SAKRAMEN
PERKAWINAN SEBAGAI PANGGILAN
UNTUK BERBAGI
I.
PERKAWINAN
SEBAGAI PANGGILAN
Rumah harus
dibersihkan. Anak-anak harus mendaftar ulang di sekolah. Latihan koor di
lingkungan malam ini. Membayar tagihan PLN dan PAM pada akhir bulan. Item-item
ini merupakan gambaran kecil dari semua kesibukan yang ada di dalam suatu
keluarga. Dengan demikian, banyak di antara kalian sedemikian sibuk menjalani
hidup perkawinan sampai-sampai tidak menyadari bahwa Allah memiliki suatu
panggilan istimewa bagimu dan tidak menyadari rahmat yang diberikan Allah untuk
menjalani panggilan itu.
1. Mendengar panggilan Tuhan:
sudah...belum...
Panggilan adalah
undangan penuh rahmat dari Allah untuk menempuh jalan hidup tertentu. Suatu
undangan yang menantikan tanggapan. Di dalam Kitab Suci, undangan selalu
diikuti oleh tanggapan atas undangan tersebut. Panggilan bisa saja ditujukkan
kepada pribadi tertentu. Misalnya Abraham dan Musa merupakan contoh figur yang
dipanggilan Yahwe dan mereka mencoba untuk menanggapinya. Panggilan juga bisa
ditujukkan kepada suatu bangsa tertentu. Misalnya sepuluh perintah Allah
diberikan oleh Yahwe kepada Bangsa Israel melalui Musa di gunung Sinai. Atau
para nabi di dalam Kitab Perjanjian Lama menyampaikan Firman Allah kepada
putera dan puteri Israel.
Di dalam Kitab
Perjanjian Baru, panggilan Allah disampaikan oleh Sang Sabda (Logos) yang
menjelma menjadi manusia yakni Yesus, yang memanggil laki-laki dan perempuan
yang berdosa untuk menjadi murid-muridNya (Mrk 2:17). Ia memanggil mereka untuk
berpartisipasi dalam perjamuan kawin yang telah Ia siapkan (Mat 22:3). Santu
Paulus juga menekankan tema panggilan Kristus dan tanggapan manusia (Rm 9:25;
11: 29 dan 2Tes 1:11). Hubungan yang
muncul dari tanggapan menusia terhadap panggilan Kristus merupakan dasar dari
kehidupan baru yang mengungkapkan kerahiman Allah.
Kepada jemaat di
Korintus, Paulus menulis: Saudara-saudara,
ingatlah bagaimana keadaanmu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia
tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak
banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia dipilih oleh
Allah untuk mempermalukan orang-orang yang berhikmat. Dan apa yang lemah bagi
dunia dipilih oleh Allah untuk mempermalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak
terpandang dan yang hina bagi dunia, bahkan tidak berarti, dipilih oleh Allah
untuk meniadakan apa yang berarti (1Kor 1:26-28).
Petrus sang batu karang
Gereja menegaskan bahwa Allah telah “memanggil kita karena kuasaNya yang mulia
dan ajaib” (2 Ptr 1:3). Ini adalah panggilan umum yang disampaikann kepada
semua orang, tetapi panggillan ini menuntut tanggapan personal dari setiap
orang. Dan panggilan itu bukan sekadar keputusan satu kali sepanjang kurun
hidup. Panggilan ini berhubungan dengan komiten yang terus menerus:
“Berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu semakin teguh
(2Ptr 1:10).
2.
Sabda
Allah meneguhkan panggilan
Tanggapan atas
panggilan Allah memiliki banyak penerapan praktis bagaimana kehidupan harus
dijalani. Tentu saja ini termasuk hubungan antara seorang laki-laki dan
perempuan dalam perkawinan (Luk 16:18; 1 Kor 7: 1-7; Ef 5: 21-32;1 Tes 4:3-4
dan 1 Tim 4:3-4). Sejak awal penciptaan, Allah telah memanggil laki-laki dan
perempuan untuk hidup dalam kesatuan. Di dalam kesatuan pria dan wanita
ditemukan gambar Allah (Kej 1:27). Kepada pasturi pertama Allah berfirman: “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah;
penuhilah bumi dan taklukanlah; berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej
1:28). Panggilan ini adalah berkat dan sekaligus tanggungjawab.
