+ Pukul 11.00 RUANG CLEMENTINA: Bapa Suci Benediktus akan bertemu dan menyalami semua kardinal yang sedang hadir di Roma secara pribadi. Ini akan disiarkan secara langsung di CTV jam 11.00-12.15 waktu Italia. (CTV bukan TV Indonesia ya).
+ Pukul 17.00: Bapa Suci akan meninggalkan Vatikan menuju Castel Gandolfo dengan menggunakan Helikopter. Disiarkan secara langsung di CTV, jam 16.30 – 18.30.
|
+ Di Castel Gandolfo. Pastor paroki, “Santo Tommaso da Villanova”, Romo Pietro Diletti, mengundang umat beriman di paroki itu untuk berkumpul bersama dan berdoa. Ini diperkirakan pada pukul 16.00. Pada pukul 17.00 diadakan doa Rosario bersama dan beberapa permenungan akan diberikan oleh Paus Benediktus XVI. Kedatangan Bapa Suci akan disambut meriah oleh umat yang ada.
|
+ Pada pukul 20.00 Paus Benediktus XVI hari ini mengakhiri masa kepausannya, Beliau adalah Paus ke 265 pengganti Petrus. Ia memulai pelayanannya dari 19 April 2005, hari pemilihannya, Benediktus XVI memimpin Gereja Katolik selama 7 tahun, 10 bulan dan 9 hari. Untuk selanjutnya beliau akan disapa Paus Emeritus. Dia akan tetap menggunakan busana paus Emeritus, hanya lebih sederhana. Cincinnya juga akan diganti dengan cincin yang lain. Angka-angkanya kepemimpinan Paus Benediktus bagus: 7,10,9!
|
Blog ini berisikan buah permenungan filsafat, teologi dan psikologi. Sebagai seorang imam, blog ini juga berisi renungan harian berdasarkan bacaan harian Liturgi Gereja Katolik. Semoga bermanfaat bagi siapa yang sempat membacanya.
Thursday, February 28, 2013
Acara Sri Paus Benediktus XVI 28 Februari 2013
Paus tinggal sementara di Castel Gandolfo. Akhir masa kepausan Benediktus XVI
Pidato Paus Benediktus XVI 27 Februari 2013 (Versi Indonesia)
“Saya mencintai Gereja dan tidak meninggalkan Salib!”
Saudara-saudara di Keuskupan dan Imamat!
Para pemangku otoritas yang terhormat!
Saudara-saudari terkasih!
Terima kasih karena telah datang dalam jumlah yang besar pada audiensi umum terakhir dari masa kepausan saya.
Seperti yang telah kita dengar dalam teks biblis Rasul Paulus, saya merasa didalam hati saya untuk mengucap syukur secara khusus kepada Allah yang membimbing dan membangun Gereja, yang menabur Sabda-Nya dan karenanya memelihara iman umat-Nya. Pada saat ini, hati saya membesar untuk merangkul seluruh Gereja diseluruh dunia, dan saya mengucap syukur kepada Allah untuk “kabar”, yang dalam tahun-tahun masa kepausan saya, yang dapat saya terima tentang iman dalam Tuhan Yesus Kristus, dan kasih yang beredar dalam tubuh Gereja dan yang hidup dalam kasih, dan harapan yang membuka dan mengarahkan kita kepada kepenuhan hidup, kepada tanah surgawi.
Saya merasa bahwa saya membawa semua orang dalam doa, dalam kehadiran Allah, dimana saya mengingat setiap pertemuan, perjalanan, bahkan kunjungan pastoral. Saya mengumpulkan semua hal dan semua orang dalam rekoleksi penuh doa, untuk mempercayakan mereka kepada Tuhan, karena kita memiliki pengetahuan penuh akan kehendak-Nya dan dalam semua pemahaman rohani dan kebijaksanaan, dan agar kita dapat berperilaku dalam cara yang pantas akan Ia dan kasih-Nya yang menghasilkan buah dalam setiap perbuatan baik (Kol 10:9-10)
Pada saat ini, ada keyakinan besar dalam diri saya kepada Allah, karena saya mengetahui, semua diantara kita tahu, bahwa sabda kebenaran Injil adalah kekuatan Gereja, ia adalah kehidupannya. Injil memurnikan dan memperbaharui, menghasilkan buah, dimanapun komunitas umat beriman mendengar dan menerima rahmat Allah dalam kebenaran dan hidup dalam kasih. Inilah keyakinan dan sukacita saya.
Ketika pada 19 April, hampir delapan tahun lalu, saya setuju untuk mengambil pelayanan Petrus, saya selalu memiliki kepastian yang selalu menemani saya. Waktu itu, saya telah menyatakan beberapa kali, perkataan yang selalu berbicara dihati saya : Tuhan, apa yang Engkau minta dariku? Beban yang Engkau tempatkan di bahuku sangat besar, tapi bila Engkau meminta aku, atas perkataan-Mu lah Aku akan menurunkan jala, yakin bahwa Engkau akan membimbingku. Dan Tuhan sungguh mendorong, saya merasa dekat, saya bisa merasakan kehadiran-Nya setiap hari. Ini adalah bagian dari perjalanan Gereja yang memiliki saat-saat sukacita dan terang, tapi juga saat yang tidak mudah. Saya merasa seperti St. Petrus dan Para Rasul diatas perahu di Laut Galilea. Tuhan telah memberikan kita banyak hari dengan sinar matahari dan angin sepoi-sepoi. Hari-hari ketika jala ikan berlimpah, dan ada juga saat-saat ketika air bergolak dan angin bertiup kencang, seperti dalam seluruh sejarah Gereja dan tampak Tuhan sedang tertidur. Tapi saya selalu tahu bahwa Tuhan ada dalam perahu dan saya selalu tahu bahtera Gereja bukanlah milik saya, bukan milik kita, tapi milik-Nya dan Ia tidak membiarkan-Nya tenggelam, Ia lah yang memimpin-Nya, tentu melalui manusia yang Ia pilih, karena Ia menghendaki demikian. Inilah kepastian yang tidak bisa dihancurkan. Dan inilah alasannya kenapa sekarang hati saya dipenuhi dengan rasa syukur kepada Allah karena Ia tidak pernah membiarkan Gereja-Nya kurang dalam apapun khususnya penghiburan-Nya, terang-Nya, kasih-Nya.
Kita berada dalam Tahun Iman, yang saya Inginkan untuk menguatkan iman kita kepada Allah dalam konteks yang mendorong iman ke tepi-tepi kehidupan. Saya ingin mengundang semua orang untuk memperbaharui kepercayaan mereka yang teguh dalam Tuhan, untuk percaya seperti anak-anak di tangan Allah, beristirahat dan yakin bahwa tangan tersebut mendukung kita dan memampukan kita berjalan setiap hari, bahkan ketika hal ini membutuhkan upaya. Saya ingin agar setiap orang merasa dikasihi Allah yang memberikan Putra-Nya bagi kita dan menunjukkan kita kasih-Nya yang tanpa batas. Saya ingin setiap orang merasakan sukacita menjadi seorang Kristiani. Dalam doa yang indah yang diucapkan di pagi hari, kita berdoa: ”Saya menyembah Engkau, Allahku, saya mencintai-Mu dengan segenap hatiku. Terima kasih karena telah menciptakan saya dan menjadikan saya seorang kristiani. Ya, kami bahagia atas karunia iman yang merupakan hal yang paling berharga. Tak ada seorangpun yang dapat mengambilnya dari kami! Kami mengucap syukur setiap hari untuk hal ini, dengan doa dan kehidupan kristiani yang autentik. Allah mengasihi kita, dan menunggu kita dan berharap agar kita mengasihi Dia!”
Tapi bukan hanya kepada Allah saya ingin bersyukur saat ini. Seorang paus tidak sendirian dalam mengemudikan bahtera Petrus, bahkan bila ini tanggung jawab utamanya, dan saya tidak pernah merasa sendiri, dalam memikul sukacita ataupun beban pelayanan Petrus, Tuhan menempatkan banyak orang disebelah saya, dengan kemurahan dan kasih bagi Allah dan Gereja, mereka telah membantu saya dan dekat dengan saya. Pertama-tama, saudara-saudara kardinal terkasih : kebijaksanaan anda, nasehat anda, persahabatan anda berharga bagi saya, para kolaborator saya, dimulai dengan Sekretaris Negara yang menemani saya dengan setia dan seluruh Kuria Roma, juga mereka yang dalam berbagai bidang, memberikan pelayanan mereka kepada Tahta Suci: ada banyak wajah tak terlihat yang tidak muncul, tetap dalam bayang-bayang, tapi dalam keheningan, dalam pekerjaan sehari-hari mereka, dalam semangat iman dan kerendahan hati, mereka telah menjadi dukungan yang terpercaya dan aman bagi saya. Sebuah pemikiran khusus bagi Gereja Roma, diosesan saya! Saya tidak bisa melupakan para saudara dalam Keuskupan dan Imamat, orang-orang yang telah dikonsekrasikan dan seluruh umat Allah dalam kunjungan pastoral, dalam pertemuan, dalam audiensi, perjalanan, saya selalu menerima perhatian besar dan afeksi mendalam, tapi saya juga mencintai setiap orang, tanpa kecuali, dengan kasih pastoral yang merupakan hati setiap pastor, khususnya Uskup Roma, Penerus Rasul Petrus. Setiap hari saya membawa anda dalam doa-doa saya, hati seorang Bapa.
