Hari Rabu Setelah Penampakan
Tuhan
1Yoh. 4:11-18
Mzm. 72:1-2,10-11,12-13
Mrk. 6:45-52
Jangan berhati
degil!
Saya pernah mendengar perkataan
seorang ayah kepada anaknya yang sudah berusia remaja. Mungkin anak itu ‘susah
diatur’ karena keras kepala dan tidak memiliki disiplin hidup di rumah. Sebab
itu ayahnya dengan emosi mengatakan: “Selagi ayah dan ibumu masih ada engkau
boleh seenaknya hidup begini. Coba pikirkanlah bahwa pada suatu saat ayah dan
ibumu sudah tidak ada bersamamu. Apakah hatimu masih degil juga?” Saya merasa
bahwa sang ayah adalah salah satu di antara kita yang mengalami kesulitan dalam
mendidik anak-anak masa kini. Satu keluhan serta kesulitan yang muncul adalah anak-anak
susah diatur, tidak patuh, sulit mencintai orang tua dan lain sebagainya.
Banyak di antara kita pasti sudah mengalaminya di dalam hidup dan juga keluarga
masing-masing. Banyak anak-anak berhati degil. Apa maksudnya berhati degil? Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata degil berarti tidak mau menuruti nasihat
orang, keras kepala dan kepala batu.
Kita mendapatkan kata degil dalam
bacaan Injil. Dikisahkan oleh Penginjil Markus bahwa setelah Yesus menggandakan
roti dan ikan dan memberi makan lima ribu orang lebih, Yesus naik sendirian ke
atas bukit untuk bersyukur kepada Bapa dalam doa. Para murid mendahuluinya ke
seberang danau yakni ke Betzaida dengan sebuah perahu. Pada malam itu perahu
yang mereka tumpangi mengalami angin sakal. Para murid Yesus mengalami
kesulitan untuk menyeberangi danau itu, meskipun jaraknya sebenarnya sangat
dekat. Yesus mengetahui kesulitan yang sedang mereja alami. Pada jam tiga dini
hari Yesus berjalan di atas air dan mencoba melewati perahu mereka. Pada saat
yang sama mereka memiliki satu tambahan ketakutan selain angin sakal yakni mereka
mengira Yesus adalah hantu sehingga mereka berteriak ketakutan.
Tuhan Yesus menunjukkan diri-Nya
dengan berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" (Mrk
6:50). Yesus naik ke dalam perahu dan perahu menjadi tenang. Angin berhenti,
para murid heran, tercengang dan bingung dengan pengalaman ini. Meskipun sudah
ada dua mukjizat besar yaitu penggandaan roti dan Yesus meredahkan angin sakal
namun para murid belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil. Para murid
yang setiap hari hidup bersama Yesus memiliki hati yang tetap degil. Tuhan
Yesus sendirilah yang akan melembutkan hati mereka supaya menjadi hati yang
mampu mengasihi.
Kisah para murid Yesus yang
berhati degil adalah gambaran hidup kita semua sebagai manusia yang sedang
hidup di hadirat Tuhan. Kita semua sudah mendapatkan anugerah-anugerah dari
Tuhan namun hati kita tetaplah degil. Kita masih sulit bersyukur kepada Tuhan
atas semua anugerah-Nya. Kita masih sulit mengasihi karena kasih Tuhan berlalu
begitu saja di dalam hidup kita. Sama seperti para murid yang setiap hari
tinggal bersama Yesus dan mereka lupa bahwa mereka sedang tinggal bersama
Yesus. Kita juga ketika merasa dekat dengan Tuhan Yesus, akan cepat lupa
sehingga hati kita degil. Kita juga berhati degil dalam hidup berkeluarga dan
berkomunitas. Anak-anak sangat sulit untuk mendengar dan mentaati orang tuanya.
Para suami dan istri tidak saling mendengar satu sama lain. Akibatnya adalah
relasi di dalam keluarga hambar, tidak ada cinta yang cukup untuk menyatukan
setiap pribadi di dalam keluarga.
Orang yang berhati degil juga dipengaruhi
oleh kebiasaan menggunakan gadget. Orang-orang yang sudah kecanduan gadget atau
kita kenal dengan phone snubbing (Phubbing) selalu kesulitan untuk mendengar
dan mentaati satu sama lain. Orang yang tidak saling mendengar memiliki hati
degil sehingga selalu mengalami kesulitan untuk membangun relasi dengan sesama manusia.
Mari kita meneliti bathin kita masing-masing, apakah kita memang berhati degil?
Apa yang harus kita lakukan untuk
mengikisi hati degil ini?
Penulis surat Yohanes memberikan
kiat bagi kita untuk melumpuhkan hati yang degil. Kiat yang dimaksud adalah
kasih. Kasih menghancurkan kedegilan hati. Yohanes mengatakan bahwa Allah
begitu mengasihi manusia maka kita sebagai manusia harus mampu mengasihi. