Hari Minggu Biasa XXV/C
Am 8:4-7
Mzm 131: 1-2.4-6.7-8
1Tim 2:1-8
Luk 16:1-13
Mengabdilah kepada Allah
Pada suatu
kesempatan saya diundang untuk mengikuti perayaan Ekaristi syukur 40 tahun
seorang Bapa yang mengabdikan dirinya sebagai koster di sebuah gereja stasi
terpencil. Tentu saja perayaan syukur seperti ini jarang dirayakan karena
mungkin jarang orang mengabdikan diri secara total untuk Tuhan dan umat seperti
ini. Bapa itu menceritakan pengalamannya bahwa ia pertama kali menjadi koster
sejak masih berusia 20 tahun. Ia melayani gereja dengan banyak tugas yang
dipercayakan kepadanya seperti membunyikan lonceng untuk doa Angelus sebanyak
tiga kali sehari, menyiapkan bahan-bahan untuk perayaan Ekaristi dan sakramen
lainnya, melatih misdinar, pernah menjadi prodiakon, menjadi juru bicara pastor
ketika pastornya berhalangan misa di tempat-tempat tertentu dan masih banyak tugas
pelayanan yang ia lakukan untuk melayani umat di gereja stasi tersebut. Para
imam boleh berganti tempat tugas, tetapi kosternya tetap sama. Di usianya yang
ke-60 ini ia bersyukur atas pengabdiannya kepada Tuhan selama 40 tahun sebagai
koster. Bapa Uskup menyapa koster tersebut “Uskup dari para koster”.
Panggilan
dasar manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah di dalam hidupnya. Supaya menjadi abdi Tuhan Allah yang baik maka setiap pribadi diharapkan untuk menjadi orang yang setia
hari demi hari. Kisah bapak yang menjadi koster selama 40 tahun menunjukkan bahwa dia adalah orang yang sungguh setia karena menjadi koster itu tidak mendapat honor apa pun
dari gereja. Ia sukarela mengabdi Tuhan dan sesama. Tuhan Yesus dalam bacaan
Injil hari ini memberi sebuah perumpamaan yang sangat menarik. Ia menceritakan
tentang keadaan seorang bendahara dari seorang tuan yang kaya. Tuannya mendengar
tuduhan bahwa sang bendahara memboroskan hartanya. Ia memanggil bendahara itu
dan meminta pertanggungjawaban sekaligus memberi tahu pemecatannya. Oleh karena
itu sang bendahara membuat pertimbangan dalam hatinya mengenai apa yang harus
diperbuatnya setelah ia dipecat. Ia juga merasa sulit untuk melakukan pekerjaan
fisik yang berat. Oleh karena itu ia membuat strategi untuk membantu orang-orang yang
berutang kepada tuannya dengan membuat surat utang yang nilainya lebih rendah
dari yang sebenarnya. Karena sikap licik dan curang bendahara ini maka ia yang tadinya
dicela dan hendak dipecat oleh tuannya, kini ia malah dipuji karena perbuatannya
yang bijaksana.
Dari
bendahara ini kita mengambil kebijaksanaan yang dialaminya. Kita juga setiap
saat dapat dipanggil oleh Tuhan untuk memberi pertanggungjawaban. Untuk itu
kita perlu membangun persahabatan yang dapat membantu kita untuk mencapai
kekudusan. Tentu saja kita tidak belajar untuk membuat kecurangan-kecurangan
tertentu seperti sang bendahara ini. Tuhan menasihati kita untuk menjadi abdi
yang setia dalam perkara-perkara yang kecil sehingga dapat setia juga dalam
perkara-perkara yang besar. Karena apabila kita berlaku tidak benar dalam
perkara-perkara yang kecil, kita juga tidak benar dalam perkara-perkara yang
besar. Hal yang harus kita hindari adalah godaan terhadap harta benda yang ada
di sekitar kita. Banyak orang menjadikan harta benda sebagai tujuan utama di
dalam hidupnya padahal harta benda itu adalah sarana untuk mengabdi Allah. Kita
dipanggil untuk mengabdi Tuhan dengan setia selama-lamanya.
Perilaku yang
curang atau tidak jujur pernah dikecam oleh Amos di dalam bacaan pertama. Para
pedagang mengejar keuntungan finasial yang besar terhadap orang-orang-orang
miskin. Amos menulis: “Dengarlah hai kamu
yang menginjak-injak orang miskin dan membinasakan orang-orang sengsara di
negeri ini, dan berpikir, ‘Kapan pesta bulan baru berlalu, supaya kita boleh
menjual gandum; kapan hari Sabat berlalu supaya kita boleh berdagang terigu;
kita akan memperkecil takaran, menaikan harga dan menipu dengan neraca palsu;
kita akan membeli orang papa karena uang dan membeli orang miskin karena
sepasang kasut, kita akan menjual terigu tua”. Kecaman Amos ini masih
berlaku hingga saat ini. Dalam masyarakat kita masih banyak orang yang berlaku
tidak adil terhadap orang-orang kecil. Ada yang mencari keuntungan berlipat
ganda tanpa memperhatikan orang-orang kecil yang sangat membutuhkan. Kita
seharusnya memiliki sikap jujur dan adil sebagai bentuk pengabdian terhadap
masyarakat.
St. Paulus
dalam bacaan kedua mengingatkan Timotius dan jemaat yang dilayaninya untuk
memanjatkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur kepada Allah bagi semua
orang, pemerintah dan penguasa supaya kita dapat hidup aman dan tentram dalam
segala kesalehan dan kehormatan. Para pemerintah dan penguasa patut didoakan
karena mereka dipanggil Tuhan untuk mengabdikan diri bagi masyarakat banyak.
Masalahnya adalah pada manusianya yang memerintah. Banyak kali ia lupa diri
sehingga lebih memperioritaskan dirinya sendiri dari pada orang lain. Banyak
kali pemerintah juga terlalu bersikap egois dan berlaku curang untuk kebaikan
dirinya.
Sabda Tuhan
pada hari Minggu Biasa ke-25 ini mengarahkan kita untuk hidup sebagai orang bijaksana. Ciri
khas orang bijaksana dalam bacaan-bacaan suci adalah memiliki visi ke depan yang jelas, terutama
bagaimana dari sekarang ia berusaha memupuk persahabatan yang baik untuk
mencapai keselamatan kekal. Tentu saja hal praktis yang dapat dilakukan adalah
mempraktikkan keadilan dan cinta kasih kepada semua orang. Apakah kita saat ini
juga menjadi orang-orang jujur dan tidak berlaku curang? Banyak di antara
kita masih memiliki hobi berlaku curang terhadap orang lain orang demi kebaikan
dirinya sendiri. Mari kita berubah menjadi abdi-abdi Tuhan yang jujur dan adil
serta setia selamanya.
Doa: Tuhan
Yesus, bantulah kami untuk bertumbuh sebagai pribadi yang jujur dan adil. Amen
PJSDB
No comments:
Post a Comment