertama menjalani uang itu dan mendapat keuntungan lima talenta. Hamba kedua menjalani uang itu dan mendapat keuntungan dua talenta. Hamba ketiga membawa uang itu ke rumahnya, menggali lobang dan menyembunyikan uang tuannya.

Setelah melewati waktu yang cukup lama, tuan itu kembali dan membuat perhitungan dengan ketiga hambanya. Hamba pertama membawa talenta pemberian tuannya serta keuntungan lima talenta. Tuannya sangat senang dan menganggapnya setia dalam perkara kecil maka ia mendapat tempat yang layak dalam kebahagiaan tuannya. Hal yang sama terjadi untuk hamba kedua yang membawa dua talenta tuannya beserta keuntungannya dua  talenta. Hamba ketiga menghadap tuannya. Sambil memberi talenta ia bersungut-sungut terhadap tuannya: “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan!” Tuan itu marah dan mengataan kepadanya sebagau hamba yang jahat. Talenta itu pun diambil dari padanya kemudian dia sendiri dicampakan ke tempat yang paling gelap.

Perumpamaan tentang talenta kalau dibaca dalam kacamata kristiani, kiranya dapat dipahami seperti ini: Tuan yang mempercayakan talenta kepada ketiga hamba sesuai kemampuan mereka adalah Yesus sendiri. Tuan itu pergi dalam waktu yang lama itu adalah waktu penantian di mana Yesus akan datang untuk mengadili orang yang hidup dan mati. Dia akan datang dalam kemuliaan sebagai Anak Manusia. Untuk itu para hamba yakni para murid harus berusaha untuk menumbuhkan kebajikan-kebajikan (talenta) yang sudah dianugerahkan sehingga menghasilkan buah dalam ketekunan. Pada saat yang tepat, Tuhan akan mengadili setiap pribadi sesuai dengan sikap hidup setiap pribadi. Dalam arti, orang itu menggunakan semua kemampuan yang diberikan Tuhan untuk kebaikan dirinya dan sesama. Mengapa? Karena Tuan itu menunjukkan sikapnya yang bagus yakni murah hati dan percaya kepada para hambanya.

Tuhan murah hati dan selalu menaruh kepercayaan kepada masing-masing kita. Ia sudah menganugerahkan segala kebajikan di dalam diri kita. Ia memberi segalanya kepada kita karena ia sangat mengasihi. Untuk itu, kita juga diharapkan mengembangkan segala kebajikan yang sudah diberikan Tuhan supaya semua orang dari berbagai lapisan dapat bertumbuh dalam kasih persaudaraan. Tuhan akan mengadili kita berdasarkan sikap kita dalam mengembangkan semua anugerah di dalam diri kita. Kita masih punya waktu untuk mengembangkan talenta yang Tuhan percayakan. Jangan putus asa, maju terus, hingga ikut dalam perjamuan kekal di surga.

Doa: Tuhan, kami bersyukur atas segala anugerah yang Engkau limpahkan kepada kami. Semoga semua talenta yang Engkau berikan dapat kami kembangkan dan juga membuat kami bertumbuh dalam kasih kasih persaudaraan. Amen

PJSDB

Friday, August 30, 2013

Food for thought: Keluarga

Hiduplah dengan isterimu sendiri!

Saudara-saudarai terkasih. Kita mengakhiri hari ini dengan sebuah permenungan dari tulisan St. Paulus yang bunyinya: “Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan, supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan, bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah.” (1Tes 4:3-4). Tentu saja Paulus tidak hanya menegur para suami untuk setia kepada istrinya tetapi pertama-tama Paulus mau mengingatkan jemaat di Tesalonika untuk hidup dalam kekudusan dengan menjauhkan diri dari percabulan yang marak saat itu. Berbuat cabul itu dosa! Yesus sendiri di dalam Injil mengatakan: “Setiap orang yang memandang perempuan  serta menginginkannya, sudah berzinah di dalam hatinya” (Mat 5:28). Maka hal ini tentu berlaku untuk manusia secara umum. Setiap orang saling menghormati satu sama lain.

Tetu saja kita semua mengharapkan supaya keluarga-keluarga kristiani  menjadi keluarga yang terbaik. St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus mengharapkan supaya suami dapat mengasihi istri (Efesus 5:25,28,33) seperti Kristus mengasihi GerejaNya. Suami diperintahkan supaya mengasihi istri dan sebaliknya istri tunduk kepada suami. Ketundukan istri bukan berarti menjadi hamba sahaja dan dapat dipermainkan begitu saja sebab suami yang mengasihi istrinya berarti mengasihi dirinya sendiri. Boleh dikatakan kasih kepada Allah harus diawali dalam kasih sebagai suami istri.

Marilah kita berdoa bagi keluarga-keluarga supaya apa yang dipersatukan Allah jangan diceraikan manusia. Semoga Tuhan menjauhkan nafsu-nafsu yang dapat menghancurkan keluarga-keluarga kristiani.

PJSDB

Renungan 30 Agustus 2013

Hari Jumat, Pekan Biasa XXI
1Tes 4:1-8
Mzm 97:1.2b.5-6.10.11-12
Mat 25:1-13

Allah Menghendaki Kekudusanmu

Pada suatu kesempatan saya mengunjungi sebuah komunitas biara. Saya diantar untuk melihat semua tempat di dalam komunitas tersebut. Di depan kapel biara terdapat sebuah bingkai dengan lukisan yang bagus dan ada tulisan “Siate perfetti, come è perfetto il Padre vostro che è nei cieli” (Hendaklah kalian sempurna sama seperti Bapamu di Surga sempurna adanya Mt 5, 48). Sambil memandang tulisan dalam bingkai itu, saya disampaikan bahwa ruangan yang akan kita masuki adalah ruang menuju kesempurnaan. Saya dapat merasakan keheningan dan perjumpaan dengan Tuhan di tempat itu. Ketika kembali ke rumah saya ingat kembali kata-kata Yesus di atas bukit Sabda Bahagia: "Menjadi sempurna, menjadi kudus seperti Bapa di Surga". Santo Dominikus Savio, ketika berjumpa dengan Don  Bosco, ia menunjukkan minatnya kepada kesalehan yang total dan kekudusan. Ia berkata kepada Don Bosco, “Bapa, saya adalah gaun dan anda adalah penjahitnya. Silahkan menjahit sebuah gaun yang indah bagi Tuhan”. Ia mempercayakan dirinya kepada Tuhan melalui bimbingan Don Bosco. Ia pun menjadi orang kudus muda, usianya hanya 14 tahun. Kekudusan atau kesempurnaan rahmat yang berlimpah dan rencana Tuhan bagi setiap pribadi.

