Sunday, November 10, 2013

Pengumuman

Para pencinta haniesto.blogspot.com

Saya harus meminta maaf karena terhitung sejak 9 November,  saya tidak lagi postkan tulisan di blog ini. Kalian boleh masuk ke www.pejesdb.com dan mengakses semua tulisan di sana. Jangan lupa tetap menjadi follower dan buatlah comment seperlunya. 

Salam dan berkat selalu

P.John Laba Tolok, SDB
081339445038
28d50251
www.pejesdb.com

Thursday, November 7, 2013

Renungan 7 November 2013

Hari Kamis, Pekan Biasa XXXI
Rm 14:7-12
Mzm 27:1.4.13-14
Luk 15:1-10

Hidup dan Mati untuk Tuhan


Setiap orang pasti mengalami kelahiran dan kematian. Kelahiran mengawali hidup di dunia dan kematian tubuh mengakhiri hidup kita. Oleh karena itu baik hidup maupun mati merupakan dua bagian yang menyatu di dalam tubuh kita. Kita tidak akan menjauhi kematian dan akrab dengan kehidupan saja tetapi kedua-duanya menyatu dan akrab dengan kita. Penyair Khalil Gibran menulis: "Apabila engkau dengan sunguh hati menangkap hakikat kematian, bukalah hatimu selebar-lebarnya untuk wujud kehidupan, sebab kehidupan dan kematian adalah satu, sebagaimana sungai dan lautan adalah satu". Sebagai umat beriman kita selalu mengakui iman dengan berkata: “Aku percaya akan persekutuan para kudus dan kehidupan kekal”. Pengakuan iman ini menyadarkan kita bahwa kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Dia adalah asal muasal kehidupan kita sehingga tubuh kita yang fana ini akan menjadi sempurna atau kudus bersamaNya.

St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma melanjutkan pengajarannya bahwa kita semua mengalami hidup dan mati di dalam tangan Tuhan. Paulus berkata: “Tidak ada seorang pun di antara kita yang  hidup untuk dirinya sendiri dan tidak seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.” (Rm 14:7-8). Pernyataan Paulus ini berdasar pada pengalaman akan Yesus Kristus sendiri. Yesus Kristus tidak pernah datang ke dunia untuk hidup bagi diriNya sendiri. Dia juga tidak pernah mati untuk diriNya sendiri. Seluruh kehidupan dan kematian Yesus hanya untuk keselamatan manusia. Ini adalah kehendak Bapa yang harus Ia taati. Dengan kehidupan dan kematianNya, Ia menjadi Tuhan bagi orang yang hidup dan mati.

Belajar dari Yesus yang hidup dan mati bagi manusia, Paulus lalu menyadarkan kita untuk bertumbuh menjadi sesama bagi manusia yang lain. Menjadi sesama bagi manusia yang lain berarti kita berusaha untuk tidak menghakimi atau menghina sesama. Kita semua percaya bahwa Tuhan Yesus sendiri akan datang untuk mengadili orang yang hidup dan mati. Kita semua akan mengalami nasib yang sama dalam pengadilan terakhir. Maka kita pun akan mempertanggungjawabkan hidup kita di hadirat Tuhan yang Mahakudus. Oleh karena itu kita semua perlu menyadari bahwa baik hidup maupun mati, kita tetaplah milik Tuhan.

Tuhan Yesus sendiri menunjukkan sebuah komitmen untuk selalu mencari dan menyelamatkan orang-orang berdosa. Penginjil Lukas memberi kesaksian bahwa Yesus dalam pengajaranNya memberi perumpamaan tentang domba dan dirham yang hilang. Ketika Yesus kelihatan akrab dengan para pemungut cukai, orang-orang Farisi selalu bersungut-sungut. Mereka menghendaki supaya para pendosa itu di jauhi oleh Tuhan. Memang orang-orang Farisi memahami dosa dan akibatnya yakni hubungan dengan Tuhan menjadi retak. Maka semua orang yang dianggap orang benar seperti Yesus, tidak harus bersahabat dengan mereka. Terhadap pikiran mereka ini, Yesus menggunakan kesempatan untuk mengajar sekaligus meluruskan pikiran mereka. 

Ia mengajar perumpamaan yang pertama: Kalau ada seorang yang mempunya seratus ekor domba dan salah satunya tersesat maka ia akan meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor yang tidak tersesat dan mencari serta menyelamatkan satu ekor yang tersesat. Ketika menemukannya, ia akan bersukacita dengan mengangkat dan meletakkannya di atas pundaknya, memanggil para sahabat untuk bergembira bersama karena ia menemukan kembali domba yang tersesat. Perumpamaan kedua, Kalau ada seorang perempuan yang kehilangan satu dirham dari sepuluh dirham yang ia miliki maka ia akan menyalakan pelita, menyapu rumahnya, mencari dengan cermat sampai menemukannya. Ketika menemukannya, ia akan mengundang para sahabat kenalan dan tetangga untuk bergembira bersamanya karena berhasil menemukan satu dirhamnya yang hilang. Dengan kedua perumpamaan ini, Yesus mau mengatakan bahwa akan ada sukacita di surga kalau satu orang berdosa bertobat, lebih dari sembilan puluh sembilan orang yang mengaku diri orang benar dan tidak membutuhkan pertobatan. Para malaikat pun akan bergembira karena satu orang berdosa yang bertobat.

Adalah sukacita besar ketika kita juga menyadari diri kita sebagai orang berdosa sehingga membutuhkan Tuhan untuk menyelamatkan kita. Ada sukacita karena baik hidup dan mati, semuanya dipersembahkan untuk Tuhan. Maka Tuhan memang memiliki rencana indah untuk keselamatan kita. Ia senantiasa mencari dan menyelamatkan kita karena kita adalah milikNya. Masalahnya adalah kita suka lupa bahwa Tuhan mengasihi kita. Kita berpikir bahwa kita bisa menjalani hidup ini dengan kekuatan diri kita sendiri. Tuhan tidak lagi menjadi andalan hidup kita. Namun Sabda Tuhan pada hari ini mengajak kita untuk kembali kepadaNya. Tuhan Allah dan para malaikatNya bersukacita ketika kita bertobat dan tinggal bersamaNya selama-lamanya, sebagai persekutuan para kudusNya.

Doa: Tuhan, terima kasih karena Engkau memanggil kami untuk bertobat. Semoga hari ini kami boleh bertobat dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang membawa kami untuk menikmati dosa. Ampunilah kami ya Tuhan. Amen

PJSDB

Wednesday, November 6, 2013

Renungan 6 November 2013

Hari Rabu, Pekan Biasa XXXI
Rm 13:8-10
Mzm: 112:1-2.4-5.9
Luk 14:25-33


Berani melepaskan!

