Saturday, November 1, 2014

Homili Hari Raya Semua Orang Kudus

Hari Raya Semua Orang Kudus
Why 7:2-4.9-14
Mzm 24:1-2.3-4ab.5-6
1Yoh 3:1-3
Mat 5:1-12a

Jadilah orang kudus!

Pada tanggal 17 Oktober 2012 yang lalu Amy Welborn (editor) dan Ann Engelhart (Ilustrator) menerbitkan sebuah buku berjudul: “Be Saints!: An invitation from Pope Benedict XVI” Buku ini mendapat inspirasi dari Paus Emeritus Benediktus XVI ketika berbicara dengan anak-anak dalam kunjungan pastoral di Inggris. Pada kesempatan itu Benediktus XVI mengatakan kepada anak-anak bahwa jika kita bertumbuh dalam suasana persahabatan yang mendalam dengan Allah maka kita akan menemukan kebahagiaan sejati dan menjadi kudus. Perkataan ini sangat meneguhkan bukan hanya bagi anak-anak tetapi juga bagi semua keluarga katolik untuk menciptakan suasana yang bagus dan harmonis yang  bisa mendukung kekudusan setiap pribadi  di dalam keluarga.

Bagaimana menjadi orang kudus pada zaman ini? Mungkin saja banyak di atara kita yang berpikir bahwa menjadi orang kudus itu harus diakui secara resmi oleh gereja setelah melewati tahap-tahap ini: Servant of God (Hamba Tuhan), Venerable (yang dihormati karena kebajikan-kebajikannya), Beato atau Beata (yang berbahagia) dan Santo atau Santa. Orang-orang kudus adalah mereka yang hidupnya berkenan, layak atau sepadan dengan kehendak Tuhan. Caranya adalah mereka senantiasa berjalan dalam hukum Tuhan. Misalnya, kekudusan bagi Beata Theresia dari Kalkuta adalah melakukan tugas pelayanan kepada kaum fakir miskin di Kalkuta dengan penuh kasih. Ia berkata: “We can only do small things with great love.” (Kita bisa melakukan hal-hal yang kecil dengan kasih yang besar). 

Pada perayaan Hari Raya semua orang kudus ini kita mendengar bacaan-bacaan liturgi yang saling melengkapi satu sama lain. Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil tidak mengatakan kepada kita siapakah orang kudus itu tetapi memberikan arahan kepada kita untuk memiliki program hidup supaya menjadi orang kudus. Sabda bahagia yang diucapkan Yesus di atas bukit membuka pikiran kita untuk mengetahui siapakah yang boleh masuk dalam Kerajaan Allah. Mereka adalah orang yang miskin dalam roh, berduka cita, lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, murah hati, suci hati, membawa damai, dianiaya. Orang-orang ini disapa Yesus berbahagia karena hidup mereka yang konkret memang seperti itu, mereka menerima hidup apa adanya di hadirat Tuhan. Dari situ Tuhan menganggap mereka layak di hadiratNya dan bisa tinggal bersamaNya selama-lamanya. 

Menurut perikop Injil hari ini, kalau kita mau menjadi kudus maka kita harus bertekad untuk menolong kaum miskin, menghibur saudara-saudara yang menderita, memberdayakan sesama untuk mengembangkan bakat dan talenta yang Tuhan anugerahkan, komitmen untuk membangun keadilan dan kasih, berbelas kasih kepada sesama, melihat kehadiran Allah di dalam diri sesama, bekerja untuk perdamaian dan setia kepada Allah meskipun mengalami banyak penganiayaan. Hal-hal ini merupakan pintu yang harus kita lewati untuk menjadi kudus.

Penulis Kitab Wahyu kepada Yohanes mengatakan bahwa orang-orang yang melewati pintu ini tidak terhitung jumlahnya. Hanya Tuhan saja yang mengetahui jumlahnya. Inilah oenglihatan Yohanes: “Sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka.” (Why 7:9). Orang-orang yang berjubah putih di hadirat Allah adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba. (Why 7:14).

Dari Kitab Wahyu, kita mendapat gambaran bahwa Tuhan menghendaki semua orang dari suku, bangsa dan bahasa yang berbeda-beda itu memiliki satu panggilan menjadi kudus. Namun demikian hal menjadi kudus itu bukanlah perkara yang gampang. Orang harus melewati hidup yang keras sebagai murid Kristus. Mereka tidak dikenal dunia karena mereka bukan dari dunia (Yoh 15:19). Hidup keras adalah kemartiran yang dialami oleh setiap orang yang dibaptis.

Yohanes di dalam suratnya menyinggung tentang kekudusan manusia melalui perjuangan karena dunia tidak mengenal manusia yang bersatu dengan Yesus. Bagi Yohanes, kekudusan itu adalah anugerah kasih dari Tuhan kepada manusia sehingga manusia menjadi anak-anak Allah. Yohanes berkata: “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia.” (1Yoh 3:1). Sebagai anak-anak Allah kita semua memiliki kerinduan untuk melihat Yesus dengan mata kita sendiri dan menjadi suci meyerupai Kristus sendiri.

Jadilah orang kudus adalah sebuah seruan yang bagus untuk kita dengar dan kita hayati. Sabda Tuhan menyadarkan kita bahwa menjadi kudus itu adalah sebuah panggilan dari Tuhan melalui Yesus Kristus. Kita juga bisa menjadi kudus dengan mengikuti kehendak Tuhan hari demi hari, dan melakukan semua karya pelayanan kita mulai dari yang kecil dengan kasih yang besar. Sikap bathin seperti ini menunjukkan jati diri kita sebagai hamba yang baik dan setia.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk menjadi orang kudusMu. Amen.


PJSDB

Thursday, January 30, 2014

Homili 30 Januari 2014

Hari Kamis, Pekan Biasa II
2Sam 7:18-19.24-29
Mzm 132:1-2.3-5.11.12.13-14
Mrk 4:21-25

Daud tidak hanya menari, Ia juga berdoa.

Raja Daud dikisahkan menari dengan penuh suka cita dan kekuatan di depan Tabut Perjanjian. Ia bersukacita karena mengalami kasih dan kemurahan Tuhan di dalam hidupnya. Ia hanya seorang gembala sederhana tetapi Tuhan sudah memilihnya menjadi Raja atas umat kesayanganNya. Tentang pengalaman Daud  yang menari-nari di depan Tabut Perjanjian, Paus Fransiskus mengatakan bahwa memuji dan memuliakan Allah bukan hanya diperuntukan bagi orang-orang yang masuk dalam komunitas pembaharuan karismatik katolik. Semua orang yang dibaptis memuji dan memuliakan Allah dengan seluruh tubuhnya. Jadi, apabila kita menutup diri kita terhadap formalitas maka doa kita akan terasa dingin dan steril. Daud menginspirasikan kita supaya seluruh hidup kita terarah kepada Tuhan.

Pada hari ini kita mendengar kisah lanjutan dari Daud. Ia telah diingatkan oleh Nabi Nathan bahwa Tuhan tidak menghendaki supaya RumahNya dibangun. Tuhan sendiri hadir di tengah-tengah umatNya dan berpindah dari satu tenda ke tenda yang lain. Kehadiran Tuhan ini patut dirasakan oleh setiap orang yang percaya kepadaNya. Tuhan sendiri berjanji bahwa Ia akan mendampingi umatNya dan membiarkan mereka menyapaNya “Allah kami”. Dan bahwa salah seorang anak Daud yang akan mendirikan rumah yang tepat untuk Tuhan. Perkataan Tuhan melalui nabi Nathan ini tentu membuatnya merasa istimewa di hadirat Tuhan. Oleh karena itu Daud mengatakan rasa syukurnya dalam Doa.

Inilah perbincangan Daud dengan Tuhan di dalam kamarnya: “Siapakah aku ini, ya Tuhan Allah, dan siapakah keluargaku, sehingga Engkau membawa aku sampai sedemikian ini? Dan hal ini masih kurang di mata-Mu, ya Tuhan Allah; sebab itu Engkau telah berfirman juga tentang keluarga hamba-Mu ini dalam masa yang masih jauh dan telah memperlihatkan kepadaku serentetan manusia yang akan datang, ya Tuhan Allah”. (2Sam 7:18-19). Daud berdoa sambil memeriksa bathinnya. Ia merasa tidak layak tetapi Tuhan melayakannya. Banyak kali kita juga berlaku seperti Daud dalam doanya ini. Kita merasa terlalu hina di hadirat Tuhan dan lupa bahwa Tuhan itu Bapa yang baik bagi kita. Ia melihat kemuliannya di dalam diri kita.