St. Paulus mengatakan: “Sebab di dalam Yesus, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” (Ef 1:4). Tuhan memiliki rencana istimewa supaya kita menjadi kudus. Yahwe sendiri berfirman kepada umat Israel: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Kudus bagiKu” (Kel 22:31; Im 20:26). Sebagai pengikut Kristus, kita semua dikuduskan pada hari pembaptisan. Kita dijadikan serupa dengan Kristus karena kita telah mati karena dosa dan dibangkitkan dalam Kristus sehingga memperoleh kemuliaan sebagai Anak Allah yang kudus. Tuhan yang kita imani menghendaki kekudusan kita, karena Dia kudus adanya.

Pada hari ini kita mendengar wejangan lanjutan St. Paulus kepada jemaat di Tesalonika. Paulus menghendaki agar jemaat di Tesalonika sebagai sebuah gereja muda dapat mencerminkan kekudusan Allah. Demi Tuhan Yesus, Paulus dan rekan-rekannya meminta supaya apa yang sudah mereka dengar lewat pewartaannya dapat membuat mereka hidup berkenan pada Tuhan Allah lebih tekun, bersungguh-sungguh. Bagi Paulus, Tuhan menghendaki kekudusan mereka. Apa yang harus mereka lakukan supaya menjadi orang kudus? Jemaat di Tesalonika di harapkan untuk menghindari dosa-dosa seperti percabulan yang marak dalam masyarakat saat itu. Mereka di harapkan untuk setia dalam perkawinan (hidup dengan istrinya sendiri) dalam suasana kekudusan dan kehormatan bukan dengan hawa nafsu. Paulus juga menekankan bahwa Allah memanggil kita bukan untuk melakukan hal yang cemar melainkan untuk melakukan apa yang kudus. Barangsiapa menolak wejangan ini, bukanlah menolak manusia melainkan menolak Allah yang telah memberikan Roh KudusNya.

Wejangan Paulus ini mengantar kita pada satu hal yang penting dalam Gereja yakni kekudusan sebuah keluarga. Pria dan wanita telah meninggalkan keluarga masing-masing sehingga menjadi satu daging maka apa yang telah dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan manusia. Bagaimana mewujudkan kekudusan di dalam keluarga? Suami dan istri harus menujukkan kesetiaan dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit tetap mengasihi selamanya. Saling mengasihi dilengkapi oleh sikap saling menghormati satu sama lain, bukan dikuasai oleh hawa nafsu. Ada seorang sahabat yang pernah bertanya kepada saya, apakah suami dan istri dapat menghayati kemurnian hidupnya. saya mengatakan ya mereka harus menghayati kemurnian hidup sebagai suami dan istri. Dalam arti mereka mengungkapkan cinta kasih mereka bukan kerena nafsu tetapi karena cinta kasih dan saling menghormati. Dampaknya sangat besar, terutama dalam pendidikan anak-anak. Anak-anak bisa menghargai sesama lain kalau mereka juga belajar dari orang tua yang saling menghargai.


Usaha mewujudkan kasih dan sayang di dalam keluarga menjadikan para suami dan istri berjalan dalam kekudusan. Di dalam bacaan Injil kita mendengar perumpamaan Yesus tentang Kerajaan Sorga. Ada sepuluh gadis terpilih untuk menyongsong pengantin. Di antara mereka ada lima gadis bijaksana dan lima yang lain gadis bodoh. Gadis bijaksana membawa pelita dan minyak dalam buli-buli sedangkan gadis yang bodoh hanya membawa pelitanya. Mereka menunggu pengantin hingga tengah malam dan tertidur, tiba-tiba pengantinnya datang. Gadis-gadis bijaksana siap menyongsong pengantin, gadis-gadis bodoh harus pergi membeli minyak dan lambat masuk ke dalam ruang perjamuan. Mereka ditolak masuk ke dalam ruangan dengan perkataan dari tuan pesta: "Aku tidak mengenal kalian!" Pada akhir perikop Injil kita, Yesus berkata: "Berjaga-jagalah sebab kalian tidak tahu hari mau pun saatnya"

Saat untuk berjalan dalam kekudusan adalah saat istimewa. Orang harus menunjukkan satu sikap "berjaga-jaga" atau bersiap siaga untuk menyambut kedatangan pengantin yang tidak lain adalah Tuhan Yesus sendiri. Untuk masuk ke dalam kekudusan bukan hanya sebatas diundang saja tetapi orang harus mengikuti kehendak Bapa di Surga, setia kepada ajaran-ajaran Yesus, terutama pelayanan-pelayanan kasih kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Orang harus punya komitmen yang jelas untuk mewujudkan kehendak Tuhan Bapa di Surga di dalam hidupnya. Contoh yang diberikan Yesus tentang para gadis ini menggambarkan bagaimana orang harus berusaha untuk mewujudkan komitmen mereka sebagai pengikut Kristus sehingga dapat memperoleh kehidupan kekal (kekudusan).


Perumpamaan yang bersifat eskatologis ini berisikan simbol-simbol penting untuk kita pahami. Kerajaan Sorga itu sebuah sukacita seperti pesta pernikahan. Semua orang diundang tetapi harus menunjukkan jawaban dengan komitmen tertentu. Kalau tidak memiliki komitmen maka tuan pesta akan mengatakan tidak mengenal, meskipun selalu memanggil "Tuan-tuan bukakan pintu". Pengantin adalah Yesus sendiri sebagai hakim yang datang untuk mengadili orang hidup dan mati. Kita menanti kedatanganNya dan Dia sendiri mengakui diriNya sebagai mempelai (Mat 9:15). Gadis-gadis itu adalah simbol para murid Yesus. Di antara mereka ada yang setia ada juga yang tidak setia dalam mengikuti Yesus. Minyak adalah simbol pekerjaan-pekerjaan baik atau karya amal kasih yang dapat dilakukan para murid sambil menanti kedatangan Tuhan. Perbedaan gadis bodoh dan gadis bijaksana hanya mau mengatakan kepada kita bagaimana sikap hidup umat kristiani untuk menyambut kedatangan Tuhan pada akhir zaman. Ada yang menanti dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik, ada yang lalai melakukan perbuatan baik.

Sabda Tuhan hari ini mengarahkan kita untuk menerima dan menjalani hidup harian kita dalam kasih. Kita mewujudkan cinta kasih dalam panggilan hidup kita masing-masing, karena semua ini adalah rencana dan kehendak Tuhan bagi setia pribadi. Perbuatan kasih itu hendaknya menjadi nyata di dalam hidup setiap hari. Itulah minyak dalam buli-buli, perbuatan kasih di dalam hidup kita. Kita belajar dari Tuhan Yesus yang mengajar kita berbuat kasih kepada sesama. Dengan demikian kita juga mencapai kekudusan karena mampu mengasihi Tuhan dan sesama.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk menjadi murid-muird yang bijaksana dalam menanti kedatanganMu. Amen

PJSDB

Thursday, August 29, 2013

Renungan 29 Agustus 2013

Yohanes Pembaptis, Martir
Yer 1:17-19
Mzm 71:1-4a.5-6b.15ab.17
Mrk 6:17-29

Jangan gentar!

Salah satu hal yang sudah menjadi kebiasaan di dalam masyarakat kita adalah orang tidak berani untuk mengoreksi perilaku yang berlawanan dengan kaidah sosial. Misalnya, seorang pejabat publik berbuat mesum. Banyak kali pejabat tersebut leluasa bekerja tanpa ada rasa bersalah dan orang lain di sekitarnya berusaha menutupi perbuatannya. Mungkin saja orang takut kehilangan simpatik, dana, pangkat atau kedudukan. Hanya ada satu dua pejabat publik yang menjadi korban pejabat yang lain sehingga kasus mereka muncul di publik dan dicemooh serta ditertawakan. Kadang media komunikasi sosial juga tidak berani menyampaikan kepada publik kejahatan pejabat tertentu karena orang kuat ada di belakangnya. Media takut berurusan dengan “Bapa” yang berduit atau bersenjata. Demikianlah situasi sosial kita di mana banyak kali dosa itu bertumbuh dan bertambah banyak. Pada zaman dahulu juga ada krisis moralitas yang memalukan. Kasus Herodes Antipas dan perkawinannya merupakan salah satu contoh yang akan kita dengan dalam bacaan Injil hari ini. Kita butuh Yohanes Pembaptis baru atau nabi Yeremia baru saat ini untuk menegur dan mengoreksi pejabat yang mengalami krisisi moral.

Tuhan pernah berfirman kepada nabi Yeremia untuk tidak takut, tidak gentar  di hadapan umat Allah yang memiliki kebiasaan jatuh dalam dosa. Tuhan berfirman: “Baiklah engkau bersiap! Bangkitkanlah dan sampaikanlah kepada umatKu segala yang Kuperintahkan kepadamu. Jangan gentar terhadap mereka, supaya Aku jangan menggentarkan engkau di hadapan mereka. Pada hari ini Aku akan membuat engkau menjadi kota yang berkubu, menjadi tiang besi dan menjadi tembok tembaga melawan seluruh negeri ini, melawan raja-raja Yehuda, dan pemuka-pemukanya, menentang para imam dan rakyat negeri lain. Mereka akan memerangi engkau, tetapi tidak akan mengalahkan engkau, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau”

Yeremia adalah seorang nabi yang banyak mengalami penderitaan silih berganti dari orang-orang terdekatnya. Ia memang orang yang lurus di dalam pikirannya, selalu memperjuangkan keadilan sosial, mengoreksi para pejabat publik saat itu untuk melayani sesuai kehendak Tuhan. Namun demikian ancaman demi ancaman, penganiayaan demi penganiayaan pun di alami Yeremia. Apakah Yeremia mundur dari tugasnya sebagai nabi? Ternyata tidak. Ia percaya bahwa Tuhan menyertainya sehingga ia tidak gentar terhadap siapa pun. Ia tahan banting, laksana tiang besi dan tembok untuk melawan para pejabat publik yang hidupnya tidak layak dalam masyarakat saat itu. Yeremia mampu bertahan karena ia merasakan pertolongan yang datang dari Tuhan.

Tokoh lain yang juga sangat berani adalah Yohanes Pembabtis. Kita semua mengetahui identitasnya yakni sebagai suara yang berseru-seru di padang gurun untuk menyiapkan jalan bagi Tuhan. Ia juga orang yang berani mengoreksi Herodes Antipas yang mengambil Herodias, istri saudaranya Filipus. Herodes Antipas adalah anak dari perkawinan Herodes Etnarkos dan Maltake. Ia menguasai daerah Galilea dan Perea. Ia memenjarakan Yohanes pembaptis (Mrk 6:14-28) dan sempat bertemu dengan Yesus (Luk 23:7). Yesus sendiri menjuluki Herodes Antipas sebagai "si serigala" (Luk 13:31). Dialah anak Herodes yang paling pintar. Ia membangun kota Tiberias di Galilea. Ia menikah dengan putri Nabatea Aretas IV, tetapi menceraikannya dan menikah dengan Herodias, istri Filipus. Herodes Filipus seayah dengan Antipas tetapi ibunya lain.

Peristiwa perkawinan ini menarik perhatian publik. Yohanes Pembaptis juga mendengarnya dan menegur Herodes Antipas karena perilakunya itu melawan hukum, lagi pula ia sebagai panutan masyarakat Galilea saat itu. Ia berkata kepada Herodes: “Tidak halal engkau mengambil istri saudaramu!” Dengan teguran ini, Herodes berniat membunuh Yohanes Pembaptis. Yohanes dipenjarakan di Macheronte, dekat Laut Mati, sebuah tempat di mana terdapatrumah peristirahatan Herodes. Sebenaranya Herodes sendiri takut karena banyak orang mempercayai Yohanes sebagai nabi. Yohanes bagi Herdes adalah orang suci, ia senang dengan Yohanes tetapi hatinya selalu terombang ambing ketika mendengar Yohanes namun ia melindunginya. Ketika terjadi perjamuan ulang tahun Herodes, putri Herodias menari dan menyukakan hati Herodes. Ia berjanji kepada anak itu, akan memberi apa saja yang dimintanya. Setelah dihasut oleh ibunya Herodias, akhirnya ia meminta kepala Yohanes Pembaptis di atas sebuah talam. Yohanes pun dipenggal kepalanya. Para muridNya mengambil sisah tubuhnya untuk dikuburkan dengan wajar.

