P. L. Johannes, SDB
Pengantar
Kepadamu aku mengusulkan sebuah jalan praktis
dan sederhana dalam hidup rohani, yang dibangun di atas Sabda Allah, supaya
Kitab Suci yang engkau miliki, sungguh-sungguh mengajarmu untuk beriman dan
hidup doamu setiap hari: Lectio Divina. Lectio Divina bukanlah sebuah cara bersahabat dengan Sabda bagi
sekelompok elit saja, melainkan diminati oleh kebanyakan orang kristiani bahkan
seluruh Gereja, karena Sabda Allah diperuntukan bagi semua orang. Lectio Divina menjadi sarana
pertemuan pribadi antara manusia dan Allah. Pertemuan yang membangun perasaan
pribadi bahwa dirinya berada di hadirat Allah. Hal ini dirasakan lewat
mendengar, membaca dan menghayati Sabda.
Kebiasaan bersahabat dengan Kitab Suci sangat
ditekankan di dalam tradisi Gereja Katolik. Dari dokumen Konsili Vatikan II,
misalnya, dikatakan: “Begitu pula Konsili Suci mendesak dengan sangat dan
istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan seringkali
membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus”
(Flp 3:8). “Sebab tidak mengenal Alkitab
berarti tidak mengenal Kristus”. Maka hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi
nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan sabda-sabda
ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui lembaga-lembaga yang
cocok untuk itu serta bantuan-bantuan lain, yang berkat persetujuan dan usaha para gembala Gereja dewasa ini
tersebar di mana-mana dengan amat baik. Namun hendaklah mereka ingat, bahwa doa
harus menyertai pembacaan Kitab Suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah
dan manusia. Sebab “kita berbicara denganNya bila berdoa; kita mendengarkan-Nya
bila membaca amanat-amanat ilahi”[2]
Dari kutipan di atas, kita diingatkan bahwa
terdapat hubungan yang sangat intim antara Sabda dan doa. Konsili Vatikan II
berbicara bukan hanya menyangkut bacaan berkelanjutan dalam Kitab Suci, tetapi
juga hubungan dengan doa, karena melalui doa bisa terjadi dialog yang terus
menerus dengan Allah, dan dengan sendirinya
membimbing pribadi (umat beriman itu) kepada pengalaman akan Allah.
Secara konkret, Lectio Divina membantu umat beriman untuk bersahabat dengan
Sabda Allah dalam Kitab Suci, dalam
terang Roh Kudus. Dengan demikian, Sabda Allah yang didengar, dibaca,
direnungkan dan yang terkumpul di dalam bathin kita menjadi doa dan mengubah
hidup kita.
1. KITAB SUCI
SEBAGAI “KITAB KEHIDUPAN”
Santo Gregorius Agung, pada suatu hari
menulis kepada sahabatnya Teodorus, seorang mantri di lingkungan Kerajaan
Romawi: “Saya mendengar berita bahwa anda
sedang melakukan banyak hal yang sangat indah dan penting; tetapi sayang
sekali, saya juga mendengar bahwa anda tidak memiliki kesempatan untuk membaca
Kitab Suci. Dengar baik-baik sahabatku: sekiranya kaisar menulis sebuah surat
untukmu, apakah anda akan cepat-cepat membuang surat itu ke tempat sampah?
Tentu saja tidak. Baiklah, sekiranya Tuhan sendiri menulis kepada kita surat
cinta untuk keselamatan kita…. Belajarlah untuk mengenal hati Allah dari
SabdaNya, untuk bernafas dengan legah menuju keabadian”.
Tulisan Santo Gregorius ini masih berlaku juga bagi kita saat ini.
Kita perlu belajar untuk mengenal hati Allah melalui sabdaNya. Sabda Tuhan
membantu setiap pribadi untuk bertemu dan mengalami Allah.
Kitab Suci, Kitab yang dikarang oleh Allah yang
benar yang kita imani. Kitab suci mengikat kita untuk memiliki pengalaman iman
dan pengalaman doa. Di dalamnya juga kita menemukan peristiwa penyelamatan yang
dilakukan oleh Yesus Kristus. Bagi komunitas basis gerejani, Kitab suci bukan
hanya menjadi sebuah istilah saja yang muncul, tempat untuk mengenal Yesus,
bertumbuh dalam iman, tetapi lebih dari itu Kitab Suci merupakan sarana untuk
bersatu dengan Allah, sebagai teks doa dan meditasi: “Sumber yang murni dan kekal bagi hidup rohani”[3].
Kitab Suci bukanlah sebuah teks yang memuat
sebuah ideologi tetapi memuat pesan dari Allah bagi manusia untuk dapat bersatu
denganNya. Tujuannya adalah mengenyangkan umat beriman untuk berdialog dengan
Allah secara terus menerus. Bacaan Kitab Suci akan semakin subur kalau
sekiranya ada keterbukaan dari umat beriman untuk hidup bersama Allah. Sabda
Allah dikaitkan secara erat dengan Kristus. Tentang hal ini Santo Ambrosius
menulis: “Ketika membaca teks-teks suci,
kita mendengar Tuhan yang sedang berbicara dengan kita”, karena isi dari
Kitab Suci adalah Allah sendiri atau manusia tetapi selalu dalam hubungan
dengan Allah.
Sabda Tuhan itu sama dengan benih yang jatuh
ke tanah yang subur. Dari dirinya sendiri, benih itu memiliki kehidupan yang
nantinya berkembang sebagai pohon. Demikian Kitab Suci juga menjadi pohon
Allah. Ia dapat dibaca dengan iman dalam terang Roh Kudus. Terkadang ada
kedangkalan dalam bersahabat dengan Kitab Suci. Mungkin kita lebih mendekatkan
diri secara intelektual semata dan melepaskan nilai rohani dari Kitab Suci.
Pengalaman membuktikan bahwa tidak cukup
mendengar bacaan Kitab Suci dan langsung mencari dan menemukan buah rohaninya.
Perlu persahabatan mendalam, merasa familiar dengan Kitab Suci sehingga
buah-buah rohaninya bisa muncul. Allah bebicara kepada umatNya secara pribadi
maupun secara bersama-sama dalam komunitas. SabdaNya memberi kehidupan bagi
kita.
2.
MEMBACA KITAB SUCI
Konsili Vatikan II berpegang teguh pada
tradisi dengan mengatakan: “Kitab Suci
ditulis dalam Roh Kudus dan harus dibaca dan ditafsirkan dalam Roh itu juga. Maka untuk menggali
dengan tepat arti nas-nas suci, perhatian yang sama besarnya harus diberikan kepada
isi dan kesatuan seluruh Alkitab, dengan mengindahkan tradisi hidup seluruh
Gereja serta analogi iman”[4].
Membaca Kitab Suci dalam Roh adalah salah
satu sikap yang mentradisi dalam Gereja katolik. Gereja sejak dahulu kala
selalu berkeinginan untuk membaca Kitab Suci dalam terang Roh yang
mengilhaminya. Dengan demikian bangkitnya “Lectio Divina” di dalam Gereja
memberi arti baru karya dan peran Roh bagi setiap pribadi untuk bersahabat
lebih dalam dengan Sabda. Mengapa dikatakan membaca Kitab Suci dalam terang
Roh?
2.1. Bacaan Kitab Suci
sebagai dialog dengan Allah
Para Bapak Gereja selalu menekankan bahwa:
“Ketika kita membaca Kitab Suci, Allah berbicara secara pribadi dengan kita.
Ketika kita berdoa, kita menjawabi sabda Allah”. Kitab Suci adalah bacaan yang
dibuat secara bersama-sama oleh dua pribadi: Allah yang berbicara dan manusia
mendengar, manusia menanggapi pembicaraan (doa) dan Allah mendengarnya. Kita
mendengar Sabda Tuhan dengan sikap bathin yang penuh dengan ketaatan. Kitab
Suci menjadi tempat untuk bertemu dengan Tuhan: “Berbicaralah, ya Tuhan,
hambaMu mendengarkan” (1Sam 3,10).
2.2. Bacaan Kitab
Suci sebagai sumber hidup
Bapa memberi kepada kita kebijaksanaanNya
satu kali untuk selama-lamanya yakni Kristus sendiri dalam Roh Kudus.
Kebijaksanaan ini diberikan kepada setiap pribadi yang terbuka kepada Allah. Kebijaksanaan
yang dimaksud adalah: memahami segala sesuatu dari Tuhan, kesetiaan dalam
menerima Sabda, penghayatan dalam Roh dan persatuan yang utuh dengan Allah.
Dalam membaca Kitab Suci, hendaknya kita menghindari sikap pengenalan
intelektual semata.
2.3. Bacaan Kitab
Suci sebagai teman dalam perjalanan
hidup
Membaca Kitab Suci hendaknya menjadi bagian
dari kebiasaan baik di dalam hidup kita. Bacaan Kitab Suci yang terus menerus
akan mendidik kita. Setiap hari Kitab Suci hendaknya menemani perjalanan hidup
kita menuju kepada Allah.
2.4. Bacaan Kitab
Suci sebagai sebuah tindakan Gereja
Komunitas Basis Gerejani yang becermin pada
komunitas perdana di Yerusalem hendaknya meniru teladan baik: cor unum et anima una dalam mendengar
Sabda, dalam doa, ekaristi bersama, berbagi kepemilikan dan cinta kasih
terhadap orang-orang yang sangat membutuhkan (Kis 2,42-47). Kitab Suci lahir
dari komunitas dan dipahami di dalam komunitas.
Allah mewahyukan pribadiNya lewat Sabda di dalam Komunitas
Gereja. Gereja sebagai Umat Allah merupakan bagian yang hidup dalam komunitas.
Umat beriman membangun hidup rohaninya dari Kitab Suci dan bersekutu dengan
Gereja. Dengan demikian bacaan Kitab Suci selalu bersifat komunitas. Santo
Gregorius Agung berkata: “Sabda Allah itu
seumpama roti yang disantap secara bersama-sama di dalam rumah, demikian di
dalam Gereja kita merasa dikenyangkan oleh Sabda Ilahi”.
2.5. Bacaan Kitab
Suci sebagai doa
Sebuah bacaan Kitab Suci akan menghasilkan
banyak buah kalau ditemani oleh doa. Ketika membaca Kitab Suci secara pribadi
atau bersama dalam komunitas, kita hendaknya merasa bahwa Allah sedang
berbicara dengan saya. Dari situ saya perlu patuh dan setia untuk mengikuti
kehendak Allah yang muncul dari sabdaNya. Peran Roh Kudus sangatlah penting
dalam membantu untuk memahami Sabda Allah. Dengan Roh yang sama kita ber “duc
in altum” untuk memahami rahasia Allah, seorang Allah yang mengasihi, yang mau
membebaskan kita lewat Yesus sang Putera.
3. MENDENGAR SABDA
ALLAH
Dari Kisah Para Rasul, kita mendapat informasi bahwa sejak masa
Gereja perdana, sudah muncul kesulitan-kesulitan dalam hal evangelisasi (Kis 6,
2-4). Sebelumnya Gereja perdana di Yerusalem berbangga karena kesuksesannya
dalam karya evengelisasi (Kis 2,14-41; 3,11-26; 5, 12-25). Namun demikian
kesuksesan besar itu juga mempercepat permusuhan dengan para penguasa (Kis 4,
1-22; 5, 7-33).
Pengalaman Gereja perdana juga membuktikan bahwa ternyata krisis di
dalam komunitas lebih berbahaya dibandingkan dengan penganiayaan. Kita ingat
pertentangan antara kaum Helenis yang berbahasa Yunani dan kaum Yahudi (Kis
6,1). Pengalaman ini mendidik para rasul untuk menjadi sadar kembali bahwa
mereka telah melalaikan Sabda, padahal “Umat Allah” itu dihimpun oleh Sabda
Allah yang hidup”[5].
Karena itu mereka lalu membentuk kelompok para pelayan meja yang tentu menjadi
juga pelayan Sabda. Inilah saat awal terbentuknya “diakonat” sebagai sebuah
institusi yang melayani santap bersama, yang dapat mempererat persaudaraan dan
memperkuat persatuan, yang juga bertahan hingga saat ini dalam Gereja.
