Sunday, November 30, 2025

 Hari Minggu Adven I/A

Yes. 2:1-5

Mzm. 122:1-2,4-5,6-7,8-9

Rm. 13:11-14a

Mat. 24:37-44

 

Harapan untuk bermawas diri

 

Kita semua mengenal istilah mawas diri. Mawas diri merupakan sebuah sikap di mana kita melihat, memeriksa, dan mengoreksi diri sendiri secara jujur untuk memperbaiki kesalahan dan mengembangkan diri menjadi lebih baik dan bahagia. Istilah mawas diri juga disebut sebagai introspeksi atau refleksi diri, di mana seseorang merenungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman pribadinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Mawas diri dan instrospeksi diri adalah sebuah harapan di dalam hidup kita. Tentu  saja hal ini sejalan dengan tema tahun Yubileum yang dimulai pada tanggal 24 Desember 2024 dan akan berakhir pada tanggal 6 Januari 2026 mendatang yakni “Peziarah Pengharapan”. Di sampin g itu kita sedang memasuki pekann pertama Adventus yang dikenal dengan pekan harapang dengan lilin ungu pertama yang dinyalakan bernama lilin nubuat para nabi karena para nabi dalam bernubuat telah memberi harapan akan kedatangan sang Mesias. Dialah Yesus Kristus, Jurus Selamat kita.

 

Pekan Adventus pertama sebagai sebuah pekan pengharapan sebab pengharapan tidak pernah mengecewakan (Rm 5:5). Banyak yang ber-porta sancta ria baik di dalam maun pun di luar negeri. Pertanyaannya adalah masih adakah harapan di dalam dirimu? Pertanyaan ini muncul karena situasi hidup kita yang nyata. Kita se ua tahun bahwa beberapa hari terakhir ini muncul di media sosial ‘Pray for Sumatera’ dan berbagai aksi penggalangan dana. Mata dan pikiran kita tertuju ke Sumatera. Di sana sedang terjadi bencana hidrometeorologi yang menghantam wilayah Sumatera karena diakibatkan oleh cuaca ekstrem yang dipicu oleh adanya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk dari bibit Siklon Tropis 95B. Terdapat hujan deras ekstrem yang dipicu siklon ini menyebabkan banjir bandang di sejumlah wilayah tersebut. Banyak saudara yang kehilangan segalanya, nyawa sesama saudara di dalam keluarga dan juga hara benda yang mereka miliki. Banyak saudari dan saudara kita yang sedang mengalami kehilangan harapan karena pengalaman yang keras ini.

 

Kehilangan harapan memang sangat manusiawi, namun tidak dapat kita hindari. Banyak saudari dan saudara yang tidak pernah memikirkan bahwa dirinya akan mengidap penyakit tertentu yang menelan nyawanya sendiri. Berbagai kasus kekerasan, penipuan dan kehancuran dalam keluarga. Semua fenomena kehidupan yang membuat kita mudah kehilangan harapan. Maka sampai kapan kita tetap bertahan dalam pengalaman kehilangan harapan?

 

Masa Adven yang kita mulai hari ini mengajak kita untuk memiliki harapan, optimisme akan keselamatan dalam Yesus Kristus. Nabi Yesaya dalam bacaan pertama mengisahkan tentang visinya akan masa depan yang penuh damai universal dan tatanan tatanan baru, di mana bangsa-bangsa akan berbondong-bondong ke Yerusalem untuk belajar mengenal Allah. Tatanan dunia baru yang penuh harapan itu ditunjukkan dengan hal praktis seperti senjata perang akan diubah menjadi alat-alat pertanian. Ini adalah pesan harapan dan panggilan untuk hidup sesuai dengan ajaran Allah, menjanjikan bahwa konflik akan berhenti, dan manusia akan belajar dari Allah untuk berjalan di jalan Tuhan. 

 

Santu Paulus dalam bacaan kedua mengingatkan jemaat di Roma dengan pesan yang aktual hingga saat ini. Bagi santu Paulus, kita perlu sadar diri akan hidup dengan urgensi rohani dan integritas karena kedatangan Kristus sudah dekat. Ia mendorong kaum beriman di Roma saat itu untuk “bangun” dari tidur rohani, meninggalkan perilaku dosa (“perbuatan kegelapan”), dan “mengenakan Tuhan Yesus Kristus” dengan hidup dalam kekudusan dan terang. Ini berarti kita berusaha untuk meninggalkan kemaksiatan, keserakahan, dan sebaliknya kita hidup dengan integritas dan kasih.