Pada suatu acara open house di sebuah seminari diadakan banyak kegiatan yang berhubungan dengan promosi panggilan. Ada kesempatan di mana para romo memberi kesaksian tentang panggilan hidup mereka. Ada seorang romo, misionaris yang sudah empat puluh tahun imamat, mengisahkan pengalamannya yang sangat menarik perhatian kaum muda saat itu. Romo Misionaris dari Eropa itu mengisahkan bahwa ia adalah anak tunggal, keluarganya terbilang kaya. Orang tuanya adalah orang katolik yang taat maka sejak kecil ia selalu dibawa ke gereja dan memperkenalkannya dengan para romo di Gereja. Para romo juga sangat bersahabat dengannya. Ketika memasuki sekolah lanjutan, ia mengatakan kepada orang tuanya untuk menjadi seorang imam. Tentu saja orang pertama yang menolak adalah ayahnya. Ayahnya berpikir tentang perusahan keluarga yang dirintisnya, nantinya siapa yang akan meneruskannya. Ibunya mendukung saja suaminya. Tetapi anak mereka tetap mau menjadi romo. Ia berdoa untuk panggilannya dan berharap bahwa pada suatu saat yang tepat kedua orang tuanya akan mengijinkan dan mendukung. Dan saat itu pun tiba. Ia diijinkan untuk masuk seminari dan menjadi misionaris di daerah yang paling miskin di Indonesia.

Ini hanyalah pengalaman dari salah seorang misionaris yang sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ia memilih  untuk mengikuti Yesus secara radikal sebagai imam. Ia meninggalkan segala-galanya: orang tua, perusahan yang dirintis ayahnya serta semua harta yang menyenangkan hati, tanah kelahirannya sampai meninggal sebagai misionaris di tanah misi. Tuhan selalu memiliki rencana yang indah bagi setiap orang yang dikehendakiNya. Mungkin dalam pikiran manusiawi, kita merasa heran dengan rencana dan kehendak Tuhan tetapi bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.

Pada hari ini kita berjumpa dengan Yesus yang menantang kita semua untuk berani melepaskan. Apakah kita berani melepaskan diri kita dari semua yang kita miliki untuk lebih bebas dalam mengikuti dan melayani Tuhan dan sesama?  Tuhan Yesus tidak hanya mengajar tentang berani melepaskan tetapi Ia sendiri menunjukkan kemampuanNya untuk melepaskan. St. Paulus memberi kesaksian ini: “Yesus Kristus, walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib” (Flp 2:6-8).

Apa dan siapa saja yang harus kita lepaskan supaya lebih bebas mengikuti dan mengasihi Yesus? Pertama, Kita harus berani melepaskan orang-orang yang menjadi bagian dari hidup kita yakni orang tua, saudara-saudara dan nyawa sendiri. Ini memang bukan hal yang gampang. Berani melepaskan orang yang dikasihi itu sulit tetapi Yesus sendiri melakukan hal itu. Kedua, Kita memikul salib dan mengikuti Yesus. Salib adalah pengalaman hidup kita, pergumulan, perjuangan, pengurbanan  yang ada di dalam diri kita supaya orang lain menjadi bahagia. Ketiga, harta kekayaan yang menyenangkan hati kita bisa juga menjadi penghalang untuk berjumpa dengan Yesus. Yesus berkata, “Dimana hartamu berada, di sana hatimu juga berada” (Mat 6:21). Jadi di sini, Tuhan Yesus menghendaki sikap lepas bebas di dalam diri kita, supaya kita semua lebih setia, layak mengikuti dan melayaniNya.

St. Paulus dalam bacaan pertama mengajak jemaat di Roma untuk mewujudkan kasih dalam kebersamaan. Ia mulai dengan ajakan ini: "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat." (Rm 13:8). Prinsip kasih sebagaimana diajarkan Yesus di dalam Perjanjian Baru adalah mengasihi Tuhan dengan seluruh totalitas hidup dan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Prinsip dan hukum kasih ini dapat terlaksa dengan baik ketika seorang memilik sikap lepas bebas. Kalau orang tidak melekat pada barang duniawi maka dia juga akan lebih leluasa mengasihi. 


Hukum kasih kepada sesama meringkas semua perintah Tuhan seperti jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini apa yang menjadi milik sesamamu. Barangsiapa mengasihi sesama, ia juga akan menghormati sesamanya. Barangsiapa tidak mengasihi sesama, ia juga tidak menghormati sesamanya. Bagi Paulus, kasih itu selalu mengarah kepada kebaikan bersama. Artinya kasih itu tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia. Mengapa kasih itu selalu mengarah kepada kebaikan? Karena Allah sendiri adalah kasih.

Mari kita membangun skala prioritas di dalam kehidupan kita dengan menomorsatukan pelayanan kita bagi Tuhan dan sesama dan melupakan atau menyangkal diri kita. Semakin kita berani melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi, kita juga semakin bebas mengasihi Tuhan dan sesama. Kita semakin mantap dalam jalan kekudusan. Apakah anda dan saya berani melepaskan? Kemampuan untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi memampukan kita untuk dapat mengasihi Tuhan dan sesama. 

Doa: Tuhan Yesus Kristus, kami bersyukur kepadaMu karena pada hari ini Engkau menyadarkan kami untuk berani melepaskan diri dari berbagai ikatan duniawi. Semoga kami memiliki sikap lepas bebas untuk mengasihi Engkau lebih dari segalanya. Amen

PJSDB

Uomo di Dio

Harga sebuah harapan

Frank Borehan, penulis buku Life Verses, pernah mengisahkan hidup seorang pastor bernama Bernard Gilpin. Bernard Gilpin dihukum mati oleh Ratu Maria karena imannya kepada Kristus. Konon selama masa tahanan, Bernard menaruh segala harapannya kepada Tuhan sebagai sumber kebenaran. Ayat kesayangannya adalah tulisan St. Paulus kepada jemaat di Roma: “Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm 8:28).

Dikisahkan bahwa dalam perjalan ke tempat eksekusi, secara mengejutkan Bernard jatuh dan kakinya patah. Ia pun di pulangkan ke penjara untuk proses pemulihan, dengan harapan setelah sembuh baru akan dieksekusi. Sambil mengerang kesakitan, seorang sipir mengatakan kepadanya bahwa ayat kesayangannya dari Surat Paulus kepada Jemaat di Roma 8:28 itu terbukti tidak punya dampak. Justru sekarang kakinya patah dan menunggu untuk dieksekusi. Tetapi Pastor Bernard tetap percaya pada sapaan Tuhan melalui St. Paulus ini. Ia mengakui bahwa Allah pasti turut bekerja dalam segala hal dan akan mendatangkan kebaikan baginya karena siang dan malam ia berharap. Setelah ia sembuh dan siap dieksekusi, ratu Maria ternyata sudah lebih dahulu meninggal dunia. Pastor Bernard bersama para tahanan lainnya dibebaskan dari penjara.

Setiap orang menaruh segala harapan kepada Tuhan maka Tuhan akan mengindahkan harapannya. Penulis surat kepada jemaat Ibrani menulis: “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia yang menjanjikannya setia” (Ibr 10:23). Orang yang berpegang teguh pada pengharapannya kepada Tuhan akan merasakan betapa Tuhan itu setia pada setiap janji-janjiNya. Manusia boleh ingkar janji tetapi Tuhan tidak pernah ingkar janji. Manusia boleh tidak setia tetapi Tuhan tetap setia. Manusia boleh kehilangan harapan tetapi Tuhan setia kepada janjiNya.