Yohanes Pembaptis menjadi martir karena mengajar kebenaran. Ia tidak takut untuk mengoreksi pejabat publik yang menyalahgunakan kuasanya dan yang tidak bermoral. Kemartiran Yohanes menjadi tanda awal di mana Yesus Kristus juga akan mengalami hal yang sama sebagai martir agung. Yesus sendiri mengatakan bahwa Yohanes adalah yang terbesar yang dilahirkan oleh wanita (Mat 11:11). Ia akan memikul salib dan wafat karena dosa umat manusia. Apakah kita juga peka terhadap situasi sosial dalam masyarakat kita yang penuh dosa: korupsi, krisis moral dan kejahatan-kejahatan publik terstruktur lainnya? Apakah ada pengikut Kristus yang berani bersaksi tentang kebenaran? Jangan gentar, bersuaralah seperti Yohanes!

Doa: Tuhan, kami berdoa bagi para pejabat pemerintah di negara kami untuk berlaku jujur dan adil. Amen

PJSDB

Wednesday, August 28, 2013

Renungan 28 Agustus 2013

St. Agustinus
Hari Rabu, Pekan Biasa XXI
1Ts 2:9-13
Mzm 139:7-8.9-10.11-12ab
Mat 23:27-32



 Janganlah seperti kubur!

Pada suatu kesempatan saya bertamu di rumah sebuah keluarga. Mereka menyiapkan hidangan yang lezat. Hanya ada satu kekurangan saat itu yakni ketika menuangkan air ke dalam semua gelas, airnya kelihatan kotor padahal gelas dan tempat airnya bersih. Saya memperhatikan bapa dan ibu di dalam keluarga tersebut bingung dengan keadaan air yang kotor itu. Saya mengatakan kepada mereka bahwa kemungkinan bagian dalam tempat air itu belum bersih. Dan memang benar demikian. Mereka melihat tempat airnya bersih hanya di luarnya saja dan langsung mengisi air minum. Akibatnya adalah air kotor dimasukan ke dalam gelas minum. 
Ada juga pengalaman yang lain: Ketika masih bertugas di Sumba, NTT, saya memperhatikan salah satu kebiasaan yakni mereka menguburkan jenazah di depan rumah tinggal. Kuburannya sangat bagus melebihi rumah yang mereka huni. Ada kubur-kubur tertentu yang dilengkapi dengan lukisan Yesus atau malam perjamuan terakhir. Sangat menakjubkan! Ketika saya bertanya kepada seorang sahabat, ia berkata: “Kubur adalah rumah masa depan maka layaklah dibuat lebih bagus dari rumah yang sekarang ini”. Wah, ini sebuah cara pandang yang berbeda! Para pastor mengingatkan umat untuk menguburkan jenazah di pekuburan umum tetapi ada juga yang tetap menguburkannya di depan rumah tinggal. Dua pengalaman ini mau menggambarkan cara pandang manusiawi kita, ketika lebih mengutamakan bagian luarnya dan lupa bagian dalamnya seperti tempat air dan kuburan.
Selama tiga hari terakhir ini, Tuhan Yesus mengecam para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Kita sudah mendengar lima kecaman Yesus dengan kata yang keras “Celakalah” dan sekarang kita mendengar dua kecaman terakhir tentang kemunafikan hidup dan kedurjaanan serta hidup mereka sebagai keturunan pembunuh para nabi. Siapakah yang dikecam oleh Yesus? Para ahli Taurat dan kaum Farisi. Kedua kelompok orang ini bukanlah orang biasa tetapi orang-orang luar biasa saat itu. Mereka adalah orang pintar dan pandai menarik minat masyarakat luas untuk bersatu dengan mereka. Mereka bisa saja mengundang banyak orang, bersekongkol dan berdemo melawan Yesus.  Namun Yesus sangat berani mengecam mereka terang-terangan bahkan dengan kata “celakalah” karena Dialah Anak Allah.

Para Ahli Taurat adalah sekelompok orang yang  mempelajari Kitab Suci terutama Kitab Taurat. Semua tradisi Kitab Taurat diturunkan turun temurun kepada para murid. Kitab Taurat berisikan 613 perintah dimana terdapat 248 perintah positif dan 365 perintah negative. Semua ini ditafsirkan sesuai selera mereka. Farisi dari kata Ibrani, פרושים - perusyim,  artinya "kelompok yang terasing". Mereka adalah penganut murni Agama Yahudi, sebuah sekte yang berkembang dari kaum 'Hasidim' atau 'Khasidim' (umat Allah yang setia) sejak abad ke 2 sM. Kelompok ini dikenal sejak pemerintahan Yohanes Hyrkanus. Pada masa itu ada perpecahan antara mayoritas golongan Khasidim dan keluarga Hasmonean. Ia tersinggung karena keberatan-keberatan Kashidim atas jabatannya sebagai imam besar. Sejak saat itu muncul golongan Farisi. Golongan Farisi memusatkan perhatian pada pengendalian masalah agama, bukan politik. Perhatian dan kegemaran mereka yang terutama adalah menjalankan Hukum Taurat (tentu saja termasuk sebagai tradisi) secara rinci dan cermat.


Tuhan Yesus mengecam para ahli Taurat dan kaum Farisi karena pribadi mereka seperti kubur. Kita tahu bahwa pada bagian luar kubur tampaknya begitu bagus tetapi di dalamnya penuh dengan bau tulang belulang dan kotoran. Demikianlah hidup mereka penuh dengan kemunafikan dan kedurjanaan. Para ahli Taurat dan kaum Farisi juga dikecam karena membangun makam para nabi dan pura-pura menyesal bahwa seandainya mereka hidup pada zaman dahulu pasti tidak akan membunuh para nabi. Padahal mereka adalah keturunan para pembunuh nabi-nabi. Yesus mengakhiri kecaman ini dengan mengatakan “Penuhlah takaran para leluhurmu” karena mereka jugalah yang akan membunuh Yesus sendiri.

