Mandat Misionaris Gereja
Kita semua barusan menutup bulan oktober 2019.
Ada tiga peristiwa dalam Gereja yang kita kenang sepanjang bulan Oktober 2019
ini. Pertama, seperti biasanya kita berdevosi kepada Bunda Maria Ratu Rosario.
Di banyak tempat, umat katolik memulai bulan Oktober dengan sebuah perayaan
misa dan di akhiri dengan misa penutupan bulan Rosario. Banyak umat yang
mengisi bulan Oktober dengan berdoa Rosario dari rumah ke rumah di dalam
Komunitas Basis Gerejani (KBG), ada yang berziarah ke tempat-tempat ziarah yang
berhubungan dengan Bunda Maria. Pokoknya bulan Oktober selalu menjadi bulan
penuh kenangan Bersama Bunda Maria. Dapatlah dikatakan sebagai bulan yang
mendekatkan yang jauh sebab semua umat merasa bersaudara dan bersekutu. Bunda
Maria adalah Bunda gereja missioner sebab dia sendiri seorang misionaris
sejati.
Kedua, secara khusus pada bulan Oktober tahun
2019 ini, Paus Fransiskus meminta seluruh Gereja untuk menjadikannya sebagai
bulan missioner luar biasa. Alasan dibalik pencanangan bulan Oktober 2019 sebagai
bulan misi luar biasa ini adalah Gereja Katolik mengenang kembali seabad terbitnya
‘Maximum Illud’. Maximum Illud adalah sebuah Surat Apostolik dari Paus
Benedictus ke-XV tentang karya misi yang ditandatanganinya pada tanggal 30 November
1919. Ketiga, Gereja Katolik Indonesia mengenang tiga puluh tahun kunjungan
pastoral Paus Yohanes Paulus ke-II pada tanggal 9-14 Oktober 1989. Kota-kota
yang dikunjunginya adalah Jakarta, Medan (Sumatra Utara), Yogyakarta (Jawa
Tengah dan DIY), Maumere di Pulau Flores dan Dili (Timor Timur). Setelah
berkunjung ke Indonesia, komentarnya ialah: "Tidak ada negara yang begitu
toleran seperti Indonesia di muka bumi." Kunjungan Paus yang kini menjadi
St. Yohanes Paulus ke-II ini merupakan salah satu wujud nyata perjalanan
misionernya sebagai seorang gembala ke Indonesia.
Mengapa ‘Maximum Illud’ penting?
Banyak di antara kita yang mungkin baru
mendengar nama Surat Apostolik Paus Benediktus ke-XV ini. Ada umat yang jujur mengatakan
bahwa untung ada Paus Fransiskus yang dapat membuka wawasan kita tentang
semangat missioner di dalam Gereja kita. Perlu diketahui bahwa sumber inspirasi
Surat Apostolik ini adalah perkataan Tuhan Yesus di dalam Injil Markus: “Pergilah
ke seluruh dunia dan wartakanlah Injil kepada semua makhluk” (Mrk 16:15). Namun
pertanyaan yang muncul adalah ada apa dibalik terbitnya surat ‘Maximum Illud’
ini? Kalau perkataan Yesus di dalam Injil Markus ini sudah dijalankan sejak
zaman para rasul. Para rasul Yesus adalah misionaris sejati yang hampir semuanya
wafat sebagai martir seperti Yesus, Tuhan dan Guru juga misionaris sejati. Para
Rasul misalnya, St. Thomas sangat dihargai di daerah Kerala, India, sebab mereka
percaya bahwa Rasul Thomas mewartakan Injil di sana hingga wafat sebagai martir.
Para misionaris yakni imam, biarawan dan biarawati rela meninggalkan kampung
halamannya untuk pergi ke negeri-negeri baru supaya mewartakan Injil dan
membaptis. Dua kata yang penting bagi para misionaris saat itu adalah diutus
dan membaptis.
Kalau begitu, kita kembali ke pertanyaan
sebelumnya yakni ada apa dibalik terbitnya surat Maximum Illud ini? Sejarah
dunia menunjukkan bahwa pada tanggal 28 Juli 1914-11 November 1918 terjadi
perang dunia yang pertama. Suasana persaudaraan sebagai gereja sangat terancam.
Paus Benediktus ke-XV sendiri menyebutnya sebagai ‘pembantaian tak berguna’.
Banyak saudari dan saudara terutama para korban perang yang mengalami penderitaan
jasmani dan rohani. Sebab itu Paus Benediktus ke-XV menaruh perasaan simpatinya
kepada mereka semua. Tentu saja harapan sri Paus adalah dengan adanya kehadiran
para misionaris ini dapatlah menyelamatkan jiwa-jiwa mereka. Para misionaris
membawa kesegaran dan keselamatan bagi jiwa-jiwa yang sedang menderita akibat
perang. Hal terpenting adalah penyebaran iman katolik ke seluruh dunia adalah
keharusan karena merupakan mandat Tuhan Yesus Kristus bagi Gereja.