Apakah makna harapan? Harapan adalah kekuatan yang membuat kita konsisten merindukan tujuan kita diciptakan, yakni untuk memuji Allah dan melayani Dia. Bukan demi Allah kita melakukannya namun demi kebahagiaan kita yang pemenuhannya ada di dalam Allah. Harapan berarti mempercayai apa yang dijanjikan Allah bagi kita dalam kisah penciptaan, pada pewartaan para nabi, namun terutama dalam diri Yesus Kristus meskipun kita sendiri belum melihatNya. Tentu saja kita butuh Roh Kudus supaya memiliki harapan akan kebenaran.

Banyak kali sebagai pria katolik, sama seperti banyak pria yang lain kita kehilangan harapan, mudah putus asa, dan kadang lebih suka mengambil jalan pintas. Ada seorang pemuda yang memiliki masalah yang besar dengan tunangannya. Tunangannya ternyata memiliki hubungan dengan pria lain. Ia mengirim pesan singkat kepadaku bahwa ia mau membunuh dirinya karena ia kehilangan harapan dan kepercayaan kepada tunangannya. Saya heran karena ia nekat untuk mengambil jalan pintas dengan membunuh diri. Setelah saya meyakinkannya maka ia pun membatalkan rencana membunuh dirinya. Banyak pria katolik yang berpikir bahwa dengan membunuh diri itu semua perkara akan habis. Ini adalah tanda-tanda orang yang tidak memiliki harapan di dalam hidupnya. Di hadapan Tuhan kita juga akan mempertanggungjawabkan hidup kita di hadiratNya.

Setiap pria katolik pasti memiliki salib tertentu yang kadang membuat harapan itu lenyap. Tuhan Yesus sendiri mengajak kita sebagai pengikutNya untuk memikul salib hari demi hari dan mengikutiNya. Tuhan menjanjikan harapan akan hidup kekal, dan itulah yang sedang kita cari di dunia ini. Memang, setiap orang memiliki masalah tetapi masalah-masalah itu masih kecil. Kita masih memiliki Tuhan yang jauh lebih besar, yang dapat memberi harapan kepada kita bahwa Dialah yang akan menyelamatkan dan membebaskan kita dari belenggu-belenggu dosa.

Salib adalah pengalaman-pengalaman nyata yang kita alami, yang membutuhkan pengorbanan diri yang besar supaya sesama dapat menikmati kebahagiaan. Salib bagi seorang suami adalah semua pengorbanan, penderitaan yang membuat istrinya berubah menjadi ibu yang baik bagi anak-anak dan istri yang setia baginya. Salib bagi seorang pria katolik adalah semua pengurbanan diri dalam pelayanannya sehingga sesama lain dapat bertobat dan setia kepada Kristus.

Tuhan selalu memiliki rencana dan kehendak baik bagi setiap orang. Bagi seorang pria katolik, butuh iman yang kuat supaya segala harapan benar-benar menjadi nyata di dalam hidup. Jangan pernah menjadi kuatir dalam hidup. Tempatkanlah harapanmu kepada Tuhan, percayalah padaNya dan anda akan merasakan betapa Ia mengasihimu. Apakah anda masih memiliki harapan? Harapan itu indah dan menghidupkan setiap pribadi!

PJSDB 

Tuesday, November 5, 2013

Renungan 5 November 2013

Hari Selasa, Pekan Biasa XXXI
Rm 12:5-16a
Mzm 131:1.2.3
Luk 14:15-24

Satu Tubuh di dalam Kristus

Pada suatu kesempatan saya berjumpa dengan sepasang pasutri. Mereka berdua datang menemui saya di komunitas dengan pakaian seragam batik dengan motif yang sama. Saya memuji mereka: “Wah bajunya seragam”. Isterinya menjawab spontan, “Karena kami satu Romo”. Sebuah jawaban yang spontan tetapi menunjukkan bagaimana gambaran diri mereka sebagai suami isteri, yang bukan lagi dua pribadi tetapi melainkan menjadi satu daging. Prinsip persekutuan di dalam perkawinan memang sangat luhur. Kata-kata Yesus: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Karena itu mereka bukan lagi dua melainkan satu” (Mat 19:5; Mrk 10:8; Ef 5:31). Persekutuan yang akrab dan bersahabat antara dua pribadi menjadi satu adalah tanda yang kelihatan hubungan antara Kristus dan Gereja.

St. Paulus dari bacaan pertama melanjutkan pengajarannya kepada jemaat di Roma tentang persekutuan pribadi dalam kasih. Menurut Paulus, “Segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” (Rm 11:36). Kata-kata ini menggambarkan bagaimana Allah sebagai Pencipta bersatu dengan manusia ciptaanNya. Dia sudah menciptakan, memberikan kebebasan sebagai martabat bagi mereka dan mengarahkan mereka untuk kembali kepadaNya. Suasana kasih ini dilakukan Tuhan bagi manusia ciptaanNya. Selanjutnya Paulus mengatakan bahwa anggota-angota Gereja itu banyak tetapi semuanya membentuk satu tubuh di dalam Kristus. Kita masing-masing anggota yang seorang terhadap yang lain. Oleh karena itu setiap anggota yang membentuk satu tubuh Kristus yang satu dan sama ini memiliki rupa-rupa karunia dan harus mewujudkan aneka karunia itu dalam hidup bersama.

Misalnya karunia untuk melayani maka orang itu melayani, karunia mengajar maka orang itu mengajar, karunia menasihati maka orang itu menasihati, berbagi dengan iklas hati dan murah hati. Jadi Tuhan sudah memiliki rencana untuk memberikan aneka karunia kepada manusia sesuai dengan kemampuannya. Semua karunia itu dipakai untuk kebaikan bersama. Prinsip hidup bersama dan saling melayani itu dibangun di atas dasar cinta kasih. Paulus mengatakan cinta kasih itu hendaknya tulus, jangan pura-pura. Segala kejahatan dijauhkan dan yang ada hanyalah kebaikan. Ia juga menghimbau: “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara, dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Rm 12:10). Cinta kasih harus benar-benar menjadi nyata dalam hidup yang konkret.

Di dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus mengambil satu contoh bagaimana membangun cinta kasih dalam perjamuan bersama. Orang-orang yang diundang dalam perjamuan bukanlah orang yang dekat dengan kita tetapi orang-orang yang kecil, miskin, cacat, sakit karena mereka tidak akan membalasnya. Tuhan juga melakukan hal yang sama dengan memperhatikan kaum pendosa. Ia datang mencari orang berdosa untuk diselamatkan. Ia memberi makna kehidupan kepada orang-orang yang dianggap sampah dalam kehidupan social.

Tuhan juga memberi kesempatan kepada umat kesayangannya untuk mengalami cinta kasih. Tetapi tawaran kasihNya ini tidak diterima dengan baik oleh umat. Ada yang menerima dan ada juga yang menolak undangan. Ketika terjadi penolakan atas undangan maka Tuhan memberi kesempatan bagi orang lain untuk menikmati perjamuanNya. Ini adalah gambaran Allah yang murah hati kepada manusia dengan menunjukkan kesabaranNya. Ia memberi kesempatan dan mengundang. Namun demikian tanggapan dari umat itu bebeda-beda. Ada yang merasa undangan itu adalah jaminan terakhir maka ia berbuat semaunya. Orang belum menyadari diri sebagai orang berdosa yang harus bertobat.