Saya ingin sambutan saya menjangkau setiap orang, dimanapun anda berada: hati seorang paus meluas ke seluruh dunia. Dan saya ingin mengungkapkan syukur kepada korps diplomatik yang diakreditasikan bagi Tahta Suci, yang membangun keluarga bangsa-bangsa besar. Disini juga saya memikirkan semua yang bekerja demi sistem komunikasi yang baik dan saya berterima kasih bagi pelayanan penting mereka.
Sekarang saya juga ingin berterima kasih dengan segenap hati saya kepada banyak orang yang dalam minggu-minggu terakhir telah mengirimkan saya tanda-tanda perhatian, persahabatan dan doa. Ya, Paus tidak pernah sendirian, sekarang saya mengalaminya lagi dalam sebuah jalan yang agung dan menyentuh hati. Paus adalah milik setiap orang dan banyak orang merasa dekat dengannya. Kenyataannya saya menerima surat-surat – dari kepala negara, pemimpin agama, perwakilan dunia budaya dan seterusnya. Tapi saya juga menerima banyak surat dari orang-orang biasa yang menulis pada saya secara sederhana dari hati mereka dan membuat saya merasakan afeksi mereka yang lahir dari pengalaman bersama Yesus Kristus, didalam Gereja. Orang-orang ini tidak menulis seperti mereka menulis pada seorang pangeran atau orang besar yang tidak mereka kenal. Mereka menulis sebagai saudara dan saudari, putra dan putri, dengan kesadaran akan ikatan keluarga yang penuh kasih sayang. Disini anda bisa menyentuh apa yang sungguh dimaksud dengan Gereja – bukan sebuah organisasi, tapi tubuh yang hidup, komunitas saudara saudari dalam Tubuh Yesus Kristus, yang menyatukan kita semua. Kita mengalami Gereja dalam cara ini dan hampir dapat menyentuhnya dengan tangan anda, kekuatan kebenaran dan kasihnya adalah sumber sukacita, dalam saat ketika banyak orang berbicara tentang penurunannya.
Di bulan-bulan terakhir, saya merasa bahwa kekuatan saya menurun, dan saya memohon kepada Allah dalam doa untuk menerangi saya dengan terang-Nya, untuk membantu saya mengambil keputusan yang tepat bukan demi saya, tapi demi kebaikan Gereja. Saya mengambil langkah ini dalam kesadaran penuh akan keseriusannya, dan juga dengan kedamaian pikiran yang mendalam. Mencintai Gereja juga berarti memiliki keberanian mengambil keputusan sulit, menderita, dan menempatkan dihadapannya kebaikan Gereja dan bukan dirinya.
Ijinkan saya untuk kembali lagi pada 19 April 2005, keseriusan keputusan saya yang kenyataannya, dari saat itu, saya, selalu dan selamanya melakukannya bagi Tuhan. Selalu – mereka yang mengemban pelayanan Petrus tidak lagi memiliki privasi apapun. Selalu dan secara menyeluruh ia menjadi milik setiap orang, seluruh Gereja. Kehidupan-Nya, secara total mengurangi area pribadinya. Saya mengalami, dan sedang mengalaminya sekarang bahwa seseorang menerima kehidupan ketika ia mempersembahkannya sebagai sebuah hadiah. Saya berada dihadapan banyak orang yang mencintai Tuhan dan juga mencintai penerus St. Petrus. Saya telah mengatakan sebelumnya bahwa Paus sungguh memiliki saudara dan saudari, putra dan putri diseluruh dunia, dan ia merasakan didalam pelukan persekutuan mereka, karena ia tidak lagi menjadi miliknya, melainkan milik setiap orang dimanapun mereka berada.
“Selalu” juga berarti “selamanya” – tidak ada kepulangan ke area privat. Keputusan saya untuk meninggalkan pelaksanaan pelayanan aktif tidak mencabut kenyataan ini. Saya tidak kembali pada kehidupan privat, kepada kehidupan perjalanan, pertemuan, resepsi, konferensi dst. Saya tidak meninggalkan salib, tetapi tetap berada di kaki Tuhan yang tersalib dalam cara yang baru. Saya tidak lagi mengenakan kekuasaan jabatan untuk pemerintahan Gereja, tapi dalam pelayanan doa, di kebun St. Petrus. St. Benediktus, yang namanya saya pikul sebagai Paus, adalah teladan agung akan hal ini. Ia menunjukkan kita jalan kepada kehidupan yang aktif ataupun pasif, secara menyeluruh merupakan milik pekerjaan Allah.
Saya berterima kasih kepada setiap orang untuk rasa hormat dan pemahaman yang dengannya anda telah menyambut keputusan penting ini. Saya akan terus menemani perjalanan Gereja melalui doa dan refleksi, dengan dedikasi kepada Tuhan dan mempelai-Nya, yang dengannya saya telah berusaha menghidupinya sampai sekarang, setiap hari, dan ingin saya hidupi selamanya. Saya meminta anda mengingat saya dihadapan Tuhan, dan terutama berdoa bagi para Kardinal, yang dipanggil untuk sebuah tugas penting, dan Penerus Petrus yang baru, semoga Tuhan menemaninya dengan terang dan kekuatan Roh-Nya.
Marilah kita memohon intersesi Ibu Maria, Bunda Allah dan Bunda Gereja agar ia menemani kita dan seluruh komunitas gereja, kepadanya, kita mempercayakannya secara mendalam.
Allah membimbing Gereja-Nya, memeliharanya selalu, dan khususnya di saat-saat sulit. Jangan sampai kita kehilangan visi iman ini, yang merupakan satu-satunya visi yang benar tentang jalan Gereja dan dunia. Dalam hati kita, dalam hati anda semua, semoga selalu ada kepastian sukacita bahwa Tuhan itu dekat, bahwa Ia tidak meninggalkan kita, bahwa Ia dekat dengan kita dan Ia mengelilingi kita dengan kasih-Nya. Terima kasih!
Saudara-saudari terkasih,
Saya memberikan sambutan hangat dan penuh kasih kepada peziarah berbahasa Inggris dan pengunjung yang bergabung bersama saya untuk audiensi umum terakhir saya. Seperti St. Paulus, yang kita dengar tadi, hati saya dipenuhi dengan syukur kepada Allah yang selalu menjaga Gereja-Nya dan pertumbuhannya dalam iman dan kasih, saya merangkul kalian semua dengan sukacita dan rasa syukur. Selama Tahun Iman ini, kita dipanggil untuk memperbaharui kepercayaan sukacita dalam kehadiran Tuhan dalam hidup kita dan dalam kehidupan Gereja. Saya secara pribadi bersyukur atas kasihnya yang tak pernah gagal dan bimbingan selama delapan tahun sejak saya menerima panggilan untuk melayani sebagai Penerus Petrus. Saya dengan mendalam juga bersyukur atas pemahaman, dukungan, dan doa dari banyak orang, tidak hanya di Roma, tapi juga diseluruh dunia. Keputusan yang saya ambil, setelah didahului banyak doa, adalah buah dari kepercayaan yang tenang dan kasih mendalam bagi Gereja Kristus. Saya akan terus menemani Gereja dengan doa, dan saya meminta kalian semua untuk berdoa bagi saya dan bagi Paus yang baru. Dalam persatuan dengan Maria dan para kudus, mari kita mempercayakan diri kita dalam iman dan harapan kepada Allah, yang terus mengawasi hidup kita dan membimbing perjalanan Gereja dan dunia kita disepanjang jalan sejarah. Saya mempercayakan kalian semua, dengan perhatian besar, kepada kasihnya, memohon Ia untuk menguatkan anda dalam pengharapan yang membuka hati kita kepada kepenuhan hidup yang bisa diberikan hanya oleh-Nya. Kepada anda dan keluarga anda, saya memberikan berkat saya. Terima kasih! Dalam hati kita, dalam hati anda semua, semoga selalu ada kepastian sukacita bahwa Tuhan itu dekat, tidak meninggalkan kita, dekat pada kita dan mengelilingi kita dengan kasih-Nya. Terima kasih!
Benediktus XVI
Pidato Paus Benediktus XVI 27 Februari 2013 (versi Bahasa Inggris)
"My Heart Expands and Embraces the Whole Church"
Like the Apostle Paul in the Biblical text that we have heard, I feel in my heart that I have to especially thank God who guides and builds up the Church, who plants His Word and thus nourishes the faith in His People. At this moment my heart expands and embraces the whole Church throughout the world and I thank God for the 'news' that, in these years of my Petrine ministry, I have received about the faith in the Lord Jesus Christ and for the love that truly circulates in the Body of the Church, making it to live in the love and the hope that opens us to and guides us towards the fullness of life, towards our heavenly homeland.