Yesus tidak hanya mengecam para ahli Taurat dan kaum Farisi. Ia juga mengecam para ahli Taurat dan kaum Farisi modern yang munafik dalam perilaku hidup: di dalam keluarga, hidup menggereja dan di tempat kerja. Hitunglah dalam sehari berapa kali anda bersikap munafik di hadapan pasanganmu dan anak-anakmu? Berapa kali dalam sehari anda bersikap munafik di hadapan pimpinanmu, membuatnya dia senang padahal di belakangnya anda melayangkan fitnahan-fitnahan. Anda munafik karena tidak menggunakan waktu kerja dengan efektif dan efisien. Berapa kali dalam sehari anda juga munafik terhadap sesama di dalam lingkungan gereja, berpura-pura mencari alasan untuk menjauhkan diri dari pelayanan tertentu? Mungkin Yesus akan berkata lebih keras kepada kita semua yang mengikutiNya: “Celakalah!” Mari kita tunduk dan memohon ampun dari Tuhan Yesus.


Santo Paulus dalam bacaan pertama menginspirasikan kita untuk memahami lebih dalam semangat missioner. Ia mengingatkan jemaat di Tesalonika akan semua jerih payah yang mereka lakukan dalam mewartakan Injil. Paulus dan rekan-rekannya bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehingga mereka juga tidak menjadi beban bagi jemaat yang dilayani. Di hadapan Tuhan dan sesama, mereka menunjukkan kesalehan hidup, adil dan tidak bercacat. Ini saya kira prinsip yang baik bagi seorang misionaris. Di samping semangat kerja, Paulus juga mengingatkan mereka kemampuannya untuk mengasihi dan meneguhkan iman seperti seorang bapa sayang anaknya. Jemaat di Tesalonika mengalami kasih sayang Tuhan lewat Paulus dan rekan-rekannya.

Memang menjadi misionaris bukan hanya sekedar mengambil air, memericiki dan berkotbahdi depan jemaat, selesai! Misionaris sejati adalah utusan Tuhan untuk meneguhkan iman, menghadirkan Kristus di tengah jemaat untuk diimani dan dikasihi. Misionaris sejati itu seperti seorang ibu yang ramah terhadap anak-anaknya (1Ts 2:7) dan seorang bapa yang mengasihi dan meneguhkan anak-anaknya (1Ts 2:11). Semua pengalaman Paulus ini mengingatkan kita pada Yesus sebagai gembala baik yang selalu hadir di tengah domba-dombaNya. Ia mengenal domba-domba dan domba-domba juga mengenalNya (Yoh 10:14). Pada akhirnya Paulus bersyukur kepada Tuhan karena semua pewartaan mereka diterima dengan baik oleh jemaat. Mereka menerimanya sebagai sabda Tuhan bukan sabda manusia. Allah sendiri giat bekerja di dalam diri orang yang percaya.


Pengalaman iman Paulus ini sebenarnya sangat meneguhkan kita semua. Banyak kemunafikan dan kedurjanaan, banyak ambisi dan upaya untuk membenarkan diri kita karena kita tidak hidup bersama Tuhan. Kita terlampau mengandalkan diri kita dan kita lupa bahwa Allah yang melampaui segalanya karena Dialah Pencipta kita. Mulai sekarang mari kita memandang Tuhan, mengikutinya dari dekat sambil terus menerus memohon kasih dan pengampunanNya yang berlimpah. Tuhan Yesus tidak akan mengatakan kepada kita “Celakalah” karena kita ada di pihakNya.

Doa: Ya Tuhan Yesus Kristus, banyak kali kami bersikap munafik terhadap Engkau dan sesama kami. Bantulah kami hari ini untuk berubah menjadi orang yang mampu mengasihi seperti Engkau sendiri. Amen.

PJSDB

Tuesday, August 27, 2013

Renungan 27 Agustus 2013

St. Monika
1Tes 2:1-8
Mzm 139: 1-3.4-6
Mat 23:23-26

Tidak Pernah Bermulut Manis!