Selanjutnya Daud juga memuji Allah karena berkenan menjadi Tuhan bagi umat Israel. Ia mengokohkan mereka. Tuhan juga diharapkan memenuhi janjiNya kepada Israel. Dengan demikian nama Tuhan menjadi besar dan patut dimuliakan. Segala Firman Tuhan adalah kebenaran dan Ia menjanjikan perkara yang baik kepada Daud dan keturunannya. Doa Daud diakhiri dengan memohon berkat Tuhan untuk keluarga Daud dan keturunannya.

Doa Daud ini menarik perhatian kita. Ia percaya bahwa Tuhan Allah itu ada dan bahwa SabdaNya adalah kebenaran. Kasih setia Tuhan itu selama-lamanya ada di dalam keluarga Daud karena iman Daud. Dalam terang Perjanjian Baru, Yesus sang Mesias lahir dari keturunan Daud di kota Daud yaitu Betlehem. Tuhan melakukan karya besar di dalam diri Daud, gembala sederhana. Yesus sang Mesias pun akan lahir dalam kesederhanaan, di dalam kandang hewan dan domba-domba menjadi saksi kelahiran Anak Allah.

Sikap Daud, khususnya dalam berdoa menerangi hidup kita. Daud itu ibarat pelita yang menyala dan menerangi hidup kita yang gelap karena dosa. Dia berdoa untuk keturunannya, tentu saja kita semua yang mengakui Yesus Kristus dan mengatakan kepada kita bahwa Sabda Tuhan adalah kebenaran. Yesus Anak Daud adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6). Pelita yang menyala akan menerangi hidup kita sehingga semua orang dapat melihat perbuatan baik dan memuliakan Allah di Surga (Mat 5:16). Sabda Tuhan sebagai kebenaran adalah anugerah Tuhan. Mari kita bersyukur dan memuliakan Tuhan. Kita belajar dari Daud yang menerangi hidup kita bukan hanya dengan menari tetapi juga dengan doa. Apakah anda juga berdoa? Apakah doamu itu sebuah kebutuhan atau keterpaksaan?

Doa: Tuhan, ajarilah kami berdoa. Biarlah SabdaMu adalah Jalan, Kebenaran dan hidup kami sehingga kami dapat mengikuti Engkau dari dekat. Amen


PJSDB

Tuesday, January 28, 2014

Uomo di Dio

Kasih itu murah hati

Beberapa hari yang lalu saya merayakan misa Hari Ulang Tahun pernikahan sepasang suami istri yang ke-51. Pasutri ini memiliki dua anak putra dan putri dan dan enam cucu serta  dua cicit. Perayaan ekaristi berlangsung sangat meriah. Semua keluarga dan kerabat juga kelihatan bahagia dan bersyukur sehingga menambah sukacita pasutri yang rata-rata berusia 80 tahun itu. Pada saat homily, saya meminta kesaksian dari pasangan ini. Mereka berdua sepakat sehingga hanya suami yang memberi kesaksian.

Sang suami bercerita: “Kami merayakan hari ulang tahun pernikahan hari ini dengan meriah persis seperti yang terjadi 51 tahun yang lalu. Pengalaman yang sangat mengesankan saya adalah pada lima tahun pertama pernikahan kami. Istri saya waktu itu sakit-sakitan, kadang tidak bisa bangun. Kami hanya berdua dan jauh dari keluarga maka saya sendiri bertugas sebagai pelayan setianya. Saya bangun pagi menyiapkan sarapan, membereskan rumah, sering kali menyuapnya lalu pergi ke kantor. Kembali dari kantor saya berlaku lagi sebagai pembantu bagi nyonya. Kalau melihat status, saya bukan hanya suami tetapi di kantor saya adalah kepala bagi yang lain. Namun semakin lama saya melayaninya, saya merasa bahwa ini adalah cinta yang murni, sebuah cinta kasih rohani, sebuah agape. Saya berdoa meminta dua hal setiap malam setelah melayaninya danmelihatnya tidur yakni semoga istri saya cepat sembuh dan dikarunia anak. Tuhan mengabulkannya, istri saya sembuh. Dia melahirkan dua anak kami, sehat dan baik hingga saat ini”.

Pengalaman hidup seorang suami ini luar biasa. Saya kembali ke komunitas dengan sukacita karena belajar lagi sesuatu dari pengalaman iman umat yakni cinta kasih agape itu berakar pada pengorbanan diri, pada pelayanan tanpa pamrih. Cinta kasih agape tidak mengenal pangkat dan kedudukan. Di kantor anda boleh menjadi kepala yang memerintah dan memberi komando, di rumah anda adalah seorang bapa yang baik, bapa yang penuh kasih, bapa yang selalu siap untuk melayani. Saya lalu membayangkan, andaikan semua orang, para pasutri dapat menghayati cinta kasih agape ini maka keluarga dan masyarakat kita akan lebih manusiawi. Tidak ada kekerasan, penganiayaan dan aneka kejahatan kemanusiaan terhadap kaum wanita dan pria karena mereka berasal dari keluarga yang baik.

Santo Paulus dengan tepat mengungkapkan himne cinta kasih: “Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih itu tidak berkesudahan”. (1Kor 13:4-8). Semua yang diungkapkan Paulus ini mau menggambarkan Allah  dan Bapa kita dalam diri Yesus Kristus adalah kasih.

Kardinal Francis Xavier Van Thuan dari Vietnam pernah berkata: “Cinta kasih kepada sesama adalah ujian yang terpercaya mengenai cintamu kepada Allah. Nah mencintai sesama tidak berarti anda harus anda mencurahkan tanda-tanda afeksi kepada mereka atau merusakkan mereka; bahkan sebaliknya, engkau bisa sesekali terpaksa menyebabkan mereka merasa sedih demi kebenaran dan kebaikan mereka sendiri. Tuhan Yesus juga tidak mengajarkan anda untuk mencintai dengan menggunakan emosimu, karena Ia mengajarkan engkau untuk mencintai bahkan musuh-musuhmu. Mencintai sesama berarti dengan ikhlas mengharapkan yang baik bagi mereka dan bahwa engkau akan melakukan segala sesuatu untuk mengamankan kebahagiaan mereka”. Ungkapan Kardinal Van Thuan ini berdasarkan pada pengalaman pribadinya, di mana bertahun-tahun ia juga menderita di penjara. Di saat yang sulit itu, ia merasa sebagai ujian bagi iman dan cintanya kepada Allah dan kepada sesama khususnya yang sama-sama dipenjarakan maupun para sipir yang kadang-kadang berlaku kasar.

Cinta kasih itu murah hati. Tuhan Yesus memuji orang yang murah hati. “Berbahagialah orang yang murah hati karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat 5:7). Tuhan sendiri murah hati terhadap kita umatNya (Mat 20:15). Maka Tuhan Yesus berharap: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36). Kasih dan kemurahan hati adalah satu. Seorang pria katolik sungguh-sungguh kristiani kalau mampu mengasihi dan bermurah hati seperti Yesus sendiri. Anda pasti bisa!