I feel that I am carrying everyone with me in prayer in this God-given moment when I am collecting every meeting, every trip, every pastoral visit. I am gathering everyone and everything in prayer to entrust it to the Lord: so that we may be filled with the knowledge of His will through all spiritual wisdom and understanding in order to live in a manner worthy of the Lord and His love, bearing fruit in every good work (cf. Col 1:9-10).
"I Have Felt His Presence Every Day":
At this moment I have great confidence because I know, we all know, that the Gospel's Word of truth is the strength of the Church; it is her life. The Gospel purifies and renews, bearing fruit, wherever the community of believers hears it and welcomes God's grace in truth and in love. This is my confidence, this is my joy.
When, on 19 April almost eight years ago I accepted to take on the Petrine ministry, I had the firm certainty that has always accompanied me: this certainty for the life of the Church from the Word of God. At that moment, as I have already expressed many times, the words that resounded in my heart were: Lord, what do You ask of me? It is a great weight that You are placing on my shoulders but, if You ask it of me, I will cast my nets at your command, confident that You will guide me, even with all my weaknesses. And eight years later I can say that the Lord has guided me. He has been close to me. I have felt His presence every day. It has been a stretch of the Church's path that has had moments of joy and light, but also difficult moments. I felt like St. Peter and the Apostles in the boat on the Sea of Galilee. The Lord has given us many days of sunshine and light breezes, days when the fishing was plentiful, but also times when the water was rough and the winds against us, just as throughout the whole history of the Church, when the Lord seemed to be sleeping. But I always knew that the Lord is in that boat and I always knew that the boat of the Church is not mine, not ours, but is His. And the Lord will not let it sink. He is the one who steers her, of course also through those He has chosen because that is how He wanted it. This was and is a certainty that nothing can tarnish. And that is why my heart today is filled with gratitude to God, because He never left—the whole Church or me—without His consolation, His light, or His love.
"God Loves Us, But Awaits Us to Also Love Him":
We are in the Year of Faith, which I desired precisely in order to strengthen our faith in God in a context that seems to relegate it more and more to the background. I would like to invite everyone to renew their firm trust in the Lord, to entrust ourselves like children to God's arms, certain that those arms always hold us up and are what allow us to walk forward each day, even when it is a struggle. I would like everyone to feel beloved of that God who gave His Son for us and who has shown us His boundless love. I would like everyone to feel the joy of being Christian. In a beautiful prayer, which can be recited every morning, say: 'I adore you, my God and I love you with all my heart. Thank you for having created me, for having made me Christian...' Yes, we are happy for the gift of faith. It is the most precious thing, which no one can take from us! Let us thank the Lord for this every day, with prayer and with a coherent Christian life. God loves us, but awaits us to also love Him!
"See How the Church Is Alive Today":
It is not only God who I wish to thank at this time. A pope is not alone in guiding Peter's barque, even if it is his primary responsibility. I have never felt alone in bearing the joy and the weight of the Petrine ministry. The Lord has placed at my side so many people who, with generosity and love for God and the Church, have helped me and been close to me. First of all, you, dear Brother Cardinals: your wisdom, your advice, and your friendship have been precious to me. My collaborators, starting with my secretary of state who has accompanied me faithfully over the years; the Secretariat of State and the whole of the Roman Curia, as well as all those who, in their various areas, serve the Holy See. There are many faces that are never seen, remaining in obscurity, but precisely in their silence, in their daily dedication in a spirit of faith and humility, they were a sure and reliable support to me. A special thought goes to the Church of Rome, my diocese! I cannot forget my Brothers in the episcopate and in the priesthood, consecrated persons, and the entire People of God. In my pastoral visits, meetings, audiences, and trips I always felt great care and deep affection, but I have also loved each and every one of you, without exception, with that pastoral love that is the heart of every pastor, especially the Bishop of Rome, the Successor of the Apostle Peter. Every day I held each of you in prayer, with a father's heart.
I wish to send my greetings and my thanks to all: a pope's heart extends to the whole world. And I would like to express my gratitude to the Diplomatic Corps accredited to the Holy See, which makes the great family of Nations present here. Here I am also thinking of all those who work for good communication and I thank them for their important service.
At this point I would also like to wholeheartedly thank all of the many people around the world who, in recent weeks, have sent me touching tokens of concern, friendship, and prayer. Yes, the Pope is never alone. I feel this again now in such a great way that it touches my heart. The Pope belongs to everyone and many people feel very close to him. It's true that I receive letters from the world's notables—from heads of states, from religious leaders, from representatives of the world of culture, etc. But I also receive many letters from ordinary people who write to me simply from their hearts and make me feel their affection, which is born of our being together with Christ Jesus, in the Church. These people do not write to me the way one would write, for example, to a prince or a dignitary that they don't know. They write to me as brothers and sisters or as sons and daughters, with the sense of a very affectionate family tie. In this you can touch what the Church is—not an organization, not an association for religious or humanitarian ends, but a living body, a communion of brothers and sisters in the Body of Jesus Christ who unites us all. Experiencing the Church in this way and being able to almost touch with our hands the strength of His truth and His love is a reason for joy at a time when many are speaking of its decline. See how the Church is alive today!
"For the Good of the Church":
In these last months I have felt that my strength had diminished and I asked God earnestly in prayer to enlighten me with His light to make me make the right decision, not for my own good, but for the good of the Church. I have taken this step in full awareness of its seriousness and also its newness, but with a profound peace of mind. Loving the Church also means having the courage to make difficult, agonized choices, always keeping in mind the good of the Church, not of oneself.
Allow me here to return once again to 19 April, 2005. The gravity of the decision lay precisely in the fact that, from that moment on, I was always and for always engaged by the Lord. Always—whoever assumes the Petrine ministry no longer has any privacy. He belongs always and entirely to everyone, to the whole Church. His life, so to speak, is totally deprived of its private dimension. I experienced, and I am experiencing it precisely now, that one receives life precisely when they give it. Before I said that many people who love the Lord also love St. Peter's Successor and are fond of him; that the Pope truly has brothers and sisters, sons and daughters all over the world and that he feels safe in the embrace of their communion; because he no longer belongs to himself but he belongs to all and all belong to him.
'Always' is also 'forever'--there is no return to private life. My decision to renounce the active exercise of the ministry does not revoke this. I am not returning to private life, to a life of trips, meetings, receptions, conferences, etc. I am not abandoning the cross, but am remaining beside the Crucified Lord in a new way. I no longer bear the power of the office for the governance of the Church, but I remain in the service of prayer, within St. Peter's paddock, so to speak. St. Benedict, whose name I bear as Pope, will be a great example to me in this. He has shown us the way for a life that, active or passive, belongs wholly to God's work.
"The Lord Is Near and Embraces Us With His Love":
I also thank each and every one of you for the respect and understanding with which you have received this important decision. I will continue to accompany the Church's journey through prayer and reflection, with the dedication to the Lord and His Bride that I have tried to live every day up to now and that I want to always live. I ask you to remember me to God, and above all to pray for the Cardinals who are called to such an important task, and for the new Successor of the Apostle Peter. Many the Lord accompany him with the light and strength of His Spirit.
We call upon the maternal intercession of Mary, the Mother of God and of the Church, that she might accompany each of us and the entire ecclesial community. We entrust ourselves to her with deep confidence.
Dear friends! God guides His Church, always sustaining her even and especially in difficult times. Let us never lose this vision of faith, which is the only true vision of the path of the Church and of the world. In our hearts, in the heart of each one of you, may there always be the joyous certainty that the Lord is beside us, that He does not abandon us, that He is near and embraces us with His love. Thank you.
Benedict XVI
Vatican 27-02-2013
Benedict XVI
Vatican 27-02-2013
Renungan 28 Februari 2013
Hari Kamis, Prapaskah II
Yer 17:5-10
Mzm 1:1-2.3.4.6
Luk 16:19-31
Yer 17:5-10
Mzm 1:1-2.3.4.6
Luk 16:19-31
Makin Berbela Rasa
Ada dua kisah orang miskin yang mirip. Kisah pertama adalah seorang nenek miskin yang mencuri sepotong roti di kota New York sekitar tahun 1930an. Pada saat itu Amerika Serikat sedang mengalami krisis ekonomi dan banyak orang kelaparan. Ada seorang nenek yang dituduh mencuri sepotong roti dan harus diadili. Demikian tuntutan penjaga toko roti. Padahal sang nenek itu memberi alasan bahwa anak perempuannya sakit, cucunya kelaparan dan mereka juga miskin karena suaminya sudah meninggal dunia.
Hakim di pengadilan itu mengatakan hukum tetaplah hukum dan tidak memandang bulu. Si nenek itu harus membayar $10 USA, kalau tidak mampu maka ia harus dikurung dalam penjara selama 10 hari. Nenek itu remuk hatinya tetapi sang hakim itu berdiri, mencopot topinya, meletakkan uang $10 USA di atas topinya. Kemudian hakim itu mengatakan kepada para hadirin di dalam sidang: “Saya juga mendenda semua hadirin di sini sebanyak 50 sen karena kalian telah bersalah, tidak memiliki sikap bela rasa terhadap salah satu orang miskin di kota New York ini sehingga ia mencuri sepotong roti.” Panitera disuruh mengumpulkan denda dan hasilnya diberikan kepada terdakwa. Akhirnya nenek itu kembali ke rumahnya dengan mengantongi $47 USA dan 50 sen, termasuk 50 sen yang diberikan oleh sang penuntut yakni penjaga toko. Semua orang bertepuk tangan mengiring kepergian sang nenek meninggalkan ruang sidang.