 

Penginjil Matius dalam bacaan Injil hari Minggu ini bersaksi bahwa ajaran Tuhan Yesus tentang kedatangan-Nya yang kedua akan tiba-tiba seperti pada zaman Nuh dengan air bah yang menakutkan. Atau tuan rumah yang menjaga rumahnya dari ancaman pencuri. Tentu saja semua ini menekankan tentang perlunya berjaga-jaga dan siap sedia karena kedatangan-Nya akan terjadi pada waktu yang tidak terduga. Bagi Tuhan Yesus, dengan membandingkan saat itu dengan zaman Nuh, ketika orang-orang tidak menyadari datangnya air bah dan mereka akan dibawa untuk dihakimi dan yang lain ditinggalkan maka kita selalu siap sedia dan berjaga-jaga. Harapan baru adalah setiap pribadi harus mawas diri, mampu mengintrospeksi diri supaya layak menanti dan berjumpa dengan Yesus.

 

Mawas diri juga mengandaikan pertobatan radikal dalam hidup kita. Kita berani untuk meninggalkan hidup lama menjadi hidup baru yang penuh harapan. Tatanan dunia baru yang dikehendaki Tuhan perlu dan haruslah kita bangun bersama. Pesan Tuhan Yesus: “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari man Tuhanmu datang… Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga” (Mat 24:42. 44). Mari kita mengisi pekan pertama dengan bermawas diri. Jangan memberi kesempatan untuk menghancurkan tatanan dunia yang baru yang penuh harapan akan kebaikan. Selamat memasuki masa Adventus. Santu Andreas, doakanlah kami. Amen.

 

P. John Laba, SDB

Saturday, November 8, 2025

Food For Thought:


Sepatu tua...


Akhir pekan telah tiba. Ada kesempatan untuk beristirahat sejenak sambil mensyukuri perjalanan selama sepekan  yang sudah berlalu. Tentu saja ini bukanlah perjalanan sendirian tetapi sebuah perjalanan bersama Tuhan dan sesama di sekitar kita. Ada pengalaman menyenangkan: syukur kepada Tuhan. Ada pengalaman mengecewakan: syukur kepada Tuhan. Hadapilah selalu dengan senyum. Pengalaman mengecewakan adalah guru kehidupan yang senantiasa mengajarkan transformasi radikal dalam hidup ini. Pengalaman mengecewakan seperti bekas luka, namun mengajar kita untuk berhati-hati.

Perjalanan anda dan saya swlalu penuh harapan. Sepatu atau sandal sebagai alas kaki kita juga berubah setelah menjaga kaki kita seiring dengan perjalanan waktu. Alas kaki bisa miring posisinya, terkikis karena bentuk telapak kaki yang tidak sempurna. Mungkin saja orang kurang menyadari bahwa alas kaki itu lama kelamaan menjadi tidak sempurna dan tidak indah lagi. Itulah perjalanan hidup kita masing-masing. Satu hal yang penting bagi kita adalah tetaplah berusaha untuk bertahan dan siap untuk maju dan maju lagi.


Sekarang perhatikanlah gambar ini. Sepatu ini mulanya begitu bagus dan indah kalau di pakai namun akhirnya menjadi seperti ini. Namun masih ada kebahagiaan. 


Inilah kutipan perkataan pada gambar ini:  


“Jalan yang telah kutempuh memang tidaklah mudah, namu aku masih berada di sini. Satu-satunya alasan mengapa aku masih berada di sini hari ini adalah karena Tuhan selalu berjalan bersamaku dalam setiap langkah bersama-Nya. Amin!”


Salam dan berkat Tuhan dan teruslah berjalan!