Mengapa membaca, merenungkan, dan mendengar Sabda
itu perlu? Berikut ini akan ditunjukkan
beberapa alasan penting:
3.1. Mendengar Sabda untuk dapat mengalami
Allah dalam hidup pribadi
Bagi kaum
beriman, mendengar Sabda Allah merupakan keharusan yang tidak dapat
dihindarkan. Allah yang kita imani adalah Allah yang memiliki kehendak untuk
menunjukkan diriNya, komitmenNya untuk bertemu dengan masing-masing pribadi,
melalui SabdaNya, baik yang dahulu melalui para nabi maupun secara lebih
sempurna dalam diri Yesus PuteraNya (Ibr 1,2). Melalui Sabda kita berjumpa
dengan Allah yang tidak kelihatan: “Kristus
adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala
yang diciptakan” (Kol. 1,15); Hormat
dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi
Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tidak nampak, yang esa! Amen”
(1Tim 1:17).
Di dalam Kitab Suci kita sering berjumpa dengan Allah yang senantiasa
berbicara dengan manusia dalam suasana yang sangat akrab. Manusia menjadi
sahabatNya: “Dan Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti
seorang berbicara kepada temannya” (Kel 33,11). Atau Yesus sendiri dalam
Perjanjian Baru memanggil para MuridNya, sahabat: “Kamu adalah sahabatKu, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan
kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang
diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah
memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah ku dengar dari BapaKu”
(Yoh, 15:14-15). Allah menjadi sahabat yang bergaul dengan manusia (Bar 3,38).
Bagaimana kita bisa mengalami Allah dengan mendengar sabdaNya?
Sekurang-kurangnya ada dua sikap yang dituntut dari kita:
3.1.1. Diam atau hening dalam penyembahan.
Dalam Perjanjian
Lama, keheningan merupakan saat untuk mengalami Allah: Musa dan para imam Lewi
berkata kepada orang-orang Israel, “Diamlah
dan dengarlah, hai orang Israel. Pada hari ini engkau telah menjadi umat Tuhan
Allahmu. Sebab itu engkau harus mendengarkan suara Tuhan, Allahmu, dan
melakukan perintah dan ketetapanNya, yang kusampaikan pada hari ini” (Ul
27,9-10). Kata-kata ini hendak mengatakan kepada kita bahwa barang siapa ingin
mendengar Allah ia harus diam atau hening dalam penyembahan. Santo Yohanes dari
Salib pernah berkata: “Bapa mengungkapkan
satu kata kepada puteraNya, dan mengulanginya selamanya dalam keheningan (diam)
dan supaya dalam keheningan, kata-kata itu dapat didengar oleh jiwa-jiwa”.
Di pihak Allah,
pada mulanya adalah Sabda dan dalam Sabda itu kita telah diberikan rahmat dan
kebenaran (Yoh 1,1.14). Sedangkan dipihak kita, titik awalnya adalah diam,
hening dalam penyembahan. Sebuah
keheningan yang aktif karena terikat pada Sabda. Hasrat yang kuat untuk tinggal
di hadirat Allah yang disembah dan diriku sebagai hamba. Hening, diam itu
indah. Kita bertemu dengan Tuhan, mengalami Tuhan.
3.1.2. Janganlah membayangkan wajah Allah macam apa
yang diimani.
Nabi Yesaya
dalam salah satu nubuatnya berkata, “Jadi dengan siapa hendak kamu samakan
Allah dan apa yang kamu anggap serupa dengan Dia?” (Yes 40,18). Oleh karena Ia
adalah Sabda maka mendengarkan Sabda adalah satu-satunya jalan untuk bertemu
denganNya. Perlu juga disadari bahwa
Allah yang benar tidak pernah membiarkan diriNya dilihat, bahkan dihadapan
sahabat-sahabatNya (Kel 33,18-20). Hanya orang seperti Musa yang dapat
berbicara berhadapan muka dengan Allah (Kel 33,11; Ul 34,10).Tuhan sendiri
melarang umat beriman untuk tidak membuat patung tuangan atau tiruan yang
menyerupai Allah untuk disembah (Ul 4, 16-8; 1Raj 14,9; Hos 13,2). Karena itu
“Dengarkanlah segala perkataan Tuhan Allahmu” (Ul 4,10). Ingat, “Allah disembah
dalam Roh dan Kebenaran!” (Yoh 4,24)
3.2. Mendengarkan Sabda Allah untuk menjadi komunitas
Basis Gerejani
Ketika Allah
berbicara, Ia mengumpulkan semua orang yang mendengarNya; UmatNya yang lahir
dan dipanggil oleh Sabda dan dalam mendengar Sabda itu mereka juga
dipersatukan. Dalam dunia perjanjian Lama dikisahkan bahwa sebelum memasuki
tanah terjanji, Musa sudah memperingatkan umat Israel bahwa mereka adalah Umat
Allah: “Hari ini kalian telah menjadi umat Tuhan AllahMu. Kalian selanjutnya
akan menuruti suara Tuhan Allahmu” (Ul 27, 9-10). Dan Tuhan Yesus sendiri
berkata bahwa yang menjadi sanak saudaraNya adalah mereka yang melakukan
kehendak Allah (Mrk 3:31-35).
Mendengar Sabda
merupakan dasar dan alasan untuk hidup bersama dalam Komunitas Basis Gerejani. Setiap anggota komunitas adalah umat Allah
yang percaya karena menerima Sabda Allah. Dengan demikian, anggota komunitas
meskipun berbeda sebagai individu namun tetaplah menghayati iman akan Allah
yang sama pula.
Mengapa mendengar Sabda Allah untuk menjadi komunitas? Ada dua alasan
penting:
3.2.1. Kita semua
diselamatkan
Hidup bersama
dalam komunitas basis adalah sebuah cara menghayati keselamatan yang sama di
dalam Yesus.
Bangsa Israel dalam Perjanjian Lama, senantiasa mengkontemplasikan
pengalaman pahit mereka di Padang Gurun (Kel, 17:1-7). Meskipun ada kepahitan
hidup, namun mereka tetap merasa bersatu dan diselamatkan (Ul 8, 14; 11, 2-28).
Allah juga mengenyangkan mereka dengan Sabda sehingga selamatlah mereka (Ul
8:3).[6] Para nabi sendiri bernubuat tentang
keselamatan baru bagi mereka yang tersesat[7]. Semua ini mendapat kepenuhan dalam diri
sang Penyelamat kita Yesus Kristus (Yoh 11, 52).
Mendengar Sabda
Allah membuat orang dilahirkan kembali. Pengalaman iman “dilahirkan kembali
untuk menjadi baru dalam Kristus” bisa diwujudnyatakan dalam mendengarkan Sabda
yang sama. Dengan kekuatan Sabda orang bisa berbagi tanggung jawab dalam
perutusan bersama sebagai orang yang dibaptis.
Persaudaraan
sejati dalam komunitas basis tergantung pada kehendak baik, dan kerja sama dari
semua anggota komunitas dan lebih dari itu, semua anggota komunitas mendengar
bersama Sabda Allah: “Persaudaraan sejati
bukan hanya usaha semata-mata manusia tetapi sesungguhnya merupakan anugerah
Allah. Anugerah yang berasal dari ketaatan pada Sabda Allah”.[8]
3.2.2. Tanggung Jawab terhadap saudara (i)ku.
Para saudara
atau saudari dalam komunitas basis adalah anugerah Allah bagiku. Allah telah
memberikan mereka kepadaku untuk dikasihi. Kita semua tentu mengingat kisah
Kain dan Abel dalam Kitab Kejadian. Kain menolak rasa tanggung jawabnya
terhadap Abel saudaranya (Kej 4,9) dan pada saat yang sama ia juga menolak
penyertaan Allah (Kej 4, 10-11), meskipun Allah tetap menyertai perjalanan
hidupnya.
Allah memberi
kita para saudara atau saudari untuk dikasihi seperti Allah sendiri mengasihi
kita, maka dengan sendirinya kita saling bertanggungjawab satu sama lain.
3. 3. Mendengar Sabda Allah
untuk setia dalam panggilan hidup kristiani
Santo Paulus
menulis, “Iman berasal dari apa yang didengar” (Rom 10,17). Sebuah pendekatan
yang penuh doa terhadap Sabda Allah menjadi dasar yang kokoh bagi spiritualitas
kristiani. Sia-sia sajalah kalau spiritualitas hidup kristiani tidak didasarkan
pada Sabda Allah: mendengar, merenungkan dan tekun melaksanakan dalam hidup
setiap hari. Sabda Allah hendaknya menjadi titik pangkal kehidupan dan sumber
perutusan orang yang dibaptis.
Mengapa
kesetiaan berasal dari Sabda yang didengar? Sebenarnya Sabda Allah yang
didengar dengan iman dapat membantu kita untuk empat hal berikut ini:
2. 3.1. Sabda Allah adalah sumber kehidupan rohani.
“Sabda Allah itu sumber
utama spiritualitas kristiani. Sabda itu menumbuhkan hubungan pribadi dengan
Allah yang hidup dan kehendakNya untuk menyelamatkan dan menguduskan umat
manusia”[9]. Berawal dari mendengar Sabda maka mengalir juga hidup dalam Roh. Berkaitan
dengan Sabda Allah maka Lectio Divina
dihidupkan kembali dalam hidup menggereja di dalam basis-basis kita.
3. 3.2. Sabda Allah adalah makanan untuk doa.
“Manusia tidak
dapat hidup dari roti saja, tetapi dari setiap perkataan yang keluar dari mulut
Allah” (Ul 8,3; Mat, 4,4; Luk 4,4). Dalam kehidupan kristiani, Sabda Allah
merupakan makanan yang mengenyangkan “untuk hidup, untuk doa dan untuk
perjalanan hidup sepanjang hari”; “Doa dan kontemplasi merupakan situasi yang
memungkinkan untuk menerima Sabda Allah dan pada saat yang sama Sabda itu bisa
didengarkan bersama”[10].
Sabda Allah bisa
dicernakan bersama pada saat-saat istimewa misalnya doa bersama dan terutama
dalam perayaan Ekaristi di mana kita tidak hanya disegarkan oleh Sabda yang
didengar tetapi juga oleh santapan Tubuh dan DarahNya. Memang mendengar Sabda mendapat tempat istimewa di
dalam Ekaristi karena Ekaristi adalah pesta liturgi yang hidup. Komunitas basis
merayakan Misteri penebusan (Paskah) dan mempersatukan diri dengan Tubuh
Kristus yang sudah dikurbankan, yang mencurahkan Darah Mulianya, dan diterima
setiap pribadi di dalam komunitas supaya dapat membangun dirinya sendiri sebuah
keinginan akan komunitas persaudaraan.
3.3.3. Sabda Allah merupakan
terang untuk melihat kehendak Allah dalam setiap peristiwa hidup.
Paulus menulis
kepada umat di Roma, “Janganlah kamu
menjadi serupa dengan dunia, tetapi berubalah oleh pembaharuan budimu, sehingga
kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang bekenan
kepada Allah dan yang sempurna” (Rom 12,2).
Sabda Allah
adalah terang yang membantu manusia untuk melihat dirinya di hadapan Allah.
Bagaimana seseorang dapat melihat dirinya di hadapan Allah? Ada empat hal
penting yang bisa dilakukan manusia:
a) Kesadaran bahwa si aku berada di hadirat Allah setiap saat.
Allah melihat aku dan menghendaki agar aku berubah menjadi baru.
b) Confessio laudis atau ucapan syukur. Ucapan syukur atas segala
sesuatu yang dikehendaki Allah bagiku. Ini lebih
terungkap dalam Ekaristi.
c) Confessio Vitae atau pengenalan akan
salah dan dosa di hadapan Allah. Hal terpenting bagiku adalah pemeriksaan
bathin yang jujur dan polos di hadirat Allah.
d)
Confessio fidei atau komitmen untuk
bertobat. Kehendak Allah yang didengar lewat SabdaNya bersifat mengubah hidup
pribadi dan hidup sesama yang dijumpai.
3.3.4. Sabda Allah merupakan kekuatan untuk menghayati
panggilan dengan setia.
“SabdaMu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi
jalanku” (Mzm 119,105).
Sebuah
pertanyaan mendasar yang senantiasa dihadapi setiap pribadi adalah: “Setiakah
aku dalam panggilan hidupku?” Untuk menjawab pertanyaan ini dengan jujur maka
kita kembali kepada Kristus, sang Sabda yang telah memanggil kita. Mendengar Sabda Allah membuat kita merasa
dikasihi Allah sehingga kita juga menjadi setia. Mendengar Sabda Allah juga
membuat kita mengalami kesetiaan Allah dalam kerapuhan hidup kita dan pada saat
yang sama membuat kita berani dan kuat untuk menjadi setia kepadaNya.
3.4. Mendengar Sabda Allah
untuk menjadi rasul-rasul
St. Yohanes
menulis dalam suratnya; “Apa yang kami
lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya
kamu juga beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah
persekutuan dengan Bapa dan dengan AnakNya, Yesus Kristus” (1Yoh 1,3).