Sabda Tuhan pada hari ini memanggil kita untuk menyadari betapa luhurnya cinta kasih dalam hidup bersama. Mari kita membangun cinta kasih sebagai sebuah peradaban di mana semua orang menjadi saudara dalam kasih.

Doa: Tuhan, kami bersyukur atas Sabda yang Engkau berikan kepada kami. Semoga pada hari ini kami semua bertumbuh dalam cinta kasih. Amen

PJSDB

Uomo di Dio

Berubah dari Kebiasaan Buruk itu Sulit Tetapi...

Ada seorang pria yang pergi kepada sang guru untuk meminta nasihat. Ia berniat untuk menjadi orang yang baik sehingga kelak bisa masuk surga. Sebelumnya ia selalu jatuh dalam dosa ringan dan dosa berat. Ia merasa bahwa sekarang ini adalah kesempatan yang baik untuk bertobat. Apa reaksi sang guru setelah menengarnya? Sang guru mengajaknya berjalan-jalan di hutan dekat pertapaannya. Ketika tiba di suatu tempat sang guru menyuruhnya untuk mencabut sebatang pohon kecil yang menempel di atas batu. Ia dengan mudah melakukannya, bahkan dengan cara sederhana yakni menjepit pohon kecil itu di antara dua jarinya dan mencabutnya. Baginya, ini adalah pekerjaan yang mudah. Mereka melanjutkan perjalanan lagi dan tiba di satu tempat lain. Sang guru menyuruhnya untuk mencabut lagi pohon yang kelihatan mengganggu pertumbuhan pohon buah-buahan di sampingnya. Dengan mudah ia melakukannya, kali ini dengan satu tangannya saja ia berhasil mencabut pohon itu.  Mereka melanjutkan perjalanan lagi dan tiba di satu tempat lain. Kali ini ada pohon yang lebih besar lagi. Ia disuruh sang guru untuk mencabutnya. Ia berusaha untuk mencabut pohon itu dengan kedua tangannya tetapi ia tidak mampu. Pohon itu akarnya semakin dalam dan sulit untuk bisa dicabut. Ia pun menyerah. Ia jujur kepada sang guru bahwa ia tidak mampu mencabut pohon itu, meskipun menggunakan dua tangannya.

Pria itu memang memiliki niat baik untuk berubah di hadapan sang gurunya yang bijaksana. Ia tidak diajarkan sebuah teori perubahan diri yang radikal tetapi gurunya menunjukkan jalan bagaimana sulitnya berubah dari kebiasaan buruk di dalam hidupnya. Ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang kita lakukan tetapi mudah kita sadari mudah juga bagi kita untuk berubah. Kebiasaan buruk itu seperti pohon kecil yang dicabut, cukup dengan menjepitnya pada jari-jari tangan kita karena akarnya hanya menempel di atas batu yang tanahnya tipis. Ada kebiasaan buruk yang bisa kita ubah namun butuh waktu tertentu. Hal ini mirip dengan pohon yang akarnya belum dalam di dalam tanah maka kalau dicabut juga hanya dengan satu tangan saja. Ada kebiasaan buruk yang selalu kita lakukan dan kita sudah lupa bahwa itu adalah kebiasaan buruk. Ini mirip dengan pohon yang akarnya masuk jauh ke dalam tanah. Maka untuk mencabutnya juga sangat sulit, dengan dua tangan pun kita masih mengalami kesulitan untuk mencabutnya.

Pria katolik kadang-kadang memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk tertentu seperti umumnya di lakukan oleh para pria lainnya. Misalnya seorang yang selalu merokok, ketika disarankan untuk berubah, ia akan merasa seperti pohon yang akarnya sudah ada di dalam tanah dan sulit sekali untuk dicabut. Ia boleh berusaha tetap selalu gagal di dalam hidupnya karena kebiasaan itu sudah mendarah daging. Mungkin yang ada dalam pikirannya adalah rumusan pembenaran diri terhadap kebisaan-kebiasaan buruknya. Contoh lain, ada seorang ibu yang pernah mengeluh karena suaminya kelihatan terlalu egois. Apa saja dilakukannya sendiri tanpa pernah meminta bantuan. Istrinya merasa seperti hiasan di rumah saja. Setelah diteliti ternyata sejak kecil suaminya didik untuk menjadi orang yang super mandiri. Kebiasaan itu ia bawah sampai hidup berkeluarga dan menyulitkan relasi antar pribadi di dalam keluarga. Sebenarnya ketika masuk ke dalam hidup yang praktis seperti ini, perlu bersikap fleksibel dan membangun kebiasaan membutuhkan orang lain dan Tuhan di dalam hidup.

Tuhan Yesus dalam pengajaranNya tentang dosa dan penderitaan, Ia menekankan betapa pentingnya perubahan yang radikal di dalam hidup. Penginjil Lukas mengisahkan bahwa pada suatu kesempatan datanglah orang-orang membawa khabar  tentang orang-orang Galilea yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Reaksi Yesus terhadap berita tersebut adalah: “Sangkahmu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya daripada dosa semua orang Galilea yang lain karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! KataKu kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian” (Luk 13: 2-3). 

Bertobat secara radikal itu mengandaikan penguasaan diri yang besar terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk di dalam hidup kita. Banyak kali kita pandai menilai sesama dengan dosa dan salah mereka. Kita lupa bahwa Tuhanlah yang memiliki kuasa untuk mengampuni dosa-dosa kita. St. Paulus mengatakan: “Segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” (Rm 11:36). Seandainya kita boleh mengikuti ajakan Paulus ini maka tidak ada lagi kebiasaan buruk yang menyerupai pohon yang sulit dicabut. Hari ini coba ambil waktu sejenak dan temukanlah di dalam dirimu kebiasaan-kebiasaan buruk yang anda miliki. Tanyalah di dalam bathinmu, kebiasaan buruk apa saja yang masih mendarah daging dan susah untuk dihilangkan. Ingatlah pesan Yesus: “Aku mengasihi Engkau!” Namun kita juga tidak harus buta terhadap kelemahan-kelemahan manusiawi yang ada di dalam diri kita. Kebiasaan-kebiaaan buruk memang sulit sekali diubah atau dicabut di dalam hidup kita hendak disingkirkan sehingga Tuhan benar-benar mendapat tempat yang layak di dalam hati kita.

Saya mengakhir renungan ini dengan mengutip perkataan St. Fransiskus dari Sales: "Allah sangat menghargai pertobatan sehingga sekecil apa pun pertobatan di dunia, asalkan itu murni, menyebabkan Dia melupakan segala jenis dosa, bahkan setan pun akan diampuni semua dosanya, jika saja mereka memiliki penyesalan". Mari kita membangun semangat pertobatan  di dalam hidup kita. Jadilah baru di dalam Kristus.

PJSDB

Monday, November 4, 2013

Renungan 4 November 2013

St. Carolus Borromeus
Rm. 11:29-36;
Mzm. 69:30-31,33-34,36-37;
Luk. 14:12-14

Segalanya Dari Dia, Oleh Dia dan Kepada Dia!

