Hari Selasa, Pekan Biasa
ke-XXVIII
Peringatan Wajib St. Theresia dr
Yesus
Rm. 1:16-25
Mzm. 19:2-3,4-5
Luk. 11:37-41
Merenungkan iman orang benar
Pada hari ini kita mengenang St.
Theresia dari Avilla. Beliau juga dikenal dengan sapaan Santa Theresia dari
Yesus. Ia dilahirkan di Avila, Spanyol, pada tanggal 28 Maret tahun 1515. Sejak
kecil ia berniat untuk masuk ke dalam biara. Niat sucinya ini terwujud di mana
beliau meninggalkan rumah diam-diam untuk menghuni sebuah komunitas biara
Carmel, hingga ia menjadi seorang biarawati Karmelit. Motivasi dasarnya adalah ia mencintai Tuhan
Yesus yang lebih dahulu mencintainya. Orang tuanya tanpa ragu-ragu menyetujui
niat sucinya ini.
Apa yang terjadi di dalam biara
Carmel saat itu? Theresia merasa bahwa biaranya terlalu longgar peraturannya
dan jauh dari kehidupan rohani yang dicita-citakannya. Ia melakukan sebuah
gerakan yang menjadi revolusi mental bagi semua biarawati Carmelit saat itu.
Revolusi mental dimulai dari dirinya sendiri dengan kembali ke akar kehidupan
membiara yang sebenarnya yaitu untuk menjadi taat, miskin dan murni. Tentu saja
ini menjadi kesulitan bagi banyak biarawan yang sudah terbiasa hidup santai,
tidak berdisiplin dan melupakan cara hidup asketis. Tuhan mempertemukan Theresia
dan Yohanes dari Salib yang juga memiliki semangat pembaharuan bagi Ordo
Karmelit. Kedua-duanya berjuang untuk memperbaharui kembali semangat
spiritualitas Ordo Karmel melalui kehidupan membiara yang suci, dalam doa,
serta menjalankan puasa dan berpantang dengan sangat ketat. St. Theresia wafat
pada tahun 1582 dan dinyatakan kudus oleh Paus Gregorius XV pada tahun 1622. Ia
digelari Doktor Gereja oleh Paus Paulus VI pada tahun 1970.
Santa Theresia melakukan Revolusi
Mental di dalam Biara Carmel sebab ia memiliki iman sebagai orang benar. Iman
orang benar selalu memiliki kasih yang besar kepada Tuhan yang lebih dahulu
mengasihinya, bukan pada besarnya karya-karya di dalam hidup pribadinya. Banayak
orang selalu menghitung besarnya karya dan lupa untuk bertumbuh dalam iman. Itulah
sebabnya Theresia berkata: “Tuhan tidak terlalu peduli dengan betapa pentingnya
pekerjaan kita, yang dipedulikanNya adalah kasih yang dipakai untuk
menyelesaikan pekerjaan itu. Untuk dapat mengasihi dengan tulus maka setiap
orang berusaha untuk memandang Salib. Berkaitan dengan ini, Theresia berkata: “Cinta
adalah ukuran kemampuan kita dalam memikul salib.”
Santa Theresia dikenal sebagai
sosok yang rendah hati. Ini adalah kesaksian hidupnya yang nyata. Sebagai
bagian dari kesaksian hidup pribadinya, beliau mengatakan: “Tuhan mengijinkan
jiwa untuk jatuh sehingga ia dapat tumbuh menjadi lebih rendah hati. Ketika
jiwa itu jujur, dan menyadari apa yang telah dilakukan, dan kembali, ia membuat
perkembangan yang meningkat dalam pelayanan Tuhan kita.” Sebab itu menurutnya, “Kita
hanya bisa belajar mengetahui diri sendiri dan melakukan apa yang kita bisa yaitu,
menyerahkan kehendak kita dan memenuhi kehendak Allah didalam diri kita.”
Bagi saya, ungkapannya yang
selalu inspiratif adalah pada sepenggal puisinya ini: “Nada te turbe, nada te espante, todo se pasa, Dios no se muda; la
paciencia todo lo alcanza; quien a Dios tiene nada le falta: Sólo Dios basta.”
(Artinya: Jangan membiarkan sesuatu apa pun mengganggumu, Jangan membiarkan
sesuatu apapun menakut-nakutimu. Segala sesuatu akan berlalu: Allah tidak
pernah berubah, kesabaran memperoleh segalanya. Siapa saja yang memiliki Allah
tak akan merasa kekurangan. Allah saja sudah cukup).
Kehidupan pribadi Santa Theresia
ini menginspirasikan kita untuk merenungkan dan memahami Sabda Tuhan pada hari
ini. Santu Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengingatkan mereka
untuk selalu berpegang teguh pada Injil sebab Injil adalah kekuatan Allah yang
menyelamatkan setiap orang yang percaya. Ia percaya bahwa di dalam Injil
sebagai Sabda dan Khabar Sukacita, kebenaran Allah sungguh menjadi nyata.