P. John Laba, SDB

Friday, November 7, 2025

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXXI/C

Rm. 15:14-21

Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4

Luk. 16:1-8

 

Pelayan bukan sekedar Pelayanan

 


Adalah St. Theresia dari Kalkuta. Orang kudus modern ini pernah berkata: “Buah keheningan adalah doa. Buah doa adalah iman. Buah iman adalah cinta. Buah cinta adalah pelayanan. Buah pelayanan adalah damai." Mari kita coba untuk fokus saja pada perkataan ‘pelayanan’. Dikatakan bahwa buah doa adalah pelayanan dan buah pelayanan adalah damai. Pertanyaannya adalah apakah kita tahu berdoa? Atau mengikuti perkataan santu Yakobus dalam yang menulis di dalam suratnya: “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu" (Yak 4:3). Ketika kita berdoa dan seakan memaksa Tuhan maka tidak akan ada cinta yang membuahkan pelayanan. Dengan demikian tidak akan menghasilkan kedamaian dalam hati. Mungkin juga sambil berdoa kita mengumpat sesama yang lain dan kita menjadi sombong secara rohani. Akibatnya kita tidak memiliki kedamaian di dalam hati.

 

Pada hari Jumat pertama ini, santu Paulus mengingatkan kita untuk sadar diri, bahwa bukan hanya kita dapat menepuk dada dan bersembunyi di belakang kata ‘pelayanan’ saja tetapi kita sendiri tidak menjadi pelayan sejati. Santu Paulus berkata: “Aku boleh menjadi pelayan Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi dalam pelayanan pemberitaan Injil Allah, supaya bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, yang disucikan oleh Roh Kudus. Jadi dalam Kristus aku boleh bermegah tentang pelayananku bagi Allah”. (Rm 15:16-17).

 

Santu Paulus dalam perikop kita di bacaan pertama ini menegaskan bahwa ia mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa non-Yahudi dan dorongannya bagi orang Kristen untuk saling mendukung dalam pelayanan ini. Ia mengungkapkan keyakinannya akan kemampuan orang-orang beriman di Roma untuk saling mengajar dan menjelaskan panggilannya untuk memberitakan Injil kepada mereka yang belum pernah mendengarnya sebelumnya, dengan tujuan menyebarkan berita sukacita ke seluruh dunia. Ia ingin menjadi pelayan bagi bangsa non-Yahudi, memperkenalkan mereka kepada Allah. Santu Paulus menjadi pelayan bukan hanya sekedar melakukan pelayanan. 

 

Di dalam Gereja ada begitu banyak kelompok kategorial. Ini menandakan bahwa Gereja sungguh hidup. Ada orang yang mengatasnamakan ‘pelayanan’ dan selalu hadir di Gereja sampai lupa memperhatikan keluarganya sendiri. Ada anak-anak yang terlibat narkoba karena kurang perhatian dari orang tua yang aktif dalam pelayanan. Ada juga yang pernah aktif dalam pelayanan namun kini memilih untuk menjadi pasig seribu persen karena luka bathin atau tidak sempat mendapat jempol dari gembala atau koordinatornya. Hal ini menunjukkan bahwa orang hanya berbicara tentang pelayanan tetapi pribadinya bukan sosok seorang pelayan. Tuhan Yesus tidak pernah berkata tentang pelayanan tetapi Dia menunjukkan diri-Nya sebagai seorang pelayan. Ia sendiri dengann tegas berkata: “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Mat 20:28). 

 

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil hari ini mengingatkan kita semua untuk menjadi bijak dan cerdik menuju keselamatan abadi. Kita diharapkan menggunakan berbagai sumber daya duniawi dengan hikmat dan cerdik untuk tujuan rohani yang kekal. Ia menggunakan perumpamaan tentang seorang bendahara yang tidak jujur ​​yang dengan cerdik mengurangi utang demi mendapatkan perkenanan untuk masa depannya. Perumpamaan ini diajarkan Tuhan Yesus kepada kita bahwa kita harus sama-sama berhati-hati dalam menggunakan sumber daya yang diberikan Allah kepada kita berupa uang, waktu dan talenta untuk membangun hubungan di dalam kerajaan Allah, yang akan menghasilkan kebahagiaan kekal. 

 

Dalam menjalani hidup sebagai pelayan, kita sadar diri untuk menggunakan kekayaan dengan tujuan kekekalan. Artinya bahwa “kekayaan yang tidak diperoleh dengan benar" di dunia ini seharusnya digunakan untuk "memperoleh teman" di surga dengan bersikap murah hati dan melayani orang lain, sehingga ketika kita meninggal, kita akan disambut di tempat tinggal yang kekal. Ini adalah sebuah kebijaksanaan yang sederhana sebagai pelayan.