Dalam Kitab Suci, ada
sejumlah contoh pasangan suami isteri yang gagal menanggapi panggilan Allah
mulai dari pasangan Adam dan Hawa dan pasangan-pasangan lainnya (Misalnya: Izebel
dan Ahab dalam 1 Raj 16-21; Ananias dan Safira dalam Kis 5: 1-11). Tetapi ada
juga contoh-contoh ulung pasangan suami isteri yang mendengar panggilan Allah
dan menanggapinya. Di dalam Kitab Perjanjian Baru terdapat pujian atas iman,
ketaatan serta keramahan Abraham dan Sara (1 Ptr 3:5; Ibr 11: 8-17), Tobit dan
Hana menunjukkan kebajikan-kebajikan seperti memberi makan kepada orang-orang
miskin, menguburkan jenazah orang-orang yang mati terlantar, memberi pakaian
kepada orang-orang yang telanjang, memberi derma, berdoa dan berpuasa. Tobia
dan Sara menunjukkan bahwa Allah berkarya di dalam perkawinan mereka sehingga
mereka berdoa sebelum menyempurnakan kesatuan mereka. Tobia berkata: “Tuhan, bukan karena nafsu birahi kuambil
saudariku ini, melainkan dengan hati yang benar. Sudilah kiranya mengasihani
aku dan dia dan buatlah kami menjadi tua bersama” (Tb 8:7).
Pasangan suami isteri
Akwila dan Priskila disebut empat kali dalam Perjanjian Baru (Kis 18:1; Rm
16:3; 1 Kor 16:19 dan 2 Tim 4:19). Pasutri ini mendukung usaha-usaha
evangelisasi Santo Paulus. Mereka terkenal karena keramahan mereka, jemaat
berkumpul di rumah mereka (Kis16:19). Bahkan mereka sering “membahayakan hidup
mereka demi keselamatan Paulus”. Sungguh Paulus menegaskan: “Kepada mereka
bukan saja aku yang berterima kasih, tetapi juga semua jemaat bukan Yahudi” ( Rm
16:4).
Namun demikian
kesaksian terbesar adalah keluarga kudus di Nazaret. Maria, Yusuf dan Yesus
memberi teladan kekudusan bagi setiap keluarga Kristiani. Maria dan Yusuf
menjawabi panggilan Allah. Maria melahirkan Yesus, sang Mesias.
3. Suami-Isteri: dua menjadi satu
Semenjak kelahiran
Kristus, keluarga Kristiani, yang menanggapi panggilan Tuhan, telah menunjukkan
kepedulian terhadap orang-orang miskin dan sakit, kasih kepada sesama dan
keramahan kepada orang-orang asing. Ketika agama kristiani berkembang dalam
lingkup kerajaan romawi terdapat pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat
kerejaann Romawi. Di dalam kerajaan romawi, rasa hormat terhadap kesucian
perkawinan nyaris tidak ada. Orang-orang romawi melakukan kontrasepsi, aborsi
dan pembunuhan janin dan mereka memiliki sedikit anak. Orang-orang lanjut usia
dan jompo seringkali ditinggalkan dan dibiarkan mati. Isteri diperlakukan
sebagai piaraan. Keluarga kristiani sebaliknya: monogami, dan kesetiaan menjadi
kaidah hidup perkawinan. Anak-anak disambut sebagai berkat dari Tuhan. Di dalam
budaya kristiani kaum perempuan menikmati status yang jauh lebih tinggi
daripada kaum perempuan dalam masyarakat yunani-romawi pada umumnya. Tentu saja
cara hidup seperti ini dihayati sebagai tanggapan bebas terhadap panggilan
kepada kasih akan Allah dan kasih terhadap sesama. Dan hal itu hanya dapat
diwujudkan karena di dasarkan pada kerjasama dengan rahmat yang diberikan Allah
kepada mereka yang ingin mengikuti Dia.