PJSDB

Friday, January 24, 2014

Homili 24 Januari 2014

Hari Jumat, Pekan Biasa II
1Sam 24:3-21
Mzm 57:2.3-4.6.11
Mrk 3:13-19

Perbuatan Baik itu mengalahkan Kejahatan

Banyak di antara kita pernah menonton film animasi Frozen. Di dalam Film itu terdapat dua bersaudara di Kerajaan Arendelle yakni Elza dan Anna. Elza lahir dengan kekuatan gaib di dalam dirinya yakni kekuatan es untuk membekukan sesuatu di sekitarnya. Ia pernah bermain-main bersama Anna dan tanpa sadar ia menyihir Anna sehingga menjadi beku. Setelah Ana disembuhkan oleh dukun, kedua kakak beradik ini disarankan untuk tinggal terpisah, masing-masing di kamar mereka. Elza banyak hidup menyendiri karena takut menjadikan orang lain sebagai korban. Orang tua mereka pun meninggal dunia maka tampuk pemerintahan harus dialihkan kepada Elza yang sudah beranjak remaja. Hari pengangkatan Elza pun tiba. Banyak orang dari luar yang datang untuk mengikuti upacara itu. Pada waktu itu datanglah juga seorang pangeran bernama Hans yang memikat hati Ana. Cinta lokal dan kilat pun terjalan dan mereka cepat-cepat mau menikah pada hari itu juga. Elza mengatakan tidak tetapi Ana tetap mau menikah dengan pangeran Hans. Maka terjadilah Elza tanpa sadar mengeluarkan sihirnya sehingga seluruh kerajaan mengalami musibah badai salju. Ia meninggalkan istana dan pergi ke gunung untuk hidup menyendiri.
Ana meminta Hans untuk menjaga istana. Ia pergi mengembara untuk mencari kakaknya Elza supaya bisa memulihkan kembali kerajaan yang beku. Ia bertemu dengan seorang saudagar yang baik bernama Kristoff. Usaha dengan perjuangan besar itu hasilnya adalah sia-sia saja. Elza tetap menolak bahkan mengancam adiknya dengan sihir-sihirnya. Ana tetap mencari Elza untuk bisa menyelamatkan kerajaan yang semakin dingin dan membeku. Seiring dengan perjalanan waktu Ana dikatakan sedang mencari “Love at the first sight”. Dalam pikiran Ana mungkin pangeran Hans yang dimaksudkan dengan cinta dalam pandangan pertama itu. Pada akhir cerita dikisahkan bahwa act of true love adalah Ana yang selama itu menjadi korban selalu mengasihi kakaknya Elza yang jahat. Ketika Elza hendak dibunuh oleh Hans, Analah yang menangkap tangan Hans sehingga Elza tidak dibunuh. Ana menjadi beku tetapi disembuhkan oleh Elza. Kebaikan selalu mengalahkan kejahatan. Act of true love adalah ketika seorang selalu berbuat baik dan melupakan semua kejahatan yang pernah dialami dari orang tersebut.
Hari ini kita mendengar kisah lanjutan Raja Saul dan Daud. Raja Saul diliputi rasa iri hati, benci, dan cemburu karena ketika Daud pulang dari medan laga, orang-orang menyambutnya dengan pekikan kaum wanita: “Saul mengalahkan beribu-ribu orang, Daud mengalahkan berlaksa-laksa orang”. Agaknya orang lebih mengeluhkan Daud sang gembala sederhana dari pada Saul sendiri sebagai raja. Saul pun berencana untuk membunuh Daud. Untungnya adalah Yonathan anak Saul mau melindungi Daud sehingga ia berhasil mempengaruhi ayahnya untuk tidak membunuh Daud. Daud pun bekerja pada Saul.
Mulut boleh berbicara bahwa mengasihi, mengampuni tetapi hati bisa berbicara yang lain. Pada suatu hari yang lain Saul mengambil 3000 orang pilihan dari seluruh Israel untuk mencari Daud dan orang-orangnya di gunung Kambing Hutan. Pada saat itu Daud dan orang-orangnya bersembunyi di dalam gua dekat kandang-kandang domba. Saul masuk ke dalam gua, tanpa mengetahui bahwa Daud dan orang-orangnya ada di dalam gua. Daud berhasil memotong ujung mantel Saul tetapi hatinya berdebar-debar diliputi rasa bersalah. Padahal orang-orang yang bersama Daud mengatakan bahwa Tuhan menyerahkan musuhnya ke dalam tangannya maka ia boleh melakukan apa saja yang dianggap baik. Namun Daud tetap menghormati Saul karena ia diurapi oleh Tuhan. Oleh karena itu Daud juga tidak berniat untuk menyerang dan membunuh Saul.
Daud memberanikan dirinya untuk keluar dari gua dan berbicara dengan Saul. Inilah ungkapan hati Daud penuh dengan pengampunan kepada Saul:
"Tuanku Raja, mengapa engkau mendengarkan perkataan orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya Daud mengikhtiarkan celakamu? Ketahuilah, pada hari ini matamu sendiri melihat, bahwa Tuhan sekarang menyerahkan engkau ke dalam tanganku dalam gua itu; ada orang yang telah menyuruh aku membunuh engkau, tetapi aku merasa sayang kepadamu karena pikirku: Aku tidak akan menjamah tuanku itu, sebab dialah orang yang diurapi Tuhan. Lihatlah dahulu, ayahku, lihatlah kiranya punca jubahmu dalam tanganku ini! Sebab dari kenyataan bahwa aku memotong punca jubahmu dengan tidak membunuh engkau, dapatlah kauketahui dan kaulihat, bahwa tanganku bersih dari pada kejahatan dan pengkhianatan, dan bahwa aku tidak berbuat dosa terhadap engkau, walaupun engkau ini mengejar-ngejar aku untuk mencabut nyawaku. Tuhan kiranya menjadi hakim di antara aku dan engkau, Tuhan kiranya membalaskan aku kepadamu, tetapi tanganku tidak akan memukul engkau; seperti peribahasa orang tua-tua mengatakan: Dari orang fasik timbul kefasikan. Tetapi tanganku tidak akan memukul engkau. Terhadap siapakah raja Israel keluar berperang? Siapakah yang kaukejar? Anjing mati! Seekor kutu saja!Sebab itu Tuhan kiranya menjadi hakim yang memutuskan antara aku dan engkau; Dia kiranya memperhatikannya, memperjuangkan perkaraku dan memberi keadilan kepadaku dengan melepaskan aku dari tanganmu." (1 Sam 24: 10-16).
Saul mendengar semua perkataan Daud maka menangislah ia. Ia berkata: "Engkau lebih benar dari pada aku, sebab engkau telah melakukan yang baik kepadaku, padahal aku melakukan yang jahat kepadamu. Telah kautunjukkan pada hari ini, betapa engkau telah melakukan yang baik kepadaku: walaupun Tuhan telah menyerahkan aku ke dalam tanganmu, engkau tidak membunuh aku. Apabila seseorang mendapat musuhnya, masakan dilepaskannya dia berjalan dengan selamat? Tuhan kiranya membalaskan kepadamu kebaikan ganti apa yang kaulakukan kepadaku pada hari ini. Oleh karena itu, sesungguhnya aku tahu, bahwa engkau pasti menjadi raja dan jabatan raja Israel akan tetap kokoh dalam tanganmu. Oleh sebab itu, bersumpahlah kepadaku demi Tuhan, bahwa engkau tidak akan melenyapkan keturunanku dan tidak akan menghapuskan namaku dari kaum keluargaku." (1Sam 24: 17-21).
Lihatlah karya Tuhan di dalam diri Daud. Meskipun Saul selalu memiliki rencana yang jahat namun Daud tetap menunjukkan act of true love yakni mengasihi musuh. Pengalaman Daud ini sangat Kristiani dalam arti membantu kita untuk berumbuh dalam kasih dan pengampunan kepada sesama. Musuh sekalipun harus diampuni, yang menganiaya didoakan!
Tuhan Yesus memanggil para muridNya untuk menjadi tanda dan pembawa kasih kepada semua orang sampai ke ujung bumi. Dialah yang memanggil sesuai kehendakNya dua belas orang dari ribuan orang yang mengikutiNya, menetapkan dan menyertai mereka untuk mewartakan Injil. Tuhan tidak hanya mempercayakan misiNya kepada kedua belas rasul tetapi mereka menjadi dasar bagi Gereja sehingga pada zaman ini karya yang sama tetap dilanjutkan hingga akhir zaman. Gereja saat ini juga tetap merasakan penyertaan Tuhan.
Hari ini kita merayakan pesta St. Fransiskus dari Sales, pujangga cinta kasih dan kerendahan hati. Ia menjadi rasul iman di daerah yang dikuasai kaum protestan. Dengan usaha dan kerja keras, tanpa takut tetapi dengan kasih dan kerendahan hati, ia memenangkan hati banyak orang. Mereka bertobat dan kembali ke dalam pangkuan Gereja katolik. Mari kita belajar untuk selalu berbuat baik kapan dan di mana saja. Sikap Daud terhadap Saul sangatlah mendidik kita untuk saling mengasihi dan mengampuni.
Doa: Tuhan, bantulah kami untuk mampu mengasihi musuh-musuh di dalam hidup kami. Amen
PJSDB

Tuesday, January 21, 2014

Uomo di Dio

Persahabatan sejati itu mahal!