 

Saya menutuup homily hari ini dengan mnegutip perkataan dari Marti Luther King, sang pejuang hak asasi manusia di Amerika tempo doeloe: “Tidak semua orang bisa menjadi terkenal namun semua orang bisa menjadi hebat, karena kehebatan ditentukan oleh pelayanan”. Orang hebat karena menjadi pelayan bukan sekedar pelayanan.

 

P. John Laba, SDB

Thursday, November 6, 2025

 Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXXI/C

Rm. 14:7-12

Mzm. 27:1,4,13-14

Luk. 15:1-10

 

Selamanya bersama Yesus

 


Adalah Yohanes Cagliero. Beliau adalah salah seorang pemuda yang dipilih oleh Don Bosco untuk menjadi Salesian pertama, Misionaris pertama, Uskup dan Kardinal Salesian yang pertama. Boleh dikatakan bahwa beliau memang istimewa dan menjadi salah satu nama terdepat di dalam Sejarah Serikat Salesian Don Bosco (SDB). Kata-kata Yohanes Cagliero hadapan Don Bosco sendiri di Valdocco masih bergema, ketika Don Bosco mengusulkan kepadanya untuk tinggal bersamanya dan mendirikan sebuah kongregasi yang kita kenal saat ini yakni Serikat Santu Fransiskus dari Sales atau Serikat Salesian Don Bosco (SDB). Cagliero, sempat merenung sambil berjalan bolak-balik tanpa tahu harus berkata apa kepada Dn Bosco untuk menjawabi ajakannya ini. Setelah memikirkannya dengan matang, Cagliero mengucapkan sebuah kalimat istimewa ini: ‘Biarawan atau bukan Biarawan, saya akan tetap tingal bersama Don Bosco’. Kami para Salesian tetap mengingat perkataannya ini dan memotivasi diri kami untuk tetapi tinggal dan setia sebagai seorang Salesian sampai saat ini.

 

Perkataan Don Cagliero ini membuka wawasan saya hari ini untuk merenung tentang tinggal selamanya bersama Tuhan. Saya tertarik dengan pengalaman iman santu Paulus ketika menulis kepada jemaat di Roma. Ia mengingatkan kita untuk menjadi pribadi yang setia selamanya bersama Tuhan. Menurut santu Paulus: “Tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan” (Rm 14:7-8). Perkataan santu Paulus ini tentu sangat membuat kita semakin berusaha supaya menjadi pengikut Kristus yang setia dan tulus. Dia menulis surat kepada jemaat di Roma, bukan pada saat dia sedang bersenang-senang tetapi pada saat dia sedang menderita sebagai tahanan karena iman dan kasihnya kepada Kristus.

 

Perkataan Santu Paulus ini bukanlah merupakan kata-kata kosong atau sekedar ‘omon-omon’ saja. Perkataannya ini adalah cerminan dari kehidupan Kristus sendiri. Tuhan Yesus Kristus juga rela menderita, wafat dan bangkit demi keselamatan manusia. Sebab itu layaklah Dia menjadi Tuhan atas segalanya, baik bagi orang hidup maupun orang mati. Dialah yang memiliki kuasa bagi anda dan saya yang masih berziarah di dunia ini, dan tentu saja bagi sanak keluarga yang sudah beralih dari dunia ini.

 

Menjadi pertanyaan bagi kita adalah, apa yang harus kita lakukan untuk tinggal selamanya bersama Tuhan?

 

Bacan Injil pada hari ini (Lukas 15:1-10), sangat menginspirasi kita. Penginjil Lukas melihat sosok Tuhan Yesus yang secara aktif dan dengan penuh sukacita mencari mereka yang hilang, dan merayakan kembalinya mereka dengan sukacita yang besar. Perumpamaan tentang domba yang hilang dan dirham yang hilang menggambarkan hal ini dengan menunjukkan bagaimana pemiliknya terus-menerus mencari hingga mereka ditemukan, dan kemudian merayakannya dengan sukacita yang besar. Tuhan mau mengedukasi kita untuk menjadi gembala yang baik yang setia dan tulus bertobat, lalu keluar dari di kita sendiri untuk mencari, menemukan dan ikut menyelamatkan atau membawa sukacita bagi sesama kita masa kini.