Sri Paus Benediktus ke-XV melukiskan pada awal
suratnya ini tentang pengalaman Gereja yang menderita selama tiga abad pertama.
Ia mengistilahkan ‘penganiayaan yang dibangkitkan dari neraka yang membabi buta
dan seluruhnya dibanjiri darah orang-orang Kristen’ sebagai pengalaman Gereja
yang berat. Namun demikian, Injil tetap diwartakan ke mana-mana sampai ke ujung
dunia sesuai pesan Tuhan Yesus Kristus. Bukti nyatanya adalah semua benua
mengenal Kristus. Berkaitan dengan ini beliau menulis: “Sungguh pantas
sangat dikagumi bahwa ada begitu banyak kerja keras yang telah dilakukan oleh
para pewarta kita dalam penyebaran iman, banyak semangat yang telah diberikan,
banyak teladan unggul akan keberanian yang tak terkalahkan. Namun, sampai
sekarang masih tak terbilang jumlahnya mereka yang tinggal di dalam kegelapan
dan bayang-bayang maut; menurut perhitungan terakhir jumlah orang yang tidak
beriman mencapai miliaran.” (MI, 6).
Bagi Sri Paus, Maximum Illud mengekspresikan
sikap Gereja yang menaruh simpati atas penderitaan jiwa-jiwa yang tak terhingga
banyaknya. Maka sebagai gembala beliau ingin membagikan rahmat penebusan ilahi bagi
jiwa-jiwa yang menderita ini. Paus Benediktus ke-XV mengalamatkan suratnya ini
kepada kelompok orang berikut ini:
Pertama, para Uskup, Vicaris dan Perfectur Apostolik. Bagi
Sri Paus, rahmat penebusan ilahi disalurkan melalui mereka yang bertugas misi
yakni para Uskup atau Vicaris atau Perfectur Apostolik. Mereka ini dinilai oleh
Sri Paus sebagai orang-orang yang bertanggungjawab secara langsung dalam misi.
Untuk mencapai pewartaan Injil yang efektif maka tanah-tanah misi perlu
dibentuk dalam teritori-teritori seperti stasi-stasi baru dan wilayah-wilayah
Kristianitas baru supaya memudahkan pelayanan dan pewartaan Injil. Di samping
para Uskup, Vicaris dan Perfectur Apostolik, sangatlah penting diupayakan pembentukan
para imam pribumi yang mengetahui secara tepat situasi di tanah misi karena
mereka lahir dan besar dari tanah tersebut. Pembinaan imam-imam pribumi
haruslah bersifat integral, dilatih dan dididik secara memadai.
Kedua, Para misionaris. Paus menulis surat Apostolik
ini kepada para misionaris. Para misionaris pria dan wanita memiliki tugas mulia
untuk menyebarkan kebenaran Kristiani dan keselamatan banyak jiwa. Tugas
bermisi bagi sang misionaris adalah tugas ilahi bukan tugas biasa-biasa saja.
Tugas ilahi karena misionaris membawa terang kepada mereka yang masih berada
dalam kegelapan. Tugas pelayanan missioner nyata dalam hal rohani, karya tanpa
pamrih, pendidikan, kecakapan di segala bidang pembelajaran, pengetahuan bahasa,
perlunya kekudusan, dan teladan misionaris. Paus juga mengapresiasi karya para
suster misionaris.
Ketiga, kepada seluruh umat Katolik. Paus menawarkan
tiga cara kepada umat katolik untuk membantu pengembangan misi di tanah-tanah
misi yakni dengan doa, menumbuhkembangkan panggilan dan bantuan ekonomis. Umat
katolik memiliki peran yang sangat strategis dalam mengembangkan misi melalui
ketiga sarana ini. Kiranya sampai saat ini ketiga sarana yang ada masih tetap aktual.
Tanpa ada umat Katolik, misi Gereja juga tidak dapat terlaksana dengan baik.
Surat Apostolik Maximum Illud ini ditutup
dengan sebuah ajakan untuk ber-duc in altum atau bertolak ke tempat yang
lebih dalam (Luk 5:4). Harapan sri Paus adalah misi-misi dapat hidup kembali
dan memiliki masa depan setelah dipulihkan akibat perang dunia pertama ini. Dia
juga mempercayakan misi ke dalam tangan Bunda Maria: “Semoga Bunda Agung Allah,
Ratu Para Rasul, mendengarkan doa yang kita satukan, dan melimpahkan rahmat Roh
Kudus kepada para pewarta Injil.” (MI, 42).