Kita selalu menemukan orang-orang yang memperoleh kesuksesan tertentu. Beberapa hari yang lalu, pesepak bola Christiano Ronaldo mendapat penghargaan untuk kedua kalinya sebuah bola emas. Ronaldo atau CR7 dinilai sukses secara pribadi dalam bidang sepak bola oleh para kapten dan pelatih kesebelasan sepak bola di seluruh dunia. Terlepas dari pro dan kontra bola emas ini, striker Real Madrid ini memang sangat populer. Siapa yang tidak mengenal CR7? Dari anak-anak kecil sudah mengenakan baju dengan nama Ronaldo dan menjadikannya sebagai idola. Tentu saja dengan memandang figurnya orang bercita-cita mau menyerupainya. Mereka diam-diam membangun persahabatan yang semu dengan sang idola, sebuah persahabatan jarak jauh. Ronaldo sendiri tidak mengenal para pengemarnya satu per satu.

Dalam dunia business ada orang tertentu yang cerdas dan bijaksana memiliki cara tertentu untuk memperoleh kekayaan. Ada orang yang berusaha untuk membuat sesuatu yang lebih supaya dapat memperoleh kekayaan yang berlimpah. Ada juga orang lain yang tidak menggunakan prinsip berbuat lebih tetapi melakukannya dengan jalan membangun persahabatan yang langgeng, dalam bentuk hubungan yang harmonis, dalam bentuk amal tanpa pamrih, dalam kapasitas untuk memahami sesama, dalam kesediaan untuk berbagi karunia dengan sesama yang lain.

Saya pernah terpesona dengan kehidupan Mr. Edward Choate. Dia berasal dari Los Angeles dan memiliki master key untuk sukses dalam pekerjaannya. Ia bekerja sebagai penjual asuransi jiwa. Ia pernah mengalami hidup yang keras karena usahanya ini gagal. Banyak kali ia menyendiri, memperhatikan, mendengar dan berpikir serta merenungkan nasibnya. Ia pernah mencapai grafik yang tinggi, kini dia berada di anak tangga terakhir, sebuah anak tangga kegagalan.

Pengalamannya yang keras ini mendorongnya untuk bermeditasi. Ia pasrahkan semuanya kepada Tuhan. Ia juga menyadari bahwa kehilangan kekayaan materil bisa mengantarkan orang ke sumber kekayaan yang lebih besar yakni kekuatan rohani yang ada di dalam dirinya. Dia lalu memutuskan untuk membangun persahabatan sejati dengan membantu sesama manusia. Ia pernah secara kebetulan berjumpa dengan seorang pemuda yang sedang mencari kerja. Ia membawanya ke rumah, memberinya makan, menghibur dan mengijinkankan untuk menginap di rumahnya sampai mendapat pekerjaan. Mr. Edward mengambil inisiatif dengan menunjukkan rasa belas kasihnya kepada pemuda itu. Ini ada kunci keberhasilannya. Pekerjaannya di asuransi mulai berjalan kembali hingga mencapai rekor tertinggi. Siapakah polis terbesarnya? Dialah atasan pemuda yang mencari kerja dan pernah ditolong oleh Mr. Edward. Ini adalah nilai persahabatan sejati. Cinta kasih menghasilkan buah yang berlimpah.

Banyak orang yang merasa sukses di dalam hidupnya memberi kesaksian bahwa kekayaan yang mereka miliki adalah hasil kecerdasan dan kebijaksanaannya sendiri. Sangatlah jarang orang  dengan jujur memberi pujian kepada orang lain yang menjadi sumber inspirasinya. Sesama, bahkan mereka yang berada di luar jangkauan hidup memberi sumbangan yang sangat berarti bagi kebahagiaan diri kita dan sesama yang lain. Ya, persahabatan sejati mengubah hidup kita.

Mari kita memandang Yesus sang Inspirator kita. Selama hidupNya di dunia ini, Yesus membangun persahabatan sejati dengan manusia. Para murid yang siang dan malam bersamaNya adalah mereka yang merasakan persahabatan yang berakar dan mendalam. Ia sendiri berkata: “Kamu adalah sahabatKu,  Aku menyebutmu sahabat” (Yoh 15:14-15). Pria Katolik adalah sahabat-sahabat sejati  Yesus. Persahabatan sejati dapat membawa orang kepada kesuksesan dalam hidup. Pelajaran berharga dari tuan Edward mengatakan kepada kita semua bahwa kesuksesan di dalam hidup bukan semata-mata usaha pribadi atau menambah pekerjaan ekstra, melainkan pada belas kasih dan persahabatan sejati  dengan Tuhan dan sesama.

Sekarang mari kita memadang diri kita masing-masing. Apakah anda merasa bahwa dirimu juga penting bagi sesama. Apakah persahabatan-persahabatan yang dibangun selama ini memiliki nilai positif dan dapat meningkatkan taraf kehidupan sesama? Apakah anda juga seorang sahabat yang baik? Persahabatan sejati itu mahal!


PJSDB

Sunday, January 19, 2014

Homili Hari Minggu Biasa II/A

Hari Minggu Biasa II/A
Yes 49:3.5-6
Mzm 40: 2+4ab.7-8a.8b-9.10
1Kor 1:1-3
Yoh 1:29-34

Dipanggil Menjadi Orang Kudus

Fr. JohnSetiap kali merayakan misa arwah atau peringatan arwah, saya selalu meminta kepada keluarga yang berduka untuk memberi kesaksian tentang kebersamaan dengan orang yang meninggal dunia. Kepada seorang anak yang baru berusia 10 tahun, saya menanyakan pengalaman kebersamaan dan yang mengesankan dengan ayahnya. Ia menjawab: “Ayah saya adalah orang yang sangat baik. Setiap hari ia selalu memanggil nama saya, ia bersama dengan saya dan mengajar saya bermain guitar”. Kesaksian anak ini boleh dibilang sangat sederhana tetapi saya melihat bagaimana ayahnya memiliki komitmen untuk menjadi ayah yang baik baginya. Ada beberapa hal yang menunjukkan kualitas seorang ayah yang  baik: selalu punya waktu dan kesempatan untuk hadir bersama dalam diri anaknya, ia menghargai jati diri anaknya sehingga memanggil anak dengan nama yang ia berikan. Ayahnya menjadi seorang pendidik bukan hanya dalam hal rohani, moral tetapi juga hal yang praktis seperti bermain guitar dan bernyanyi bersama. Kadang-kadang hal-hal ini terlupakan dalam keluarga karena orang tua berdalil lelah dan sibuk. Saya mengatakan kepada umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi saat itu bahwa dengan menjalankan tugas sebaik-baiknya, dengan melakukan pekerjaan yang biasa menjadi luar biasa maka orang itu dapat menjadi kudus. Bekerja adalah salah satu jalan kekudusan kita.
Pengalaman sederhana seorang anak dengan ayahnya ini membuka wawasan kita bahwa dengan melakukan tugas dengan baik kita juga dapat menjadi kudus. Pernah terjadi Raja Henry III dari Bavaria mengunjungi sebuah biara. Setelah berbincang-bincang dengan Abbas di dalam biara itu, ia mengatakan keinginannya untuk menjadi seorang biarawan. Sang Abbas bernama Richard terkejut dan mengatakan kepadanya bahwa selama ia menjadi seorang raja, ia memerintah dan orang lain menjadi bawahan harus taat kepadanya. Sekarang kalau ia masuk biara maka ia harus belajar untuk menjadi taat. Raja  Hendry III mengatakan kesanggupannya tetapi sang Abbas mengatakannya: “Pergilah ke istana, tinggalah di sana dan setiap hari layanilah dengan sukacita”. Raja Henry III kembali dan dengan sukacita ia melayani Tuhan. Ia takut akan Allah dan menjadi seorang raja yang kudus. Kekudusan tidak harus membuat orang masuk di dalam biara. Menjadi seorang ayah yang baik, ibu yang baik, pekerja yang tekun bisa membuat bersatu dengan Tuhan yang baik adanya.
Dua contoh ini mengantar kita untuk mengerti setiap rencana Tuhan Allah bagi kita masing-masing. Ia memanggil kita untuk menjadi kudus. St. Paulus dalam bacaan kedua kepada jemaat di Korintus menegaskan tentang panggilan menjadi kudus berdasarkan pengalaman hidupnya yang konkret. Paulus menyadari bahwa ia menjadi rasul Yesus Kristus karena kehendak Allah. Oleh karena itu dia mentaati dan menyanggupinya. Ia mengharapkan agar semua jemaat di Korintus merasakan anugerah yakni sebuah panggilan untuk menjadi kudus. Demikian juga semua orang lain yang berseru kepada nama Yesus Kristus juga akan menjadi kudus.  Kasih karunia, dan damai sejahtera dari Tuhan Allah Tritunggal tetap menyertai semua orang percaya kepadaNya. Bersyukurlah senantiasa karena kita semua dipanggil untuk menjadi kudus.
Nabi Yesaya dalam bacaan pertama membagi pengalaman imannya tentang panggilannya menjadi kudus. Tuhan bernubuat kepadanya: “Engkau adalah hambaKu, Israel dan olehmu Aku akan menyatakan keagunganKu” Bagi Yesaya, hal ini sudah dikatakan Tuhan sejak Tuhan membentuknya di dalam rahim ibunya untuk menjadi hamba Tuhan. Tugasnya adalah mengumpulkan anak-anak Yakub yang tercerai berai menjadi satu kembali. Tuhan juga berjanji untuk menjadikan Yesaya terang bagi bangsa-bangsa, supaya keselamatan yang dari Tuhan sampai ke ujung bumi. Di sini kita melihat keluhuran rencana Tuhan bagi Yesaya. Ia dipanggil untuk menjadi kudus sejak masih di dalam rahim ibunya supaya menjadi terang bagi bangsa-bangsa. Kekudusan diwujudkan dalam melayani Tuhan dan sesama.
Yohanes di dalam bacaan Injil hari ini mengarahkan para muridnya untuk menjadi kudus dengan cara mengikuti Yesus dari dekat dan tinggal bersamaNya. Apa yang dilakukan Yohanes Pembaptis? Ia menunjukkan Yesus kepada para muridanya: “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.” Yesus adalah Anak Domba Allah karena Dialah satu-satunya yang mengorbankan diri untuk keselamatan kita. Dia laksana domba yang menjadi hewan kurban di dalam dunia perjanjian lama. Pengorbanan diriNya hingga wafat di atas kayu salib menjadi tanda kasih yang besar bagi manusia. Ia menguduskan manusia dengan darahNya yang mulia. Yohanes juga menunjuk Yesus yang penuh dengan Roh Kudus sebagai Anak Allah. Ini adalah kesaksian yang agung, yang mendorong setiap orang yang dibabtis untuk semakin percaya dan mengasihiNya.
Sabda Tuhan pada hari ini mengajak kita untuk memahami panggilan untuk menjadi kudus. Panggilan istimewa ini adalah bagian dari rencana Tuhan bagi setiap orang. Sebelum dunia dijadikan Tuhan sudah punya rencana supaya setiap pribadi hidup kudus dan tak bercacat di hadiratNya (Ef 1:4). Ketika dibaptis kita dikuduskan, kita menjadi anak-anak Tuhan Allah. Dia sangat mengasihi kita sehingga Ia rela mengutus PuteraNya yang tunggal sebagai satu-satunya penebus kita. Dialah Anak Domba tak bercela yang wafat di kayu salib untuk kita. Kita selalu mengenangnya setiap kali merayakan Ekaristi bersama. Sungguh, Dialah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia, dosa kita semua sehingga kita juga menjadi kudus.
Doa: Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau menguduskan kami melalui darahMu yang mulia. Engkaulah Anak Domba Allah yang menghapus dosa kami. Amen
PJSDB