4. Panggilan universal
Konsili Vatikan II
mendorong orang-orang katolik menghayati
suatu kehidupan dan perutusan yang tidak kurang revolusioner di
bandingkan dengan kehidupan dan perutusan yang dihayati oleh individu,
keluarga, dan jemaat kristiani purba. Para Bapak Konsili menandaskan perlunya
suatu cara hidup katolik yang berlawanan dengan budaya masyarakat pada umumnya,
yang diresapi oleh banyaknya kejahatan yang sama dengan kejahatan yang sama
dengan kejahatan yang melanda masyarakat Romawi kuno. “Di dalam Gereja, semua
orang...dipanggil kepada kekudusan, sesuai dengan ucapan Rasul Paulus: Sebab
inilah yang dikehendaki Allah, yakni kekudusanmu” (Lumen Gentium no 39).
Panggilan kepada
kekudusan juga memiliki unsur injili. Tujuannnya bukan hanya kekudusan
individual, tetapi juga cara hidup yang
akan mempengaruhi seluruh umat manusia. Lewat kekudusan pribadi umat Allah
“akan menunjukkan kepada semua orang kasih Allah kepada dunia” (LG, no
41). Dalam kerangka panggilan yang
sangat penting kepada kekudusan ini ditemukan landasan hidup perkawinan sebagai
suatu pangilan. Dalam perkawinan pasangan suami dan isteri dipangil kepada
kekudusan dan kepada suatu kerasulan yang memancar dari pengalaman pelayanan
kepada Allah dan kepada sesama.
“Seturut
cara hidup mereka, dan dengan cinta setia seumur hidup, para suami isteri dan
orang tua kristiani wajib saling mendukung dalam rahmat, dan meresapkan ajaran
Kristiani maupun keutamaan-keutamaan injil ke dalam hati anak-anak yang dengan
penuh kasih mereka terima dari Allah. Sebab dengan demikian mereka memberi
teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua
orang,memberi contoh tentang persaudaraan kasih, dan menjadi saksi serta
penopang kesuburan Bunda Gereja. Mereka menjadi tanda dan sekaligus ikut serta
dalam cinta kasih Kristus terhadap mempelaiNya, sampai Ia menyerahkan diri
untuknya”. (LG 41)
Dalam Dekrit tentang
Kerasulan awam, menampilkan banyak segi dari panggilan suami dan isteri. Suami
dian isteri dipanggil untuk bekerja sama dengan rahmat Allah untuk saling
mendorong, saling mendukung, serta saling memberikan kesaksian mengenai kasih
Allah satu kepada orang yang lain. Sebagai pasangan, mereka menyalurkan iman
kepada anak-anak mereka dan mendidik mereka dengan kata-kata dan teladan.
Mereka juga harus menghasilkan buah yang melimpah dalam lingkungan hidup
mereka. Artinya keluarga-keluarga katolik dipanggil untuk memberikan kesaksian
yang efektif tentang Kristus di hadapan dunia.
5. Rahmat Sakramen perkawinan
Panggilan perkawinan
kristiani merupakan kehidupan yang amat berat khususnya dalam kebudayaan yang
secara terang-terangan memusuhinya. Dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa pencipta perkawinan adalah
Allah, dan “dari tangan sang Pencipta (KGK, 1603). Pria dan wanita menerima
anugerah ini. Melalui Kristus dan GerejaNya, kesatuan suami isteri yang sudah
diberkati oleh Allah, diangkat ke martabat Sakramen (KGK, 1601).
Sebagai seorang Bapa
yang penuh kasih, Allah memberikan kepada manusia apa yang dibutuhkan manusia
untuk menanggapi panggilan Allah. Apabila Allah memanggil laki-laki dan seorang
perempuan untuk mengikrarkan suatu
perkawinan sakramental, Ia memberikan rahmat yang dibutuhkan untuk menjalani
perkawinan itu. Semua sakramen memberikan rahmat dan berdaya guna apabila kita
menerima dan menaggapinya. Ada rahmat yang khas untuk sakramen perkawinan.
Rahmat khas untuk sakramen perkawinan bertujuan untuk menyempurnakan kasih
pasangan suami isteri dan untuk mengokohkan kesatuan mereka yang tak
terceraikan. Dengan rahmat ini mereka saling menolong untuk memperoleh
kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka dan untuk menyambut serta mendidik
anak-anak mereka (KGK 1641). Rahmat ini disediakan secara berlimpah rua karena
Kristuslah sumber rahmat ini.