Kisah kedua adalah kisah hakim Marzuki di Republik ini. Kisah ini sangat mirip dengan kisah di atas. Pada tahun 2011, seorang nenek di Kabupaten Prabumulih, Lampung mencuri singkong. Ia berani mencuri singkong karena hidupnya miskin, anak lelakinya sakit dan cucunya lapar. Manajer PT Andalas tetap menuntut supaya nenek itu dihukum sebagai pelajaran bagi warga lainnya.
Hakim Marzuki menghela nafas, dia memutuskan di luar tuntutan jaksa penuntut umum dan mengatakan bahwa hukum tetaplah hukum. Maka nenek itu harus membayar satu juta dan kalau tidak mampu membayar, ia akan dikurung 2.5 tahun. Nenek itu tertunduk dan tidak tahu harus berbuat apa. Pada saat itu hakim Marzuki mencopot topinya, mengambil uang satu juta dari dompet dan meletakkan di dalam topinya. Ia berkata kepada seluruh hadirin bahwa ia juga mendenda mereka semua masing-masing 50.000 karena mereka tidak berbela rasa terhadap nenek yang miskin itu. Uang yang terkumpul berjumlah Rp.3.500.000 termasuk Rp. 50.000 dari manajer PT. Andalas Kertas. Nenek itu keluar dari ruang pengadilan bebas, dan mengantongi uang sebesar Rp. 3.500.000.
Dua kisah ini menarik untuk membantu kita berefleksi selama masa prapaskah ini. Salah satu hal yang patut kita lakukan selama masa prapaskah adalah karya amal kasih atau berderma. Opsi fundamental dalam masa prapaskah adalah untuk memperhatikan orang-orang kecil, berbela rasa dengan sesama yang miskin dan menderita. Mengapa dikatakan opsi fundamental? Karena Tuhan Yesus sendiri berbela rasa dengan umat manusia. St. Paulus bersaksi, “Kristus Yesus meskipun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:6-8). Kalau Tuhan saja merendahkan diri menjadi hamba, bagaimana dengan kita yang hanya manusia biasa ini?
Penginjil Lukas hari ini mengisahkan kisah orang kaya dan Lazarus. Orang kaya tanpa nama berpakaian mewah dengan bahan jubah ungu, kain halus, selalu bersukaria dalam kemewahan. Dikatakan ia tanpa nama karena orangnya egois, lupa diri karena dikuasai oleh kekayaan. Orang miskin bernama Lazarus (artinya Allah menolong), pengemis, badannya ada borok, makan bersama anjing-anjing dari remah-remah orang kaya. Ketika meninggal dunia kedua orang ini berada di tempat yang berbeda. Orang kaya masuk dalam sheol, artinya tempat bagi orang-orang mati. Lazarus ketika meninggal dunia langsung ke surga dan dipangku Abraham. Orang kaya kaget melihat Lazarus dipangku Abraham maka ia meminta belas kasihan dari Abraham.
Reaksi Abraham kepada orang kaya adalah bahwa orang kaya sudah lupa diri dengan kekayaannya selama hidup sedangkan Lazarus adalah anawim yang mengandalkan Tuhan maka sekarang adalah saat baginya untuk berbahagia selamanya. Pada akhir bacaan injil hari ini, kita juga diingatkan untuk setia pada Sabda Tuhan. Orang-orang Yahudi tahu Kitab Taurat dan isinya. Tuhan juga sudah mengutus para nabiNya dengan semua nubuat-nubuat tetapi mereka tidak mendengar. Yesus Putera Allah diutus oleh Bapa, Ia menderita, wafat dan bangkit, itu pun orang tidak percaya dan tidak mendengarNya.
Aneh tapi nyata. Tuhan Yesus berada di hadapan mereka, Ia mengajar dengan wibawa dan membuat banyak mukjizat tetapi orang tetap tidak percaya. Nabi Yeremia pernah mengalami hal yang sama. Orang-orang pada zamannya lebih banyak mengandalkan dirinya sendiri dan licik. Itu sebabnya Tuhan berfirman melalui Yeremia: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari Tuhan. Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapan pada Tuhan." Tuhan mengetahui hati manusia!
Pengalaman Yeremia dan perumpamaan Yesus tentang orang kaya dan Lazarus adalah gambaran hidup kita setiap hari. Banyak kali kita mengandalkan diri sendiri dan lupa bahwa “terlepas dari Yesus kita tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Kita seperti orang kaya yang lupa diri dan melupakan orang di sekitar kita. Seharusnya kita mengandalkan Tuhan dan menaruh harapan kepadaNya. Kita hendaknya seperti Lazarus (Allah menolong), artinya selalu mengandalkan Tuhan dalam hidup. Orang yang mengandalkan Tuhan dalam hidupnya akan selalu berbela rasa dengan sesamanya. Mengapa? Karena ia merasa bahwa segalanya berasal dari Tuhan. Mari kita berbenah diri untuk semakin mengandalkan Tuhan dan berbela rasa dengan sesama.
Doa: Tuhan, biarlah hari ini kami tetap mengandalkan dan berharap padaMu. Amen
PJSDB
Wednesday, February 27, 2013
Renungan 27 Februari 2013
Hari Rabu, Prapaskah II
Yer 18:18-20
Mzm 31:5-6.14.15-16
Mat 20:17-28
Melayani dengan dedikasi!
Banyak orang berpikir bahwa menjadi seorang pimpinan itu memiliki nilai plus yakni dilayani oleh orang lain dan dihormati di mana-mana. Padahal seharusnya menjadi pemimpin itu berarti menjadi pelayan. Pemimpin membaktikan dirinya, mematikan segala keinginannya dan hanya memfokuskan perhatiannya kepada pelayanan bagi sesama. Ini kiranya konsep kepemimpinan menurut Tuhan Yesus yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani bahkan menyerahkan nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang.
Saya ingat figur Paus Benediktus XVI dan pelayanannya di dalam Gereja universal. Pada hari Minggu, 24 Februari yang lalu, ia menyampaikan berkat mingguan terakhirnya sebagai Paus di depan puluhan ribu umat Katolik yang memadati Lapangan Santo Petrus, Vatikan. Dari jendela apartemennya, ia mengatakan bahwa dirinya tak akan meninggalkan gereja setelah mengundurkan diri dari jabatan serta akan menjalani hidup dengan meditasi dan berdoa. Paus berkata: ”Tuhan meminta saya untuk mendedikasikan diri lebih banyak lewat meditasi dan doa. Ini bukan berarti saya meninggalkan gereja. Jika Tuhan meminta saya melakukan ini, saya akan melayani dengan dedikasi dan kasih yang sama, tetapi dengan cara yang lebih sesuai dengan usia dan kondisi saya”. Paus menutup berkat singkatnya dengan ucapan, ”Kita akan tetap dekat!” Umat membawa sejumlah spanduk, yang antara lain bertuliskan ”Bapa Suci, Kami Mengasihi Anda”. Pada spanduk lainnya tertulis ”Terima Kasih, Bapa Suci”.
Pengalaman Paus Benediktus XVI menjadi inspirasi bagi kita untuk memahami perikop Injil pada hari ini. Melayani dengan dedikasi bukan hanya sekedar melayani. Bisa jadi orang melayani demi popularitas semata. Melayani dengan dedikasi berarti memberi diri secara total bagi Tuhan dan sesama. Yesus menunjukkan pelayanan dengan dedikasi dalam peristiwa Paskah. Hari ini Penginjil Matius memberi kesaksian bahwa Yesus untuk ketiga kalinya memberitahukan tentang penderitaanNya: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem, dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan Ahli-ahli Taurat dan mereka akan menjatuhkan hukuman mati. Mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya diolok-olok, disesah dan disalibkan, tetapi pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan”.
Warta penderitaan ini diumumkan Yesus ketika mereka sedang dalam perjalanan melewati Yeriko ke Yerusalem. Dalam pikiran para murid, Yesus akan mendirikan sebuah Kerajaan politik. Itu sebabnya Ibu anak-anak Zebedeus meminta tempat terhormat di samping kiri dan kanan Yesus. Yesus tahu bahwa kedua saudara akan meminum cawan deritaNya tetapi hal duduk di sisi kiri dan kanan adalah urusan Bapa di Surga. Hal yang paling urgen sekarang adalah pelayanan atau pemberian diri secara total untuk kebahagiaan sesama.
Pandangan Yesus tentang melayani berarti memberi diri seutuhnya baik kepada Tuhan maupun kepada sesama. Di sini dibutuhkan dedikasi total dari para pengikut Kristus. Dia menunjukkan teladanNya dalam peristiwa paskah. Ia mengasihi sampai tuntas! (Yoh 13:1). Yesus pernah berkata: "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya" (Yoh 15:13). Semua ini juga kita renungkan sepanjang masa prapaskah ini.
Pengalaman Yesus kiranya mirip dengan pengalama Yeremia. Dalam bacaan pertama kita mendengar bagaimana Yeremia juga menderita karena para lawannya yang tidak lain adalah orang-orang dekat Yeremia. Mereka mengadakan kesepakatan untuk melawan semua pengajarannya dan tidak mau memperhatikan perkataannya. Para musuh juga mau membunuhnya. dalam situasi yang sulit ini, Yeremia tidak punya pilihan lain selain kembali dan berpasrah pada Tuhan. Yeremia berharap agar Tuhan sendirilah yang akan menghancurkan para musuhnya. Hal yang baik bagi Yeremia adalah ia tidak menyimpan dendam tetapi tetap mendoakan musuh-musuhnya.
Sikap Yeremia dalam Perjanjian Lama dan Yesus dalam Perjanjian Baru kiranya menjadi kekuatan bagi kita dalam masa prapaskah ini untuk bertahan dalam penderitaan dan terus menerus melayani Tuhan dan sesama. Apapun persoalan dalam hidup, teruslah melayani. Tuhan sendiri terus melayani manusia meskipun dosa terus bertambah banyak. Jangan takut karena melayani dengan dedikasi membuat kita sungguh-sungguh menjadi Kristiani.
Warta penderitaan ini diumumkan Yesus ketika mereka sedang dalam perjalanan melewati Yeriko ke Yerusalem. Dalam pikiran para murid, Yesus akan mendirikan sebuah Kerajaan politik. Itu sebabnya Ibu anak-anak Zebedeus meminta tempat terhormat di samping kiri dan kanan Yesus. Yesus tahu bahwa kedua saudara akan meminum cawan deritaNya tetapi hal duduk di sisi kiri dan kanan adalah urusan Bapa di Surga. Hal yang paling urgen sekarang adalah pelayanan atau pemberian diri secara total untuk kebahagiaan sesama.
Pandangan Yesus tentang melayani berarti memberi diri seutuhnya baik kepada Tuhan maupun kepada sesama. Di sini dibutuhkan dedikasi total dari para pengikut Kristus. Dia menunjukkan teladanNya dalam peristiwa paskah. Ia mengasihi sampai tuntas! (Yoh 13:1). Yesus pernah berkata: "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya" (Yoh 15:13). Semua ini juga kita renungkan sepanjang masa prapaskah ini.
Pengalaman Yesus kiranya mirip dengan pengalama Yeremia. Dalam bacaan pertama kita mendengar bagaimana Yeremia juga menderita karena para lawannya yang tidak lain adalah orang-orang dekat Yeremia. Mereka mengadakan kesepakatan untuk melawan semua pengajarannya dan tidak mau memperhatikan perkataannya. Para musuh juga mau membunuhnya. dalam situasi yang sulit ini, Yeremia tidak punya pilihan lain selain kembali dan berpasrah pada Tuhan. Yeremia berharap agar Tuhan sendirilah yang akan menghancurkan para musuhnya. Hal yang baik bagi Yeremia adalah ia tidak menyimpan dendam tetapi tetap mendoakan musuh-musuhnya.
Sikap Yeremia dalam Perjanjian Lama dan Yesus dalam Perjanjian Baru kiranya menjadi kekuatan bagi kita dalam masa prapaskah ini untuk bertahan dalam penderitaan dan terus menerus melayani Tuhan dan sesama. Apapun persoalan dalam hidup, teruslah melayani. Tuhan sendiri terus melayani manusia meskipun dosa terus bertambah banyak. Jangan takut karena melayani dengan dedikasi membuat kita sungguh-sungguh menjadi Kristiani.
Saya akhiri renungan ini dengan mengutip FX Kardinal Nguyen Van Thuan: “Dalam karya pelayanan Gereja, aku akan menjadi seorang pelayan pesan Yesus yang setia dan rendah hati. Aku tidak akan menjadi aministrator yang rewel yang memperbesar hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang-orang yang sedang dalam perjalanan mencari Allah, dan karena hambatan-hambatan ini, mereka akhirnya merasa bimbang, putus asa, dan berpaling dari pencariannya. Aku ingin terbiasa mempertanyakan diriku: manakah dari tutur kataku, sikapku atau perilakuku yang menjauhkan orang-orang dari padaMu, Tuhan?”
Ingatlah, kalau anda mau menjadi pelayan sejati, jauhkanlah dirimu dari segala macam ambisi pribadimu!
Doa: Tuhan, bantulah aku untuk menjadi pelayan yang setia, dan selalu bertahan kala ada derita yang mengiringi pelayananku.
PJSDB
Tuesday, February 26, 2013
Renungan 26 Februari 2013
Hari Selasa, Prapaskah II
Yes 1:10.16-20
Mzm 50: 8-9.16bc-17.21.23
Mat 23:1-12
Kursi Musa itu bernilai!
Pada suatu kesempatan saya pergi menghadap salah seorang Bupati di Republik ini, dengan membawa sebuah proposal untuk mencari dana. Kebetulan saya adalah pionir kehadiran dan karya kongregasi kami di tempat itu. Salah satu pilihan karya kami di tempat itu adalah pelatihan untuk anak-anak muda yang miskin dalam bidang teknik. Untuk itu sangat diperlukan pelayanan PLN supaya mesin-mesin di bengkel dapat difungsikan. Ketika masuk ke dalam kantornya, saya berjalan di atas karpet berwarna merah, ruangan full ac dengan mebel yang tergolong mahal. Pak Bupati susah untuk senyum, tetap duduk di atas kursi kebesarannya, tidak beranjak untuk menyalami saya sebagai tamunya. Memberi tangan untuk saling berjabat saja rasanya hambar karena kelihatan terpaksa. Dengan tetap duduk dikursinya kami berbicara sebentar tentang kebutuhan untuk mendapatkan tambahan dana dari Pemerintah Daerah demi mendapat pelayanan dari PLN. Dia mengatakan bahwa Pemerintah Daerah sulit untuk membantu dana bagi sekolah kami. Saya berpamitan dengan beliau, dengan titipan kalimat ini: “Saya ini bukan orang dari tanah ini, tetapi saya datang untuk membangun daerahmu dalam bidang pendidikan teknik untuk anak-anak muda”
Duduk di kursi kehormatan adalah sebuah simbol untuk melakukan otoritas dan kuasa. Seorang raja memerintah dengan adil ketika duduk di takhta kerajaan. Kepala daerah adalah orang nomor satu di daerah tersebut, memiliki kursi kehormatan. Paus memberikan pengajaran ex cathedra ketika duduk di atas takhtanya. Uskup juga memilik kursi khusus ketika melayani umat Allah di dalam Gereja Katedral. Di dalam sinagoga, ada kursi-kursi khusus bagi para tua-tua yang akan mengajar Firman, sedangkan jemaat duduk di atas lantai. Ada satu kursi yang lebih bagus, berbeda dengan kursi lain dikhususkan bagi salah seorang dari para tua-tua itu. Mungkin inilah yang dinamakan kursi Musa. Di kursi itu, orang terhormat akan mengajar dengan bagus meskipun perbuatannya sangat berbeda dengan apa yang ia ajarkan.
Hal ini menjadi kepedulian Yesus ketika melihat perilaku para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Kepada para muridNya Yesus berpesan: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka karena mereka mengajarkan tetapi tidak melakukannya” (Mat 23: 2-3). Gelagat para ahli Taurat dan kaum Farisi adalah mereka mengajar dan berdalil atas nama Taurat seolah-olah mereka seperti Musa tetapi mereka hanya “omong doang”. Mereka tidak melakukannya di dalam hidup. Justru hal yang terjadi adalah mereka menindas dan berlaku tidak adil terhadap sesama. Mereka lebih mementingkan kuasa manusiawi, tradisi dan adat kebiasaan sedangkan keadilan dan kasih diabaikan.
Lalu apa yang dituntut Yesus dari para murid? Yesus tidak menuntut mereka untuk berkuasa, punya kursi tertentu tetapi yang Yesus kehendaki adalah kemampuan mereka untuk melayani tanpa pamrih. Pengikut Kristus yang setia adalah mereka yang hari demi hari memenggunakan “kursi” untuk melayani. Mereka tidak menggunakan kuasa untuk menindas dan berlaku tidak adil, sebaliknya cinta kasih dan keadilan yang harus dijunjung tinggi. Jadi apa yang menjadi hal dan wewenang Allah janganlah direbut menjadi milik sendiri dan bertindak atas nama Allah padahal tindakan itu berbuah dosa.
Nabi Yesaya dalam bacaan pertama juga memberi teguran kepada para "pemimpin manusia Sodom dan Gomora". Sebenarnya yang dimaksudkan oleh Yesaya adalah para pemimpin Yehuda yang tidak setia kepada Yahwe dan pengajaranNya. Mereka diingatkan untuk melakukan pertobatan bathinia dengan membasuh diri dan menjauhkan diri mereka dari perbuatan jahat di mata Tuhan. Apa yang harus mereka lakukan selanjutnya? Mereka harus berhenti berbuat jahat dan belajar berbuat baik, mengusahakan keadilan, mengendalikan orang kejam, membela hak anak-anak yatim dan para janda. Semua ini akan diperhitungkan oleh Tuhan. Warta nabi Yesaya ini kiranya cocok dengan apa yang disinggun Yesus dalam Injil bahwa hal yang paling penting adalah memperjuangkan kasih dan keadilan. Hal-hal yang bersifat fana hendaknya disingkirkan dan yang seharusnya dicari dan dimiliki adalah kehendak Tuhan, dalam hal ini kasih dan keadilan bagi semua orang.