Pada hari ini, seluruh Gereja Katolik merayakan peringatan St. Monika. Beliau adalah ibunda St. Agustinus. Monika lahir di Tagaste, Afrika Utara dari sebuah keluarga katolik yang saleh. Ketika berusia 20 tahun, ia menikah dengan Patrisius, seorang yang masih kafir, cepat panas hati. Monika sendiri lahir dan besar dalam lingkungan keluarga katolik. Hasil pernikahan Monika dan Patrisius ini adalah lahirnya Agustinus yang kelak menjadi St. Agustinus. Agustinus mengawali masa mudanya dengan hidup penuh dosa. Baik Patrisius maupun Agustinus, sama-sama membuat Monika tertekan secara rohani. Patrisius suka mencela Monika yang siang dan malam berdoa supaya anaknya Agustinus dapat berubah menjadi pemuda yang berbudi luhur. Monika pantang menyerah. Ia percaya bahwa Tuhan pasti akan melakukan hal terbaik bagi putranya. Agustinus pergi ke Italia dan di sana ia dibaptis oleh St. Ambrosius yang saat itu adalah Uskup Milano. Hal ini dapat terjadi karena teladan kekudusan dari Ambrosius.
Ada sebuah pengalaman menarik yang menggambarkan relasi rohani yang kuat antara Monik dan Agustinus. Ketika mereka dalam perjalanan pulang ke Kartago, Monika berkata kepada Agustinus: "Anakku, bagi ibu sudah tidak ada sesuatu pun di dunia yang memikat hatiku. Ibu tidak tahu untuk apa mesti hidup lebih lama, sebab segala harapan ibu di dunia sudah dikabulkan Tuhan". Ini sungguh merupakan ungkapan hati seorang ibu yang mengasihi anaknya. Agustinus jatuh dalam dosa, Monika tidak mengutuknya tetapi mendoakan supaya ia dapat bertobat. Santo Agustinus sendiri memberi kesaksian yang lain lagi tentang ibunya: "Sambil duduk di dekat jendela dan memandang ke laut biru yang tenang, ibuku berkata, 'Anakku, satu-satunya alasan yang membuat aku masih ingin hidup sedikit lebih lama lagi adalah aku mau melihat engkau menjadi seorang Kristen sebelum aku menghembuskan nafasku. Hal itu sekarang sudah dikabulkan Allah, bahkan lebih dari itu, Allah telah menggerakkan engkau untuk mempersembahkan dirimu sama sekali kepadaNya dalam pengabdian yang tulus kepadaNya. Sekarang, apalagi yang aku harapkan?" Sebelum meninggal dunia, Monika berkata kepada Agustinus: "Anakku, kenanglah aku di altar Tuhan".
Kisah hidup St.Monika ini memang sangat inspiratif untuk membantu kita memahami Sabda Tuhan pada hari ini. Santo Paulus sejak kemarin menggambarkan semangat misionernya di Tesalonika dengan berbagai suka dan duka yang dialaminya. Kemarin Paulus mengucap syukur kepada Tuhan  karena jemaat di Tesalonika bertumbuh dalam semangat iman, harapan dan kasih. Tuhan sungguh berkenan bagi umatNya. Pada hari ini kita mendengar Paulus tetap memberi kesaksian yang berdasar pada pengalaman hidupnya sendiri. Ia bersaksi bahwa Injil yang diwartakan adalah anugerah dari Allah. Allah yang bekerja di dalam dirinya sehingga ia berani untuk mewartakan Injil. Kita ingat ucapan terkenal Paulus: "Celakalah aku jika tidak mewartakan Injil" (1Kor 9:16).
Untuk mewartakan Injil secara autentik, Paulus mengatakan bahwa ia bersama rekan-rekannya tidak pernah bermulut manis, tidak pernah bekerja sembunyi-sembunyi untuk meraup keuntungan tertentu bagi diri mereka. Semua yang mereka lakukan benar-benar untuk melayani Tuhan dan memuliakan nama Tuhan. Sebagai misionaris dalam mewartakan Injil, Paulus juga mengatakan  bahwa diri mereka tidak mencari pujian dari manusia. Mereka berlaku ramah terhadap semua orang, laksana ibu mengasuh anaknya. Pada akhirnya Paulus mengatakan bahwa mereka sangat mengasihi jemaat sehingga mereka tidak hanya mewartakan Injil, mereka juga membagi hidup mereka bagi jemaat. Pengalaman Paulus ini menarik perhatian kita. Ia bersama rekan-rekannya tidak hanya memberi janji tetapi sungguh-sungguh hadir dan memberi dirinya. Jemaat di Tesalonika merasakan kasih Paulus yang tiada batasnya. Pengalaman Paulus mirip dengan St. Monika yang tidak bermulut manis bagi Agustinus. Ia juga memberi dirinya sehingga dapat mengubah hati anaknya yang keras. Ia tidak hanya berdoa tetapi hadir dalam diri anaknya. Paulus juga demikian, tidak hanya mengumbar janji manis tetapi selalu hadir dan membuat jemaat merasa dikasihi Tuhan.
Di dalam bacaan Injil, Penginjil Matius melaporkan kecaman Yesus lebih lanjut terhadap orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Sebagaimana kecaman Yesus kemarin, Yesus mengecam perilaku munafik mereka yang menghalangi orang lain untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Ada dua kecaman yang dialamatkan Yesus bagi kaum Farisi dan para ahli Taurat. Pertama, Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. (Mat 23:23). Kedua, Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan (Mat 23: 25).

Yesus melanjutkan kecamanNya kepada para ahli Taurat karena perilaku mereka yang hanya mementingkan peraturan dan hukum sehingga mereka lupa pada prinsip-prinsip fundamental seperti keadilan, belas kasih dan kesetiaan. Segala sesuatu yang bersifat batiniah itu sangatlah penting. Mereka lebih mementingkan tanpilan lahiria karena itu akan menjadi sumber kesombongan mereka. Para ahli Taurat dan kaum Farisi bermulut manis tetapi membawa mereka kepada dosa. Mereka lupa diri bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan mereka hendaknya patuh dan setia kepadanya.

Banyak kali kita juga bermulut manis dengan tujuan sekedar menari perhatian orang lain dan perlahan mengantar kita kepada kesombongan diri. Banyak kali kita banyak menuntut supaya orang dapat berbagi sementara kita sendiri tidak mampu berbagi. Kita lalai membangun keadilan, belas kasih dan kesetiaan.Kita menilai orang dari cashingnya dan lupa bahwa manusia memiliki jati diri.Bacaan-bacaan hari ini mengingatkan kita untuk bermulut manis supaya nama Tuhan semakin dimuliakan, menjauhkan diri dari mulut manis yang penuh dengan tipu muslihat. Mari kita belajar dari St.Paulus yang mencari jiwa-jiwa dan menyelamatkan melalui pewartaan Injil. Mari kita meniru teladan St. Monika yang bermulut manis dalam doa sehingga putranya dapat bertobat.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk bertumbuh dalam keadilan, kasih dan kesetiaan sehingga kami juga dapat melakukannya bagi sesama yang lain. Amen

PJSDB

Monday, August 26, 2013

Renungan 26 Agustus 2013

Hari Senin, Pekan Biasa XXI
1Tes 1: 2b-5.8b-10
Mzm 149: 1-2.3-4.5-6a.9b
Mat 23: 13-22

Menjadi Misionaris Sejati!

Ada seorang sahabat saya, dia adalah seorang misionaris di Afrika. Ketika pertama kali tiba di tanah misi, ia memiliki idealisme yang luar biasa untuk melayani umat Allah di sebuah paroki. Setelah melihat dan mengalami sendiri kehidupan bersama umat di paroki itu, ia memulai program mengunjungi setiap keluarga di parokinya, mengetahui semua kebutuhan mereka lalu ia memikirkan sebuah strategi pastoral yang cocok. Setelah mengunjungi semua keluarga katolik, berbicara dengan para pemerintah setempat, ia menemukan bahwa hal pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas katekese umat. Mengapa demikian? Karena ternyata pemahaman umat akan iman masih sangat lemah. Ia mengumpulkan beberapa tenaga pastoral sebagai team katekesenya, membekali mereka beberapa bulan setelah itu mereka bekerja sebagai satu team yang solid untuk melayani umat. Mereka butuh lebih dari satu tahun untuk berkatekese bersama umat. Tentu tidak semua orang memuji strategi pastoralnya tetapi ia tetap maju. Ada umat yang mengatakan, arah pastoral di paroki kog hanya begini saja. Mengapa kita harus kembali mendalami doa-doa yang sudah kita tahu. Namun setelah sepuluh tahun menjadi misionaris di paroki itu, semua orang baru menyadari pentingnya katekese di dalam keluarga dan lingkungan.