Carolus Boromeus lahir di Rocca d’Arona, pada tanggal 2 Oktober 1538. Dia adalah Putera kedua dari Gilberto Borromeo dan Margherita de’Medici, saudari Paus Pius IV. Carolus di kemudian hari menjadi Cardinal dan Uskup Agung di Milano. Ia juga termasuk tokoh utama usaha pembaharuan dalam Konsili Trente. Ketika menjabat sebagai Uskup Agung Milano, ia memiliki keprihatinan pastoral yang besar. Ia mendirikan seminari-seminari sebagai tempat pembinaan para calon imam, para imam diosesan diberdayakan dalam pelayanan pastoral. Umat Allah dilayani dengan baik terutama kaum papa  dan miskin. Ia meninggal karena terjangkit wabah pes.

St. Paulus dalam bacaan pertama hari ini melanjutkan pengajarannya kepada jemaat di Roma. Kali ini ia membantu jemaat di Roma untuk berefleksi tentang Yesus Kristus sebagai Putera Allah yang taat kepada Bapa di Surga. Bagi Paulus, jemaat di Roma pernah menjadi orang yang tidak taat kepada Tuhan tetapi sekarang mereka justru memperoleh kemurahan hati Tuhan. Tuhan Allah sendiri sudah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahanNya atas mereka semua. Kemurahan Hati Tuhan hadir dalam diri seorang pribadi yakni Tuhan Yesus Kristus. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus menulis: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya, Allah sangat meninggikan Dia, dan mengaruniakan kepadaNya nama yang mengatasi segala nama, supaya dalam Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan” bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp 2:8-11).

Penjelasan Paulus dilengkapi dengan pengajaran tentang pujian kepada Allah yang mirip dengan apa yang sudah diwartakan Yesaya: “Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalanKu” (Yes 55:8). Paulus berkata, “O, alangkah dalamnya kekayaan, himat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya! Sebab siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihatNya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepadaNya sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” ( Rm 11:33-36).

Pikiran Paulus membantu kita untuk merenungkan kuasa Allah yang luar biasa. Meskipun kita semua orang berdosa karena menolak Kristus tetapi kuasa Tuhan Allah Bapa tetap menaungi kita semua. Manusia tidak mentaati Allah karena belum mampu mengenal dan mengasihi Allah. Segala keputusan Allah bagi manusia membutuhkan jawaban yang pasti dari pihak manusia yang ketaatan. Orang yang taat adalah mereka yang memiliki telinga untuk mendengar. Semakin orang mendengar Tuhan maka ia juga semakin mampu mengasihi Tuhan dan sesama. Orang yang tidak taat kepada Allah, dengan sendirinya tidak akan mampu mengasihi.

Yesus dalam bacaan Injil pada hari ini mau mengajak kita untuk merenungkan kasih yang tiada batasnya. Ketika bertamu di rumah seorang pemimpin Farisi, Yesus menasihatinya supaya kalau mengundang orang ke pesta, janganlah hanya mengundang sahabat-sahabatmu, saudara-saudaramu atau kaum keluargamu karena mereka pasti akan membalasnya. Kalau mau mengundang untuk makan bersama, undanglah orang-orang yang miskin, cacat, lumpuh dan buta. Orang-orang seperti ini tidak akan membalasnya kepadamu.

Doa: Tuhan, Bapa di dalam Surga, kami berterima kasih kepadaMu karena  Engkau senantiasa mengampuni kami. Semoga kami juga boleh memiliki semangat pertobatan yang benar di dalam hidup kami setiap hari. Amen

PJSDB

Sunday, November 3, 2013

Homili Hari Minggu Biasa XXXI/C

Hari Minggu Biasa XXXI
Keb 11:22-12:2
Mzm 145:1-2.8-9.10-11.13cd-14
2Tes 1:11-2:2
Luk 19:1-10

Dia Mencari dan Menyelamatkan Kita


Pada suatu kesempatan datanglah kepadaku seorang pemuda untuk berbicara. Ia sangat serius dengan masalah yang sedang dia hadapi dengan kedua orang tuanya. Orang tuanya memiliki pekerjaan yang baik dan sebagai anak tunggal ia merasakan hidup dalam kelimpahan kekayaan. Tidak pernah ada kata tidak yang keluar dari mulut kedua orangtuanya setiap kali ia membutuhkan sesuatu. Baginya, ini adalah berkat yang luar biasa dari Tuhan. Tuhan memberikannya orang tua yang baik, bekerja keras dan memperhatikan kebutuhannya. Ia juga merasakan berkat Tuhan karena hasil belajarnya selalu bagus. Ia mendapat peringkat yang bagus di sekolahnya. Namun demikian, belangan ini ia merasakan sebuah kekurangan besar yang sedang dia alami. Ia belum merasakan kehadiran orang tuanya di dalam hidupnya karena mereka selalu sibuk. Ia belum merasakan kasih sayang yang benar seperti dialami orang-orang muda lain yang meskipun sederhana tetapi selalu ceriah karena orang tuanya mengasihi mereka. Figur orang tuanya masih belum dirasakan sepenuhnya di dalam hatinya.

Saya memperhatikan orang muda itu dan memang tatapannya kosong. Ia hidup dalam kelimpahan harta tetapi miskin dalam kasih sayang. Dia bukan hanya sendirian tetapi banyak kaum muda yang merasakannya. Mereka berusaha mengunci dirinya di dalam dunianya sendiri tetapi merasakan sebuah kesulitan yang besar dalam berelasi dengan sesama terutama bersama orang tuanya sendiri. Mungkin saja orang tuanya mengatakan sudah memberi segalanya, tetapi materi saja belum cukup. Sebuah sapaan, pelukan, belaian, ciuman lebih bermakna dari pada sebuah kamar yang penuh dengan harta yang dapat rusak. Cinta kasih dan perhatian tidak akan mengalamai kerusakan.

Pada hari ini kita berjumpa dengan figur Tuhan Yesus, Zakheus dan orang banyak. Zakheus adalah seorang kepala pemungut cukai yang kaya raya. Ia memiliki banyak harta karena ikut memeras orang-orang Yahudi lainnya. Tindakannya ini menguntungkan kaum Romawi dan diri Zakheus. Meskipun hidup dalam kelimpahan harta tetapi hatinya kosong. Ia memiliki kerinduan untuk berjumpa dengan Yesus tetapi hartanya, ibarat orang banyak yang menjadi penghalang untuk berjumpa dengan Yesus. Yesus adalah Anak Allah yang rela menjadi miskin, berasal dari Nazareth dan tinggal di daerah Galilea. Ia berjalan dalam lorong-lorong kehidupan manusia, melakukan pendekatan pertama untuk memanggil orang ke jalan yang benar. Dialah yang pertama melihat Zakheus di atas pohon dan memintanya turun karena Ia mau menginap di rumah Zakheus. Orang banyak menjadi penghalang Zakheus untuk melihat Yesus. Bisa juga bukan hanya manusia yang menjadi penghalang tetapi semua harta kekayaan, kekuatiran dan kecemasan di dalam hidup juga dapat menjadi penghalang baginya untuk bertemu dengan Yesus. Untunglah Yesus yang melakukan inisiatif pertama.