 

Ada beberapa poin penting dalam perikop Injil pada hari ini untuk kita renungkan bersama:

 

Pertama, Belas kasih Allah terhadap mereka yang hilang. Kedua perumpamaan dari Tuhan ini menunjukkan betapa belas kasih Allah yang mendalam terhadap setiap pribadi, terutama mereka yang dianggap sebagai orang terpinggirkan atau kaum pendosa oleh para pemimpin agama pada masa itu.

 

Kedua, tekun dan setia mencari sampai menemukan mereka yang hilang. Sama seperti seorang gembala yang meninggalkan sembilan puluh sembilan domba untuk mencari satu domba yang hilang dan seorang wanita menyalakan pelita untuk menyapu rumahnya demi mencari satu dirham yang hilang, Tuhan Allah sendiri tidak akan berhenti mencari hingga menemukan mereka yang hilang. Tuhan tidak pernah mengeluh lelah, tetapi Dia menghendaki supaya kita selamanya bersama Dia.

 

Ketiga, sebuah kebahagiaan di surga. Kebahagiaan yang intens saat domba dan dirham yang hilang ditemukan kembali mencerminkan kebahagiaan di surga atas seorang pendosa yang bertobat dan kembali kepada Allah.

 

Keempat, panggilan bagi kita untuk bertindak. Kedua perumpamaan ini menantang para pemimpin agama (dan kita yang mendengar Sabda Tuhan saat ini) untuk ikut merasakan kebahagiaan Allah dan secara aktif mencari serta menyambut mereka yang hilang. Kita tidak punya kuasa untuk mengucilkan sesama kita. Biarkanlah mereka juga tinggal selamanya bersama Tuhan karena kita bukanlah orang yang sempurna. Hanya Tuhan saja yang sempurna yang membuka pintu-Nya yang sempit supaya kita masuk dan tinggal bersama-Nya.

 

P. John Laba, SDB

Wednesday, November 5, 2025

 Mengasihi bukan sekedar mengasihani

Pada hari ini saya kembali membaca beberapa catatan di salah satu file  saya beberapa tahun yang lalu. Saya menemukan sebuah perkataan bijak dari Nelson Mandela yang bunyinya: “Tak ada orang yang terlahir untuk membenci sesamanya karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya. Namun demikian orang harus belajar untuk membenci. Jika orang itu bisa belajar untukj membenci maka ia bisa diajarkan untuk mengasihi karena kasih itu lebih alamiah dalam  hati manusia ketimbang parasaan membenci sesamanya”. Perkataan pejuang nasional dari Afrika Selatan tempo doeloe ini masih aktual saat ini. Prinsip yang penting adalah manusia, anda dan saya harus menjadi sesama bagi manusia lainnya karena kita bersifat sosal (homo homini socius) bukan sebaliknya menjadi manusia serigala bagi sesama manusia lainnya (homo homini lupus).

Belakangan ini kita semua mendengar kasus penganiayaan hingga tewasnya prada Lucky. Kompas id bahkan memberitakan lagi “Setelah prada Lucky tewas, kini ayahnya diduga melanggar disiplin". Memang setiap lembaga memiliki aturan mainnya namun kita tidak dapat menjadi orang Farisi modern yang legalis dan melupakan nilai hak asasi manusia. Ketaatan kepada pimpinan adalah harga mati namun nilai kemanusiaan juga harga mati. Seorang prajurit misalnya di gembleng untuk bermental prajurit itu baik adanya namun menganiaya, membuly hingga menewaskan seorang sesama manusia itu benar-benar homo homini lupus. Reaksi orang tua Lucky yang masih prajurit aktif ini memang sangat wajar karena anak lahir dari darah dan rahim orang tuanya. Ada perkataan: ‘If you were in my shoes’ atau  ‘Jika anda berada di posisi saya, apa yang akan anda lakukan?’ Apakah sebagai orang tua hanya bisa taat buta pada aturan main institusi tanpa membuka mulut. Saya kira dan pastikan bahwa tidak. Kita semua memiliki ahti nurani untuk mengasihi bukan untuk mengasihani.