Menjadi rasul Sabda berarti Sabda yang kita dengar hendaknya diteruskan.
Berkaitan dengan hal ini, Paus Yohanes Paulus II menulis: “Kita dikenyangkan oleh Sabda Tuhan supaya menjadi “pelayan Sabda”
dalam tugas penginjilan: ini merupakan prioritas Gereja pada awal millennium
baru ini. […] Selama tahun-tahun terakhir ini saya selalu mengulangi pentingnya
evangelisasi baru. Sekarang saya
mengulangi kembali tugas ini dengan kembali mengambil semangat Gereja purba
yang dengan gigih menyebarkan Sabda sebagai kekuatan dari Pentekoste. Seharusnya
kita memiliki perasaan senasib dengan Paulus yang mengatakan: “Celakalah aku
kalau tidak menyebarkan injil” (1Cor 9,16). […] Siapa yang betul-betul bertemu
dengan Kristus, janganlah memilikinya sendiri, tetapi membaginya kepada orang
lain.”[11]
4. LECTIO DIVINA
DALAM HIDUP KRISTIANI
Kitab Suci sebagai Sabda Allah yang dibaca,
didengar, direnungkan dan disertai dengan doa akan sangat membantu perkembangan
hidup rohani setiap pribadi di dalam komunitas basis. Karena itulah Lectio
Divina selalu menjadi agenda penting kebersamaan di komunitas-komunitas basis
sejak zaman dahulu kala.
Apa sih Lectio
Divina itu? Lectio divina adalah membaca Kitab Suci secara pribadi atau
bersama-sama dalam komunitas basis sebagai Sabda Allah dan dikembangkan di
bawah bimbingan Roh, dalam renungan, doa dan kontemplasi.
Untuk lebih
bersahabat dengan Lectio Divina berikut akan diuraikan tahap-tahapan pentingnya:
4.1. Mengundang kehadiran Roh Kudus
Sebelum membaca teks suci atau Sabda Tuhan,
berdoalah memohon bantuan Roh Kudus supaya Ia menerangimu, turun atasmu,
membuatmu mengerti sabdaNya dalam iman. Undangan akan kehadiran Roh ini akan
sangat membantumu untuk menghindari “bahaya” konsumisme pribadi akan Sabda,
ataupun subyektivisme. Pendekatan Sabda secara pribadi seharusnya menjadi
sakramen persatuan Gereja. Sekiranya tidak memiliki anugerah Roh Kudus yang
diundang dalam doa, maka dengan sendirinya kita tidak masuk dalam jiwa Kitab
Suci. Namun sekiranya kita memohon kehadiran Roh Kudus maka kita akan sangat
dibantu untuk masuk lebih dalam untuk menyelami rahasia ilahi dalam Kitab Suci.
Karena itu setiap kali kalau mulai membaca Kitab Suci entah secara pribadi atau
secara komunitas maka undanglah selalu kehadiran Roh. Lectio Divina bukanlah
murni sebuah tafsir Kitab Suci (memang perlu juga tafsir Kitab Suci), tetapi
yang paling utama adalah sebuah anugerah Roh Kudus.
Roh Kudus adalah guru yang benar, ekseget
atau ahli tafsir Kitab Suci yang paling benar. Undanglah sekarang Roh Kudus,
dengan kesederhanaan dan kerendahan hati. Perhatikan contoh doa mengundang Roh
Kudus berikut ini:
“Bapa yang Kudus, Engkaulah Terang dan Hidup,
bukalah mataku dan juga jiwaku supaya aku dapat menyelami lebih dalam lagi dan
memahami SabdaMu. Utuslah Roh KudusMu, Roh PuteraMu ke atasku, supaya aku dapat
menerima dengan setia KebenaranMu. Berilah bagiku jiwa yang terbuka serta
anugerah kemurahan hati, supaya dalam dialog denganMu, aku dapat semakin
mengenal dan mengasihi PuteraMu Yesus Kristus demi keselamatan hidupku dan
dapat menjadi saksi InjilMu bagi saudara-saudari yang ku jumpai. Demi Kristus
Tuhan dan pengantara kami, yang hidup dan berkuasa bersama Engkau dalam Roh
Kudus sepanjang segala abad. Amen”.
4. 2. Membaca Kitab Suci (=Lectio)
Setiap kali membuka halaman-halaman kudus
dalam Kitab Suci, bacalah dengan tenang dan penuh perhatian dan cobalah
membiarkan dirimu terbuka terhadap Roh yang sudah diundang itu dalam teks suci
yang sedang dibaca. Bacaan dari Sabda dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa
anda sedang mendengar seseorang pribadi yang hidup bersamamu yaitu Yesus
Kristus, sang Sabda Kehidupan.
Apa artinya membaca sebuah teks dalam Kitab
Suci? Artinya: membaca dan membacanya berulang kali, bahkan dengan suara yang
lebih keras jika mungkin, boleh juga dengan pensil anda memberi tanda tertentu
pada kata atau kalimat yang menarik perhatianmu. Sambil membaca, anda juga
diarahkan untuk masuk lebih mendalam pada teks dengan melihat hal-hal yang
penting seperti: situasi, konteks sejarah, pribadi-pribadi yang muncul dalam
teks yang dibaca, perasaan-perasaan, imaginasi, dinamisme dalam aksi, kata-kata
kerja, dan ayat-ayat yang parallel dengan bagian lain dari Kitab Suci. Dari
situ akan terasa bahwa Kitab suci adalah sebuah Buku di mana anda “tinggal” dan “bekerja” tanpa perlu
tergesa-gesa. Kesetiaan pada teks yang dibaca berulang kali itu, dan dilakukan
dengan penuh perhatian akan membawamu kepada pengenalan yang yang lebih dalam
akan teks Kitab Suci yang sedang dibaca, dan hal-hal baru yang muncul dengan
sendirinya dalam teks itu. Komentar-komentar yang sifatnya eksegetis-spiritual
dari teks Kitab Suci akan membantumu untuk mengasimilasikannya.
Tahap membaca (lectio) merupakan tahap
pencarianmu dalam arti literal-storis dan selalu menghormati teks yang sedang
dibaca itu. Dalam pencarianmu lewat bacaan teks Suci itu, sadarlah bahwa Tuhan
sedang berbicara denganmu. Keheningan awal yang dialami sebelum membaca Kitab
Suci bukan hanya menjadi keheningan fisik atau psikologis tetapi keheningan
hidupmu di hadapan Tuhan yang sedang berbicara denganmu. Keheningan adalah saat
untuk mulai mendengar Sabda. Santo Ambrosius pernah berkata: “Tuhan kembali dan berjalan dalam firdaus
dunia denganmu”.
4. 3. Memeditasikan Sabda Allah (=Meditatio)
Tahap berikutnya adalah meditasi. Meditasi
adalah merefleksikan nilai-nilai permanen dalam teks Kitab Suci; mencari aroma
Sabda, bukan ilmunya; “mengunya dan melumatkan” sabda itu dan mencoba
menempatkannya dalam dirimu, menjadikan Sabda itu sebuah tugas kehidupan yang
mendalam, penuh konsentrasi; menutup mata di hadapan Tuhan dan menghadapkan
dirimu dengan Sabda; membuat klasifikasi sikap-sikap hidup dan
perasaan-perasaan yang dipengaruhi oleh Sabda yang sudah sedang dibaca.
Pada kenyataannya bisa muncul
pertanyaan-pertanyaan seputar teks yang sedang dibaca: Apa ide dan nilai mendasar dari teks itu? Mengapa
teks itu penting bagiku? Apa yang membuatku tertarik dengan teks itu? Apa sikap
dan perasaan yang mempengaruhi hidupku dari teks itu? Dan masih banyak
pertanyaan reflektif lainnya. Pertanyaan-pertanyaan ini membantu mempenetarasikan
secara mendalam sabda dalam keintiman dengan jiwamu dan memobiliasi seluruh
energi untuk menghadapinya, “duc in altum”, berjalan mengikuti Sabda dan
bermetanoia dengan sabda.
Meditasi adalah refleksi atas sabda yang
didengar, atau yang dibaca sehingga
memunculkan nilai-nilai tertentu. Sabda itu tidak hanya dilumatkan
selama meditasi tetapi juga sepanjang hari, membuatnya menggema di dalam
bathin, perlahan menjadi konkret dalam kegiatan harianmu. Meditasi membantu
kita untuk menggali nilai rohani yang tersembunyi di dalam teks suci, dalam hal
ini arti teks yang dianugerahi lewat kuasa Roh Allah bagi kita. Tuhan hendak
berkomunikasi dengan kita lewat SabdaNya yang dibaca, didengar dan direnungkan.
Tentang hal ini, santo Yohanes Kasianus berkata:
“Kita telah diajari oleh apa yang didengar sendiri, sekarang kita perlu merasa
bahwa teks itu bukan hanya sebagai sesuatu yang kita dengar, tetapi sebagai
sesuatu yang dialami sendiri, yang dapat disentuh dengan tangan; bukan sebagai
sebuah kisah yang aneh dan tidak didengar, melainkan sebagai sesuatu yang masuk
lebih dalam dalam hati, seperti halnya kita coba merasakan sendiri
perasaan-perasaan yang membentuk kepribadian kita”.
Sekali lagi: Yang terpenting adalah
pengalaman akan Allah yang ditemukan dalam Sabda dan dihayati dalam hidup
setiap hari.
4.4. Mendoakan Sabda yang sudah dibaca dan
direnungkan (=oratio)
Setelah Sabda Tuhan itu direnungkan secara
mendalam maka kini giliran sabda itu didoakan atau lebih tepat Sabda itu
menjadi doa. Berdoa adalah menjawabi Allah setelah mendengarkanNya. Mengatakan
Ya pada kehendak dan rencanaNya bagimu. Santo Agustinus berkata: “Doamu adalah suatu
bentuk pembicaraan dengan Allah. Ketika anda membaca Kitab Suci, Tuhan
berbicara bagimu, ketika anda berdoa, anda berbicara kepada Tuhan”. Dengan
meditasi anda menemukan apa yang Tuhan katakan dalam suara hatimu. Sekarang
giliranmu menjawabi sabdaNya dalam doa.
Doa adalah saat di mana anda menyatukan perasaan religius yang muncul dalam
dirimu sebagai akibat dari pengalaman akan Allah yang hadir dari teks suci yang
sudah dibaca dan direnungkan itu.
Sabda Tuhan lalu menjadi alasan dasar untuk memuji
dan bersyukur, saat untuk bermetanoia, saat untuk mengalami berkat. Santo
Agustinus berkata, “Sekiranya teks yang dibaca adalah doa, doakanlah, kalau
menyusahkan, bersusahlah, kalau membuatmu mengenal diri, bersukacitalah, kalau
teks itu sebuah harapan, berharaplah, kalau menunjukkan ketakutan, takutlah.
Karena segala sesuatu yang didengar dalam teks Kitab Suci merupakan cermin
dirimu sendiri”
Doa mengembalikan kepada Allah, Sabda yang
telah Ia berikan kepada kita. Mentransformasikan Sabda dalam doa berarti
bercermin melalui Sabda dalam realitas kehidupanmu, pada saat-saat suka dan
duka sesuai dengan kehendak Allah. Sikap bathin yang perlu dalam doa adalah
membiarkan diri dibimbing oleh Tuhan dengan ketaatan filial atau ketaatan
sebagai anak Allah.
4. 5. Mengkontemplasikan Sabda Allah (= contemplatio)
Tahap ini memang lebih tinggi dari
tahap-tahap sebelumnya. Jangan kecil hati kalau anda tidak bisa mencapai
kontemplasi. Biarkanlah Tuhan membimbingmu hingga mencapai kontemplasi.
Kontemplasi adalah anugerah Roh yang muncul dari Lectio yang sudah dilakukan
dengan baik: merupakan saat pasif dalam intimitas, dengan mana kita mengenal
Allah dengan pengalaman bathin.
Tuhan membimbingmu ketika anda memiliki iman
kepadaNya, mengkontemplasikan Rahasia Ilahi Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Mengkontemplasikan
sabda adalah melupakan diri sehingga bisa tiba pada Allah. Anda bisa menemukan
hidupmu dihadirat Allah dengan hati bukan hanya dengan pikiranmu melalui sebuah
dialog yang sederhana, penyembahan, mengalami dan mengenal kebapaan Allah yang
mengasihimu sebagai anakNya. Kontemplasi membuat kita memandang Yesus seorang
diri saja, beristirahat bersama Dia, terbuka akan kasihNya, menerima Kerajaan
Allah di dalam hidup dan berusaha untuk bersatu dengan Allah.