Kebenaran itu sendiri, bagi Paulus, bertolak dari iman dan menuju kepada iman.
Mengapa demikian? Sebab orang-orang benar akan hidup oleh imannya. Perkataan
St. Paulus ini kiranya sejalan dengan semangat St. Theresia yakni ‘Solo Dios
basta’. Tuhan dan Injilnya menjadi kekuatan dan kebenaran bagi iman orang
benar.
St. Paulus juga melihat berbagai
titik kelemahan manusia yang mana titik-titik kelemahan ini dapat
menghalanginya untuk hidup sebagai orang benar di hadapan Tuhan. Baginya,
murkah Allah nyata dari surga bagi kefasikan dan kelaliman manusia. Orang-orang
seperti ini selalu menindas kebenaran dengan kelaliman. Paulus melihat bahwa
orang-orang boleh mengatakan bahwa mereka mengenal Allah namun mereka tidak
memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Hati mereka
justru menjadi sia-sia dan pikiran mereka menjadi gelap. Mereka berbuat
seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka
menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan
manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang
yang menjalar. Ini adalah hidup bukan dalam kebenaran melainkan dalam kegelapan
di hadapan Tuhan.
Pengalaman iman Paulus di Roma ini
juga menjadi pengalaman iman St. Theresia di dalam biaranya. Ketika itu para
biarawan dan biarawati carmel hidup sebagai orang kaya baru (okb), penuh dengan
borjuisme sehingga lupa menghayati kaul ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dan
disiplin hidup religius yang lain seperti hidup dengan bermatiraga atau hidup
askesis. Para biarawan dan biarawati berada di zona nyaman dan hidup dalam
kelimpahan harta. Kiranya cita-cita Theresia dari Avila dan Yohanes dari Salib
masih aktual hingga saat ini. Banyak imam, biarawan dan biarawati yang menjadi
kaum borjuis, konsumeris dan hedonis masa kini. Tanpa di sadari bahwa sikap
hidup ini menghalangi relasi yang intim dengan Tuhan. Bagaimana dapat
berprinsip ‘Solo Dios basta’ kalau kaum berjubah masih dikuasai oleh harta
duniawi?
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini membuka pemahaman kita tentang jati diri orang benar di hadapan Tuhan Allah. Dalam pandangan manusiawi, orang benar dinilai hanya sebagai sosok yang hidup di hadirat Tuhan dengan patuh pada hukum-hukum dan kebiasaan yang berlaku. Kadang-kadang sifat mereka ini sangat legalis sehingga patut dikritik oleh Tuhan Yesus. Misalnya, mereka sangat memperhatikan kebiasaan membasuh tangan sebelum makan. Ini merupakan kebiasaan yang sama saja dengan orang yang terbiasa melihat cashing atau bagian luar orang atau tampilannya, sehingga lupa akan jati diri orang tersebut. Tuhan justru melihat orang benar dari hatinya bukan dari hal lahirianya semata. Apakah hati orang itu bersih, suci dan murni. Orang benar yang hatinya bersih akan mampu mengasihi. Ia akan berempati dengan orang lain, berderma dan murah hati. Semua ini adalah kebajikan-kebajikan yang dimiliki orang benar.
Pada hari ini kita memohon semoga santa Theresia dari Avila menginspirasikan kita untuk mengasihi Allah dengan hati yang bersih. St. Theresia dari Avila, doakanlah kami. Amen.
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini membuka pemahaman kita tentang jati diri orang benar di hadapan Tuhan Allah. Dalam pandangan manusiawi, orang benar dinilai hanya sebagai sosok yang hidup di hadirat Tuhan dengan patuh pada hukum-hukum dan kebiasaan yang berlaku. Kadang-kadang sifat mereka ini sangat legalis sehingga patut dikritik oleh Tuhan Yesus. Misalnya, mereka sangat memperhatikan kebiasaan membasuh tangan sebelum makan. Ini merupakan kebiasaan yang sama saja dengan orang yang terbiasa melihat cashing atau bagian luar orang atau tampilannya, sehingga lupa akan jati diri orang tersebut. Tuhan justru melihat orang benar dari hatinya bukan dari hal lahirianya semata. Apakah hati orang itu bersih, suci dan murni. Orang benar yang hatinya bersih akan mampu mengasihi. Ia akan berempati dengan orang lain, berderma dan murah hati. Semua ini adalah kebajikan-kebajikan yang dimiliki orang benar.
Pada hari ini kita memohon semoga santa Theresia dari Avila menginspirasikan kita untuk mengasihi Allah dengan hati yang bersih. St. Theresia dari Avila, doakanlah kami. Amen.
PJ-SDB
No comments:
Post a Comment