HARI RABU DALAM PEKAN SUCI
Yes. 50:4-9a
Mzm. 69:8-10,21bcd-22,31,33-34
Mat. 26:14-25
Semangat Pemuridan
Pada pagi hari ini saya merayakan
misa harian bersama komunitasku. Ada satu hal yang membuatku terharu ketika
mengucapkann Prefasi Sengsara ke-II, di mana terdapat kalimat-kalimat seperti ini:
“Sebab sudah dekatlah hari-hari suci untuk mengenangkan sengsara Putera-Mu yang
menyelamatkan dan merayakan kebangkitan-Nya yang mulia. Sudah dekatlah pulah
hari-hari kemenangan atas musuh lama yang dengan angkuhnya ingin menyesatkan
umat manusia. Sudah dekatlah hari raya penebusan kami.” Sebagai seorang murid
Kristus, kita tentu merasakan hal yang sama yakni semakin dekat hari-hari suci
untuk mengenangkan paskah Kristus. Dia menderita, sengsara, wafat dan bangkit dengan
mulia. Semua ini kita rayakan bersama sebagai satu Gereja, kumpulan orang-orang
yang percaya kepada Kristus. Kita juga akan merayakan paskah sebagai hari kemenangan
karena kebangkitan Kristus mengalahkan kuasa iblis sebagai musuh lama. Dalam
penderitaan Kristus terdapat nuansa optimisme yang besar bagi seorang murid
sebab keselamatan akan datang dari Tuhan tepat pada waktunya.
Pada hari ini kita kembali
mendengar kisah tentang Hamba Yahwe di dalam Kitab nabi Yesaya bab ke-50. Sosok
hamba Yahwe yang ditampilkan di sini laksana seorang murid. Dikatakan: “Tuhan Allah
telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku
dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia
mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.” (Yes 50:4). Dalam
kacamata kristiani, kita langsung mengingat Yesus Anak Allah. Dia adalah Sabda
yang terucap dari Bapa, menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Yesuslah
yang akan memberi semangat dalam kata dan tindakan kepada kita semua sehingga
orang yang letih lesu dan berbeban berat pun merasakan kelegaan. Dia sebagai
Anak Allah sekaligus menjadi pendengar yang setia kepada Bapa.
Ciri khas lain dari sang Hamba Yahwe
laksana seorang murid yang menderita adalah ia tidak memberontak, tidak
berpaling ke belakang. Ia bahkan memberi punggungnya kepada orang-orang yang
memukulnya, dan pipinya kepada orang-orang yang mencabut janggutnya. Ia juga
tidak menyembunyikan mukanya ketika akan dinodai dan diludahi. Sang hamba Yahwe
ini sungguh-sungguh menderita. Kita membayangkan orang lain atau kita sendiri
ketika dipukul di punggung sekali saja, pasti sakit rasanya. Pikirkanlah
orang-orang yang mencabut janggut di pipi, sangat sakit sehingga orang
berteriak dan menangis. Atau ketika muka kita diludahi dan dinodai. Semua tindakan
ini memang menyakitkan sekali, namun sang Hamba Yahwe menerimanya dengan lapang
dada. Pikiran kita juga tertuju kepada Tuhan Yesus. Ia juga dicambuk banyak
kali dan taka da satu kata keluhan pun keluar dari mulutnya. Demikian pula
wajah-Nya yang kudus diludahi dan dinodai. Semuanya itu Tuhan Yesus terima demi
keselamatan manusia.
Ada satu hal yang menguatkan kita
semua dari sang hamba ini yaitu kesetiaannya kepada Yahwe. Ia merasakan
pertolongan Tuhan sehingga ia mengakui bahwa ia tidak mendapat noda. Tuhan juga
meneguhkan hati sang hamba laksana gunung batu, sehingga ia tidak mendapat
malu. Tuhan benar-benar menjadi satu-satunya penolong yang setia. Mari kita
memandang Yesus. Dia mengalami penderitaan yang besar laksana sang Hamba Yahwe
yang menderita. Ia tidak mengeluh dan memberintak. Ia malah memberi diri-Nya,
membiarkan diri-Nya menderita karena Ia sangat mencintai manusia.
Dari Hamba Yahwe yang menderita
kita belajar bahwa dalam hidup kita selalu ada penderitaan dan kemalangan.
Tidak seorang pun yang luput dari penderitaan dan kemalangan. Sang Hamba Yahwe
yang menderita ini tidak merasa sendirian. Ia merasakan pertolongan yang datang
dari Tuhan sehingga seberat apa pun penderitaan dan kemalangan, ia siap untuk
mengalaminya. Tuhan adalah andalan dalam hidupnya. Kita seharusnya demikian
yakni mengandalkan Tuhan sebagai penolong kita. Kita berani melepaskan hidup
lama dengan segala kesombongannya dan siap menerima hidup baru di dalam Kristus
yang menderita, sengsara dan bangkit dengan jaya.
Dalam bacaan Injil kita mendengar
kisah seorang murid yang menjadi pengkhianat Yesus. Tentu ini berbeda dengan
murid yang tidak lain adalah Hamba Yahwe sendiri. Namanya Yudas Iskarot. Nama Yudas
Iskariot (Ibrani; Isyqeriyot yang artinya orang Keriot. Keriot kemungkinan menjadi
tempat asal Yudas, di Moab, atau yang di selatan Hebron. Yudas Iskariot bukan
penulis kitab Yudas, hanya namanya saja yang sama dengan Yudas Tadeuz. Yudas
menjual Yesus kepada para imam kepala. Ia tanpa beban mengatakan:"Apa yang
hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?" Mat
26:15). Mereka membayar Yudas dengan tiga puluh uang perak kepadanya atau
setara dengan Rp.329.000. Yesus yang mahal, Anak Allah ternyata dibeli oleh
para imam kepala dengan harga murah meriah. Yudas melakukan ini karena ia
bersifat tamak. Pada akhirnya Yudas Iskariot memilik masa depan suram dan membunuh
dirinya.
Mari kita merenungkan hidup kita.
Kita sepakat untuk hidup sebagai murid namun apakah kita setia sebagai murid
yang siap untuk mendengar, tidak mengecewakan orang lain, siap untuk menderita
seperti Kristus sang Guru kita. Kita sepakat untuk mengandalkan Tuhan kapan dan
di mana saja kita berada. Dalam kesulitan apapun, kita berusaha untuk tetap
tersenyum, siap menderita untuk kebahagiaan orang lain. Kita harus mawas diri
sebab Yudas juga ada di dalam diri kita. Kapan saja kita dapat menjadi pengkhianat
bagi Tuhan dan sesama. Semangat pemuridan kita tunjukkan dengan hidup seturut
ajaran dan teladan Kristus sendiri.
PJ-SDB
No comments:
Post a Comment