Friday, January 17, 2014

Homili 17 Januari 2014

St. Antonius, Abas
1Sam 8:4-7.10-22a
Mzm 89:16-19
Mrk 2:1-12


Tuhan adalah Raja


Suasana menjelang pemilihan umum April 2014 semakin panas. Partai-partai politik mengalami krisis kepercayaan dari para pemilih karena banyak kader partai yang melakukan tindakan kejahatan berupa korupsi. Para pelaku kejahatan korupsi belum pernah legowo mengakui kesalahan dan meminta maaf di depan publik. Mereka justru mendadak menjadi kudus dengan busana tertentu, tertawa dan mengangkat tangan sambil tertawa di depan Televisi. Hati nurani mereka benar-benar tumpul atau mungkin mereka tidak lagi memilikiinya. Pada hari-hari terakhir ini partai Demokrat diguncang lagi dengan munculnya nama Sutan Bhatoegana karena ada dugaan suap Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas. Para elit politik saling memakan dan rakat menonton dan dikorbankan. Krisis leadership ini memang amat menakutkan karena pada akhirnya rakyat juga yang menjadi korban.

Mengapa orang suka melakukan kejahatan korupsi? Mungkin karena hati mereka berada bersama uang dan harta lainnya. Situasi ini sepertinya berlangsung melebihi tujuh turunan. Dalam perjalanan ke Jakarta saya melihat sebuah stiker di mobil seseorang: “Kami merindukan seorang pemimpin yang bersih!” Bagi saya, ini adalah harapan yang besar dari banyak orang di negeri ini. Pemimpin yang bersih itu memiliki iman dan siap untuk mengabdi dalam kasih. Sayang sekali karena banyak pemimpin memang mengklaim dirinya beriman tetapi tidak mampu untuk mengasihi dan berlaku adil. Maka wajarlah kalau mereka selalu jatuh dalam dosa ketidakadilan sosial.

Pada hari ini kita mendengar kisah Samuel. Ia didatangi para tua Israel untuk memintanya mengangkat seorang raja untuk memerintah mereka. Permintaan ini membuat Samuel kesal hatinya. Bagi Samuel, Tuhan sendiri adalah Raja mereka, mengapa mereka harus memintanya mengangkat seorang raja lain? Samuel berdoa meminta petunjuk dari Tuhan. Tuhan mengatakan kepadanya untuk mengikuti kemauan para tua Israel. Tuhan sudah tahu bahwa Israel justru akan menolakNya bukan Samuel. Mereka tidak mau Tuhan menjadi Raja atas mereka. Samuel pun mengatakan semua Sabda Tuhan kepada mereka. Bagi Samuel, raja terpilih akan memerintah mereka khususnya anak laki-laki untuk bekerja sebagai penarik kereta kuda (gerobak), kepala pasukan dalam berperang, membajak ladang, menanam dan menuai, mereka membuat senjata dan perkakas-perkakas keretanya. Raja yang mereka inginkan itu akan berlaku tidak adil terhadap mereka. Namun demikian semua perkataan samuel ini tidak didengar, mereka tetap mau memiliki raja seperti bangsa-bangsa lain.

Kita melihat di sini sebuah hal ekstrim yang ditunjukkan para tua Israel yakni menolak Tuhan sebagai raja mereka. Padahal nenek moyang bangsa Israel keluar dari Mesir karena campur tangan Tuhan. Dia berlaku sebagai raja yang punya kuasa untuk memimpin mereka di dalam diri Musa. Saya ingat sang pemazmur berdoa: “Tuhan adalah Raja untuk seterusnya dan selama-lamanya.” (Mzm 10:16). Tuhan sendirilah yang empunya Kerajaan, Dialah yang memerintah atas segala bangsa. (Mzm 22:29). Tuhan adalah raja mulia selamanya. Andaikan saja para pemimpin itu menyadari bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemimpin, raja maka mereka akan menjadi abdi Tuhan yang baik. Mereka berlaku adil dan jujur. 

Situasi yang dialami para tua Israel pada zaman samuel kiranya ada sedikit kemiripan dengan situasi kita saat ini. Banyak orang bermimpi sekaligus berharap supaya memiliki pemimpin yang baik. Tentu saja tidak ada yang kurang, karena harapan akan kuasa Tuhan juga ada. Ketika seseorang dilantik atau diambil sumpahnya selalu ada kalimat “Demi Tuhan”. Masalahnya adalah orang belum sadar atau belum beriman karena setelah berjanji atau bersumpah, langsung saja janji itu dilanggar dengan aneka dosa dan kejahatan. Rakyat dipaksa untuk memilih figur ini dan itu tetapi ketika sudah menjadi pemimpin, mereka justru melupakan bahkan mengorbankan rakyat kecil.

Iman adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada semua orang. Dalam bacaan Injil hari ini kita disadarkan oleh Yesus untuk bertumbuh dalam iman. Ada seorang lumpuh disembuhkan karena iman dan usaha keras dari sesamanya yakni 4 orang yang mengusungnya. Tuhan Yesus melihat iman dari sesama si lumpuh. Maka Yesus pun melakukan mukjizat dengan menyembuhkan si lumpuh. Tiga hal yang dilakukan Yesus dalam kisah Injil hari ini sangat inspiratif bagi kita: Mengampuni, mengajar dan menyembuhkan. Apakah kehadiran kita dapat juga menjadi sebuah kehadiran yang menyembuhkan dan menguatkan sesama? 