Adalah maksud Allah
untuk memberkati pasangan suami isteri sepanjang perkawinan mereka dengan
mendampingi mereka yang telah mengundang Dia ke dalam hidup mereka. Katekismus
Gereja Katolik (KGK) berbicara dengan anggun mengenai kehidupan perkawinan
dengan Kristus sebagai pusat relasi mereka: “Sebagaimana
di masa silam Allah menjumpai umatNya lewat perjanjian kasih dan kesetiaan,
demikian juga kini sang Juruselamat, mempelai laki-laki Gereja, menjumpai pasangan-pasangan
suami isteri kristiani lewat sakramen perkawinan. Kristus tinggal bersama
mereka dan memberi kekuatan kepada mereka untuk memanggul salib mereka dan
dengan demikian mengikuti Dia, untuk membangkitkan kembali sesudah mereka
jatuh, untuk mengampuni satu sama lain, menanggung beban satu sama lain, untuk
saling menghormati karena hormat mereka kepada Kristus, dan untuk saling
mengasihi dengan kasih yang supra alami, mesra dan subur. Dalam suka cita
karena kasih dan kehidupan keluarga mereka, di bumi ini Kristus memperkenankan
mereka mencicipi pesta perkawinan Anak Domba” (KGK 1642).
Apabila suami isteri
bekerja sama dengan Kristus maka buah panggilan mereka akan bermekaran. Apabila
dengan rela mereka memanggul salib kehidupan mereka dan menggabungkannya dengan
salib Kristus, kasih mereka akan menjadi tanda kasih Kristus kepada GerejaNya
(KGK 1615). Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostoliknya Familiaris Consortio menyatakan bahwa
Sakramen perkawinan memberikan kepada pasangan suami isteri “kekuatan untuk
menjalani panggilan mereka”( FC 47)
6. Pertimbangan yang matang
Pertanyaan kritisnya
adalah bagaimana kita tahu bahwa perkawinan itu merupakan suatu panggilan yang tepat
bagi individu tertentu?
Sangatlah penting
setiap pribadi menyadari bahwa ia mencari kehendak Allah untuk dirinya sendiri.
Allah sendiri memiliki rencana yang indah untuk setiap pribadi yang kita sebut
sebagai panggilan pribadi yang harus disadari, diterima dan dikembangkan oleh
setiap orang. Maka keputusan apakah saya akan menikah dan dengan siapa saya
akan menikah merupakan bahan utama untuk doa dan pertimbangan.
Bagaimana mencermati
perkawinan sebagai suatu panggilan?
Pertama, orang yang
mencari kehendak Allah untuk hidupnya harus menghampiri persoalan ini dengan
penuh keyakinan. Allah menginginkan agar kehendakNya dapat dipahami oleh setiap
pribadi. Maka ketakutan itu tidaklah tepat. Tuhan selalu melalui nabi Yeremia
bersabda: “Aku mengetahui rancangan-rancangan
apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikian firman Tuhan, yaitu rancangan damai
sejahtera, dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan
yang penuh harapan. Apabila kamu berseru dan datang berdoa kepadaKu, Aku akan mendengarkan
kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu
menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan membuat kamu menemukan Aku,
demikianlah firman Tuhan” (Yer 29: 11-14).
Kedua, kerinduan akan
kekudusan pribadi. Ini mencakup suatu komitmen pribadi untuk menghayati
kehidupan kristiani secara penuh dengan suatu kerelaan untuk melaksanakan apa
saja yangdikehendaki Allah. Komunikasi sangat diperlukan untuk mendengarkan dan
menanggapi panggilan. Di sini diperlukan doa yang tekun dan teratur. Sakramen
ekaristi dan sakramen tobat merupakan sarana yang mempertajam dirinya untuk
menjadi kudus.
Ketiga, relasi yang
murni dan kudus dengan lawan jenis. Ungkapan-ungkapan afeksi lahiria haruslah
singkat, bijaksana dan murni. Mencari kepuasan seksual bukan hanya salah tetapi
juga menghancurkan diri sendiri karena membuat kita menyimpang dari jalur serta
proses mencermati panggilan.