Apa yang menarik perhatian kita dari kisah Zakheus ini? Yesus sang Pengembara yang tidak punya tempat untuk meletakkan kepalanya melihat Zakheus yang kaya raya tetapi hatinya kosong karena tidak ada kasih. Ia melihat Zakheus, memanggilnya dan berinisiatif untuk tinggal di rumah Zakheus. Yesus tidak memperhitungkan dosa dan salah yang sudah dilakukan oleh Zakheus. Ia memilih diam dan melarutkan kasihNya ke dalam hidup Zakheus. Dampaknya adalah Zakheus berubah total dan berkata: “Tuhan, separo dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan ku kembalikan empat kali lipat”. Cara Yesus menyelamatkan manusia adalah memiliki inisiatif untuk hadir dan memberi kasihNya kepada manusia. Manusia yang merasakan kasihNya akan berubah secara radikal.

Pengalamana Zakheus adalah juga pengalaman umat perjanjian lama. Dalam bacaan pertama dari Kitab Kebijaksanaan dikatakan bahwa jagat raya itu laksana sebutir debu di atas neraca atau seperti embun pagi yang jatuh ke bumi. Tuhan memiliki kuasa yang begitu besar atas segala sesuatu. Tuhan juga mengasihani dan tidak memperhitungkan dosa-dosa manusia serta memberi kemungkinan bagi mereka untuk bertobat. Tuhan juga memberikan RohNya yang baka kepada segala ciptaan. Perikop ini mau mengatakan bahwa kuasa Tuhan itu terwujud dalam kasihNya tanpa batas kepada manusia. Orang-orang berdosa sekali pun tetapi dikasihi oleh Tuhan. Ia sabar dan memberi kesempatan kepada manusia untuk bertobat.

St. Paulus di dalam Bacaan Kedua mengatakan kepada jemaat di Tesalonika sebuah janji bahwa ia dan para rekannya selalu berdoa supaya Tuhan menyempurnakan karyaNya di dalam diri mereka. Dengan demikian Tuhan Yesus akan dimuliakan di dalam diri mereka dan mereka juga dimuliakan di dalam Yesus. Semua ini akan terlaksana karena kasih karunia yang Tuhan berikan kepada mereka. Oleh karena Tuhan sendiri menyempurnakan karyaNya di dalam diri manusia maka diharapkan agar manusia juga menjadi sempurna sehingga nama Tuhan menjadi mulia.

Sabda Tuhan pada hari Minggu ini mengarahkan kita pada beberapa hal yang penting di sini. Pertama, Tuhan memiliki inisiatif untuk mendekati manusia dan menolong untuk bertobat. Meskipun manusia dianggap jahat tetapi ada juga kerinduannya untuk berjumpa dengan Tuhan yang mahabaik. Manusia menilai sesamanya jahat karena manusia memang jahat. Tuhan menilai manusia jahat menjadi baik karena Dia mahabaik. Yesus menunjukkanNya di dalam hidupNya yang konkret. Kedua, Orang berdosa terbuka pada tawaran keselamatan dari Allah. Zakheus adalah model yang insipiratif. Ia merasa disapa oleh Tuhan sehingga bersedia untuk berbagi dengan sesama yang lain. Ketiga, Kisah Zakheus mau mengatakan kepada kaum pendosa yang mengalami beban berat karena disingkirkan oleh masyarakat bahwa Tuhan selalu mencari dan menyelamatkan mereka. Keempat, Kisah Zakheus juga mengoreksi umat yang “berlaku saleh” sehingga menghalangi sesama untuk berjumpa dengan Yesus. Seharusnya kita menjadi sesama dengan Yesus yang memiliki inisiatif untuk menyelamatkan sesama dari dosa dan salah.

Doa: Tuhan terima kasih atas rahmat pengampunan yang Engkau berikan kepada kami. Amen

PJSDB

Saturday, November 2, 2013

Homili Peringatan Arwah Orang Beriman

2Mak 12:43-46
Mzm 130:1-2.3-4.5-6a.6b.7-8
1Kor 15:20-24a. 25-28
Yoh 6:37-40

Hidupku Menghilang Seperti Asap 
(Mzm 102:4)

Pada hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan Peringatan Arwah semua orang beriman. Kemarin kita merayakan Hari Raya semua orang kudus. Perayaan liturgi kemarin mengorientasikan kita untuk menuju kepada Bapa di Surga dan kediaman kekalNya. Mengapa demikian? Karena kita percaya bahwa ada persekutuan para kudus dan kehidupan kekal. Ini adalah iman para Rasul yang diturunkan turun temurun di dalam Gereja. Sepanjang bulan November ini Gereja mengajak kita semua untuk berdoa dan berkorban untuk memohon kerahiman Allah atas mereka yang sudah meninggal dunia. Hal ini dapat dilakukan karena di dalam Yesus Kristus ada keselamatan kekal. Kita semua tetap bersatu baik sebagai orang yang hidup maupun orang yang sudah meninggal dunia. Dalam iman akan Kristus itu kita juga bersama-sama membentuk dan terhimpun di dalam satu Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus.

Kita semua selalu mengenang, sambil berdoa untuk keselamatan abadi bagi orang beriman yang sudah
meninggal dunia. Bagi kita kematian sesungguhnya merupakan peristiwa puncak kehidupan. Hidup kita yang fana ini tidak dilenyapkan tetapi diubah menjadi baru. Artinya setelah kita mengembara di atas dunia ini masih ada tempat yang kekal di Surga. Maka kematian bagi kita merupakan saat kita mempercayakan diri secara total kepada Yesus Kristus Tuhan. Dia sendiri adalah kebangkitan dan hidup kita. Untuk itu setiap kali kita mendoakan orang yang sudah meninggal dunia, kita memohon supaya saudara-saudari kita dapat disucikan dari segala dosa, dibebaskan dari segala hambatan dan noda supaya boleh menikmati kebahagiaan kekal di surga. 

Kematian adalah puncak kehidupan kita. St. Agustinus pernah berkata: "Segala sesuatu dalam hidup kita, baik atau buruk, adalah tidak pasti, kecuali kematian; hanya kematianlah yang pasti." Pemazmur sendiri seakan bertanya kepada Tuhan: "Siapakah orang yang hidup dan yang tidak mengalami kematian?" (Mzm 89:49). St. Siprianus mengatakan bahwa kita semua dilahirkan  dengan tali pengikat di leher, dan setiap derap langkah hidup mendekatkan kita kepada kematian. Kematian itu laksana saudara kembar maka kita harus selalu siap untuk menerimanya. Prinsip diri yang bagus: "Saya selalu memikirkan kematian, dan bahwa sekarang ia tiba, saya tidak akan terkejut"

St. Fransiskus dari Asisi mengatakan bahwa kematian adalah saudara kita. Ia sendiri menjelang saat ajalnya terus benyanyi dan mengajak para saudara sekomunitas untuk ikut bernyanyi.Ada seorang saudara yang bertanya kepadanya: "Bapak, pada saat menjelang ajal kita seharusnya merasa sedih dan menangis dan bukannya menyanyi". Fransiskus menjawabnya: "Saya tidak dapat berhenti menyanyi, karena sebentar lagi saya akan masuk ke dalam kebahagiaan Allahku". Lihatlah bahwa orang-orang kudus tidak takut pada kematian tetapi merindukan kematian. Apakah anda juga merindukan kematian? Fransiskus merindukan kematian karena ia sungguh-sungguh siap menghadapinya.