Nabi Yesaya dalam bacaan pertama juga memberi teguran kepada para "pemimpin manusia Sodom dan Gomora". Sebenarnya yang dimaksudkan oleh Yesaya adalah para pemimpin Yehuda yang tidak setia kepada Yahwe dan pengajaranNya. Mereka diingatkan untuk melakukan pertobatan bathinia dengan membasuh diri dan menjauhkan diri mereka dari perbuatan jahat di mata Tuhan. Apa yang harus mereka lakukan selanjutnya? Mereka harus berhenti berbuat jahat dan belajar berbuat baik, mengusahakan keadilan, mengendalikan orang kejam, membela hak anak-anak yatim dan para janda. Semua ini akan diperhitungkan oleh Tuhan. Warta nabi Yesaya ini kiranya cocok dengan apa yang disinggun Yesus dalam Injil bahwa hal yang paling penting adalah memperjuangkan kasih dan keadilan. Hal-hal yang bersifat fana hendaknya disingkirkan dan yang seharusnya dicari dan dimiliki adalah kehendak Tuhan, dalam hal ini kasih dan keadilan bagi semua orang.
Sabda Tuhan pada hari membantu kita untuk membuat pertobatan bathin. Ini adalah sebuah gerakan rohani yang berasal dari dalam diri kita untuk kembali kepada Tuhan. Hal konkret yang kita perlu lakukan adalah melayani seperti Tuhan telah melayani kita. Melayani dengan melupakan profesi, kedudukan, jabatan. Di mata Tuhan kita semua sama dan prinsip kita adalah menjadi hamba yang siap melayani Tuhan dan sesama.
Doa: Tuhan, berikanlanlah kami semangat untuk menjadi hamba yang melayani dengan tulus. Amen
PJSDB
Monday, February 25, 2013
Renungan 25 Februari 2013
Hari Senin, Prapaskah II
Dan 9:4b-10
Mzm 79:8.9.11.13
Luk 6:36-38
Seharusnya ada perasaan malu!
Siapa yang tidak punya perasaan malu? Tentu saja semua orang sepakat mengakui memiliki rasa malu. Ada orang yang karena rasa malu berlebihan menjadi tertutup dan tidak berkembang dalam hidupnya. Ada orang yang rasa malunya menipis bahkan nyaris tidak punya perasaan malu sehingga berprilaku tidak manusiawi. Misalnya kalau orang terbiasa mencuri maka ia tidak memiliki rasa malu ketika mencuri atau kedapatan mencuri. Seorang koruptor atau orang yang mengharapkan uang suap tidak akan punya perasaan malu ketika melakukan suatu kesalahan. Suara hati mereka sudah tumpul sehingga tidak lagi punya parasaan malu.
Daniel dalam bacaan pertama mengakui dirinya sebagai bagian umat terpilih yang tidak sempurna. Dia mengidentifikasi dosa dan salah yang diperbuat: berlaku fasik, memberontak, menyimpang dari perintah dan peraturan Tuhan. Tidak taat terhadap para hamba Tuhan (nabi), tidak taat kepada para pemimpin seperti raja. Karena banyak dosa dan salah yang diperbuat maka Daniel berdoa: “Ya Tuhan, Engkaulah yang benar. Patutlah kami merasa malu seperti pada hari ini, kami orang-orang Yehuda, penduduk kota Yerusalem dan segenap umat Israel, mereka yang dekat dan mereka yang jauh, di segala negeri ke mana Engkau telah membuang mereka oleh karena mereka berlaku murtad terhadap Engkau. Ya Tuhan, kami, raja-raja kami, pemimpin-pemimpin kami dan bapa-bapa kami patutlah malu karena telah berdosa terhadap Engkau” (Dan 9:7-8). Daniel percaya bahwa pada Tuhan Allah kita ada belas kasih dan pengampunan yang berlimpah.
Dalam perikop kita ini, ada dua kali kata "malu” diucapkan. Perasaan malu bukan hanya secara pribadi tetapi sebagai satu persekutuan karena perbuatan salah dan dosa pribadi dan kelompok. Namun demikian Tuhan tetap menunjukkan belas kasih dan pengampunanNya. Inilah letak perbedaan antara Tuhan dan manusia. Manusia tidak punya perasaan malu ketika ia berbuat dosa. Tuhan memiliki belas kasih dan pengampunan yang berlimpah untuk manusia.
Penginjil Lukas memberi kesaksian bahwa mengakhiri kotbah di bukit Sabda Bahagia, Tuhan Yesus mengharapkan agar setiap muridNya bisa hidup sebagai orang yang murah hati. Tuhan Allah sendiri memberi teladan kebajikan murah hati, tidak menghakimi, tidak menghukum, mengampun dan memberi maka sebagai anak-anakNya, kita pun diajak untuk mengikuti teladanNya. Yesus misalnya berkata: “Hendaklah kamu murah hati, sebagaimana BapaMu adalah murah hati” (Luk 6:36). Murah hati adalah kebajikan yang luhur. Bapa surgawi menunjukkannya sendiri kepada kita. Kata murah hati dalam bahasa Yunani disebut chrestotes, Bahasa Latin disebut benignitas. Murah hati berarti perbuatan baik yang konkret, kelembutan dalam membangun relasi dengan sesama. Jadi murah hati bukan semata-mata usaha manusia tetapi Tuhanlah yang pertama kali menunjukkannya atau meneladaninya.
Kita patut merasa malu kalau kita mengalami kemurahan hati Tuhan tetapi tidak bermurah hati terhadap sesama. Kita patut merasa malu ketika dengan sadar atau tidak sadar kita menghakimi sesama, memiliki persepsi yang jelek terhadap sesama. Kita patut merasa malu kalau kita suka menghukum orang lain dengan kata-kata kasar atau menghukum secara fisik. Kita patut merasa malu kalau ternyata kita sulit untuk mengampuni sesama. Mengampuni itu indah ketika kita berusaha untuk melupakan semua kesalahan yang dibuat orang lain kepada kita. Yesus bersabda: “Berbahagialah orang yang murah hati karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat 5:7).
Kita patut merasa malu kalau kita mengalami kemurahan hati Tuhan tetapi tidak bermurah hati terhadap sesama. Kita patut merasa malu ketika dengan sadar atau tidak sadar kita menghakimi sesama, memiliki persepsi yang jelek terhadap sesama. Kita patut merasa malu kalau kita suka menghukum orang lain dengan kata-kata kasar atau menghukum secara fisik. Kita patut merasa malu kalau ternyata kita sulit untuk mengampuni sesama. Mengampuni itu indah ketika kita berusaha untuk melupakan semua kesalahan yang dibuat orang lain kepada kita. Yesus bersabda: “Berbahagialah orang yang murah hati karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat 5:7).
Sabda Tuhan pada hari ini mengajak kita untuk memiliki rasa malu karena selalu jatuh dalam dosa yang sama. Kita mesti menyadari bahwa Tuhan mengasihi kita dan hanya pada Dia ada kasih dan pengampunan yang kekal. Apakah anda mau tetap bertahan dalam hidup sebagai orang berdosa? Bertobatlah! Harus merasa malu di hadapan Tuhan! Kita juga diingatkan untuk selalu memandang Tuhan. Dialah yang memberi teladan kemurahan hati dan pengampunan. Ketika bergumul dengan hidup, pandanglah Tuhan. Dari Dialah mengalir aliran rahmat dan belas kasihan yang berlimpah untuk kita semua. Kita membutuhkan pembaharuan diri dari Tuhan. Biarlah Ia mengubah hati kita, memampukan kita untuk berbela rasa dengan sesama.
Doa: Tuhan, semoga aku bermurah hati terhadap sesama. Amen
PJSDB
Sunday, February 24, 2013
Homili Hari Minggu Prapaskah II/C
Kej
15:5-12.17-18
Mzm
27:1.7-8.9abc.13-14
Flp 3:17-4:1
Luk 9:28b-36
Pandang dan Dengarlah Yesus!
Seorang ibu datang dan berbicara dengan saya. Ia merasa pusing
dengan anaknya. Ketika masih kecil, anak itu penurut tetapi
belakangan ini susah diatur. Ia tidak mendengar perintah orang tuanya. Ia lebih
suka mendengar bunyi musik di gadgetnya dari pada suara orang tuanya sendiri.
Saya bertanya kepadanya apakah ia juga pernah punya waktu untuk mendengar
anaknya. Dengan jujur ibu itu mengatakan bahwa ia jarang punya waktu untuk
mendengar anaknya. Ia sibuk bekerja, mencari uang. Mendengar jawabannya itu saya mengatakan
kepadanya bagaimana mungkin ia menuntut anaknya untuk mendengar sedangkan dia
sebagai orang tua sendiri tidak punya waktu untuk mendengar anaknya? Ini sebuah
kesulitan di dalam keluarga modern: “Saling mendengar itu sulit!” Orang yang
mampu mendengar akan menjadi taat dan orang yang taat dengan sendirinya akan
mengasihi Tuhan dan sesama manusia.
