Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXII
St. Theresia dari Kalkuta
1Kor. 4:6b-15
Mzm. 145:17-18,19-20,21
Luk. 6:1-5
Kasih dan kebaikan
itu penting!
Pada hari ini Gereja Katolik mengenang
Santa Theresia dari Kalkuta. Orang kudus modern ini sangatlah inspiratif, melalui
hidup dan karyanya. Ia pernah berkata: “Kita perlu menemukan Tuhan, dan dia
tidak dapat ditemukan dalam kebisingan dan kegelisahan. Tuhan adalah teman
kesunyian. Lihatlah bagaimana alam – pohon, bunga, rumput tumbuh dalam
keheningan; melihat bintang-bintang, bulan dan matahari, bagaimana mereka bergerak
dalam keheningan … Kita perlu keheningan untuk dapat menyentuh jiwa.” Saya
merasa yakin bahwa perkataannya ini bukanlah sebuah teori, tetapi sebuah
kenyataan yang dialaminya sendiri selama menjadi rasul bagi kaum papa miskin di
Kalkuta. Dalam suasana kebisingan dan kemiskinan kota Kalkuta, beliau mengalami
sebuah kesunyian yang luar biasa, yang tidak dapat menghalanginya untuk
melayani orang-orang miskin, hingga wafat bersama orang-orang miskin. Allah
hadir dalam kesunyian, dalam angin sepoi yang menyejukkan dan mendamaikan. Perkataan
kedua yang inspiratif bagi saya hari ini adalah: “Sebarkan cinta ke mana pun
Anda pergi. Jangan biarkan ada yang datang kepadamu, dan pergi tanpa merasa
lebih bahagia.” Kasih adalah segalanya dan kita harus berani membuka diri
sehingga orang dapat mengakses kasih di dalam hidup kita. Orang yang datang
harus merasa bahwa mereka di kasihi dan ketika pergi, mereka membawa kasih bagi
hidup mereka.
Pada hari ini kita mendengar
kelanjutan kisah Yesus dalam Injil. Hari sebelumnya, kaum Farisi mempertanyakan
Yesus tentang kebiasaan berpuasa. Tuhan Yesus dengan tepat mengatakan bahwa
para sahabat mempelai tidak harus berpuasa selagi sang mempelai masih ada.
Puasa hanya akan terjadi ketika sang mempelai diambil dari tengah-tengah para
sahabatnya. Sang mempelai adalah Yesus, sedangkan para sahabat adalah
murid-murid-Nya atau Gereja saat ini. Tinggal bersama Yesus berarti mengalami
sukacita abadi. Namun demikian setiap pribadi harus bersuaha untuk mengosongkan
diri, menyangkal diri dan memikul salib dalam hidupnya setiap hari. Selanjutnya,
perikop Injil kita hari ini mengisahkan tentang bagaimana orang harus berpegang
teguh pada adat istiadat Yahudi, khususnya tentang Sabat dan puasa.
Dikisahkan oleh Penginjil Lukas
bahwa Yesus dan para murid-Nya sedang berjalan-jalan pada hari Sabat. Ketika
menjelang siang, mereka kelaparan sehingga mereka memetic bulir gandum,
menggisarnya dengan tangan dan memakannya. Kaum Farisi merasa terganggu karena
para murid Yesus melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan pada
hari Sabat. Hal ini juga menjadi alasan bagi Yesus untuk menjelaskan makna Hari
Sabat bagi mereka. Yesus mulai dengan mengutip Kitab Pertama Samuel yang mengisahkan
tentang kedatangan Daud dan pasukannya ke rumah Allah dan memakan semua roti
sajian yang hanya dapat disantap oleh para imam. Kitab baca dalam Kitab Pertama
Samuel: “Lalu imam itu memberikan kepadanya roti kudus itu, karena tidak ada
roti di sana kecuali roti sajian; roti itu sudah diangkat dari hadapan Tuhan,
supaya bisa meletakkan roti segar sebagai gantinya pada hari roti itu diangkat.”
(1Sam 21:6). Terhadap situasi ini Tuhan Yesus menegaskan bahwa Anak Manusia
adalah Tuhan atas hari Sabat (Luk 6:5).
Santu Gregorius Agung menangkap
ide ‘Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat’ dan mengatakan: “Bagi kita,
Yesus adalah hari Sabat yang benar, Dialah penebus kita.” Tuhan Yesus sebagai
tuan atas Hari Sabat memungkinkan kita untuk menguduskan hari istimewa itu bagi
Tuhan. St. Yohanes Paulus II mengatakan: “Kita perlu mengungkapkan rasa
sukacita kita karena Hari Sabat pertama diperuntukan bagi manusia, sekarang ini
Hari Sabat diungkapkan dengan gembira karena Kristus sungguh bangkit dan
menampakkan diri kepada para murid-Nya. Pada saat itu Ia menganugerakan damai-Nya
dan karunia Roh Kudus (Yoh 20:23). Dalam cahaya misteri ini, perintah Perjanjian
Lama mengenai Hari Sabat ditemukan ulang, disempurnakan, dan diwahyukan dalam
kemuliaan, yang bersinar pada wajah Kristus (Dies Domini, 18).
Banyak kali kita menemukan
sosok-sosok yang sangat legalis. Orang-orang Yahudi memiliki 613 hukum dan
ketetapan (mitzvot) yang bernilai positif dan negatif, dan harus dilakukan oleh
orang-orang Yahudi. Ini adalah hukum dan ketetapan yang harus dilakukan oleh
kaum Yahudi. Maka ketika melihat orang tidak berpuasa atau tidak membasuh diri,
mereka akan marah dan membully sesama yang lain. Bagi saya hal terpenting
adalah orang harus hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan.
Apa yang harus kita lakukan?
Supaya orang dapat hidup dalam
kasih dan kebaikan maka sesuai nasihat santu Paulus (1Kor 4: 6b-15), tidak ada
seorang pun berhak untuk memegahkan diri dan merasa penting dalam hidup bersama
sebagai jemaat. Hal terpenting adalah mengutamakan sesama bukan mengutamakan
diri sendiri sebagaimana diteladani Apolos dan Paulus. Kata-kata Paulus sangat
mengesankan kita: “Kami bodoh oleh karena Kristus, tetapi kamu arif dalam
Kristus. Kami lemah, tetapi kamu kuat. Kamu mulia, tetapi kami hina. Sampai
pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami
melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati;
kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab
dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran
dari segala sesuatu, sampai pada saat ini.” (1Kor 4:10-13).
Pada hari ini mari kita belajar
untuk mengasihi dengan kasih Tuhan sebagaimana diteladani santa Theresia dari
Kalkuta. Kita membuang sikap Farisi yang selalu merasuki hidup kita, dengan
hanya mengobservasi hukum dan ketatapan tetapi tidak melakukannya dalam hidup
sehari-hari. Hidup kita bermakna ketika kita memperjuangkan kasih dan keadilan bagi
semua orang.
PJ-SDB