Bulan Misi Esktraordinario
Untuk memperingati seabad Maximum Illud, Paus
Fransiskus menulis surat untuk seluruh Gereja yang dialamatkan kepada Kardinal
Filoni selaku Perfek Kongregasi untuk Pewartaan Injil bagi Para Bangsa pada
tanggal 22 Oktober 2017 yang lalu. Dalam suratnya ini Paus Fransiskus
mendeskripsikan sekaligus menjelaskan secara kontekstual Surat Apostolik
Maximum Illud untuk masa kini. Gereja memang mengalami tantangan besar
sepanjang sejarah seperti perang dunia pertama, namun semangat missioner tetaplah
menjadi sebuah prioritas penting. Semangat missioner harus ditegakan kembali,
Injil harus diwartakan sampai ke ujung dunia. Semua yang dituliskan oleh Paus Benediktus
ke-XV, direfleksikan secara mendalam di dalam Konsili Vatikan ke-II lebih dari
40 tahun silam. Para Paus seperti Paus Paulus ke-VI menulis Evangelii Nuntiandi
pada tanggal 8 Desember 1975. Paus Yohanes
Paulus ke-II dengan Gerakan Evangelisasi Baru berusaha untuk mengkokretkan
semangat Misi dan Evangelisasi di dalam dunia modern.
Paus Fransiskus sendiri mengakui dalam suratnya
ini: “Dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, dengan mengambil dari
hasil-hasil Sidang Umum Biasa ke XIII dari Sinode Para Uskup, yang dipanggil
untuk merefleksikan evangelisasi baru untuk penerusan iman Kristen, saya ingin
menyampaikan kembali kepada seluruh Gereja panggilan yang mendesak ini: «Yohanes
Paulus II meminta kita untuk mengakui bahwa “tidak boleh ada berkurangnya
do-rongan untuk mewartakan Injil” kepada mereka yang jauh dari Kristus, “karena
inilah tugas pertama Gereja.” Sesungguhnya, “kegiatan misioner masa kini masih
merupakan tantangan terbesar bagi Gereja” dan “tugas misioner harus tetap
menjadi yang utama.” Kita akan menyadari begitu saja bahwa karya misioner
adalah paradigma bagi semua kegiatan Gereja”.
Di samping itu beliau juga menegaskan: “Peringatan
100 tahun Surat ini yang makin dekat hendaknya menjadi daya dorong untuk
mengatasi godaan yang terus berulang, yang bersembunyi di balik setiap
introversi gerejawi, setiap ketertutupan perujukan diri dalam batas-batas aman
dirinya, setiap bentuk pesimisme pastoral, dan setiap nostalgia hampa dari masa
lampau. Justru, ini untuk membuka diri terhadap kebaruan sukacita Injil. Juga
di zaman kita sekarang ini, yang terkoyak oleh tragedi-tragedi perang dan
dilukai oleh kecenderungan menyedihkan untuk menonjolkan perbedaan dan
membangkitkan permusuhan, Kabar Gembira yang dalam diri Yesus pengampunan
menang atas dosa, hidup mengalahkan kema-tian dan cinta menang atas ketakutan,
hendaknya diwartakan kepa-da semua orang dengan semangat yang diperbarui dan
dengan menanamkan kepercayaan diri dan pengharapan.” Semua ini menjadi
dasar untuk menetapkan bulan misi esktraordinario yang barusan kita lewati bersama
ini.
Sebuah Mandat bagi kita semua
Paus Fransiskus dalam pesannya untuk hari
Minggu Misi sedunia menulis seperti ini: “Mandat misionaris ini selalu
menyentuh kita secara pribadi: Saya adalah sebuah misi, selalu; Anda adalah
sebuah misi, selalu; setiap pria dan wanita yang terbaptis adalah sebuah misi.
Orang yang jatuh cinta tidak pernah berdiri diam: mereka ditarik keluar dari
diri mereka sendiri; mereka tertarik dan menarik orang lain pada gilirannya;
mereka memberikan diri mereka kepada orang lain dan membangun hubungan yang
memberi kehidupan. Sejauh menyangkut kasih Allah, tidak ada seorang pun yang
tidak berguna atau tidak berarti. Kita masing-masing adalah misi ke dunia,
karena kita masing-masing adalah buah dari kasih Allah. Bahkan jika orang tua
dapat mengkhianati cinta mereka dengan kebohongan, kebencian dan perselingkuhan,
Tuhan tidak pernah mengambil kembali hadiah hidupnya. Dari kekekalan ia telah
menentukan masing-masing anak-anaknya untuk berbagi dalam kehidupan ilahi dan
kekal (lih. Ef 1: 3-6).”
Kita menerima mandat misionaris ini dan
memulainya dari dalam diri kita, keluarga dan tempat di mana kita berkarya. Kita
perlu sadar diri bahwa dengan sakramen pembaptisan kita semua memiliki satu
panggilan yang sama yaitu menjadi misionaris untuk mewartakan Injil. Mari kita
mewartakan Injil dengan hidup kita yang semakin hari semakin serupa dengan
Yesus Kristus, sang Misionaris sejati.
P. John Laba, SDB
No comments:
Post a Comment