Kasus kematian Prada Lucky harusnya membuka mata hati setiap pribadi untuk sungguh-sungguh menjadi manusia bagi manusia yang lain. Kita mengetengahkan nilai-nilai hak asasi manusianya dan tidak hanya sebatas menjadi orang Farisi yang legaslis masa kini. Sungguh aneh ketika melakukan tindakan kekerasan berjamaah seperti itu dan tidak ada perasaan kemanusiaan. Kalau lebih sempit lagi, nama-nama mereka yang diadili karena tindakan kekerasan sampai menghilangkan nyawa Prada Lucky umumnya bernama nasrani yang dikenal dengan agama kasih bukan agama kasihan. Miris! Plato, sang Filsuf Yunani pernah berkata: “Berbaik hatilah kepada sesama yang kita temukan sedang menghadapi perjuangan  yang lebih berat”. Kita tidak harus tertawa di atas penderitaam sesama yang lain. 

Saya teringat pada pesan santu Paulus ketika menulis surat kepada jemaat di Roma: “Jangan berhutang  sesuatu kepada  siapa pun, tetapi hendakah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesama manusia, ia sungguh memenuhi hukum Taurat. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Rm 13:8-9). Sesama manusia, siapapun dia tetapi karena ‘sama’ sebagai manusia maka layaklah untuk dikasihi bukan dikasihani. Dikasihi berarti pribadi itu mengalami cinta kasih, penghargaan dan kepeduliaan yang tulus. Dikasihani itu berarti sebuah situasi atau pengalaman kesedihan, simpati atau perasaan belas kasih kepada pribadi tertentu. Pengalaman dikasihi tentu mendorong setiap pribadi untuk memiliki harga diri. Pengalaman dikasihani itu berkaitan dengan perasaan rendah diri. Orang merasa begitu rapuh sehingga perlu kasihani. Pengalaman dikasihi dan dikasihani itu selalu ada bersama kita. Tentu saja kita semua juga diingatkan untuk mempu mengasihi bukan sekedar mengasihani melalui zoom tetapi sunggu membutuhkan tindakan yang nyata. 

Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip perkataan W.S. Rendra: “Kita tersenyum bukanlah karena sedang bersandiwara. Bukan juga karena senyuman adalah suatu kedok semata. Tetapi karena senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia, sesama, nasib dan kehidupan”. Mari kita saling mengasihi dan bukan hanya sekedar mengasihani saja.   

 

P. John Laba, SDB 

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXXI/C

Rm. 13:8-10

Mzm. 112:1-2,4-5,9

Luk. 14:25-33

 

Lectio:

 

Pada suatu ketika orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku. Demikianlah Sabda Tuhan. Terpujilah Kristus.

 

Renungan:

 

Komitmen Untuk Semakin Mengasihi

 

Penginjil Lukas mengisahkan bahwa Tuhan Yesus meninggalkan Galilea untuk menuju ke Yerusalem kota damai dan Ia tidak kembali lagi ke Galilea saat awal Ia menghadirkan Kerajaan Allah. Di Yerusalemlah Ia menyelesaikan sampai tuntas perutusan yang diberikan Bapa kepada-Nya dengan menderita, wafat, bangkit dan naik ke Surga dengan mulia untuk menyelamatkan umat manusia. Penginjil Lukas bersaksi: “Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke Surga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem” (Luk 9:51). Dia memulai perjalanan dan dalam perjalanan-Nya itu, Ia juga mengetahui bahwa Ia akan mengalami Paskah di Yerusalem. Sebelumnya, Ia juga mengalami penolakan dalam perjalanan-Nya di desa-desa di Samaria, namun Ia tetap berjalan, maju dengan sebuah komitmen kasih kepada Bapa dan demi menyelamatkan manusia. Hal ini juga yang memotivasi banyak orang untuk sadar atau tidak sadar berduyun-duyun mengikuti-Nya dari dekat (Luk 14:25).