Hari ini kita memasuki pekan prapaskah II, tahun C. Bacaan-bacaan Kitab Suci
terutama dari bacaan Injil mengisahkan tentang Transfigurasi atau Tuhan Yesus
menampakkan kemuliaanNya. Kisah transfigurasi ada dalam injil-injil Sinoptik disertai pemberitahuan tentang penderitaan Yesus (Luk 9:22; 9:44;
Mat 16: 21; 17:22; Mrk 8:31 dan 9:30) dan syarat untuk mengikutiNya yakni
sebagai murid yang memikul salib hari demi hari (Luk 9:23; Mat 16:24; Mrk 8:3).
Peristiwa Yesus menampakkan kemuliaanNya boleh dikatakan saat jedah sebelum Yesus
dan para muridNya ke Yerusalem. Di Yerusalem Ia akan mengalami paskahNya.
Yesus membawa tiga murid inti yaitu Petrus, Yakobus dan
Yohanes. Mereka naik ke atas sebuah gunung untuk berdoa. Ketika sedang berdoa,
wajah Yesus berubah dan pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan. Pada saat
yang sama Musa dan Elia nampak sedang berbicara dengan Yesus. Hal yang
dibicarakan bersama adalah misi Yesus di Yerusalem terutama paskahNya. Kita
ingat bahwa Yesus datang untuk melengkapi semua hukum yang ada. Musa mewakili
Taurat dan Elia mewakili para nabi. Kehadiran mereka berdua sudah menunjukkan
bahwa Yesus sungguh-sungguh menggenapi hukum lama dan baru. Artinya segala
sesuatu di dalam Taurat dan Kitab para nabi menjadi sempurna di dalam diri
Yesus.
Ketiga murid ini terpesona karena merasakan kenyamanan
bersama Tuhan. Petrus dengan percaya diri mengatakan kepada Yesus: “Guru, betapa
bahagiannya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk
Musa dan satu untuk Elia.” Pemikiran Petrus yang sangat manusiawi itu
disempurnakan oleh suara: “Inilah AnakKu
yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” Hal yang menarik perhatian kita pada akhir
bacaan injil adalah: ketika mereka mengangkat kepala mereka hanya melihat Yesus
seorang diri.
Yesus adalah segalanya. Ia menampakkan kemuliaanNya di depan
para murid untuk mengatakan bahwa sesudah melewati segala penderitaan, Ia akan
bangkit dengan mulia. Dan karena kemuliaanNya ini semua mata tertuju kepadaNya
dan hanya melihat Yesus seorang diri saja. Masa prapaskah menjadi masa untuk
melihat Yesus seorang diri dan mendengarNya. Hidup kristiani menjadi indah
ketika kita mengangkat kepala dan melihat Yesus seorang diri saja dan
mendengarNya hari demi hari.
St. Paulus dalam bacaan kedua mengajak jemaat di Filipi untuk
menyadari bahwa kiblat hidup mereka terarah ke Surga. Tentu saja bukan hanya
orang Filipi tetapi kita semua yang dibaptis saat ini juga berjalan di jalan
yang sama. Kita adalah warga Kerajaan Surga. Dengan demikian kita menantikan
Tuhan Yesus Kristus, Sang Penyelamat yang akan mengubah tubuh kita menjadi
serupa dengan tubuhNya yang mulia sesuai dengan kuasaNya yang dapat menaklukkan
segala sesuatu kepada diriNya. Untuk itu Paulus mengharapkan supaya setiap
orang harus berdiri teguh dalam iman.
Pengajaran Paulus mengantar kita percaya kepada kebangkitan
Kristus. Mengapa percaya kepada kebangkitanNya? Kita diharapkan membaktikan
diri kita kepadaNya dan memiliki harapan pasti bahwa pada hari terakhir Ia juga
akan membangkitkan kita dan kita menjadi satu dengan Bapa di Surga. Kita
menikmati kemuliaan Bapa dan kemuliaan Yesus sebagai Putera serta kemuliaan
dalam Roh Kudus.
Tentu saja untuk mencapai kemuliaan kekal dan mengalaminya
bersama Bapa di Surga kita juga percaya bahwa janji Tuhan itu selalu dipenuhi.
Ia pernah berjanji kepada Abraham sebagaimana kita dengar dalam bacaan pertama
dan janjiNya itu Ia penuhi. Segala ciptaan Tuhan perlihatkan kepada Abraham dan
ia berjanji akan memberikan kepadanya dan segala keturunan. Perjanjian adalah
inisiatif Tuhan bagi manusia terutama karena belas kasih dan keurahanNya.
Meskipun nantinya anak-anak Abraham jatuh dalam dosa tetapi Tuhan tetap akan
memenuhi janji setiaNya. Tuhan itu setia meskipun manusia tidak setia.
Sabda Tuhan hari ini secara khusus untuk mengarahkan pandangan
kita kepada Yesus dan mendengarNya. Banyak kali kita tidak mampu mendengar
Yesus dan memandangNya. Hati kita terlalu tegar dan telinga kita tidak
difungsikan dengan baik. Padahal Dialah satu-satunya yang menyelamatkan kita.
Dialah yang memberi penebusan yang berlimpah. Mari kita tunjukkan kemuliaan Tuhan di dalam
hidup kita setia hari. Biarlah orang mengakses kemuliaan Tuhan dalam diri kita
melalui perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan setiap hari bagi sesama.
Doa: Tuhan, bantulah kami untuk mendengar Engkau. Amen
PJSDB
Saturday, February 23, 2013
Renungan 23 Februari 2013
Hari Sabtu, Prapaskah I
Ul 26: 16-19
Mzm 119:1-2.4-5.7-8
Mat 5:43-48
Ul 26: 16-19
Mzm 119:1-2.4-5.7-8
Mat 5:43-48
Kasih dan doa menyempurnakan hidup!
Pada suatu kesempatan datanglah seorang anak muda untuk berbicara denganku. Ia mengatakan bahwa ia memiliki banyak musuh. Ia juga sulit untuk mengampuni. Saya bertanya kepadanya, "Siapakah musuh yang paling dekat denganmu?" Ia dengan jujur berkata, "Orang tua adalah musuh yang paling dekat karena banyak kali mereka tidak memahamiku". Saya bertanya kepadanya, "Apakah anda mendoakan orang tuamu?" Ia menjawab, "Kalau saya sempat soalnya lebih banyak kesalnya". Ini sebuah pengalaman sederhana di dalam keluarga. Saya lalu menyadari bahwa ternyata musuh tidak harus jauh dari diri kita, orang-orang dekat sekali pun dapan dianggap musuh. Orang tua, pasutri, anak-anak bisa saling bermusuhan. Itulah realitas hidup manusia akibat dosa.
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk menjadi sempurna seperti Bapa di Surga sempurna adanya. Bapa di Surga sempurna karena Dia baik, Dia mengasihi semua orang apa adanya. Matahari dan hujan diberikan kepada semua orang tanpa membedakan mana orang baik dan mana orang jahat. Dia mengetahui semua orang dengan hidup pribadinya di hadapaNya yang Mahakudus. Tetapi Ia peduli dan mengerti setiap orang yang diciptakanNya sewajah dengan Dia. Itulah sebabnya Ia mengasih manusia apa adanya, yang baik dan jahat dikasihiNya.
Tuhan yang menciptakan kita sewajah denganNya begitu baik dengan semua orang, mengapa sebagai manusia kita masih memiliki musuh? Mengapa masih ada kebencian, sulit sekali mengampuni, ada penolakan dalam diri terhadap orang-orang tertentu. Hari ini Tuhan mau supaya kita juga menjadi serupa denganNya. Dalam hal ini menjadi kudus, tak bercacat di hadiratNya. Menjadi orang yang sempurna menyerupai Tuhan berarti semua kebajikan dari Tuhan patut kita hayati secara nyata.
Apa yang harus kita lakukan? Ada dua jalan yang ditawarkan Yesus di dalam perikop Injil hari ini.
Pertama, kita harus mengasihi. Kasih adalah kebajikan universal. Mengasihi bukan milik orang tertentu tetapi milik semua manusia karena Dia yang menciptakan adalah Kasih. Tentang kasih yang universal, Yesus bersabda: “Kasihilah musuh-musuhmu”. Cinta kasih mampu merubuhkan tembok-tembok pemisah dan pribadi yang bermusuhan didamaikan. Mengasihi bukan hanya terhadap orang yang menyukakan hati tetapi mengasihi musuh-musuh, orang yang menyusahkan dan membuat kita terluka. Dengan berlaku demikian kita menyerupai Tuhan yang mengasihi semua orang. Tuhan hanya satu tetapi oang yang berdosa terhadapNya adalah seluruh umat manusia. Tetapi kasih dan kesetiaan Tuhan itu kekal dan abadi.