Doa: Tuhan, Engkau adalah Raja kami, dalam lindunganMu, kami akan aman selamanya. Amen.


PJSDB

Tuesday, January 14, 2014

Uomo di Dio

Jangan hanya merindukan Perubahan

Adalah Harold Macmillan. Perdana Mentri dari Partai Konservatif di Inggris ini bertugas pada tahun 1957-1963. Ketika berkunjung ke Afrika Selatan, beliau memberi sebuah pidato yang tidak akan dilupakan oleh dunia berjudul Wind of Change atau Angin Perubahan. Pidato itu diucapkannya pada tanggal 3 Februari 1960 di Cape Town setelah sebulan ia mengelilingi negara-negara di Afrika yang pernah dijajah oleh Inggris. Ia mengatakan: “The wind of change is blowing through this continent. Whether we like it or not, this growth of national consciousness is a political fact”. Perkataannya ini membuka wawasan masyarakat terjajah di Afrika untuk bersemangat menerima kemerdekaan atau menjadi negara merdeka. Dampaknya adalah pada tahun 1960 negara-negara di Afrika yang dijajah Inggris mengalami kemerdekaan. Di mana-mana ia selalu mengulangi sambutan dengan perkataan yang sama saat ini adalah “wind of change”.

The Scorpions, sebuah kelompok music terkenal, pernah mempopulerkan sebuah lagu berjudul “Wind of Change” pada tahun 1991. Ini lirik yang inspiratif: “I follow the Moskva, down to Gorky Park, listening to the wind of change. An August summer night, soldiers passing by, listening to the wind of change”. Lagu ini benar-benar menjadi inspirator bagi banyak hati manusia untuk berubah dari musuh menjadi saudara. Tentu saja angin perubahan pasti mengarah kepada hal yang baik untuk kebaikan bersama (bonum commune). Dunia sudah mencatat, tidak ada lagi Jerman Barat dan Timur, perang dingin juga berlalu.

Angin perubahan selalu menjadi dambaan banyak orang. Banyak orang punya ide bagaimana bisa mengubah dunia ini. Dalam konteks Indonesia, banyak orang pintar di nusantara ini mengemukakan ide bagaimana mengubah negara Indonesia tercinta ini supaya tidak masuk lebih dalam lagi sebagai negara terkorup di dunia.  Tentu saja yang dikehendaki adalah sebuah dunia, sebuah negara yang aman, damai laksana sebuah keluarga, semua orang merasa sebagai saudara. Memang kita tidak bisa menutup mata dengan situasi yang nyata dalam masyarakat kita. Banyak kecaman ditujukan kepada para pemerintah karena hanya melihat kerakusan dan korupsi di jabatan-jabatan tertinggi negara ini.
Banyak orang menjadi sangat marah atas berbagai tindakan ketidakadilan social dalam masyarakat dan mungkin berpikir: “Andaikan saja saya yang berkuasa, segalanya akan berbeda”. Pertanyaan kita adalah apakah benar ada yang akan berbeda? Pada titik ini banyak orang lupa bahwa perubahan itu pertama-tama berasal dari diri kita bukan dari orang lain. Jika kita ingin mengubah dunia maka kitalah yang harus pertama-tama berubah, diri kita yang harus berubah lebih dahulu. Marcus Aurelius pernah berkata: “Jika anda merasa tertekan oleh sesuatu yang ada di luar, penderitaan itu bukan disebabkan oleh tekanan itu sendiri, tetapi oleh anggapan anda tentang tekanan itu, dan setiap saat anda mampu menyingkirkan anggapan itu”.

Dalam pengalaman sebagai seorang imam dan biarawan, banyak konfrater muda dan tua menghendaki pembaharuan tertentu di dalam biara. Masalahnya adalah orang yang menghendaki perubahan itu tidak mau berubah terlebih dahulu. Bagaimana anda mau mengubah orang lain, kalau anda tidak berdoa, berdisiplin di dalam hidup religious dan benar-benar mengikuti Yesus Kristus dari dekat? Ketika mereka tidak puas dan keluar dari biara, biasanya yang dituding bersalah adalah yang masih ada di dalam biara. Pribadi-pribadi seperti ini belum mengenal dirinya dengan baik.

Ada seorang Rabbi Yahudi yang tinggal di Eropa dalam waktu yang lama. Pada suatu hari ia menemukan seorang pria Yahudi melanggar hukum Taurat karena bekerja pada haru Sabtu, namun alih-alih menegur pria itu, rabbi itu memutuskan untuk menilai dirinya sendiri: “Ada apa denganku? Apa yang menyebabkan aku menegur seseorang yang bekerja pada hari Sabat?”

Rekan-rekan Pria Katolik, banyak kali kita lebih mudah menilai orang lain dan mengharapkan perubahan yang sifatnya external. Kita keliru! Perubahan itu pertama-tama berasal dari diri kita seperti yang dipikirkan oleh sang rabi di atas. Selama ini banyak di antara kita yang memikirkan diri sebagai pribadi yang terpisah dari dunia di sekitar, dan menuding sesama sebagai pribadi yang tidak sempurna. Mari kita berubah dari dalam sehingga orang lain bisa berubah dalam hidupnya.

Yesus Kristus memberi inspirasi bagi kita hari ini untuk mengubah hidup. Ketika Ia berjumpa dengan kaum pendosa, Ia menyapa mereka apa adanya dan sapaan-sapaan itu memenangkan hati mereka sehingga mereka dapat berubah. Contoh, Zakheus (Luk 9:1-10). Ketika Yesus sudah berada di rumah Zakheus, Ia tidak mengatakan apa-apa tentang masa lalu Zakheus tetapi Zakheus mau bertobat. Kehadiran penuh kasih dapat mengubah hidup orang lain. Sikap Yesus ini patut kita ikuti dengan berbuat baik kepada sesama. Tentu ini mengandaikan perubahan radikal di dalam diri kita.


PJSDB

Homili 14 Januari 2014

Hari Selasa, Pekan Biasa I
1Sam 1: 9-20
Mzm 1Sam 2: 1, 4-5. 6-7.8abcd
Mrk 1: 21b-28

Kuasa Doa Orang Benar

Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi sebuah toko buku rohani. Di sana saya sempat melihat-lihat pembatas buku. Saya menemukan sebuah pembatas buku dengan tulisan yang bagus: “Doa orang yang benar, bila diyakini didoakan, sangat besar kuasanya” (Yak 5:16). Sambil membaca kutipan dari surat Yakobus ini saya mengangguk sendiri sambil mengingat apa yang dikatakan dalam Kitab Amsal: “Tuhan itu jauh dari orang fasik, tetapi doa orang benar didengarNya” (Ams 15:29). Tuhan selalu memihak kepada orang benar yang sudah melewati pergumulan hidup tertentu. Mereka yang bertahan dalam pergumulan hidup itu akan merasakan sukacita yang besar.

Pada hari ini kita berjumpa dengan salah satu figur orang benar di dalam Kitab Perjanjian Lama yakni Hana, ibunya Samuel. Sebagaimana kita ketahui bahwa Elkana memiliki dua istri. Istri pertamanya adalah Hana hingga usia senja rahimnya ditutup Tuhan (1Sam 1:5). Istri kedua bernama Penina dikaruniai banyak anak sehingga menjadi angkuh terhadap Hana sebagai istri pertama. Akibatnya adalah Hana sangat menderita karena kekerasan verbal dari Penina. Namun demikian Hana tetap percaya kepada kuasa Allah.

Apa yang dilakukan Hana? Ia tak henti-hentinya berziarah ke rumah Tuhan di Silo. Di sana ia berdoa dengan penuh iman, doa permohonan, doa pujian dan syukur kepada Tuhan. Di kisahkan bahwa pada suatu kesempatan, setelah makan bersama, Hana berdiri untuk berdoa dekat imam Eli di dalam rumah Tuhan. Hana merasa pedih hatinya dan sambil menangis ia berdoa kepada Tuhan sambil bernazar: “Tuhan semesta alam, jikalau Engkau sungguh-sungguh memperhatikan sengsara hambaMu ini dan mengingat kepadaku, dan tidak melupakan hambaMu ini, tetapi memberikan kepada hambaMu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada Tuhan untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya” ( 1Sam 1: 11). Doa ini diucapkan tanpa suara, hanya mulut Hana komat kamit, penuh konsentrasi. Imam Eli saja berpikir bahwa Hana sedang mabuk dan ditegur. Imam Eli menasihati Hana: “Pergilah dengan selamat, dan Allah Israel akan memberikan kepadamu apa yang engkau minta kepadaNya” (1 Sam 1:17). Tuhan mendengar doa Hana maka ia pun hamil dan melahirkan putranya Samuel. Samuel berarti: “Aku telah memintanya dari Tuhan”.