Kontemplasi adalah memandang dengan mata penuh
ketakjuban, dalam keheningan, Misteri Allah Bapa, Yesus-sahabat, Roh-cinta
kasih. Menemukan kembali partisipasi yang transparan pada Allah. Menjadi anawim bagi Allah.
Kontemplasi sebagai bagian dari Lectio Divina merupakan sikap dari seseorang
yang dengan aktif mentransforamasikan sabda dalam kehidupan yang konkret.
4. 6. Melaksanakan Sabda dalam hidup yang
konkret (= actio)
Lectio divina hendaknya membimbing setiap
pribadi dan komunitas basisnya hingga membentuk sebuah sekolah kehidupan.
Tindakan yang konkret misalnya rasa nyaman dan damai dalam hidup, kemampuan
untuk melakukan discernment dalam hidup tentang apa yang baik dan apa yang
tidak baik. Kemampuan untuk memilih dan memutuskan sesuai dengan nilai-nilai
injili.
Tentang actio, Madeleine Delbrel
berkata: “Injil adalah Kitab tentang kehidupan Tuhan dan dibuat untuk
menjadi Kitab kehidupan kita. Kitab Suci tidak sekedar dibuat untuk dipahami,
membacanya sebagai jalan menuju kepada Misteri. Bukan hanya dibuat untuk
dibaca, tetapi juga diterima dalam diri kita. Setiap kata dalam Kitab Suci
adalah Roh dan Kebenaran. Kata-kata dalam Injil: bukan kita yang
mengasimilasikannya melainkan merekalah yang mengasimilasikan kita. Merekalah
yang memodifikasi kehidupan kita”.
Singkatnya: Sabda hendaknya
menjadi bentuk (form) eksistensi diri kita sebagaimana eksistensi kita di
hadapan Yesus.
4. 7. Proposito
konkret (niat baik setelah lectio)
Sebelum menutup Kitab Suci yang sudah dibaca,
didengar, direnungkan secara pribadi atau bersama, buatlah niat-niat baik yang
nyata sehingga dapat membantu perkembangan hidup kristiani. Doa ini biasa menutup
seluruh rangkaian lectio divina baik secara pribadi maupun komunitas: “Bapa
yang Kudus, Engkau adalah kehidupan, buatlah aku menjadi pewarta sabda
PuteraMu yang sudah kubaca dan kuterima. Semoga SabdaMu mengubah hidupku
sehingga boleh menemukan kebahagiaanku dalam hidup yang konkret di antara para
saudara dan saudari yang ku jumpai dan layani, sebagai bukti cinta kasihMu juga
kesaksian autentis akan Injil keselamatan. Demi Kristus Tuhan dan pengatara
kami”. Amen
5. LECTIO DIVINA DALAM KOMUNITAS BASIS GEREJANI
1.
Mengapa perlu Membaca Kitab Suci dan membuat Lectio Divina dalam komunitas
basis?
Dokumen-dokumen Gereja berikut bisa
menjawab pertanyaan ini dengan jelas:
1. “Gereja
selalu menghormati Kitab Suci seperti dibuatnya terhadap Tubuh Kristus sendiri”
(Dei Verbum, 21)
2. “Sabda Allah
itu sumber utama segala spiritualitas kristiani. Sabda itu menumbuhkan hubungan
pribadi dengan Allah yang hidup dan kehendakNya untuk menyelamatkan dan
menguduskan umat manusia. Oleh karena itu “lectio divina” sangat dijunjung
tinggi oleh tarekat-tarekat hidup bakti dan monastisisme sejak awal mula.
Melalui upayanya Sabda Allah mempunyai dampak pesona atas hidup, karena
menyinarinya dengan cahaya kebijaksanaan yang merupakan kurnia Roh […] Menurut
tradisi rohani Gereja, meditasi tentang Sabda Allah dan tentang misteri-misteri
Kristus khususnya membangkitkan semangat dalam kontemplasi dan entusiasme dalam
kegiatan kerasulan. Dalam hidup religius maupun aktif selalu ada pria
dan wanita pendoa, merekalah yang sungguh-sungguh menafsirkan dan mempraktekkan
kehendak Allah, yang melaksanakankarya-karya agung. Dari keakraban dengan Sabda
Allah mereka beroleh terang yang diperlukan bagi penegasan rohani pribadi
maupun bersama dalam komunitas, yang menolong mereka mencari jalan-jalan Tuhan
dalam tanda-tanda zaman. Begitulah mereka beroleh semacam intuisi adikodrati
yang memungkinkan mereka menghindari penyesuaian dengan mentalitas dunia ini,
melainkan justru diperbarui dalam budi mereka sendiri, untuk mengenali kehendak
Allah mengenai apa yang baik, sempurna dan berkenan kepadaNya (Rom 12,2) [Vita Consacrata no. 94]
3. “Kita
dikenyangkan oleh Sabda Tuhan supaya menjadi “pelayan Sabda” dalam tugas
penginjilan: ini merupakan prioritas Gereja pada awal millennium baru ini. […] Selama tahun-tahun terakhir ini saya
selalu mengulangi pentingnya evangelisasi
baru. Sekarang saya mengulangi kembali tugas ini dengan kembali mengambil
semangat Gereja purba yang dengan gigih menyebarkan Sabda sebagai kekuatan dari
Pentekoste. Seharusnya kita memiliki perasaan senasib dengan Paulus yang
mengatakan: “Celakalah aku kalau tidak menyebarkan injil” (1Cor 9,16). […] Siapa yang betul-betul
bertemu dengan Kristus, janganlah memilikinya sendiri, tetapi membaginya kepada
orang lain.” (Giovanni Paolo II, Lettera
Apostolica “Nuovo Millenio Ineuente”, no.40)
2. Memahami Lectio Divina
1. Lectio divina adalah membaca Kitab Suci
secara pribadi atau bersama-sama dalam komunitas sebagai Sabda Tuhan dan
dikembangkan di bawah bimbingan Roh, dalam renungan, doa dan kontemplasi.
2. Ekspresi lectio divina tidak hanya menunjukkan
objek dari bacaan melainkan suatu intesitas pengalaman iman dan doa. Jadi
membaca Kitab Suci sebagai Sabda Tuhan yang berpaling kepada saya sama seperti
sebuah surat cinta dari Allah Bapa kepada kita anak-anakNya.
3. Lectio adalah membaca yang tentu saja
bukan semacam studi ilmiah melainkan kita mengumpulkan pesan yang Tuhan berikan
dalam Kitab Suci sehingga dapat menjadi suatu pengalaman hidup.
4. Divina karena objek pendengaran
meditatif dan doa adalah Sabda Tuhan sendiri yang meskipun ditulis dalam bahasa
manusia namun merupakan inspirasi Ilahi.
5. Lectio divina adalah suatu
pengalaman mendasar dalam doa kristiani dan perjalanan rohani sejak zaman
gereja perdana.
6. Yesus sendiri membuat lectio divina ketika berada di dalam Sinagoga
Nazaret, di bawah bimbingan Roh, membaca sebuah teks dari Nabi Yesaya yang
ditafsirkan dan diterapkan dalam diriNya sendiri (Cf. Luk 4,16-20; Yes 61,1-2)
Persiapan (epiclesis): sikap terbuka terhadap Roh
sama seperti anda membangun hubungan intim dengan seorang Pribadi, mengetahui
inisiatif pertama dari Tuhan: “Tuhan bukalah bibirku…” Jadi buatlah sebuah doa
permohonan kepada Roh Kudus sebelum membaca teks Sabda Tuhan. Selanjutnya
ikutilah tahapan-tahapan berikut ini:
1. Lectio: membaca teks yang disiapkan,
membaca lagi teksnya dan beristirahatlah pada teks tersebut
2. Meditatio: Apakah artinya teks itu
bagiku? Apakah saya dipengaruhi oleh teks tersebut?
3. Oratio: Mengatakan “ya” kepada Tuhan,
mendoakan Sabda Tuhan.
4. Contemplatio: mengenal Tuhan
melalui pengalaman bathin.
Dari Lectio ke
dalam kehidupan konkret (operatio)
5. Consolatio: Menyenangi segala
sesuatu tentang Tuhan, berani bersaksi tentangNya.
6. Discretio: Mengenal kenyataan
dengan mata iman dan bimbingan Roh.
7. Deliberatio: suatu pilihan
hidup yang sesuai dengan nilai-nilai Injili.
8. Actio: Suatu tindakan konkret
dalam Roh, mengikuti Yesus Kristus.
4. Contoh Lectio
1. Lectio: Hosea 11,1.3-4; 8c-9
“Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir
Kupanggil anakKu itu. Makin Kupanggil mereka, makin pergi mereka itu dari
hadapan-Ku; mereka mempersembahkan korban kepada baal, dan membakar korban
kepada patung-patung. Padahal Akulah yang mengajar Efraim berjalan dan
mengangkat mereka dari tanganKu, tetapi mereka tidak mau insaf, bahwa aku
menyembuhkan mereka. Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan
kasih. Bagi mereka, Aku seperti orang yang mengangkat kuk dari tulang rahang
mereka; Aku membungkuk kepada mereka untuk memberikan mereka makan. Hatiku
berbalik dalam diriKu, belas kasihanKu bangkit serentak. Aku tidak akan
melaksanakan murkaKu yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim
kembali, Sebab Aku ini Allah bukan manusia, yang kudus di tengah-tengahmu, dan
aku tidak akan datang untuk menghanguskan”.
2. Penjelasan singkat teks ini
Nabi Hosea adalah utusan Tuhan yang bernubuat di Kerajaan Utara
Israel. Pada saat itu Israel dibagi atas dua bagian yaitu Kerajaan Israel Utara
dengan ibu kota Samaria dan kerajaan Selatan/Yudeia dengan ibukota Yerusalem.
Ia bernubuat pada abad ke-VIII sebelum Kristus, tepat pada masa pemerintahan
Raja Yeroboam ke III.
Situasi konkret masyarakat saat itu adalah sikap mereka yang gampang
sekali jatuh dalam dosa. Mereka menyembah berhala kepada para dewa (baal)
dengan membuat rupa-rupa dewa. Istri nabi Hosea sendiri menjadi seorang
penyembah berhala.
Situasi yang demikian tidak berarti menutup pintu hati Tuhan.
Melalui mulut nabi ini, Tuhan mau menunjukkan kasihNya kepada manusia yang
berdosa. Dalam bab kedua misalnya, Tuhan mewahyukan DiriNya dalam hubunganNya
dengan Israel sebagaimana relasi suami dan istri. Ia berbicara dengan Israel dari hati ke hati.
Pada bab ke XI ini, Tuhan mengubah konsep kasihNya kepada
Manusia. Dia seperti seorang Bapa yang sangat menyayangi anakNya. Ia mengingat
kenangan masa silam terutama pada masa perbudakan di Mesir. Ia menuntun mereka
dengan TanganNya yang kuat. Meskipun Israel selalu terjerumus ke baal, namun Ia
tetap mengangkat mereka dengan lenganNya yang kokoh.
Betul, kasih Tuhan selalu mendahului kasih manusia. Kita juga
termasuk dalam kelompok Israel yang terkadang menyembah berhala. Kita memiliki altar-altar pribadi dan
dewa-dewi pribadi di hati kita. Hidup kristiani bermakna bila kita berusaha
melepaskan semua altar dan dewa-dewi pribadi. Ingat kata-kata Tuhan ini: “Aku ini Allah bukan manusia, yang kudus di
tengah-tengahmu, dan aku tidak akan datang untuk menghanguskan”.
3. Meditatio
Allah sebagai Bapa. Yah, Dia adalah seorang Bapa yang baik
bagi anak-anakNya yang terlena dalam baal dan altar-altar pribadi.
Adalah sebuah drama bagi orang-orang kristiani modern yang hanya
berpikir pada level intelektual saja bahwa Tuhan akan memperhatikan kita.
Dengan demikian, ketika terjadi salib-salib kecil atau tersandung beban berat
dan menyebabkan keluarnya air mata, langsung saja ia mengadili Tuhan. Padahal
Tuhan sendiri yang kita imani bukan
manusia. DariNya kita mengetahui KTPnya bahwa Ia adalah kasih (1Yoh 4,16). Kita dikasihiNya,
diperhatikan sebagai anak kesayanganNya.
Kita memanggil Allah sebagai Abba
atau Bapa maka sepatutnya kita berusaha untuk menjadi anak yang baik. Meskipun
kita terkadang jauh dari Tuhan namun Ia tetap memanggil kita untuk berbalik kepadaNya.
Dia membungkuk dan memberi makan kepada kita. Dia menarik kita dengan tali
kesetiaan dan ikatan kasih. Dia tidak akan menghanguskan kita.
4. Oratio
Tuhan Yesus, aku memohon kepadaMu, ambil dan milikilah jiwaku. Di
kejauhan hidup ini dariMu karena kedosaanku, berilah kesadaran akan kehadiranMu
di dalam hidupku. Terimalah aku dalam kasihMu ya Tuhan. Ubahlah hatiku yang
keras menjadi hati yang lembut, hati yang mampu mencintai seperti Engkau
sendiri adalah cinta.
5. Contemplatio
Hanya Engkau sendiri saja yang mencari
jiwaku ya Tuhan. Tatapan mataMu yang lembut penuh kasih tak akan pernah
terlupakan. Dengan tangisan seorang anak yang tersesak, aku memohon,
murnikanlah hidupku dari segala dosaku. Engkau memandangku dari atas dengan
seluruh kemuliaanMu. Jangan membiarkan aku sendiri ya Tuhan. Kasihanilah aku ya
Tuhan menuru kasih setiamu.
6. Actio
Ulangilah dan hidupilah kata-kata Tuhan ini: “Engkau mencintai aku dengan cuma-cuma ya Tuhan”.
***
Lectio
2.
“DOSAMU
TELAH DIAMPUNI,
IMANMU
TELAH MENYELAMATKAN ENGKAU”
(Luk 7,
48.50)
Sebuah
komentar rohani atas Injil Lukas 7, 36-50
0. Pendahuluan
Siapakah Yesus menurut
orang Farisi, ahli-ahli Taurat serta para pemuka agama Yahudi? Jawabannya
sederhana saja: “Yesus adalah seorang pelahap, peminum, sahabat pemungut cukai
dan orang berdosa (Luk 7, 34).
Lukas mengetengahkan perikop tentang seorang
perempuan berdosa (Luk 7, 36-50) untuk menunjukkan bahwa anggapan tentang Yesus
semacam itu keliru. Lukas yang terkenal dengan sebutan “Sang pelukis hidup
Yesus” hendak menunjukkan Yesus yang mewartakan pertobatan bagi kaum berdosa
dan mengampuni mereka. Dengan sikap Yesus yang mengampuni orang berdosa, Ia
sebenarnya menunjukkan kegembiraan mesianis
dalam karyaNya. Ia juga menunjukkan wajah seorang Allah yang hadir di tengah
umatNya, umat yang memerlukan penyucian dan penebusan.
Episode perempuan berdosa dalam injil Lukas ini
juga menunjukkan sikap toleran dari Yesus terhadap orang-orang berdosa. Belas
kasihan Tuhan yang besar terhadap orang berdosa merupakan inspirasi yang besar
bagi Gereja dalam praksis pastoralnya terutama dalam pelayanan sakramen ke
empat atau sakramen Tobat[13]. Yesus sendiri ketika memanggil dan
mengutus para muridNya memberi kuasa untuk mengampuni dosa-dosa. Kuasa ini
tetap ada hingga saat ini dalam diri pengganti para rasul.
“Aku” saat ini juga membutuhkan Yesus sebagai
pengampun dosa dan penebusku.
1. Lectio: Lukas 7, 36-50
“Seorang Farisi
mengundang Yesus untuk datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang
Farisi itu, lalu duduk makan. Di kota itu ada seorang perempuan yang
terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus
sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa buli-buli pualam
berisi minyak wangi. Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat
kakiNya, lalu membasahi kakiNya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan
rambutnya, kemudian ia mencium kakiNya dan mengurapinya dengan minyak wangi
itu.
Ketika orang Farisi yang
mengundang Yesus melihat hal itu, ia berkata dalam hatinya: “Jika Ia ini nabi,
tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamahNya ini; tentu
Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah orang berdosa”. Lalu Yesus berkata
kepadanya: “Simon, ada yang hendak Kukatakan kepadamu.” Sahut Simon: “Katakanlah,
Guru.” “Ada dua orang yang berhutang kepada seorang pelepas uang. Yang seorang
berhutang lima ratus dinar, yang lain lima puluh. Karena mereka tidak sanggup
membayar, maka ia menghapus hutang kedua orang itu. Siapakah di antara mereka
yang akan terlebih mengasihi dia?” Jawab Simon: “Aku kira dia yang paling
banyak dihapuskan hutangnya” Kata Yesus kepadanya: “Betul pendapatmu itu.” Dan
sambil berpaling kepada perempuan itu, Ia berkata kepada Simon: “Engkau lihat
perempuan ini?” Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air
untuk membasuh kakiKu, tetapi ia membasuh kakiKu dengan air mata dan menyekanya
dengan rambutnya. Engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada
henti-hentinya mencium kakiKu. Engkau tidak mengurapi kepalaKu dengan minyak,
tetapi dia mengurapi kakiKu dengan minyak wangi. Sebab itu Aku berkata
kepadamu: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak
berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat
kasih.”
Lalu Ia berkata kepada
perempuan itu: “Dosamu telah diampuni.” Dan mereka yang duduk makan bersama
Dia, berpikir dalam hati mereka: “Siapakah Ia ini, sehingga Ia dapat mengampuni
dosa?” Tetapi Yesus berkata kepada perempuan itu: “Imanmu telah menyelamatkan
engkau, pergilah dengan selamat!”
2. Komentar rohani
Dengan membaca secara
saksama teks ini, kita mendapat 3 artikulasi penting yaitu:
Ø Pertama, Undangan
perjamuan makan dan kedatangan perempuan yang berdosa (ayat 36-38)
Ø Kedua, Ketidaksukaan
Simon terhadap sikap Yesus terhadap perempuan berdosa dan jawaban Yesus dalam
bentuk perumpamaan (ayat 39-47)
Ø Ketiga, Pengampunan
dosa (ayat 48-50)
Ayat 36-37: ““Seorang Farisi mengundang Yesus untuk
datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang Farisi itu, lalu duduk makan. Di
kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika
perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu,
datanglah ia membawa buli-buli pualam berisi minyak wangi”.
Episode ini dimulai tanpa menunjukkan kronologi
yang jelas. Tampaknya perempuan berdosa[14] itu sudah pernah bertemu dengan Yesus di
tempat lain dan mendengarkan sabdaNya. Dengan demikian ia mengambil keputusan
untuk mengubah hidupnya (menjadi manusia baru) setelah memperoleh pengampunan
dosa. Ia mendengar bahwa Yesus ada di rumah orang Farisi maka ia datang untuk
menunjukkan dirinya tanpa merasa malu kepada Yesus. Ia mengucapkan terima kasih
kepada Yesus karena Yesus sendiri yang telah mewartakan kegembiraan dan
rekonsiliasi dengan Tuhan.
Sikap positif perempuan itu: ia tahu diri bahwa ia
berdosa dan datang mencari Yesus yang adalah Allah yang hadir, Allah maha
pengampun. Mengapa ia datang kepada Yesus? Karena imannya bahwa Yesus akan
memperhatikan dan mengampuninya. Yesus membiarkan orang berdosa menyadari
hidupnya dan ketika ia sadar, ia akan berbalik kepadaNya. Suatu metanoia yang berasal dari hati. Sungguh
suatu pelajaran berharga bagi setiap insan.
Ayat 38: “Sambil
menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat kakiNya, lalu membasahi
kakiNya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia
mencium kakiNya dan mengurapinya dengan minyak wangi itu”.
Sikap positif perempuan
tersebut ditunjukkan dengan rasa takjub kepada Yesus. Rasa takjub ditunjukannya
dengan menangis dan membasahi kaki Yesus dengan air mata, tersungkur di kaki
Yesus, dan menyeka dengan rambut, mencium dan mengurapinya dengan minyak wangi.
Air mata merupakan ungkapan penyesalan atas pengalaman kegelapan hidupnya. Dan
ia harus merendahkan dirinya di hadapan Tuhan untuk memperoleh pengampunan
total. Ini sebenarnya merupakan ungkapan metanoia
perempuan itu.
Yesus adalah Rabbi yang baik
dan berbelas kasih. Yesus sendiri
tidak menjauhkan DiriNya dari perempuan itu. Ia tidak takut tercemar atau
terkontaminasi dengan perempuan yang berdosa
itu. Ia memilih untuk tinggal dan mendengarkan. Inilah sikap
toleran Yesus terhadap orang berdosa.
Kemampuan
mendengar itu merupakan hal yang sangat berharga. Siapa dan apapun sesama, kita
perlu dan harus mendengarkannya. Kemampuan mendengarkan sesama manusia membuat
ia bertumbuh menjadi manusia yang matang, membangkitkan rasa percaya diri yang
tinggi, dan bisa membuat orang bermetanoia
dan menjadi ciptaan baru.
Ayat 39-40: Ketika orang Farisi yang mengundang Yesus melihat hal itu, ia berkata
dalam hatinya: “Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah
perempuan yang menjamahNya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah orang
berdosa”. Lalu Yesus berkata kepadanya: “Simon, ada yang hendak Kukatakan
kepadamu.” Sahut Simon: “Katakanlah, Guru.”
Orang
Farisi yang bernama Simon itu merasa terheran-heran mengamati Yesus karena sikapNya
yang masa bodoh terhadap perempuan berdosa itu. Ia sendiri tidak berani menegur
Yesus yang toleran terhadap perempuan berdosa karena Yesus adalah tamu,
undangannya. Namun demikian Simon menegur Yesus dalam hatinya dengan berpikir
tentang identitas kenabian Yesus. Sebaliknya Yesus yang merupakan nabi,[15]
toleran terhadap perempuan itu dan mengetahui seluruh isi hati Simon.
Orang
Farisi ini adalah potret manusia masa kini yang harus berjuang untuk memiliki
pikiran yang positif terhadap sesama. Adalah lebih mudah melihat sisi hidup
negatif dari sesama daripada melihat kebaikannya. Padahal ini adalah kekeliruan
besar. Seharusnya kebaikan sesama adalah hal mutlak yang menghapus segala
kekurangannya. Disini langsung adalah sikap kontras antara Yesus yang berpikiran
positif terhadap perempuan berdosa dan orang Farisi yang berpikiran negatif
terhadap Yesus. Apakah aku adalah
Yesus atau si Farisi? Di manakah posisi saya?
Ayat
41-43: “Ada dua orang yang berhutang
kepada seorang pelepas uang. Yang
seorang berhutang lima ratus dinar, yang lain lima puluh. Karena mereka tidak
sanggup membayar, maka ia menghapus hutang kedua orang itu. Siapakah di antara
mereka yang akan terlebih mengasihi dia?” Jawab Simon: “Aku kira dia yang
paling banyak dihapuskan hutangnya” Kata Yesus kepadanya: “Betul pendapatmu
itu.”
Bagian
ini merupakan sebuah perumpamaan. Pesan kerygmanya
adalah Tuhan mendekati manusia sebagai Allah yang mengampuni. Semua manusia adalah orang berdosa di hadapanNya.
Ia mengampuni manusia tanpa batas. Kita juga hendaknya belajar untuk mengampuni
sesama tanpa batas.
Ayat
44-46: “Dan sambil berpaling kepada
perempuan itu, Ia berkata kepada Simon: “Engkau lihat perempuan ini?” Aku masuk
ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kakiKu, tetapi
ia membasuh kakiKu dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Engkau
tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium
kakiKu. Engkau tidak mengurapi kepalaKu dengan minyak, tetapi dia mengurapi
kakiKu dengan minyak wangi”.
Sikap Yesus pada bagian ini adalah
Ia tidak membandingkan sikap Simon dengan Perempuan berdosa. Ia menghormati
Simon. Tetapi Yesus mau membuka wawasan berpikir Simon untuk mengimani Yesus
sebagai Rabbi yang benar. Bukan hanya Rabbi tetapi Messias, Anak Allah yang
hidup. Yesus mengasihi perempuan berdosa maka Ia mendamaikannya kembali dengan
Tuhan. Mengapa? Karena perempuan itu mempunyai iman kepada Yesus.
Ayat 47[16]: “Sebab
itu Aku berkata kepadamu: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia
telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia
berbuat kasih.”
Perempuan itu mengetahui bahwa
dirinya diampuni dan berdamai dengan Tuhan melalui Sabda penyelamatan Yesus.
Perempuan itu juga bersyukur atas pengampunan yang ia terima. Pengampunan
adalah inisiatif dari Allah yang berbelaskasih yang senantiasa menolong para
berdosa dengan rahamaNya.
Ayat 48-50: “Lalu Ia berkata
kepada perempuan itu: “Dosamu telah diampuni.” Dan mereka yang duduk makan
bersama Dia, berpikir dalam hati mereka: “Siapakah Ia ini, sehingga Ia dapat
mengampuni dosa?” Tetapi Yesus berkata kepada perempuan itu: “Imanmu telah
menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!”
Lukas menyimpulkan perikop ini
dengan mengetengahkan iman sebagai sarana untuk membantu orang menerima
pengampunan atas dosa-dosanya. Pengampunan dosa dilakukan oleh Yesus karena
iman perempuan itu kepadaNya. Ia yang memperoleh pengampunan akan
beroleh juga shalom atau damai.
3. Meditatio
Pada Bab
ke-7 Injil Lukas ini, kita temukan bahwa setelah Yesus menyembuhkan hamba
seorang perwira di Kapernaum (7, 1-10), dan membangkitkan anak muda di Nain (7,
11-17), kini Ia melengkapi penyembuhan eksistensial dengan mengampuni seorang
perempuan berdosa yang anonim (tanpa
nama). Si Farisi merasa terganggu
dengan sikap Yesus yang membiarkan perempuan berdosa itu menyentuh kakiNya. Ini
sungguh skandal orang Farisi itu dan merupakan suatu kenajisan. Sementara Yesus
memilih sikap diam, membiarkan perempuan itu bertingkah, dan menunjukkan
DiriNya sebagai nabi besar (Luk 7,16).
Pertanyaan Yesus terhadap
Simon membuka wawasan rohani kita. Simon tentu merasa dirinya bahwa ia adalah
orang yang berhutang sedikit dan ini berakibat ia memperoleh pengampunan yang
terbatas. Sementara ia sendiri
mungkin menyadari bahwa perempuan berdosa itu berhutang banyak dan memperoleh
pengampunan tanpa batas. Ia mengalami cinta kasih tanpa batas dari Tuhan yang
berbelas kasih. Bagi penginjil Lukas, ada hubungan intim antara pengampunan
dosa dan cinta kasih penuh kebaikan.
Iman dan pengampunan dosa
saling mendukung satu sama lain. Perempuan itu memperoleh pendamaian dengan
Tuhan karena imannya kepada Tuhan. Hatinya terbuka terhadap rencana keselamatan
Allah. Hatinya yang gelap diterangi pada perjumpaan dengan Kristus dan ia berubah
hidup. Ia ditangkap menjadi milik kepunyaan Kristus. Ia juga membawa damai
dalam hidupnya.
4. Aktualisasi
perikop dalam Hidup setiap hari
Perikop
injil Lukas tentang perempuan berdosa ini penuh dengan pesan rohani bagi kita.
Kita bisa menempatkan diri kita pada ketiga tokoh dalam Injil ini.
Pertama, Kita sebagai perempuan berdosa. Ia tidak dinominasi oleh Lukas. Sebenarnya
Lukas mau menunjukkan kepada komunitasnya bahwa semua mereka adalah kumpulan
orang-orang berdosa yang menantikan rahmat Tuhan melalui pengampunan dosa.
Santo Paulus menulis: “Dimana dosa bertambah banyak, di situlah rahmat Tuhan
turun berlimpah-limpah” (Rom 5,20).
Sikap positif yang hendaknya kita ambil dari perempuan berdosa ini adalah
keterbukaannya terhadap terang Kristus.Ketika ia berjumpa dengan Yesus, hatinya
yang keras diubah menjadi hati manusia yang lembut, hidupnya yang gelap, penuh
dosa berubah menjadi ciptaan baru dalam Kristus. Ia sadar diri dan tersungkur
di kaki Yesus sambil menangis. Mungkin ia berseru: “Tuhan kasihanilah aku orang
berdosa”. Kesadaran diri karena perjumpaan dengan Kristus membuat ia bersyukur
karena Yesus mendamaikan dirinya dengan Bapa di surga.
Pada saat ini kita juga bersyukur karena kita memiliki sakramen tobat atau
sakramen rekonsiliasi. Sakramen ini hendaknya tidak dipandang sebagai bagian
dari suatu ritus gereja katolik saja. Setiap kali kita mendekatkan diri kepada
Tuhan melalui sakramen ini, kita mengalami belas kasihan Tuhan, kita menjadi
ciptaan baru seperti perempuan berdosa ini. Pengakuan dosa-dosa kita hendaknya
juga mencakup Sabda Bahagia yang disingkat dalam hukum cinta kasih, dan
keutamaan-keutamaan kristiani. Sikap bathin untuk berubah atau bermetanoia juga
hendak ditunjukkan dalam hidup konkret. Apakah kita setia melaksanakan janji-janji
kita setelah pengakuan dosa?
Kedua, Kita sebagai orang Farisi. Kita telah
menerima Yesus dalam sakramen permandian. Setiap kali berdoa, sebenarnya kita
juga mengundang Yesus untuk masuk dalam perjamuan hidup kita. Tapi terkadang
undangan kita itu hanya bersifat dangkal saja. Iman kita kepada Yesus terlalu
kecil bahkan tidak ada! Sama dengan si Farisi ini: “Apakah Yesus seorang nabi?”
Kita masih mengembara bersama dalam alam keragu-raguan akan pribadi Yesus.
Dalam hidup bersama, kita sering
terjerumus dalam sikap: muda mengadili sesama, melihat hal-hal yang negatif
dalam diri sesama. Mengapa kita sulit melihat kebaikan orang? Padahal kebaikan
adalah mahkota kehidupan manusia di depan Tuhan. Ketika kita terlampau melihat
kejelekan orang, kita sebenarnya semakin tidak sempurna karena sikap seperti
itu adalah ekspresi kelemahan atau kejelekan kita sendiri. Ini merupakan
tantangan dalam hidup berkomunitas. Komunitas kadang-kadang hancur karena semua
orang tidak mensyukuri kebaikan sesama tapi mensyukuri kejelekannya. Sikap
terbuka dalam memberi koreksi persaudaraan adalah sangat berharga daripada
menutup diri dan melihat kejelekan orang. Positive thinking hendaknya menjadi miliki bersama.
Ketiga, kita sebagai Kristus. Kristus
ditampilkan oleh Lukas sebagai orang yang toleran, diam dan mendengar keluh
kesah orang berdosa yang diwakili oleh perempuan itu. Kristus menjadi tanda
kehadiran Allah sendiri yang mengunjungi umatnya (Lukas 7,16), untuk
membebaskannya dari dosa. Ia yang telah mendamaikan kita dengan Allah.
Sikap
Yesus ini perlu dan harus dimiliki oleh setiap orang. Semakin kita banyak
mendengar dan prihatin terhadap sesama, kita akan mencintai dia dan menerima
dirinya seadanya. Bahwa dia adalah sesama, tanda kehadiran Tuhan sendiri. Dengan sikap terbuka dan menerima sesama
apa adanya, sesama itu akan bertumbuh menjadi matang. Toh semua orang adalah
rekan seperjalanan yang perlu saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada
seorang manusia yang tinggal di pulaunya sendiri.
5. Tindakan-tindakan konkret
Silahkan mengulangi doa-doa berikut
ini dan temukanlah maknanya yang bisa menjadi makanan rohani dalam hidup setiap
hari:
1. Saya mengaku, kepada Allah yang Mahakuasa dan kepada saudara
sekalian bahwa saya telah berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan
kelalaian. Saya berdosa, saya sungguh berdosa. Oleh sebab itu saya mohon kepada
Santa Perawan Maria, kepada para malaikat dan orang kudus dan kepada saudara
sekalian supaya mendoakan saya pada Allah Tuhan kita.
2. Ya Bapa ampunilah kami dan
saudara yang bersalah kepada kami. Kasihanilah dan bantulah kami supaya selalu
saling mengampuni, sehingga terciptalah di tengah kami persaudaraan dan
keakraban yang sejati, sementara kami menantikan dengan rindu kedatangan
penyelamat kami Yesus Kristus.
6. Kata-kata yang
mengesankan hidup
Kita
menemukan dalam perikop ini beberapa kata yang lebih mengesankan hidup kita:
DOSA
AMPUN
IMAN
KASIH
DAMAI
Bagaimana kata-kata ini bergaung dalam hidupku di hadapan
Tuhan Yesus?
7. Oratio
Berikanlah kepadaku ya Abba yang berbelas kasih kebijaksanaan
hati untuk mengenal pengampunanMu dalam diriku dan sesama se komunitas, entah
dalam saat-saat yang membahagiakan maupun dalam saat-saat susah. Berilah aku
kemampuan untuk melakukan eksodus
dalam hidupku yang penuh kegelapan untuk bertemu dengan Dikau, Terang sejati.
Terangmulah yang akan membuat aku mengubah hatiku yang keras laksana batu
menjadi hati manusia penuh kasih. Hati Yesus yang lemah lembut dan rendah hati,
jadikanlah hatiku seperti hatimu. Amen.
***
Lectio 3:
PEREMPUAN-PEREMPUAN
MELAYANI
(Lukas 8, 3)
1. Lectio: Lukas 8,1-3
Tidak
lama sesudah itu Yesus berjalan berkeliling dari kota-ke kota dan dari desa ke
desa memberitakan Injil Kerajaan Allah. Keduabelas MuridNya bersama-sama dengan
Dia, dan juga beberapa orang perempuan yang telah disembuhkan dari roh-roh
jahat atau berbagai penyakit, yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah
dibebaskan dari tujuh roh jahat, Yohana isteri Khuza, bendahara Herodes, Susana
dan banyak perempuan lain. Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu
dengan kekayaan mereka.
2. Komentar Rohani
Perikop ini merupakan
perikop transisi atau peralihan.
Sepertinya Lukas mau menyimpulkan kehadiran perempuan dalam karya Yesus (Lukas
7,11-17.36-50) yang mendeskripsikan kebangkitan anak muda seorang janda di Nain
dan pertemuan dengan perempuan berdosa di rumah Simon. Perikop ini juga
merupakan introduksi kepada itinerary
ministry Tuhan Yesus yang nantinya akan menjadi paradigma kegiatan
misionaris gereja perdana.
Sikap Yesus terhadap kaum
perempuan yang disinyalir oleh Lukas pada bagian ini khususnya keterlibatan
mereka dalam karya Yesus merupakan sebuah upaya untuk mengoreksi
kebiasaan-kebiasaan yang menomorduakan kaum perempuan dalam masyarakat Yahudi
saat itu. Pada saat itu kaum perempuan adalah warga kelas dua atau kaum
pinggiran dalam masyarakat Yahudi. Mereka lebih disamakan dengan anak-anak,
kaum hamba sahaja yang tidak memiliki hak-hak istimewa dalam masyarakat. Yesus
menolak diskriminasi ini dan berusaha untuk menunjukkan kepada masyarakat
zamanNya bahwa kaum perempuan itu sederajat dengan kaum pria.
Lukas sendiri mengetahui
peranan penting kaum perempuan dalam kehidupan Gereja, dengan menggarisbawahi
kehadiran mereka dalam hidup Yesus: “mereka melayani Yesus dan murid-muridNya
dengan kekayaan mereka”. Lukas juga menekankan bahwa para wanita yang berada di
kalvari adalah mereka yang telah menemani Yesus dalam karya perutusanNya (Lukas
23,49.55). Mereka juga memiliki privilese sebagai saksi-saksi pertama
kebangkitan Yesus (Lukas 23, 55-24,11).
Ayat 1: Tidak lama sesudah itu Yesus berjalan
berkeliling dari kota-ke kota dan dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan
Allah.
Lukas
sebetulnya sudah membicarakan perutusan Yesus (Lukas 4, 14; 5,1 dst) , namun
pada saat ini perjalanan keliling Yesus menjadi sistematis yaitu perjalanan
antar kota dan desa. Ini juga menunjukkan bahwa Yesus senantiasa bergerak untuk
mewartakan Kerajaan Allah. Allah Bapa hendak memanifestasikan KerajaanNya dalam
karya aktif Yesus Kristus. Hasilnya adalah keselamatan umat manusia. Allah juga
berkarya melalui karya-karya Tuhan Yesus dalam memenuhi KerajaanNya di masa
mendatang.
Ayat 2-3: Keduabelas MuridNya bersama-sama dengan Dia,
dan juga beberapa orang perempuan yang telah disembuhkan dari roh-roh jahat
atau berbagai penyakit, yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah
dibebaskan dari tujuh roh jahat, Yohana isteri Khuza, bendahara Herodes, Susana
dan banyak perempuan lain. Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan
kekayaan mereka.
