Mazmur: 24:1-2.3-4.5-6
Bacaan II: 1Yoh 3:1-3
Bacaan Injil: Matius 5:1-12
“Makarios”
Tony
de Mello bercerita dalam bukunya “Burung Berkicau” tentang Pandangan Yesus: Petrus berkata: “Tidak, aku tidak tahu apa yang kamu katakan.” Seketika itu juga,
sementara ia masih berkata-kata, berkokoklah ayam. Lalu berpalinglah Tuhan
memandang Petrus…dan Petrus pergi keluar dan menangis tersedu-sedu.
De
Mello merefleksikan kisah Petrus ini sebagai pengalaman pertobatan dengan
menulis: “Hubunganku dengan Tuhan cukup
baik. Aku biasa memohon sesuatu kepadaNya, berbicara denganNya, memuji dan
bersyukur kepadaNya. Tetapi sekarang aku merasa kurang enak. Aku selalu merasa
bahwa Ia ingin aku memandang mataNya, dan aku tidak mau. Aku mau bicara, tetapi
aku melihat ke arah lain kalau kurasa Dia memandangku. Aku takut karena aku
berpikir disana aku akan mengalami tuduhan dosa yang belum kusesali. Aku juga
mengira ada tuntutan buat aku yakni sesuatu yang diinginkannya dariku. Pada akhirya,
aku juga berani untuk memandang Dia. Ternyata tidak ada tuduhan. Tidak ada
tuntutan. Matanya hanya berkata: “Aku mencintaimu!” Lama aku memandang matanya
dan hanya ada satu pesan yang sama: “Aku mencintaimu”. Aku keluar dan menangis
seperti Petrus.
Kasih
Tuhan tiada batasnya. Ia tetap memandang kita dengan tatapan kasihNya. Dalam
keadaan kita yang sebenarnya Ia juga tetap menyapa kita “makarios” yang berarti
berbahagialah.
Kata
“berbahagialah” ini menggambarkan kondisi individu atau kelompok yang setia dan
benar dalam hidupnya sehingga menyukakan hati Allah. Di dalam Kitab Suci
Perjanjian Lama, kata ini banyak ditemukan terutama dalam Kitab Mazmur. Hal ini
didasarkan pada adanya doktrin bahwa mereka yang mengasihi dan mentaati Yahve
akan diberkati dengan berkat jasmani dan rohani. Manusia berharap bahwa berkat jasmani
dan rohani ini diperoleh di dunia saat ini dan kelak. Di dalam Kitab Perjanjian
Baru kata berbahagialah merupakan sapaan yang meneguhkan dari Yesus tanpa
memandang siapakah pribadi tersebut.
Berbahagialah
adalah sapaan yang tidak hanya dirasakan pada saat-saat yang menggembirakan
tetapi pada saat-saat yang sulit pun Tuhan menghendaki agar manusia tetap
bahagia. Ayub dalam Perjanjian Lama menjadi figur yang menunjukkan orang yang
berbahagia dalam penderitaannya di hadirat Tuhan. Para martir juga disapa
bahagia ketika mereka mengurbankan hidupnya sebagai orang yang percaya kepada
Tuhan. St. Yohanes memberi kesaksian bahwa para martir menyucikan hidupnya
dengan darah, seperti darah Anak Domba yakni Yesus Kristus. Mereka laksana sekumpulan
besar orang banyak yang tak terhitung jumlahnya dari segala suku, bangsa, kaum
dan bahasa. Dengan jubah putih mereka berdiri di hadapan taktha dan di hadapan
Anak Domba sambil memegang daun palem mereka memuliakan Allah sumber
keselamatan. Mereka adalah orang kudus yang siang dan malam melayani dan memuji
serta memuliakan Allah.
Melayani
Allah siang dan malam merupakan kewajiban seorang anak Allah. Melayani Allah
berarti mengasihiNya dan siang dan malam memandang Dia dalam keadaanNya yang
sebenarnya. Allah adalah kasih. St. Yohanes bersaksi: “Betapa besar kasih Allah
yang dikaruniakan Bapak kepada kita sehingga kita disebut anak-anak Allah.”
Anak-anak Allah yang nantinya akan memandang Allah dalam keadaanNya yang
sebenarnya pada saat Kristus menyatakan diriNya.
Maka
siapakah orang-orang kudus itu? Para
kudus adalah mereka yang disapa berbagialah! Mereka pernah hidup sebagai orang
benar di hadirat Allah. Mereka mengurbankan hidupnya karena iman kepada
Kristus. Mereka dibersihkan oleh Darah Anak Domba yakni Yesus sendiri.
Merekalah yang memandang Allah sebagaimana adanya, melayaniNya dan
memuliakanNya siang dan malam. Mereka yang secara total: miskin dalam Roh,
berdukacita, lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, murah hati, suci
hati, membawa damai, dianiaya demi kebenaran, dicela dan difitnah.
Kekudusan
adalah DNA yang dimeteraikan kepada kita. Sebelum dunia dijadikan kita telah
dipilih dan ditentukan untuk menjadi bagian dalam diriNya yaitu kekudusan. Pada
saat dibabtis kita dikuduskan dan menjadi bagian dalam diriNya. Maka hendaklah
kita menyadari dan mengimani sapaan Tuhan: “Berbahagialah”. Pandanglah mataNya
dan Dia akan mengatakan tetap mengasihimu. Maka dalam situasi yang sulit
sekalipun Ia mengingatkan kita: “Bersukacitalah dan bergembiralah, karena
besarlah ganjaranmu di surga.” PJSDB
No comments:
Post a Comment