Kedua, berdoa. Doa juga sifatnya universal karena Tuhan adalah pencipta segalanya. Berdoa berarti berbicara dan bersatu dengan Tuhan. Banyak kali kita berpikir bahwa berdoa berarti berbicara kepada Tuhan. Tuhan masih teralu jauh jadi manusia berbicara kepadaNya. Doa kita harus berkembang menjadi berdoa bersama Tuhan. Tuhan hadir, mengajar kita untuk berdoa bersamaNya. Doa berarti kasih. Karena Tuhan adalah kasih maka tingkatan yang paling tinggi adalah doa itu kasih. Tuhan Yesus berkata: “Berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Kalau orang beriman masih menyadari doa kepada Tuhan maka ia masih sakit hati karena orang menganiaya atau menyakitinya. Kalau orang beriman sudah menyadari doa bersama Tuhan, dan doa adalah kasih maka orang-orang yang menganiayanya akan tetap didoakan supaya orang itu menjadi baik. Kita belajar dari Yesus: “Bapa ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Dengan mengasihi dan berdoa kita akan menyerupai Bapa yang sempurna di Surga. Dia akan tetap menjadi Allah kita dan kita menjadi umat kesayanganNya. Sampai kapan? Sampai selama-lamanya kita memiliki Allah yang kekal, Allah yang selalu mengasihi. Pengalaman umat Perjanjian Lama di padang gurun telah membuktikan bahwa Allah sungguh-sunggu mengasihi mereka. Banyak kali mereka jatuh dalam dosa, melawan dan bersungut-sungut kepada Tuhan tetapi Ia tetap setia kepada mereka. Bagi mereka percaya kepadaNya, mereka akan menjadi umat yang kudus. Tentu saja dengan melakukan segala perintahNya.
Sabda Tuhan hari ini patut kita renungkan dan hayati. Pikirkanlah sekarang siapa yang selalu menyakitimu sehingga menjadi musuh. Siapa yang sering menganiayamu secara fisik dan verbal. Bayangkan wajah mereka dan katakanlah: Aku mengasihimu! Aku berdoa supaya engkau menjadi baik.
Doa: Tuhan, bantulah aku untuk menjadi sempurna seperti Engkau sendiri. Amen
PJSDB
Friday, February 22, 2013
Homili Pesta Takhta Santo Petrus Rasul
Pesta Taktha St. Petrus
1Ptr 5:1-4
Mzm 23:1-3a.3b-4.5.6
Mat 16:13-19
Takhta adalah tempat duduk sang Pelayan
Hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan Pesta Takhta St. Petrus. Orang-orang Romawi kuno memiliki kebiasaan mengenang orang-orang yang sudah meninggal dunia. Mereka suka berkumpul di pekuburan, makan dan minum layaknya sebuah pesta yang meriah. Pada kesempatan itu mereka meletakkan sebuah kursi di tengah-tengah dan kursi itu tidak diduduki orang karena di khususkan bagi arwah yang mereka peringati. Kursi menjadi tanda kehadiran orang yang sudah meninggal dalam perjamuan tersebut. Pada abad keempat kebiasaan orang Romawi kuno ini diadopsi dan masuk dalam liturgi Gereja. Gereja menghormati sebuah kursi atau takhta atau “Cathedra” sebagai simbol kehadiran rohani Petrus, kepala Gereja di Roma. Dalam dokumen Depositio Martyrum, tahun 354 memperingati “Natale Petri de Cathdera” atau Takhta santo Petrus setiap tanggal 22 Februari.
Kita sering mendengar nama Gereja katedral. Kata katedral berasal dari bahasa Latin Cathedra, bahasa Yunani kathedra (καθέδρα) yang berarti kursi atau takhta di mana pemimpin gereja duduk sebagai gembala untuk melayani. Kadang-kadang istilah ini dihubungkan dengan bangunan gereja sebagai gereja induk karena di gereja tersebut terdapat takhta uskup. Ini yang dikenal oleh kalangan umum Gereja Katedral. Setiap keuskupan memiliki Gereja Katedral. Tentang cathedra kita mengenal cathedra untuk Paus disebut Takhta Suci, pimpinan Gereja universal. Cathedra untuk uskup sebagai pimpinan gereja lokal. Takhta atau cathetdra tidak dipahami harafia sebagai kursi atau tempat duduk tetapi berarti kursi khusus untuk seorang pemimpin yang melayani. Paus dan uskup duduk di cathedra untuk melayani atau bertindak sebagai gembala.
Pada tanggal 11 Februari yang lalu Bapa Suci Benediktus XVI mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pimpinan Gereja universal. Berita ini tentu mengagetkan banyak orang terutama seluruh umat katolik. Pada tanggal 28 Februari, pukul 20.00 waktu Italia, Paus secara resmi mengundurkan diri. Saat kekosongan takhta suci disebut “sede vacante” sambil menunggu conclave di mana Paus baru akan dipilih oleh para kardinal. Inilah petikan pengunduran diri Paus Bendiktus ke XVI:
“Saya sudah memanggil Anda ke konsistori ini, bukan hanya untuk tiga kanonisasi (penetapan orang suci), namun juga untuk mengkomunikasikan kepada Anda sebuah keputusan yang memiliki kepentingan besar bagi kehidupan gereja. Setelah berulang kali merenungkan keyakinan di depan Tuhan, saya sampai pada keputusan bahwa kekuatan saya, karena usia yang lanjut, tidak tepat lagi untuk melaksanakan secara memadai Pelayanan Santo Petrus.
Saya sadar bahwa kepemimpinan itu, karena amat penting dalam kehidupan spiritual, harus dilaksanakan bukan hanya dengan kata dan perbuatan, namun juga dengan doa dan penderitaan. Bagaimanapun, dalam kehidupan dunia saat ini, karena demikian banyaknya perubahan yang cepat dan guncangan atas relevansi mendalam atas keyakinan dalam kehidupan, demi mengarahkan perahu Santo Petrus dan menyerukan injil, kekuatan tubuh dan pikiran diperlukan, kekuatan yang dalam beberapa bulan belakangan memburuk, sehingga mencapai tingkat bahwa saya harus mengakui ketidakmampuan saya secara cukup untuk memenuhi pelayanan yang dipercayakan kepada saya.
Dengan alasan itu, dan kesadaran atas keseriusan dari tindakan itu, dengan penuh kebebasan saya menyatakan meninggalkan pelayanan Uskup Roma, Penerus Santo Petrus, yang dipercayakan kepada saya oleh para Kardinal pada 19 April 2005, dengan cara bahwa mulai 28 Februari 2013 pada pukul 20.00, Tahta Roma, Tahta Santo Petrus akan kosong dan sidang untuk memilih Paus Agung akan dipanggil oleh yang berkompeten untuk itu.”
Mundurnya Paus Benediktus yang selama ini menjadi pengganti St. Petrus mengundang reaksi banyak orang. Ada yang menyesal karena tokoh dunia ini mundur tetapi ada juga yang mengeluarkan issue yang murah bahwa Paus Benediktus mundur karena ia sudah menjadi mualaf. Tentu issue ini murah dan bisa menyesatkan banyak orang, padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Ini tanda bahwa iblis sedang bekerja merong-rong gereja maka hendaknya setiap orang percaya mendoakan Gereja Katolik yang dipimpin oleh Bapa Suci. Umat katolik juga diharapkan tidak terpancing oleh issue-issue murahan tersebut.
Petrus dalam bacaan pertama menekankan pentingnya tugas dan tanggung jawab orang yang duduk di takhta. Para pempimpin gereja bukan pemimpin politik tetapi seorang yang memimpin secara rohani. Dia lebih merupakan seorang gembala yang menggembalakan kawanan domba dengan kebaikan hati. Inilah nasihat Petrus: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada pada kalian, jangan dengan memaksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah dan jangan karena mau mencari untung, tetapi karena pengabdian diri. Janganlah kalian berbuat seolah-olah kalian mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepada kalian, tetapi hendaklah kalian menjadi teladan bagi kawanan domba itu”
Tuhan Yesus dalam Injil mengatakan dengan tegas bahwa Ia mendirikan GerejaNya di atas wadas: “Engkaulah Petrus, dan di atas batu karang ini akan Kudirikan GerejaKu, dan alam maut takkan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci kerajaan Surga, dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga.” Perkatan Yesus ini berawal dari pengakuan iman Petrus. Iman kepada Kristus menjadi dasar yang kokoh untuk bersatu dengan Kristus.
Menyimak kata-kata Petrus ini, kita harus percaya bahwa Gereja didirikan oleh Yesus Tuhan kita. Orang-orang yang mengikuti Yesus adalah orang berdosa tetapi Gereja didirikan oleh Tuhan yang kudus maka Ia akan menguduskan GerejaNya. Ada badai di dalam Gereja adalah hal yang wajar karena manusia itu lemah, tetapi Tuhan akan senantiasa menguatkannya. Yesus berkata, “alam maut takkan menguasainya”. Oleh karena itu issue murahan yang beredar tidak akan menghancurkan gereja. Paus Bendediktus XVI mundur, akan diganti oleh pengganti lain yang melayani gereja atas nama Kristus sendiri.
Doa: Tuhan, semoga Engkau senantiasa menguatkan GerejaMu. Amen
PJSDB
Subscribe to:
Posts (Atom)