Perempuan-perempuan yang
mengikuti Yesus hendak mengucapkan terima kasih kepadaNya karena telah
dibebaskan dari roh-roh jahat dan berbagai penyakit seperti telah diungkapkan
pada Lukas 6, 18 dan 7,21. Di sini Lukas hanya menominasi tiga orang tetapi
juga menekankan bahwa “banyak perempuan lain[18]” turut melayani Yesus dan para
muridNya. Maria Magdalena berasal dari
Magdala, sebuah kampung di sebelah Timur danau Tiberias. Ia dibebaskan oleh
Yesus dari tujuh roh jahat. Nomor tujuh menunjukkan kepemilikan total. Ia tidak
diidentifikasi dengan perempuan berdosa pada Lukas 7, 36-50 karena Lukas tidak
membangun hubungan antara kedua perempuan itu. Yohana, isteri Khuza akan
dinominasi kembali oleh Lukas pada bab 24,10 dalam misteri Makam Kosong. Susana
tidak dikenal identitasnya.
3. Meditatio
Lukas mempresentasikan
komunitas kecil para murid dan perempuan-perempuan yang menemani perjalanan
apostolis Tuhan Yesus. Ini merupakan model bagi kehidupan Gereja dengan kiblat
kepada Injil Yesus Kristus. Sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan umum masyarakat
Yahudi saat itu, sangat tidak baik kalau kaum perempuan itu mengikuti Yesus dan
para MuridNya. Di sini kita melihat bahwa para murid (keduabelasan)-Nya itu
dipilih dengan panggilan khusus dari Tuhan Yesus, sedangkan kaum perempuan ini
dipilih dengan sikap menerima mereka
untuk masuk dalam komunitas dan belaskasihan.
Situasi dikotomis antara kaum
pria dan wanita yang terkadang menyingkirkan kaum wanita pada zaman Yesus,
dikoreksi dengan gaya hidup Yesus yang mewartakan Injil tentang Kerajaan Allah
di kota-kota dan kampung-kampung. Sekarang kelihatan jelas sebuah komunitas
kecil yang mengelilingi DiriNya.
4. Aktualisasi
Kalau kita mencermati
perikop transisi ini, kita melihat suatu sikap toleran yang dimiliki oleh Yesus
terhadap kaum wanita. Dalam Bab 7, Ia membangkitkan anak muda seorang janda
tanpa nama di Nain dan mengampuni dosa seorang perempuan berdosa di rumah
Simon. Kedua perempuan ini anonim, tetapi dalam perikop ini kelihatan Lukas
menunjukkan suatu kemajuan dalam memperjuangkan peranan kaum perempuan dengan
menominasi nama Maria Magdalena, Yohana dan Susana dan menambahkan “banyak
perempuan lain”.
Aspek-aspek positif yang bisa
dikembangkan adalah:
Pertama, Penghormatan
terhadap nilai-nilai kehidupan kaum perempuan. Dengan kata lain, upaya pemberdayaan kaum perempuan untuk
menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusia.
Kedua, Pelayanan
tanpa pamrih merupakan suatu panggilan dan rahmat yang perlu terus menerus
dihidupkan. Kalau perempuan-perempuan itu melayani dengan kekayaan mereka, kita
saat ini melayani dengan hidup kita. Persembahan diri kita secara total dalam
hidup bakti merupakan bentuk pelayanan tanpa pamrih kepada Tuhan dan sesama.
5. Oratio
Berilah kami ya Abba rahmat dan kehendakMu untuk membuka hidup kami pada kehadiran
kerajaanMu, yang dimulai di atas bumi melalui penjelmaan PuteraMu, sebab dengan
membebaskan kami dari ketakutan, kami dapat membentuk suatu komunitas kristiani
yang penuh persaudaraan dengan hubungan-hubungan baru, yang ditandai dengan
kebebasan dan solidaritas dalam pelayanan tanpa pamrih.
Lectio 4:
YESUS SANG GEMBALA BAIK:
(Komentar Spiritual
atas Injil Yohanes 10,1-42)
Sejak dahulu hingga saat
ini, tema Yesus sebagai gembala yang baik (buon
pastore) selalu akrab dan menyatu dengan umat kristiani. Mengapa demikian?
Karena umat kristiani percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan penyelamat manusia.
Ia sendiri yang mengantar orang-orang kesayanganNya kepada Bapa di Surga. Dia
adalah Jalan menuju kepada Bapa (Yoh
14,6). Yesus laksana gembala yang baik bagi kawanan domba yang senantiasa
mengantar domba-dombanya kemana saja mereka ingin pergi dan melindungi mereka
dari para pencuri dan perampok[19].
Dalam tulisan ini saya
coba membuat komentar spiritual atas Injil Yohanes Bab ke-10 yang sangat
sederhana untuk dapat mengenal lebih dalam pribadi Yesus sebagai Gembala yang
baik. Injil Yohanes Bab ke-10 terdiri atas dua bagian penting:
Bagian pertama yaitu Yoh 10,1-21:
· Presentasi enigmatis tentang gembala dan pintu
(1-6)
· Interpretasi simbolik dari diskursus ini: Yesus
adalah pintu bagi domba-domba (7-10) dan Yesus adalah gembala baik (11-18)
· Reaksi-reaksi para pendengar (19-21)
Bagian kedua yaitu Yoh 10,22-42:
· Yesus sebagai Mesias dan domba-dombaNya dalam
hubungan dengan Bapa (22-31)
· Kontroversi tentang Yesus sebagai Putera Allah
(32-39)
· Sintesis konklusif tentang misteri Pribadi Yesus
(40-42)
Kita akan mendalami bagian-bagian ini selayang
pandang.
1. Presentasi enigmatis
tentang “pintu” dan “gembala” (1-6)
Isi diskursus misterius Yesus yang
ditunjukkan oleh penginjil kepada kita adalah tentang jawaban konkret dari
komunitas kristiani kepada orang-orang Yahudi yang telah mengusir orang yang
buta sejak lahir di dalam sinagoga karena ia mati-matian membela Yesus yang
telah menyembuhkannya di hadapan mereka (lihat Yoh 9, 1-41). Di sini kelihatan
jelas bahwa betapa kerasnya hati para pemimpin Yahudi untuk tidak menerima
Yesus. Dengan mengetahui sikap para pemimpin Yahudi ini maka Yesus mengucapkan
kata-kata enigmatis seperti ini: “Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya siapa yang masuk di dalam kandang domba tidak
melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan
perampok; tetapi siapa yang masuk melalui pintu, ia adalah gembala domba” (ayat
1-2).
Di sini Ia
mempertentangkan pencuri dan perampok dengan gembala dan domba-dombanya. Pintu
adalah tempat masuknya domba-domba. Pintu sebetulnya merupakan bahasa metaforis yang menunjuk pada Bait Allah
sebagai tempat kudus di Israel. Bait Allah merupakan simbol persatuan nasional
yudaisme baik kultus maupun agama. Ia juga menjadi simbol teokrasi bagi
mereka. Namun demikian dari sudut
pandang iman kristiani, pintu adalah Yesus sendiri. Yesus adalah gembala bagi
domba-domba yang akan masuk melalui pintu. Dialah yang sebetulnya merupakan
gembala baru bagi umat Israel.
Kesalahan fatal yang
dibuat oleh para pemimpin Yahudi adalah menolak pribadi Yesus dan tidak
melewati pintu yang adalah Yesus sendiri, padahal Yesus sendiri adalah jalan
menuju kepada Bapa (Yoh 14,6).Barang siapa tidak masuk dan bersatu dengan
Yesus, Ia adalah seorang pencuri dan perampok dan seorang gembala palsu yang
tidak akan membawa domba-domba (baca: umat Allah) kepada keselamatan.
Pada kenyataannya
orang-orang Yahudi boleh mendengar suara Yesus yang memanggil mereka satu
persatu dengan namanya masing-masing dan memperkenalkan DiriNya kepada mereka
secara akrab. Namun demikian hanya sedikit yang mendengar suaraNya dan
menjawabnya dengan nada penuh ketaatan sehingga mereka menjadi domba-dombaNya.
Dengan pekerjaanNya, Ia berhasil membawa mereka keluar dari sinagoga kehidupan
mereka yang sempit.
Kita lihat kembali kisah
orang yang buta sejak lahir pada Injil Yohanes bab ke-9. Setelah disembuhkan
oleh Yesus, ia lalu menjadi manusia baru. Sebagai konsekuensinya, ia diusir
keluar dari sinagoga karena kesaksian imannya tentang Yesus. Yesus pun
menerimanya dan membimbingnya kepada Bapa. Memang, ia keluar dari sinagoga
manusiawinya, menjadi ciptaan baru yang bernilai di mata Yesus. Ia ditangkap
oleh Yesus menjadi milik kepunyaanNya dan di antar kepada Bapa.
Yesus sungguh merupakan
gembala yang baik dan benar. Ia membentuk ikatan persekutuan yang kuat dengan
domba-dombaNya. Ia sendiri mengatakan: “Jika
semua dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan
domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya. Tetapi seorang
asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara
orang asing itu tidak mereka kenal.” (ayat 4-5).
2. Interpretasi simbolik
dari diskursus ini
Yesus mengetahui bahwa
banyak orang tidak memahami kata-kataNya. Karena itu Ia berusaha untuk
menjelaskan secara simbolis kata-kataNya yang sebetulnya menunjuk pada
PribadiNya sendiri.
2.1. Yesus adalah Pintu bagi
domba-domba (7-10)
Yesus mewahyukan DiriNya
sebagai pintu bagi domba-dombaNya. Perhatikan autorivelasi atau pewahyuan pribadiNya dalam kata-kata berikut ini:
“Akulah pintu ke domba-domba itu”
(ayat 7 dan 9)[20]. Yesus sebagai pintu masuk kepada Bapa di
Surga. Dapatlah dikatakan bahwa Ia menjadi pintu keluar bagi orang-orang Yahudi
dari kandang yudaisme mereka dan masuk ke dalam Diri Yesus untuk memperoleh
keselamatan[21].
Santo Yohanes menegaskan
kepada komunitasnya dan kepada kita juga bahwa Yesus, dengan Misteri
InkarnasiNya menjadi tempat untuk bertemu dan menerima Bapa dan segala
RahmatNya. Ia tetaplah jalan yang dilewati, pintu yang utama menuju kepada
Bapa.
2.2. Yesus adalah gembala
yang baik (11-18)
Pada bagian ini kita
bertemu dengan autorivelasi yang
kedua: “Akulah gembala yang baik”
(ayat 11 dan 14).[22] Yesus bukan hanya sekedar mewahyukan
DiriNya sebagai gembala yang baik melainkan lebih dari itu Ia menyerahkan
DiriNya bagi domba-dombaNya (ayat 11), mengenal domba-dombaNya (ayat 14) dan
supaya mereka tidak binasa (ayat 28-29).
Kita juga melihat cinta
kasih timbal balik antara Bapa kepada Yesus dan antara Yesus kepada Bapa
sebagai cinta filial, penuh ketaatan: “Bapa
mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan Nyawa-Ku untuk menerimanya kembali.
Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut
kehendakKu sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya
kembali. Inilah tugas yang Ku terima dari Bapa-Ku” (ayat 17-18).
2.3. Reaksi-reaksi yang
berbeda-beda dari para pendengar (19-21)
Dengan autorivelasiNya sebagai Gembala yang
baik membangkitkan pertentangan di antara orang-orang Yahudi. Reaksi negatif:
menganggap Yesus sebagai orang yang kerasukan setan dan gila. Sebelumnya mereka
juga telah mengaggap Yesus sebagai orang yang kerasukan setan[23]. Namun demikian ada juga reaksi positif, “Itu bukan perkataan orang yang kerasukan
setan; dapatkah setan memelekkan mata orang-orang buta?” (ayat 21)
Pesan penginjil bagi kita
adalah telah tiba saatnya untuk memilih dan mengikuti Yesus karena Ia bukan
hanya bersaksi melalui tanda-tanda seperti mukjizat-mukjizat saja tetapi juga
melalui SabdaNya sehingga memberi arti tersendiri bagi kehidupan manusia.
3. Yesus sebagai gembala dan
domba-dombaNya berhubungan dengan Bapa (22-31)
Yesus mewahyukan DiriNya
sebagai Mesias. Banyak orang tidak percaya kepadaNya karena mereka tidak
termasuk di dalam kawanan dombaNya. Domba-dombaNya yang hidup memiliki relasi
intim dengan Yesus dan Bapa dengan mengikutiNya dalam iman.