Dengan demikian bagi
para calon pasangan, masa pacaran dapat menjadi waktu untuk mencermati kehenda
Allah kalau Allah memang sedang menarik mereka kepada perkawinan satu sama
lain. Dalam proses ini, kejujuran dan keterbukaan merupakan sikap yang amat
penting. Sesudah perkawinan, pasangan suami isteri harus terus mencermati
kehendak Allah. Semua keputusan hendaknya dibuat dalam konteks panggilan dan
undangan Allah yang pemurah. Memang hidup orang katolik selalu di atur dalam
iman, harap dan kasih dalam kerangka memenuhi panggilan Allah.
Tentu saja tak
terhindarkan kehidupan perkawinan mengalami saat-saat sulit dan masa pencobaan.
Pada masa-masa sulit ini hendaknya para pasutri mengingat bahwa Allah telah
memanggil mereka kepada kehidupan perkawinan. Komitmen, kepercayaan kepada
rahmat sakramen, dan kesetiaan mutlak diperlukan untuk menghayati suatu panggilan.
Kepasrahan kepada Allah dan kasih satu sama lain dapat menagkis banyak badai.
Pengharapan membuat kita mampu menerima hal-hal pahit yang tidak dapat diubah
sebagai bagian dari rencana Allah.
Ketika mengalami badai
pasutri hendaklah memandang Juru Selamat. Terlepas dari Aku kamu tidak dapat
berbuat apa-apa, demikian kata Yesus sendiri (Yoh 15:5). Atau penulis surat
kepada umat Ibrani: “Marilah kita melakukannya dengan mata tertuju kepada
Yesus, yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada
kesempurnaan; dengan mengabaikan kehinaan, dengan tekun ia memikul salib ganti
sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta
Allah” (Ibr 12:2).
7. Belajar dari Nazaret: keluarga
kudus
Ketika berziarah ke
Nazaret, Paus Paulus Vimencapai suatu permenungna pribadi yang mendalam sebagai
berikut: “Nazaret adalah semacam sekolah... Betapa aku ingin kembali ke masa kanak-kanakku
dan belajar di sekolah yang sederhana namun mendalam, yakni Nazaret!” Bagi Paus
Paulus VI, ada 3 pelajaran utama dari keluarga kudus di Nazaret:
Pertama, Kita harus
belajar dari keheningan yang ada dalam keluarga itu. Sikap bathin yang
menganggunkan ini kita butuhkan untuk memerangi tekanan dan kebisingan dunia.
Kedua, Keluarga Nazaret
merupakan contoh yang harus ditiru oleh setiap keluarga....suatu komunitas
kasih dan sharing yang indah karena keragaman masalah yang dihadapinya dan
karena ganjaran yang ia nikmati.Keluarga Nazaret merupakan setting yang
sempurna untuk membesarkan anak-anak dan untuk ini tidak ada gantinya.
Ketiga, Di Nazaret, di
dalam rumah anak tukang kayu itu, kita belajar tentang bekerja dan disiplin
yang dituntutnya.
II. PARENTING SEBAGAI SAAT BERBAGI DALAM
KELUARGA
Mendidik anak itu
seperti mengasah sebuah pisau. Harus berhati-hati, tetapi terus menerus
dilakukan untuk mencapai ketajamannya.
Haruslah diakui bahwa
kesulitan terbesar dalam sebuah keluarga adalah masalah parenting atau mendidik
anak karena merupakan masalah yang kompleks. Dikatakan masalah yang kompleks
karena mendidik anak itu seperti menangani sebuah proses produksi yang penuh
dengan hal-hal detail, memerlukan ketekunan dan kesabaran, namun kadang-kadang
diperlukan sebuah ketegasan yang penuh dengan kedisiplinan. Lagi pula yang
dihasilkan adalah buah pendidikan yang bukan sebuah mass production melainkan
sebuah mahakarya yang penuh keunikan.
Ada beberapa hal
penting dan mendasar yang perlu diketahui dan dikuasai secara mendalam agar
bisa mendidik anak menjadi sukses dan bahagia:
1.
Mengenali diri sendiri dengan baik. Jika
sebagai orang tua kita tidak mampu mengenali diri sendiri dengan baik bagaimana
kita bisa mengerti dan memahami orang lain?
2.
Memiliki persepsi yang benar tentang
mendidik dan mengasuh anak. Persepsi yang benar dapat dicapai jika kita
mengerti cara berpikir yang benar dan mempunyai pengetahuan luas tentang
anak-anak.
3.