Sebagaimana dikatakan di atas, semua orang tahu bahwa kematian adalah sebuah kepastian maka kita mesti selalu siap untuk menyambut kematian. Apa yang harus kita lakukan? 
St. Alfonsus Maria de Liguori memberi tiga jalan untuk menghadapi kematian yang dianggapnya indah. Pertama, Jangan menunggu sampai saat terakhir. Kita semua akan mati dan mati hanya satu kali. Untuk itu selalu bersiap sedia menyambutnya kapan dan di mana saja. Harus diingat bahwa  belumlah cukup menerima sakramen-sakramen pada saat ajal. Hal terpenting bagi kita adalah membenci dosa-dosa kita dan mencintai Allah dengan segenap hati. Kedua, periksalah bathinmu dan bereskanlah hidupmu. Setiap hari selalu ada kesempatan untuk memeriksa bathin kita di hadirat Tuhan. Kita juga memiliki kesempatan untuk mengikuti perayaan Ekaristi dan mengakui dosa-dosa kita. Di samping itu rajin membaca Kitab Suci dan berdevosi kepada Bunda Maria dan para kudus. Ketiga, menghindarkan diri dari cinta duniawi. St. Ambrosius mengatakan bahwa siapa yang mematikan cinta duniawi selama hidupnya akan mati dalam keadaan baik. Prinsip yang baik adalah menganggap bahwa setiap hari adalah hari yang terakhir di dalam hidup. Oleh karena itu kita harus melakukan kegiatan pelayanan dengan baik, berdoa tanpa henti dan bertobat. Tuhan sendiri bersabda: "Berbahagialah hamba yang di dapati tuannya melakukan tugasnya ketika tuannya datang" (Mat 24:46). 

Doa: Tuhan, sudilah Engkau mengampuni dosa dan salah saudara-saudari kami yang sudah meninggal dunia. Berikalah istirahat kekal kepada mereka. Amen

PJSDB

Friday, November 1, 2013

Uomo di Dio

Jadilah Orang Kudus!

Santo Yohanes Bosco dikenal sebagai orang kudus yang bersahabat dengan kaum muda. Ia memiliki komitmen untuk mencari dan menyelamatkan jiwa-jiwa orang muda. Prinsipnya adalah "Da mihi animas, coettera tolle" yang berarti berikanlah daku jiwa-jiwa, sedangkan yang lain ambilah. Ketika tinggal bersama dengan orang-orang muda di oratorium, ia membina dan mengarahkan mereka untuk bertumbuh sebagai orang-orang kudus. Salah seorang muridnya yang juga menjadi kudus adalah Dominikus Savio. Pada suatu kesempatan Dominikus bertemu dengan Pastor Yohanes Bosco. Sambil berbicara, Yohanes Bosco memandangnya dan mengatakan kepada Dominikus bahwa dirinya laksana selembar kain yang indah. Dominikus mengatakan kepada Yohanes Bosco bahwa kalau dirinya adalah kain yang indah maka ia meminta kepada Yohanes Bosco untuk menjadi penjahit yang handal supaya menjadikan gaun itu indah hanya bagi Tuhan. Sebuah percakapan antara seorang anak yang baru berusia sepuluh tahun dengan pastornya, dan sudah ada tanda-tanda kekudusan. Dominikus mempercayakan dirinya dalam tangan Yohanes Bosco dan dibentuk  sesuai kehendak Allah. Ia menjadi St. Dominikus Savio yang meninggal pada usia 14 tahun. Salah satu semboyannya adalah: “Lebih baik mati dari pada berbuat dosa”

Penulis buku Amy Welborn dan Ann Engelhart memberi kesaksian dalam buku Be Saints. Buku ini berisi undangan dari Paus Benediktus XVI kepada anak-anak ketika berkunjung ke Inggris untuk bertumbuh dalam jalan kekudusan. Di dalam buku tersebut diceritakan bahwa Sri Paus berkata kepada anak-anak: "Sekiranya kita bertumbuh dalam persahabatan yang mendalam dengan Tuhan maka kita akan mengalami kebahagiaan yang benar dan menjadi kudus”. Sebuah ungkapan yang sederhana, dengan bahasa anak-anak dan dapat menggerakan hati mereka untuk menjadi kudus.

St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengatakan bahwa kita semua dipanggil untuk menjadi kudus: “Kepada kamu sekalian yang tinggal di Roma, yang di kasihi Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus: kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus” (Rm 1:7). Bagi Paulus kekudusan adalah sebuah panggilan luhur dari Tuhan. Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus Paulus menulis: "Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapanNya" (Ef 1:4). Orang-orang kudus adalah manusia-manusia biasa yang dikuduskan oleh Allah menjadi milik kepunyaanNya. Jadi para kudus itu milik esklusif dari Allah sendiri. Orang kudus adalah pribadi-pribadi yang menjadi bagian dari Tubuh Kristus. Mereka dikonsekraksikan atau dikuduskan oleh Tuhan menjadi milik kepunyaanNya. 

St. Paulus memberi ciri-ciri khas orang kudus terutama dalam tulisannya kepada jemaat di Efesus yakni: Selalu berjalan dalam persekutuan jemaat (Ef 4:1-16); Berjalan dalam kebenaran (Ef 4:17-32); Berjalan dalam kasih (Ef 5: 1-7), Berjalan dalam terang (Ef 5:8-14) dan berjalan dalam kebijaksanaan (Ef 5:15-17). Orang-orang kudus akan menghindari diri dari perbuatan-perbuatan yang mencemarkan seperti percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan dan perkataan yang kotor (Ef 4:3-4).

Dengan sakramen pembaptisan seorang Pria Katolik juga dipanggil untuk menjadi kudus. Dengan kata lain saat pembaptisan adalah saat diri kita dikuduskan, diri kita menjadi milik Tuhan sepenuhnya. Maka kita menyadari panggilan umum dalam pembaptisan ini dan bertumbuh menjadi pria katolik yang kudus. Kita ingat kembali apa yang dikatakan oleh Sri Paus Benediktus XVI: Be saints! Jadilah Pria Katolik yang kudus. Jadilah suami yang kudus dengan mengasihi isteri dan anak-anak. Pria Katolik yang kudus adalah dia yang hari demi hari membangun pertobatan yang mendalam dan mengalami Allah di dalam hidupnya. Dia yang selalu berusaha membangun persahabatan yang mendalam dengan Tuhan dalam doa.

Mari kita memandang Yesus Kristus. Dialah Spiritualitas yang hidup. Yesus adalah Putera Allah tetapi Ia juga berdoa kepada Bapa. Para penulis suci memberi kesaksian bahwa Yesus selalu memiliki waktu untuk berdoa. Ia berdoa semalam-malaman kepada Bapa di Surga. Kita pun mengikuti teladanNya dengan tekun berdoa, merasa membutuhkan Tuhan di dalam hidup kita. Silakan melakukan tugas-tugasmu setiap hari dengan baik. Tugas-tugas pelayanan yang biasa menjadi luar biasa, yang kecil menjadi istimewa. 