Pesta pentahbisan Bait
Allah dirayakan di Yerusalem biasanya pada musim dingin. Yesus berjalan-jalan
di Bait Allah tepatnya di serambi Salomo. Serambi ini terletak di bagian Timur
dekat dengan Bukit Kidron dan mengarah ke Getzemani[24].
Ada yang bertanya kepada Yesus: “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami
hidup dalam kebimbangan? Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus-terang kepada
kami”. (ayat 24). Pertanyaan ini memang kelihatan tulus namun sebetulnya
merupakan pertanyaan provokatif. Yesus menjawab pertanyaan ini dengan penekanan
yang berbeda. Pertama, tentang Mesias
(25-31) dan kedua, tentang
keilahianNya (32-39).
Sebagai Mesias, segala sesuatu yang dilakukan
bukan atas namaNya sendiri melainkan atas nama Bapa.[25] Dan ini juga merupakan bukti kebenaran
pewahyuan dan identitasNya: “Aku telah
mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang
Kulakukan dalam nama BapaKu, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku,
tetapi kamu tidak percaya karena kamu bukan domba-dombaKu” (25-26). Barang
siapa mendengarnya akan memberikan bukti bahwa Ia adalah bagian dari Umat Allah
yang baru: “Domba-dombaKu mendengar
suaraKu dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan
hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak binasa sampai
selama-lamanya dan seorangpun tidak merebut mereka dari tanganKu” (27-28).
Pada kedua ayat ini ditegaskan 3 hal penting yang berhubungan erat dengan
identitas domba-domba dan hubungan mereka dengan Yesus: mendengar suara, mengikuti, dan tidak binasa. Yesus juga memberikan
teladan yang baik persekutuanNya dengan Bapa: “Aku dan Bapa adalah satu” (30).
4. Kontroversi tentang Yesus
sebagai Putera Allah (32-39)
Yesus mewahyukan DiriNya
sebagai Putera Allah. Ia mendasarkan diri pada dua argumen penting yaitu:
kesaksian dari Kitab Suci dan segala karya yang dilakukan atas nama BapaNya.
Yesus terlebih dahulu menantang lawan-lawanNya: Ia telah melakukan segala
pekerjaan yang baik atas nama BapaNya di surga namun mengapa orang-orang Yahudi
ingin melempariNya dengan batu? (ayat 32). Namun jawaban orang-orang Yahudi
adalah: “Bukan karena suatu pekerjaan
yang baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat
Allah dan karena Engkau sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diriMu
dengan Allah” (ayat 33).
Untuk pertama kalinya
Yesus dianggap menghujat Allah karena Ia menyatakan diriNya sebagai Putera
Allah[26]. Itu sebabnya mengapa orang-orang Yahudi
meminta Pilatus untuk memberikan hukuman mati karena “Ia telah menganggap
diriNya sebagai Putera Allah”[27]. Di Israel, orang-orang lain mengaggap
dirinya sebagai mesias dan nabi namun tidak membangkitkan kemarahan para
pemimpin Yahudi. Hanya dalam diri Yesuslah muncul kebencian yang mendalam.
Padahal Ia bukanlah manusia yang menjadi Tuhan melainkan Tuhan menjadi manusia.
Sekarang Yesus mulai
membuktikan diriNya sebagai Putera Allah dengan berdasar pada Kitab Suci: “Tidakah ada tertulis di dalam Kitab Taurat
kamu: Aku telah berfirman: Kamu adalah allah?” (ayat 34)[28]. Para ekseget rabinis juga menyebutnya
allah (dalam arti yang metaforis) bagi orang-orang sederhana, sebagai
penghargaan atas otoritas yang diterimanya dari Tuhan untuk suatu perutusan
penting demi kebaikan umatnya. Itu sebabnya dinominasi para hakim-hakim, Musa
dan Yeremia. Yesus lalu menggunakan metode a
minori ad maius yang biasa dipakai para rabbi. Kalau ada orang yang
dipanggil allah, apalagi sang Putera Allah: “Dia
yang telah dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutusNya ke dalam dunia”
(ayat 36). Pada kenyataannya Yesus telah dikuduskan (hegiasen) yakni dikuduskan oleh Bapa untuk suatu missi khusus
yakni tanda pewahyuan yang definitif tentang keselamatan universal.
Selain argumentasi
berdasarkan Kitab Suci, Yesus juga mendasarkan diri pada segala pekerjaan yang
telah dilakukan atas nama BapaNya (ayat 32) dan bertujuan untuk menumbuhkan
iman mereka kepadaNya[29]. Semua pekerjaan ini menjadi saksi atas
keilahian Yesus karena segala sesuatu itu dikerjakan karena Bapa bekerja di
dalam Dia[30].
Lebih tegas lagi Yesus mengatakan: “Tetapi
jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan
pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa
di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa”. (ayat 38). Sekali lagi di sini terjadi
afermasi tentang imanensi Allah dalam diri Yesus yaitu persekutuan hidup dan
kesatuan tindakan antara Bapa dan Putera. Kontroversi ini membangkitkan amarah
dari orang-orang Yahudi dan mencoba menangkapNya namun saatnya belum tiba.
5. Sintesis konklusif tentang
Pribadi Yesus (40-42)
Pada bagian terakhir ini
penginjil mengetengahkan Yesus yang pergi lagi ke seberang sungai Yordan. Ini
merupakan kesimpulan dari debat antara Yesus dan para pemimpin Yahudi di
sekitar Bait Allah. Yesus kembali lagi ke titik awal perutusanNya “di seberang
sungai Yordan” setelah kesaksian Yohanes Pembabtis[31]. Mengapa? Karena kelihatan bahwa karya
perutusan Yesus di hadapan orang-orangNya, autorivelasiNya
kepada dunia dirasakanNya sebagai gagal total. Ia disingkirkan oleh orang-orangNya
sendiri karena kebencian mereka kepadaNya dan harus menjauhi diri dari
Yerusalem, namun kemudian kembali untuk memasuki Misteri PaskahNya. Namun
demikian Yesus tetaplah hebat! Banyak orang percaya kepadaNya (ayat 42).
6. Refleksi sederhana
Bercermin pada teks yang
sangat kaya dengan nilai-nilai rohani ini di manakah posisi aku yang
sebenarnya?
Ø Aku adalah salah satu dari domba-domba
yang masuk melalui Pintu yakni melalui Yesus untuk bersatu dengan Bapa.
Ø Aku adalah pencuri dan perampok yang selalu
mengganggu domba-domba yang lain.
Ø Aku adalah salah satu dari para pemimpin
Yahudi yang tertutup hatinya dan tidak keluar dari sinagoga pribadinya, tidak
mau bertemu dengan Yesus, tidak mengenalNya sebagai Mesias bahkan berniat untuk
membunuhNya.
Ø Aku adalah orang yang buta sejak lahir
yang dijadikan ciptaan baru oleh Yesus dan bersedia menjadi saksi iman
kepadaNya.
Ø Aku adalah gembala yang baik seperti Yesus
bagi saudara-saudaraku yang miskin, dan tersingkir dalam masyarakat.
Ø Aku adalah Yesus. Aku adalah pintu, aku
adalah gembala yang baik yang menyerahkan nyawa bagi sesamaku.
***
Catatan Akhir
[5] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit Presbyterorum
Ordinis,4
[6] Kata-kata dalam Kitab Ulangan ini akan diucapkan sendiri oleh Yesus
misalnya dalam Injil Matius 4,4 dan Lukas 4,4.
[7] Bdk. Yesaya 43,5; Yer 23,3; 29, 14;
32,27; Yehezkiel 11,17; 34,14; 36,24.
[8] Bdk. CIVCSVA, “La Vita Fraterna in Comunita’”, 48.
[9] Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Vita
Consecrata (VC), 94
[10] CIVCSVA, Starting…, 24 dan 25.
[12] Menurut Guigo, seorang biarawan
Kartusian, Lectio itu seumpama memasukkan makanan ke dalam mulut; Meditatio: mengunya makanan tersebut, Oratio: menikmati enaknya makanan
tersebut, Contemplatio:
mengasimilasikannya dalam hidup yang konkret untuk kebahagiaan diri.
[13] Sakramen ke empat biasa di sebut juga
sakramen Tobat atau sakramen Pengakuan dosa. Dewasa ini sakramen keempat lebih
dikenal dengan nama sakramen Penitensi atau sakramen Rekonsiliasi.
[14] Seorang perempuan pada ayat 37 ini bukan
Maria Magdalena (Luk 8,2) bukan juga Maria saudari Marta (Luk 10,39; Yoh 11:1,
2,5; 12: 2-3). Perempuan ini anonim yang kiranya mewakili semua orang berdosa
termasuk kita.
[15] Dalam Lukas 7,16 kita melihat pengakuan
orang: “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita”. Ini berarti
bagi mereka, Yesus adalah seorang nabi.
[16]Dalam bagian pertama ayat
ini nampaknya kasih itu menyebabkan pengampunan dosa padahal dalam bagian kedua
ayat ini pengampunan dosa menyebabkan kasih. Pertentangan ini disebabkan
kenyataan bahwa dalam bagian injil ini dua unsur yang berbeda dicampurkan.
Dalam ayat 37-38, ayat 44-46 perbuatan perempuan itu menyatakan kasih besar
yang layak ditanggap dengan pengampunan dosa. Ini disimpulkan dalam bagian
pertama ayat 47 ini. Sedangkan dalam ayat 40-43 disisipkan sebuah perumpamaan
yang kesimpulannya terbalik: pengampunan yang lebih besar menghasilkan kasih
yang lebih besar pula. Kesimpulan ini
terdapat dalam bagian terakhir ayat 47 ini.
[17] Sebuah komentar rohani atas injil Lukas 8,1-3 oleh P. John Laba,
SDB, Komunitas Salesian Don Bosco Weetebula, Sumba.
[18] Menurut Injil Markus: “Ada juga beberapa perempuan yang melihat
dari jauh, di antaranya Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus Muda dan Yoses serta
Salome. Mereka semuanya telah mengikut Yesus dan melayaniNya waktu di Galilea.
Dan ada juga di situ banyak perempuan lain yang telah datang ke Yerusalem
bersama-sama dengan Yesus.
[19] Sumber inspiratif dari Injil Yohanes Bab ke-10 ini adalah teologi pastoral
Perjanjian Lama dalam Kitab Mazmur 23; Yehezkiel,34; Yeremia 23,1-6 dan
Zakharia 11,4-17.
[20] Menurut saya, ada kemungkinan Yesus menunjuk DiriNya sebagai pintu
masuk ke kandang domba seumpama sebuah pintu untuk masuk ke dalam kota
Yerusalem. Kota Yerusalem dikelilingi oleh tembok yang cukup tinggi dan
memiliki banyak pintu gerbang. Ingat bahwa konteks injil ini adalah kota
Yerusalem yang ramai karena pesta Hari Raya Pondok Daun.
[21] Bandingkan dengan beberapa perikop berikut ini: Mt 7,13-14; 25,
10-12; Luk 13,24-26. Di dalam Mazmur 118 ayat 20 misalnya dikatakan: “Bukalah bagiku pintu-pintu keadilan dan aku
akan masuk untuk bersyukur kepada Tuhan. Ini adalah pintu Tuhan yang dengannya
akan masuk orang-orang benar”.
[22] Bayangan tentang gembala kita temukan di dalam Perjanjian Lama yang
menjelaskan nilai-nilai luhur sang Mesias, misalnya Mikha 5,3; Yehezkiel
34,23-31; Yeremia 3,15; 23,35; Mazmur 23; Zakharia 3,7-9. Di dalam Perjanjian
Baru kita menemukan sosok Yesus sebagai gembala yang berbelaskasih dan pengampun:
Mt 18,12-14; Luk 15, 3-7. Yesus dalam karya mesianik: Mt 9, 36-38; Markus 6,34;
14,7. Yesus sebagai gembala keselamatan semua orang : Mt 10,16; 25, 31-33; Luk
12,32.
[23] Yoh 7,20; 8, 48.52.
[24] Kis 3,11-12; 5,12
[25] Yoh 2,1-12; 5,1-9; 6,1-15; 9,1-7.
[26] Lihat juga Yoh 5,17; 8,58-59
[27] Yoh 19,7
[28] Kutipan ini diambil dari Mazmur 82,6
[29] Yoh 9, 3-4
[30] Yoh 5, 19-20.36
[31] Yoh 1, 28 dst
No comments:
Post a Comment