Mengerti tentang mekanisme pikiran dan
fungsi otak sehingga kita mampu mempertimbangkan setiap tindakan dan ucapan.
4.
Mengerti bagaimana pikiran memroses
informasi dan pengalaman serta dampaknya di masa depan anak.
5.
Kemampuan berkomunikasi yang bagus
sehingga mampu menyampaikan maksud baik kita kepada anak tanpa distorsi makna.
Semua orang tua bermaksud baik terhadap anaknya tetapi seringkali anak
memaknainya dengan salah karena cara komunikasi yang tidak tepat.
6.
Mengenali tipe kepribadian anak sehingga
interaksi anak dan orangtua berjalan dengan baik.
7.
Mengenali tipe dan gaya belajar anak
sehingga kita mampu mengarahkan anak mencapai prestasi optimal di bidang
akademis.
8.
Mengerti setiap proses tumbuh kembang
anak serta apa yang diperlukan di setiap proses.
9.
Kemampuan membantu anak mengatasi trauma
sederhana
10.
Kemampuan membantu anak mengatasi
masalah emosional dan membantunya memiliki kontrol diri yang baik.
11.
Kemampuan membantu anak mngembangkan
disiplin yang sehat tanpa tanpa merusak
harga dirinya.
Kesebelas hal mendasar
dalam parenting ini akan diuraikan dalam poin-poin sebagai berikut:
1. Prinsip 5T dalam mendidik anak
Prinsip 5T merupakan
prinsip sederhana yang dapat dipakai dalam parenting atau pendidikan anak. T
yang dimaksudkan adalah time, telling, teaching, training, together.
a.
Time (waktu)
Anak-anak
mendefinisikan cinta orang tua sebagai waktu yang berkualitas bersama. Oleh
karena itu orang tua perlu memiliki waktu untuk anak-anaknya.
b.
Telling (memberitahu)
Tindakan memberitahu
adalah salah satu cara orang tua mendidik anaknya. Dengan memberitahu akan ada
komunikasi di mana keinginan orang tua di sampaikan untuk dipahami dan
dilakukan anak-anak. Memberitahu bahwa mereka di kasihi, untuk membedakan mana
yang baik dan tidak baik.
c.
Teaching (mengajar).
Kita tidak hanya
memberi tahu tentang nilai-nilai hidup dan budi pekerti tetapi mengajarkan
kepada mereka cara melakukannya. Ajarkan sampai mereka betul-betul mengerti
tentang budi pekerti atau nilai-nilai hidup.
d.
Training (melatih)
Orang tua perlu melatih
anak-anak. Banyak teknik atau metode yang dapat dilakukan untuk melatih
anak-anak. Monitoring yang bisa dilakukan orang tua dalam training ini:
-
I do – you watch: saya kerjakan terlebih
dahulu, kamu perhatikan dan belajar
-
I do – you help: Saya mengerjakannya dan
kamu ikut membantu
-
You do – I help: kamu mengerjakannya,
saya menolong.
-
You do – I watch: kamu mengerjakannya,
saya mengamati dan mengevaluasi.
Melatih seorang anak
biasanya berhubungan dengan reward dan punishment atau dengan appreciation dan
discipline.
e.
Together (kebersamaan).
Pelatihan dan pengajaran
perlu dinaungi dalam kebersamaan. Keluarga yang memiliki kebersamaan akan
membangun jembatan komunikasi yang kuat sehingga dapat menghindari bahaya badai
dalam bahtera keluarga. Kebersamaan juga mengandaikan keteladanan yang kuat
dari orang tua.
Apa yang harus
dilakukan supaya 5T ini dapat berhasil dilakukan?
Para orang tua
memerlukan 4M yaitu:
-
Membaca
-
Merenungkan
-
Melatih diri dengan melakukan
-
Memperbaharui
2.
Mengenal diri sebagai orang tua:
tipe-tipe orang tua
Di dalam masayarakat
luas terdapat tiga tipe orang tua yang di kelompokan berdasarkan persepsi mereka terhadap masalah anak.
a.
Tipe pencegah masalah
Orang tua di hadapkan
pada dua pilihan: mencegah anak terhadap hal-hal yang tidak baik (jahat) dan
mencegah anak terhadap hal-hal yang baik.
b.
