Kasih tidak menyimpan kesalahan
orang lain
Beberapa hari yang lalu saya
diundang untuk merayakan Hari Ulang Tahun pernikahan ke-24 sahabat-sahabat yang untuk sementara
waktu berada di Australia akibat covid-19. Dalam perayaan Ekaristi melalui zoom
itu saya mengingatkan mereka akan sebuah kesaksian dari pasangan oma dan opa
yang merayakan Hari Ulang Tahun Pernikahan mereka ke-50. Oma dan opa yang
meraih emas itu mengatakan bahwa sejak awal mereka sudah berjanji supaya dalam
peziarahan bersama sebagai pasutri, mereka berusaha bersama untuk saling memaafkan
satu sama lain, berani melupakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan
masing-masing dan selalu melihat hal-hal terbaik dalam diri pasangannya. Mereka
mengakui bahwa ini adalah sebuah perjuangan dan pengurbanan sepanjang hidup
mereka. Saya menggunakan contoh pengalaman opa dan oma ini untuk meneguhkan
keluarga yang merayakan hari bahagia mereka bersama ketiga anak mereka.
Kasih itu indah ketika diamini
dan dialami. St. Paulus memberikan sebuah himne yang indah tentang kasih. Kita
membaca dalam suratnya kepada jemaat di Korintus: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia
tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan
yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah
dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena
ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya
segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Kasih tidak berkesudahan.” (1Kor 13:4-8). Semua kata yang menghiasi himne
tentang kasih ini sangat indah membuat kita semakin mengamini dan mau tetap
mengalaminya. Kasih itu bukan perkataan tetapi pengalaman nyata sebab kasih
adalah Allah sendiri. Kita sendiri hidup karena kasih.
Saya tertarik dengan perkataan Paulus
ini: “Kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain”. Orang benar-benar saling
mengasihi kalau ia berani melupakan kesalahan orang lain yang berada di
sekitarnya. Dia tidak menyimpan kesalahan orang lain. Selagi ia menyimpan
kesalahan orang lain maka ia akan tetap mengingat dan mengingat kesalahan itu.
Akibatnya adalah muncul rasa benci, dendam dan pikiran jahat lain yang
berlawanan dengan kasih. Hati orang itu pun tidak ada damai karena kesalahan
orang tetap membayangi pikiran dan kehidupannya.
Mari kita belajar untuk memiliki
rasa malu. Kita merasa malu karena kita adalah pengikut Kristus tetapi hidup
kita ternyata jauh dari Kristus sendiri. Hidup kita ternyata tidak sinkron
dengan perkataan Tuhan Yesus sendiri. Hidup kita tidak jauh berbeda dengan apa
yang Tuhan Yesus umpamakan dalam Injil: “Dengan apakah akan Kuumpamakan
orang-orang dari angkatan ini dan dengan apakah mereka itu sama? Mereka itu
seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan yang saling menyerukan: Kami meniup
seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi
kamu tidak menangis.” (Luk 7:31-32). Anak-anak itu tidak saling mendengar musik
kehidupan mereka. Mereka tidak membuka hati untuk mendengar dan mengalami
Yesus, sang kasih Bapa dalam hidup
mereka. Maka kita belajar untuk malu karena sebagai pengikut Kristus ternyata
kualitasnya begitu saja.
Kita bersyukur kepada Tuhan sebab
Ia mengingatkan kita akan kasih yang tak berkesudahan. Ia mengingatkan kita
akan jati diri-Nya sendiri. Kasih adalah segalanya. Prinsip kita adalah ‘super
omnia caritas’ (di atas segalanya adalah kasih). Hanya dengan demikian kita
sungguh berada di dalam Tuhan dan Tuhan berada di dalam kita.
PJ-SDB
No comments:
Post a Comment