Menjadi orang asing dan orang baru di suatu daerah baru seperti pengalaman sahabat misionaris di atas memang membutuhkan iman, harapan dan kasih yang kuat. Kebajikan-kebajikan teologal ini tercermin dalam kerendahan hati, pengorbanan diri dan daya tahan yang kuat untuk melayani Tuhan dan sesama. Pada hari ini kita mendengar dari bacaan pertama tentang pengalaman St. Paulus dalam bermisi di Tesalonika. Dalam Sejarah, Paulus tiba di Tesalonika sekitar tahun 50. Tesalonika adalah ibu kota provinsi Makedonia (Kis 17:1). Paulus sebelumnya sudah memiliki pengalaman bermisi di daerah lain yang pernah dikunjunginya seperti di Filipi di mana ia pernah dianiaya, dihina dan ditolak demi Kristus. Namun demikian ia tetap berani untuk melanjutkan karya misionernya di tempat lain terutama mengarahkan pengajarannya kepada orang-orang kafir dan berhasil membentuk sebuah jemaat baru. Ia merasa bahwa semua kekuatan yang ia miliki berasal dari Allah. Artinya Tuhan Allahlah yang senantiasa menolong Paulus dan rekan-rekannya dalam bahaya atau ancaman tertentu pada saat mewartakan Injil. Pengalaman Paulus mengingat kita akan apa yang dikatakan oleh Yesus sendiri bahwa Ia akan menyertai para muridNya hingga akhir zaman (Mat 28:20), meskipun mereka itu diutus seperti ke tengah Serigala (Mat 10:16).

Paulus memiliki keberanian missioner karena ia percaya bahwa Allah sendiri bekerja di dalam dirinya. Tentang hal ini ia berkata: “Karena Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil kepada kami, karena itulah kami berbicara bukan untuk menyukakan manusia melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kami” (1Ts 2:4). Pengalaman Paulus ini luar biasa. Ia percaya kepada apa yang sedang ia wartakan, bukan hanya kata-kata kosong melainkan seorang pribadi yaitu Yesus Kristus. Tuhan Yesus sendiri menyertainya dan mempercayakan Injil kepadanya untuk diberitakan kepada orang-orang Tesalonika. Semua pelayanan penuh resiko ini dilakukan dengan sempurna oleh Paulus.  Hasilnya adalah orang-orang Tesalonika bertobat dan mengikuti Yesus. Pada saat ini kita pun sedang mengikuti jalan pertobatan yang sama di mana Yesus menjadi satu-satunya Tuhan dan juru selamat kita.

Paulus juga menekankan aspek pelayanan sebagaimana ia sendiri hayati. Pertanyaan bagi kita saat ini adalah bagaimana kita dapat menjadi pelayan yang sempurna bagi Tuhan Allah? Ia menunjukkan tiga sikap dasar yang harus kita hayati yakni: komitmen pada iman, karya amal kasih dan harapan yang dibangun pada Yesus Kristus sendiri. Iman, harapan dan kasih adalah tiga kebajikan teologal yang membantu kita menjadi pelayan Tuhan yang baik. Perlu diingat bahwa menjadi pelayan Tuhan bukanlah kemauan manusia semata tetapi semua itu adalah rencana Tuhan bagi setiap pribadi. Tuhan memanggil dan memilih serta menetapkan kita untuk menjadi pelayan-pelayanNya. Semua orang Kristen pada masa Paulus mengetahui bahwa jemaat induk di Jerusalem adalah yang pertama mengalami penderitaan. Oleh karena itu orang Tesalonika merasa merupakan sebuah kehormatan bahwa mereka tetap setia ketika mereka menjalani penyiksaan. 

Menjadi pelayan Tuhan memang penuh resiko. Paulus mengalaminya namun ia tetap setia melayani Tuhan dalam iman, harapan dan kasih. Di dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus mengecam orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang kelihatan tahu banyak tentang Kitab Suci tetapi mereka sendiri tidak menghayatinya di dalam hidup setiap hari. Mereka adalah orang-orang pintar yang dengan tingkah laku dan ucapan mereka, mereka menghalangi perjalanan sesama untuk berjumpa dan tinggal dengan Tuhan dalam KerajaanNya. Itu sebabnya Yesus mengecam mereka dengan berkata: “Celakalah kalian hai ahli-ahli Taurat dan Kaum Farisi”. Para ahli Taurat adalah mereka yang ahli di dalam hukum Taurat, mungkin sebanding dengan para ahli Kitab Suci dan Hukum Kanonik saat ini di dalam gereja. Kaum farisi adalah satu sekte Yahudi yang sangat ketat memperhatikan hukum Taurat. Yesus tidak mengecam dosa-dosa mereka tetapi mengecam kemunafikan mereka. Yesus menerima orang yang rendah hati bertobat dan kembali kepada Yesus. 

Di dalam hidup kita sebagai misionaris bagi sesama, mungkin saja kita adalah para ahli Taurat dan kaum farisi modern yang banyak mendikte orang untuk berperilaku yang benar, sedangkan kita sendiri tidak melakukannya. Kemunafikan adalah ciri khas para ahli Taurat dan kaum Farisi. Dalam sehari kita dapat bertopeng kekudusan tetapi hati kita begitu jauh dari Tuhan. Kita mengajak orang bertobat tetapi diri kita sendiri tidak mau bertobat. Ini adalah sikap munafik yang selalu ada dan dimiliki oleh banyak orang. Mari kita bertobat!