Tipe pencari solusi
Orang tua ini memiliki
dua kekhasan: orang tua pencari solusi untuk mencegah timbulnya masalah negatif
dan orang tua pencari solusi untuk mengatasi masalah negatif yang telah
terjadi.
c.
Tipe tahu beres
Mereka menyerahkan anak
mereka kepada guru, pastor atau psikolog dan psikiater tanpa perlu tindak
lanjutnya. Risiko yang dapat dialami oleh orang tua tipe ini adalah: anak
kehilangan figur dalam diri orang tua, rasa hormat berkurang, suka membantah
dan ada bahaya laten yaitu ketika sudah mandiri maka nasihat orang tua cenderung diabaikan.
Ada juga pengelompokan
tipe orang tua yang lain yakni:
a.
Orang tua pendekat (attacher).
Orang tua yang mencoba
mendekatkan diri kepada anaknya. Mereka menjaga citra, berorientasi pada apa
kata orang terhadap mereka. Kepribadian mereka mengacu pada emosi, perasaan, citra dan penerimaan.
Sisi positif yang perlu
ditingkatkan adalah orang tua yang percaya diri, memberi dukungan kepada
anak-anak, memberi dengan tulus, mampu membangun hubungan, memiliki empati,
suka mengasuh, mendukung potensi orang lain, penuh perhatian.
Sisi negatif yang perlu
diperbaiki: selalu mencari dan menerima dari lingkungan, suka menyanjung anak,
selalu ingin memiliki citra orang tua sempurna, mementingkan hasil dan kurang
sabar dalam pelaksanaan, melankolis, emosi mudah meningkat, egosentris, suka
menghindari hal-hal yang rutin.
b.
Orang tua penjaga jarak (detacher)
Adalah orang tua yang
suka menjaga jarak. Mereka yang masuk tipe ini memiliki kepribadian yang mengacu
kepada pikiran, konsep dan aktivitas mental. Orang tua yang suka
menganalisis, serta mengumpulkan
gagasan, dan pengetahuan untuk bisa mengerti banyak hal. Andalannya adalah
pikiran logis dalam berargumentasi.
Sisi positif yang perlu
ditingkatkan adalah rasionalitas, tenang dan seimbang, objektif, mandiri, tidak
menghakimi, bisa menahan diri, bertanggung jawab, tekun, berpikir jernih, serta
mampu memecahkan masalah.
Sisi negatif yang perlu
diperbaiki: menarik diri dari interaksi pribadi, menginginkan privasi, kurang
spontan, tidak komunikatif, ketakutan, ragu-ragu, defensif,curiga, serta suka
menunda-nunda.
c.
Orang tua bela diri (defender)
Orang tua yang suka
membela dan membenarkan diri memiliki kepribadian yang mengacu pada fisik,
naluri, dan penghargaan. Orang tua yang terlalu mengandalkan nalurinya, untuk
merasa aman serta ingin di dengar dan dihargai anak-anaknya.
Sisi positif yang perlu
ditingkatkan: terus terang, melindungi yang lemah, mampu
berkonfrontasi,berorientasi pada detail, terus menerus memperbaiki diri, serta
memiliki kemampuan menganalisa.
Sisi negatif yang perlu
di perbaiki adalah otoriter, kaku, mengendalikan, menyalahkan orang lain,
berfokus pada kesalahan, tidak fleksibel, sensitif atas kritik
Penutup
Anak-anak tetaplah
subjek dalam parenting. Mendidik anak itu ibarat mengasah mata pisau. Harus di
lakukan dengan hati-hati tetapi terus menerus sehingga pisau itu tetap tajam.
Menjadi orang tua yang baik tidak tergantung pada siapakah kita sebagai orang
tua tetapi apa yang dapat kita lakukan sebagai orang tua di dalam mendidik
anak-anak.
PJSDB
Referensi:
Ariesandi. (2008). Rahasia Mendidik Anak Agar Sukses dan Bahagia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Bambang & Syumanjaya,
H. (2010). Just for Parenting. Bacaan Wajib
Untuk Orang Tua dan Pendidik. Jakarta: GramediaHan, S & Flaherty, R.J. (2007). Catholic for a Reason IV. Scripture and the Mystery of the Marriage and Family Life. Ohio: Emaus Road Publishing.
No comments:
Post a Comment