 

Berjalan berduyun-duyun mengikuti jejak Kristus memang indah. Ada daya tarik tersendiri yakni mengalami mukjizat-mukjizat dan mendengar perkataan Yesus yang penuh kuasa dan wibawa. Namun demikian Tuhan Yesus memiliki cara untuk mengedukasi orang kebanyakan atau pada saat ini kita sebut sebagai masyarakat massa untuk menyadari perjalanan mengikuti Yesus itu. Ada dua hal penting yang Yesus tekankan dalam proses mengedukasi mereka yang berduyun-duyun mengikuti-Nya dari dekat ini: Pertama, setiap pengikuti Kristus yakni anda dan saya harus memiliki skala prioritas dalam mengasihi Tuhan dan sesama. Hal pertama adalah menyangkut hukum kasih yakni mengasihi Tuhan lebih dari segalanya, penuh dengan totalitas dan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Tuhan Yesus menggunakan kata ‘membenci’. Kalau kita tidak membenci bapa, ibu, isteri, anak-anak dan nyawa sendiri maka kita tidak dapat menjadi murid Yesus. Tuhan tidak mengajar kita untuk membenci mereka yang ada bersama kita tetapi prioritas pertama adalah mengasihi Tuhan yang menciptakan dan menyelamatkan kita dan kedua mengasihi sesama yang ada bersama kita. Untuk dapat menggenapinya perlu sikap bathin yakni siap untuk memanggul salib dan selalu memandang dan mengikuti Yesus. Memanggul salib artinya kita selalu siap untuk menerima dan menanggung kesulitan hidup untuk membahagiakan sesama.

 

Kedua, Tuhan Yesus mengingatkan kita bahwa untuk mengasihi-Nya secara mutlak, kita perlu memiliki strategi dan perencanaan yang matang seperti seorang yang hendak membangun menara atau seorang raja yang hendak berperang. Planning mentality untuk memperoleh keselamatan dalam mengikuti Yesus benar-benar membutuhkan komiten dan tanggung jawab pribadi yang matang. Hanya dengan kemampuan diri untuk melepaskan segala sesuatu yang menghalangi kita untuk berkomitmen dalam kasih kepada Tuhan maka kita pun hanya bisa berduyun-duyun mengikuti Yesus tetapi tidak mengerti apa yang sedang kita lakukan itu. Apakah kita memang hanya mau berduyun-duyun saja? Ingatlah perkataan Tuhan Yesus ini: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." (Mat 5:11-12). Silakan menjawabnya sendiri dengan jujur di hadapan Tuhan.

 

Doa: Tuhan, kami juga sedang berduyun-duyun mengikuti Engkau namun banyak kali kami tidak memiliki komitmen kasih karena masih mementingkan diri kami sendiri. Ampunilah kami ya Tuhan. Amen.

 

P. John Laba, SDB

Thursday, October 30, 2025

Lima Belas Kutipan Tentang Rosario Suci

1.  Santo padre Pio: “Rosario adalah ‘senjata’ mutakhir masa kini.”

2. Beato Paus Pius IX: “Berilah aku sebuah pasukan yang mendoakan doa Rosario, dan aku akan menaklukkan dunia.”

3. Santo Fransiskus de Sales: “Metode doa yang paling besar adalah mengucapkan Rosario.” 

4. Santo Padre Pio: “Ada orang-orang yang begitu bodoh sehingga mereka berpikir bisa menjalani hidup tanpa bantuan Bunda Maria yang Terberkati. Cintailah Bunda Maria dan berdoalah Rosario, karena Rosario-nya adalah senjata melawan kejahatan dunia saat ini. Semua rahmat yang diberikan oleh Allah melewati Bunda Maria yang Terberkati.” 

5. St. Padre Pio: “Datanglah kepada Bunda Maria. Cintailah Dia! Selalu berdoalah Rosario. Berdoalah dengan baik. Ucapkanlah Rosario sesering mungkin! Jadilah jiwa-jiwa yang berdoa. Jangan pernah lelah berdoa, itulah yang esensial. Doa menggoyahkan Hati Allah, ia memperoleh rahmat-rahmat yang diperlukan!”

6. St. Josemaria Escriva: “Rosario suci adalah senjata yang ampuh. Gunakanlah dengan percaya diri dan kamu akan terkejut dengan hasilnya.”

7. St. Josemaria Escriva: “Ucapkan Rosario Suci. Berkatilah monotonnya Salam Maria yang membersihkan monotonnya dosa-dosamu!”