Kisah Hana dan Elkana ini memang sangat menarik untuk direnungkan bersama. Kita semua belajar dari keluarga ini: Hana sudah lanjut umur tetapi belum dikaruniai anak, ia menderita tetapi tetap bertahan dan percaya kepada Allah. Bagi Allah tidak ada yang mustahil! Ia pernah putus asa tetapi imanny kepada Tuhan lebih besar dari pada rasa putus asanya. Orang-orang seperti Hana adalah orang benar di hadapan Tuhan, yang tidak mengatur Tuhan tetapi percaya bahwa Tuhan akan memberinya yang terbaik yang ia butuhkan. Seorang Putra bernama Samuel adalah hadia istimewa yang nantinya ia persembahkan kembali kepada Tuhan. Elkana suaminya juga tetap ada bersama Hana. Kehadirannya tetap dirasakan meskipun ada Pinea madunya. Elkana mengatakan kesetiaannya: “Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?” (1Sam 1:8).

Kisah kehidupan Hana dan anugerah dari Tuhan ini hendaknya menjadi teladan bagi keluarga-keluarga muda untuk tidak putus asa memohon kepada Tuhan anugerah untuk mendapatkan anak. Anak-anak adalah anugerah Tuhan bagi keluarga, buah kasih yang selalu dinatikan. Namun anak-anak sebagai anugerah itu haruslah dipersembahkan kepada Tuhan oleh orang tuanya. Ini bukan berarti mereka harus menjadi biarawan atau biarawati tetapi menjadi anak-anak Tuhan yang terbaik. Mereka bisa saja menjadi orang awam yang melayani Tuhan. 

Satu hal yang penting di sini adalah iman yang teguh kepada Allah dan diungkapkan dalam doa tanpa henti. Hana tidak pernah bosan mengadakan ziarah ke rumah Tuhan di Silo dan memasrahkan dirinya kepada Tuhan. Selama di Silo, siang dan malam ia mengarahkann hati dan pikirannya kepada Tuhan. Keluarga-keluarga muda hendaknya juga demikian. Pasrahkanlah seluruh hidupmu kepada Tuhan dan biarkan ia yang mengatur hidupmu.

Ada pasangan suami istri yang mengatakan kepada saya, “Kami sudah sepuluh tahun menikah, rajin berdoa tetapi Tuhan belum mengabulkannya”. Saya mengatakan, “Lanjutkanlah doamu dengan mengarahkan hati dan pikiranmu kepada Tuhan. Mungkin selama ini hanya pikiran yang diarahkan tetapi hati belum sepenuhnya terarah untuk Tuhan”. Pada tahun berikutnya, ketika bertemu mereka membawa bayi kembar laki dan perempuan. Mereka sangat senang dan berkata, “Terima kasih Romo, sepuluh tahun kami hanya berpikir tetapi lupa memberi hati kepada Tuhan. Ketika hati kami terarah kepadaNya, Ia memberi sepasang anak. El shadai, Allah mahabesar!”. Ini adalah bukti kuasanya doa orang-orang benar.

Bagaimana kalau suami dan istri tidak dikarunia anak? Apa yang harus mereka lakukan? Tentu saja pasutri tidak perlu mencari pasangan yang baru. Gereja menghendaki satu jalan yang positif yakni dengan mengadopsi anak. Anak-anak yang diadopsi memiliki hak dan kewajiban sebagai anak. Tidak ada perbedaan status anak adopsi dan anak kandung. Bukankah kita semua juga anak adopsi dari Tuhan? (Rom 8:23; 9:4).

Doa: Tuhan, kami berterima kasih atas anak-anak yang Engkau anugerahi di dalam setiap keluarga. Semoga mereka bertumbuh sebagai anak-anak angkatMu. Amen


PJSDB 

Monday, January 13, 2014

Renungan 13 Januari 2013

Hari Senin Pekan Biasa I
1Sam 1:1-8
Mzm 116: 12-14.17-19
Mrk 1:14-20

Indah RencanaMu Tuhan

Fr. JohnSambil menyiapkan homili hari ini, saya mendengar suara Samuel Afi Junior yang menyanyikan lagu   berjudul Indah RencanaMu Tuhan: “Indah rencanaMu Tuhan, di dalam hidupku, walau ku tak tahu dan ku tak mengerti, semua jalanMu. Dulu ku tak tahu Tuhan, berat kurasakan, hati menderita dan ku tak berdaya. menghadapi semua. Kini ku mengerti sekarang, Kau tolong padaku, kini kumelihat dan kumerasakan, indah rencanaMu”. Lagu dari gadget yang saya dengar dari salah seorang karyawan di komunitas Salesian Don Bosco Tigaraksa ini sangat menarik untuk kita renungkan bersama pada hari ini. Kita menyadari bahwa di hadapan Tuhan masing-masing orang memiliki pengalaman tersendiri. Misalnya, ada yang sudah melewati pengalaman yang keras dan menantang, ada yang baru mulai mengalaminya sehingga bikin stress. Semua pengalaman hidup yang baik atau yang keras selalu memiliki makna yang indah dalam hidup setiap pribadi.
Pada hari ini kita mendengar kisah keluarga Samuel, sebuah kisah yang menarik sekaligus menantang keluarga-keluarga pada zaman ini dalam Kitab Perjanjian Lama. Kisah kelahiran Samuel diawali dengan sebuah drama keluarga yang berhubungan dengan Santuarium Silo, tempat dimana Tabut Perjanjian diletakkan. Banyak orang selalu berdatangan ke Silo untuk melakukan ziarah tahunan mengunjungi Tabut Perjanjian. Kisah keluarga ini dimasukkan dalam konteks keluarga patriarkal di mana ada kecemburuan tertentu dari para wanita yang memiliki bersama satu suami. Kecemburuan bisa terjadi karena keadaan fisik (cantik tidaknya), ada yang punya anak dan ada yang tidak punya anak dan hal-hal lainnya yang masuk di dalam pengalaman hidup mereka.
Mari kita perhatikan kisah dalam bacaan pertama dari Kitab Samuel. Ada seorang pria dari Ramataim-Zofim, daerah pegunungan Efraim bernama Elkana bin Yeroham bin Elihu bin Tohu bin Zuf. Dia berasal dari Efraim. Elkana mempunyai dua orang istri. Istri pertama bernama Hana dan istri kedua bernama Penina. Relasi Hana dan Penina tidaklah bagus. Hana belum diberi keturunan sedangkan Penina sudah memiliki keturunan. Dengan demikian muncul kecemburuan kedua istri Elkana ini. Penina merasa lebih superior karena memiliki keturunan meskipun dia adalah istri kedua. Dengan keadaan hidup seperti ini, Hana tidak kehilangan kepercayaan kepada Yahwe. Ia percaya bahwa yahwe memiliki rencana yang indah baginya maka setiap tahun ia masuk dalam kelompok para peziarah ke Silo. 
Pada suatu tahun Elkana berziarah dan yang bertugas sebagai imam adalah kedua anak imam Eli bernama Hofni dan Pinehas. Elkana mempersembahkan korban, diberikan juga kepada Penina dan anak-anak baik laki-laki dan perempuan masing-masing sebagian. Kepada Hana, Elkana hanya memberi satu bagian karena hingga saat itu Hana belum memberi keturunan kepada Elkana. Ada keyakinan bahwa Tuhan sendiri sudah menutup kandungan Hana. Maka setiap kali Hana pergi ke Silo, Penina selalu menyakiti hatinya. Hana pun menangis dan tidak mau makan. Elkana pun tergugah dan berkata kepadanya: “Hana mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?”
Orang yang menaruh harapannya kepada Tuhan pasti mendapat perhatian dari Tuhan sendiri. Hanya Tuhanlah yang mampu melakukan karya-karya besar di dalam hidup manusia sebab bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Demikian terjadi pada Hana. Ia memiliki harapan bahwa Tuhan akan melakukan karya besar di dalam dirinya. Elkana suaminya juga menunjukkan kasihnya kepada Hana. Ia merasa bahwa dirinya lebih berharga di hadapan Hana dari pada sepuluh anak laki-laki. Oleh karena itu Hana tidak harus bersedih karena belum memberikan keturunan kepadanya
Kisah keluarga ini menarik perhatian kita. Ketika seorang wanita belum memiliki keturunan maka orang tua suami dan istri selalu gelisah dan bertanya, apa gerangan terjadi pada anak-anak mereka. Kadang-kadang sang isteri selalu dipersalahkan, diintimidasi bahkan lebih ekstrim ditinggalkan oleh suami karena belum punya anak. Mungkin saja karena orang belum mengerti tentang tujuan perkawinan. Sebenarnya suami dan isteri menikah pertama-tama bukan untuk memiliki anak tetapi supaya suami dan istri itu saling membahagiakan satu sama lain. Anak-anak adalah pemberian Tuhan, Dialah yang menghendaki bukan manusianya. Jadi entah memiliki anak atau tidak, anak yang lahir itu normal atau berkebutuhan khusus, tetaplah merupakan pemberian Tuhan untuk dikasihi.
Sabda Tuhan pada hari ini membimbing kita untuk memahami tugas dan tanggung jawab kita di hadapan Tuhan. Tuhan sudah memanggil kita dengan panggilan istimewa maka mari kita wujudkan kebersamaan dan persaudaraan sejati. Bagi yang menikah, kasihilah pasanganmu itu. Hendaklah kalian saling membahagian satu sama lain.
Doa: Tuhan, berkatilah keluarga-keluarga supaya mereka setia satu sama lain dalam menghayati perkawinan mereka. Amen
PJSDB