Doa: Tuhan, ajarilah kami untuk mengenal diri sehingga memiliki kebajikan kerendahan hati dalam melayani Engkau. Amen

PJSDB

Sunday, August 25, 2013

Homili Hari Minggu Biasa XXI/C

Hari Minggu Biasa XXI/C
Yes 66:18-21
Mzm 117:1.2
Ibr 12: 5-7.11-13
Luk 13:22-30

Pertumbuhan Iman Dari Comfort Zone ke Courage Zone

Pernah terjadi sebuah dialog antara dua orang pemuda. Pemuda pertama mengatakan bahwa ia harus berjuang untuk menjadi orang katolik yang baik. Bentuk perjuangannya adalah menghayati nilai-nilai injili dalam hidupnya setiap hari. Ia merasa menghayati nilai injili adalah sebuah kemartirannya. Pemuda kedua dengan santai mengatakan dirinya sudah dibaptis maka jaminan masuk ke surga pasti seratus persen ada. Itu sebabnya tidak perlu memaksa diri berlebihan untuk menjadi martir. Dari dialog kedua pemuda ini menunjukkan bagaimana situasi umum kehidupan beriman bagi banyak orang katolik. Seorang merasa dibaptis, memiliki surat baptis di tangan merasa  bahwa hidup kekal ada di tangannya maka tidak perlu lagi berjuang untuk menghayati imannya. Orang seperti ini tidak akan bertumbuh di dalam iman. Ketika orang merasa nyaman di dalam hidupnya maka daya juangnya juga akan melemah dan mati. Ketika seorang dapat berjuang di dalam hidupnya maka ia akan bertumbuh dan berkembang dalam semua aspek kehidupan termasuk imannya kepada Tuhan. Orang harus berani keluar dari comfort zone ke courage zone.

Pada hari Minggu biasa ke XXI tahun C ini, Sabda Tuhan menantang kita untuk keluar dari comfort zone ke courage zone. Penginjil Lukas mengisahkan Yesus yang masih dalam perjalanan menuju ke Yerusalem. Ia sudah mengangkat mataNya dan memandang ke arah Yerusalem di mana di sanalah Ia akan mewujudkan semua pekerjaan Bapa kepada manusia yaitu keselamatan. Ia akan mewujudkan PaskahNya. Dalam perjalanan melalui kota-kota dan desa-desa, Ia mengajar di dalam Sinagoga, di rumah keluarga-keluarga dan juga di jalan-jalan tentang urgensinya Kerajaan Allah. Banyak orang terpesona karena Yesus pernah mengajar, mereka melihat dan mendengar tetapi mereka sendiri belum menghayati semua pengajaranNya. Mengapa demikian? Karena mereka tidak sungguh mendengarkanNya, menyimpan di dalam hatinya dan tidak melakukannya di dalam hidup setiap hari. Justru hal yang mereka lakukan adalah kejahatan. Mereka lebih nyaman di alam dosa.

Dalam situasi seperti ini, orang Yahudi bertanya dengan nada pesimis kepada Yesus: “Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” Orang Yahudi sendiri mulai merasa pesimis karena keinginan mereka adalah semua orang Yahudi diselamatkan. Masalahnya adalah hidup konkret mereka penuh dengan kejahatan dan dosa. Yesus tidak menjawab pertanyaan mereka bahwa ada sedikit atau banyak orang yang akan diselamatkan. Ia hanya berkata: “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu! Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat”. Di sini, Penginjil Lukas lebih menekankan aspek perjuangan. Apa yang diperjuangkan oleh manusia untuk masuk ke dalam rumah keselamatan? Hanya ada satu jawaban yang pasti yakni pertobatan. Orang harus berani bertobat atau ber-metanoia sehingga dapat menghasilkan buah penebusan yang berlimpah. Orang harus berani keluar dari comfort zone untuk masuk ke dalam courage zone.

Sebaliknya orang yang memiliki pola hidup gampang, merasa nyaman berada di comfort zone tidak akan mendapat apa-apa. Mereka hanya ikut ramai dalam mengikuti Yesus, santai mendengar pengajaranNya dan tidak melakukan Firman Yesus di dalam hidup mereka setiap hari. Ketika mereka mengalami kesulitan atau berada dalam bahaya, mereka hanya akan mengingat kembali masa-masa di comfort zone di mana mereka duduk dan makan bersama tuan rumah. Hanya saja tuan rumah akan mengatakan dengan jujur bahwa ia tidak mengenal mereka. Banyak orang tidak bertobat karena mereka merasa lebih nikmat dengan segala kejahatan yang mereka alami. Orang-orang yang tidak bertobat juga akan enyah, menjauh dari hadapan Tuhan dengan hukuman yang sudah siap bagi mereka. Tuhan justru akan berpaling kepada orang-orang asing dari empat kutub bumi untuk mengikuti perjamuan bersama. Hal ini kiranya sama dengan apa yang dinubuatkan nabi Yesaya dalam bacaan pertama. Tuhan berkata: “Aku mengenal segala perbuatan dan rancangan. Aku datang untuk mengumpulkan segala bangsa dari semua bahasa, dan mereka akan datang serta melihat kemuliaanKu”.

Penginjil Lukas memberi nada optimisme kristiani kepada kita semua. Maksudnya adalah bahwa kita juga akan dipanggil oleh Tuhan dari belahan bumi yang berbeda untuk ikut di dalam perjamuanNya. Kita dipanggil paling terakhir namun lebih dahulu mendapat bagian di dalam Kerajaan Allah. Hal terpenting adalah pertobatan radikal di dalam diri kita. Kita jangan puas dengan kehadiran rutin setiap Minggu untuk mendengar firman dan menerima komuni kudus. Kita hendaknya tetap berjuang untuk mewujudkan pertobatan dan berani memikul salib-salib kehidupan kita. Sabda Tuhan dan Ekaristi yang dirayakan hendaknya memiliki power untuk mengubah hidup, mengeluarkan kita dari comfort zone ke courage zone. Santo Paulus dalam bacaan kedua menyadarkan kita untuk menerima penderitaan hidup sebagai pengalaman yang meneguhkan iman kita. Penderitaan itu sendiri akan menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehNya.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk menghilangkan semua pola hidup gampang sehingga menjadi umat yang selalu berjuang untuk mewujudkan SabdaMu di dalam hidup yang konkret. Amen

PJSDB