PJSDB

Homili Hari Raya Semua Orang Kudus

Hari Raya Semua Orang Kudus
Why 7:2-4.9-14
Mzm 24:1-6
1Yoh 3:1-3
Mat 5:1-12a

Jadilah Orang Kudus

Pada hari ini kita merayakan Hari Raya semua orang Kudus. Hari Raya ini dimulai di dalam lingkungan Gereja-Gereja Timur untuk menghormati para martir. Para martir telah menumpahkan darahnya untuk mempertahankan iman mereka kepada Yesus Kristus. Di dalam Gereja Barat atau Gereja Katolik Roma, perayaan ini di mulai pada tahun 609 ketika Paus Bonifasius IV merombak Pantheon yang saat itu menjadi tempat ibadat kafir kepada para dewa-dewi Romawi menjadi sebuah Gereja yang dipersembahkan kepada Bunda Maria dan para Rasul. Selama waktu yang cukup lama devosi kepada para kudus ini dirayakan setelah hari raya Pentekosta. Semakin lama dirasakan bahwa umat memiliki devosi kepada para kudus dalam hal ini mereka yang sudah dikanonisasi atau yang belum dikanonisasi, bahkan yang tidak diketahui karena doa-doa mereka dikabulkan Tuhan dengan perantaraan para kudus.

Hari Raya Semua Orang Kudus dikhususkan untuk menghormati segenap anggota Gereja yang bergabung dalam persekutuan para kudus. Mereka sudah mempercayakan dirinya untuk disucikan dengan Darah Anak Domba. Di dalam kitab Wahyu dikatakan bahwa mereka adalah rombongan besar yang berdiri di hadirat takhta Allah, karena mereka semua sudah memelihara iman dengan baik sehingga memperoleh ganjaran besar di Surga. Para kudus adalah mereka yang sudah meninggal dunia dan masuk ke dalam hidup abadi di Surga. Bunda Maria, para kudus dan martir yang jaya merupakan Gereja yang jaya dan bahagia di Surga. Yesus menyalami mereka: “Berbahagialah mereka yang murni hatinya karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8). Para kudus juga bersatu dengan kita semua yang masih mengembara di dunia ini. Mereka menikmati kehidupan kekal di Surga dan tidak bersatu secara fisik dengan kita di dunia dalam iman dan harapan tetapi mereka bersatu dalam kasih dengan kita. St. Paulus mengatakan bahwa dari tiga kebajikan ilahi ini yang tinggal selamanya adalah kasih (1Kor 13:13). Kasih yang mempersatukan kita dengan Allah Tritunggal Mahakudus.  

Para kudus di dalam Gereja katolik dikenal dengan gelar-gelar tertentu. Pertama adalah Servo di Dio (Hamba Allah). Servo di Dio adalah pengakuan dari Gereja terhadap kekudusan seseorang sesudah meninggal dunia. Ini adalah proses awal untuk menghormati orang kudus dengan memperhatikan kekudusan dan kepahlawanannya sebagai orang beriman. Proses ini bisanya dibuat pada tingkat keuskupan. Kedua, Venerabile. Gelar Venerabile ini dianugerahkan kepada seseorang melalui dekrit Kongregasi untuk proses seseorang digelar kudus karena kebajikan-kebajikan kepahlawanan yang dimilikinya untuk mempertahankan iman kepada Kristus. Ketiga, Beato atau Beata (Yang berbahagia). Ada sekurang-kurangnya satu mukjizat Tuhan melalui perantaraan Venerabile sehingga Venerabile itu dapat digelar Beato atau Beata. Keempat, Orang kudus (Santo atau Santa). Ketika ada mukjizat kedua dengan perantaraan seorang Beato maka Beato tersebut akan di beri gelar Santo. Jadi para santo dan santa itu dikanonisasi oleh Paus setelah melewati proses yang panjang. Ada mukjizat-mukjizat dari Tuhan dan dirasakan oleh banyak orang dan diakui sebagai karya Tuhan.

Para kudus dari tingkat Servo di Dio, Venerabile, Beato atau Beata dan Santo atau Santa mengalami kemuliaan abadi di Surga. Kemuliaan dan kebahagiaan mereka digambarkan oleh St. Paulus seperti ini: “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia; semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1Kor 2:9). Para kudus adalah mereka yang sudah memandang Allah dengan mata mereka dan tinggal selama-lamanya dengan Tuhan. Para kudus adalah mereka yang berbahagia di Surga bersama Yesus. Ini adalah sebuah realitas dari Rahasia keselamatan. Rahasia yang kita akui setiap kali mendoakan doa Aku Percaya: “Aku percaya akan persekutuan para kudus”.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada Hari Raya ini mengorientasikan kita kepada Allah sumber kehidupan kita. Yohanes dalam Kitab Wahyu misalnya memiliki visi tentang para kudus. Ia berkata: “Aku melihat suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya dari segala bangsa, suku dan bahasa. Mereka berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih, dan memegang daun-daun palem di tangan” (Why 7: 9). Kumpulan besar orang banyak yang tak terhitung jumlahnya ini oleh Gereja Purba disebut persekutuan para kudus. Ini juga yang menjadi keyakinan Gereja Katolik terhadap semua orang yang dikuduskan oleh Tuhan. Para Kudus itu oleh Yohanes, mereka tetap berseru: “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” (Why 7:10).

Yohanes dalam Bacaan Kedua menegaskan bahwa para kudus adalah semua orang yang akan melihat Kristus dalam keadaan yang sebenarnya. Hal ini dapat terjadi pada orang yang merasakan kasih Allah dan menjadi anak-anak Allah. Dengan demikian orang tersebut akan menguduskan dirinya bagi Tuhan. Sebenarnya Yesus sendiri sudah berjanji kepada para muridNya bahwa Ia akan tetap bersama mereka selamanya. Dalam malam perjamuan terakhir Yesus berkata: "Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada” (Yoh 14:1-3).

Perayaan Hari Raya Semua Orang Kudus mengorientasikan kita sebagai orang yang sudah dibaptis untuk berjalan dalam jalan kekudusan. St. Paulus mengatakan bahwa kekudusan adalah sebuah panggilan dari Tuhan (Rm 1:7) bahkan sebelum dunia dijadikan, Tuhan sudah memanggil kita untuk menjadi kudus supaya hidup tanpa cacat di hadiratNya (Ef 1:4). Kekudusan menjadi panggilan kita sesuai rencana Allah. Oleh karena itu kita menyiapkan diri kita dengan berdoa dan menghayati kebajikan-kebajikan Kristiani. Kiranya kita juga dapat masuk dalam hitungan sejumlah besar orang yang tak terhitung jumlahnya dan yang berpakaian putih di hadirat takhta Allah.

Doa: Tuhan, kami bersyukur kepadaMu karena anugerah hidup kudus yang Engkau berikan kepada kami. Semoga kami dapat bersatu dengan Dikau selamanya. Amen

PJSDB