Sunday, January 12, 2014

Uomo di Dio

Masa lalu itu sangat mendidik

Selama menjadi seorang biarawan dan imam dalam Serikat Salesian Don Bosco, banyak waktu saya habiskan sebagai formator atau Pembina di tempat pembinaan para calon imam dan bruder. Sebenarnya tempat pembinaan para calon imam dan bruder bukanlah tempat yang enak. Mungkin orang lebih suka menjadi imam di Paroki, Sekolah atau lembaga-lembaga social dalam Gereja tetapi bukan tempat pembinaan calon imam dan bruder. Betapa tidak, setiap formator harus memberi yang terbaik bagi para formandi atau mereka yang dibina. Perlu diketahui bahwa setiap jenjang pembinan selalu disesuaikan dengan Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis dari Takhta Suci dan dari kongregasi sendiri. Penjabaran Ratio selalu disesuaikan dengan spiritualitas kongregasi masing-masing.

Bagi para calon imam dan bruder yang baru masuk sebagai Aspiran dan Postulan kami memberi pembinaan yang memadai sebelum mereka naik ke tingkat yang lebih lanjut yakni masa novisiat. Di masa aspiran dan postulant, hal yang banyak kali menjadi fokus pembinaan kami adalah bagaimana membantu para pria calon iman dan bruder untuk mengenal dirinya dengan baik dan mematangkan motivasi panggilan mereka supaya dapat menjadi imam dan bruder yang baik. Ini bukanlah pekerjaan mudah selama satu dan dua tahun menyiapkan mereka. Apalagi latar belakang mereka berbeda-beda, misalnya banyak di antara mereka yang bukan berasal dari seminari menengah tetapi dari sekolah umum dan kejuruan. Faktor keluarga dan budaya yang turut memanusiakan para calon juga ikut berpengaruh dalam karakter pribadi mereka.

Setiap bulan saya selalu melakukan wawancara dengan para calon. Istilah teknis dalam kongregasi kami disebut Rendiconto. Setiap calon datang kepada saya dan mengatakan dirinya apa adanya dari factor kesehatan, hidup rohani, panggilan, relasi dengan sesama dalam komunitas dan di luar komunitas, afektifitas dan lain sebagainya. Si calon diharapkan jujur mengatakan apa adanya tentang dirinya sehingga sebagai formator saya bisa membantunya. Apabila ia tidak jujur maka ia juga tidak akan berkembang dalam kaitannya dengan dirinya sebagai calon imam dan bruder dalam kongregasi kami.

Satu kesulitan yang selalu dialami oleh para calon imam dan bruder adalah bagaimana mereka mampu membereskan masa lalu mereka. Banyak dari penderitaan dan nyeri fisik, masalah hubungan antar pribadi itu berakar pada masa lalu. Ketika saya memberi konferensi tentang kemurnian hidup, seorang calon imam dengan jujur datang kepada saya saat rendiconto dan mengatakan tentang penderitaan dan kekerasan masa lalunya karena menjadi korban pelecehan seksual dari orang yang lebih dewasa. Selama beberapa hari, pikirannya tentang penderitaan masa lalu itu selalu mengejar-ngejar dirinya, dan dia mengakui lelah segalanya, sehingga meminta dirinya untuk mundur dari statusnya sebagai calon imam. Nah, masalahnya bukan pada dirinya mundur dari biara tetapi pada bagaimana menyembuhkan luka masa lalu itu sehingga dia bisa menjadi pemuda yang sehat dan normal kembali. Bagaimana dirinya yang dihantui kekerasan dan pelecehan seksual itu dan membebaskan dia supaya dia jangan mencari korban baru.

Membereskan masa lalu bisa berarti memaafkan seseorang atas ketidakadilan atau kesalahannya yang telah dilakukannya bagi diri kita. Tindakan mereka telah melukai hidup dan masa depan kita. Nah masa lalu ini menjadi titik acuan untuk maju atau mundur. Memaafkan disini merupakan cara baru yang lazim untuk mengendalikan  rasa marah, mengurangi stress dan memulihkan kesehatan. Saya teringat pada Mohandas Gandhi yang pernah berkata: “Orang yang lemah tidak pernah bisa memaafkan, kemampuan untuk memaafkan adalah sifat orang kuat”. Ketika kita merasa bahwa masa lalu itu menyakitkan maka kita harus berjuang untuk menjadi kuat sehingga mampu menaklukan diri kita yang terluka, bisa menyembuhkan diri kita. Ini berarti kita harus menjadi orang kuat untuk melawan diri kita sebagai musuh nomor satu.

Catherine Ponder adalah seorang penulis yang juga prihatin terhadap masa lalu. Di dalam bukunya The Dynamic Laws of Prosperity, ia mengatakan bahwa memaafkan masa lalu adalah salah satu teknik yang dapat membuat kita menjadi kaya raya. Memaafkan diri dan masa lalu itu memiliki power yang luar biasa. Cobalah sebagai seorang pria katolik anda duduk sebentar dan tanyalah dirimu sendiri apa dan siapa yang perlu anda maafkan pada masa lalu. Apakah dia adalah Tuhan, orang tua, mantan pacar, istri, pimpinanmu yang harus anda maafkan. Pikirkan wajah mereka dan katakan dengan jujur, apakah anda yakin dapat memaafkan mereka dengan sepenuh hati.

Tentu memikirkan kembali itu sama dengan mengorek luka lama dan pedih rasanya. Nah, memaafkan berarti menghentikan perasaan sebagai korban dan berhenti menjadikan orang lain bertanggung jawab terhadap kehidupan kita. Dengan mempersalahkan orang lain kita secara pribadi mengesampingkan tanggung jawab pribadi kita. Misalnya saya adalah korban yang telah menderita karena dilecehkan, kini saya memberi mereka kekuasaan untuk menentukan kebahagiaan saya. Pikiran semacam ini dapat menyerang bagian-bagian tubuh yang lemah seperti perut, kepala, punggung sehingga terasa nyeri dan sakit. Sebenarnya kemampuan untuk memaafkan dapat mengobati luka-luka fisik kita: nyeri punggung, mengurangi stress dan memulihkan suasana hati.

Masa lalu itu sangat mendidik. Oleh karena itu kalau anda terluka silakan membereskan masa lalumu. Memaafkan adalah membebaskan orang yang dipenjarakan dan menyadari bahwa yang terpenjara itu adalah diri kita sendiri. Anda bisa keluar dari penjara itu kalau dirimu menyadari kehadiran Tuhan yang selalu menyapamu: “Aku ini, Jangan Takut”. (Yoh 6:20).


PJSDB