8. St. Josemaria Escriva: “Bagi mereka yang menggunakan kecerdasan dan studi mereka sebagai senjata, Rosario adalah yang paling efektif. Karena cara yang tampaknya monoton dalam memohon kepada Bunda Maria seperti anak-anak memohon kepada ibunya, dapat menghancurkan setiap benih kesombongan dan kebanggaan.” 

9. St. Josemaria Escriva: “Kamu selalu menunda Rosario untuk nanti, dan akhirnya tidak mengucapkannya sama sekali karena kamu mengantuk. Jika tidak ada waktu lain, ucapkanlah di jalan tanpa membiarkan orang lain menyadarinya. Hal itu juga akan membantu kamu untuk merasakan kehadiran Allah.” 

10. Paus Pius XI: “Rosario adalah senjata yang ampuh untuk mengusir setan dan menjaga diri dari dosa… Jika kamu menginginkan damai di hati, di rumah, dan di negaramu, berkumpullah setiap malam untuk mengucapkan Rosario. Jangan biarkan satu hari pun berlalu tanpa mengucapkannya, meskipun kamu terbebani dengan banyak kekhawatiran dan pekerjaan.” 

11. Uskup Agung Fulton Sheen: “Rosario adalah kitab bagi orang buta, di mana jiwa-jiwa melihat dan menyaksikan drama cinta terbesar yang pernah dikenal dunia; ia adalah kitab bagi orang sederhana, yang memperkenalkan mereka pada misteri dan pengetahuan yang lebih memuaskan daripada pendidikan orang lain; ia adalah kitab bagi orang tua, yang mata mereka tertutup pada bayangan dunia ini dan terbuka pada substansi dunia berikutnya. Kekuatan Rosario melampaui deskripsi.” 

12. Paus Leo XIII: “Rosario adalah bentuk doa yang paling unggul dan sarana yang paling efektif untuk mencapai kehidupan abadi. Ia adalah obat untuk semua kejahatan kita, akar dari semua berkat kita. Tidak ada cara berdoa yang lebih unggul.” 

13. Uskup Hugh Doyle: “Tidak ada yang dapat hidup terus-menerus dalam dosa dan terus mengucapkan Rosario: mereka akan berhenti berdosa atau berhenti mengucapkan Rosario”.

14. Suster Lucia dos Santos dari Fatima: “Bunda Maria yang Mahakudus pada zaman akhir ini telah memberikan keampuhan baru pada pengucapan Rosario sedemikian rupa sehingga tidak ada masalah, sekecil apa pun, baik temporal maupun terutama spiritual, dalam kehidupan pribadi masing-masing dari kita, dalam keluarga kita… yang tidak dapat diselesaikan oleh Rosario. Tidak ada masalah, saya katakan, seberapa pun sulitnya, yang tidak dapat kita selesaikan dengan doa Rosario Suci.”

15. Dom Columba Marmion, Kristus, Teladan Imam: “Ini adalah contoh untuk membantu Anda memahami keampuhan Rosario. Anda ingat kisah Daud yang mengalahkan Goliath. Langkah apa yang diambil pemuda Israel itu untuk mengalahkan raksasa? Dia memukulnya di tengah dahi dengan batu dari slingnya. Jika kita menganggap orang Filistin mewakili kejahatan dan segala kekuatannya: bid’ah, kekotoran, kesombongan, kita dapat menganggap batu-batu kecil dari sling yang mampu mengalahkan musuh sebagai simbol Aves Rosario.

“Cara-cara Allah sepenuhnya berbeda dari cara-cara kita. Bagi kita, sepertinya perlu menggunakan cara-cara yang kuat untuk menghasilkan efek yang besar. Ini bukan cara Allah; justru sebaliknya. Ia suka memilih alat-alat yang paling lemah agar Ia dapat mengalahkan yang kuat: ‘Allah memilih yang lemah di dunia untuk mempermalukan yang kuat — Infirma mundi elegit ut confundat fortia’ (1 Korintus 1:27).

“Bukankah kalian sering bertemu dengan wanita tua miskin yang paling setia dalam pengucapan Rosario yang saleh? Kalian juga harus melakukan segala upaya untuk mengucapkannya dengan penuh semangat. Berlututlah di kaki Yesus: hal yang baik adalah menjadikan diri kita kecil di hadapan Allah yang begitu besar.”

 

***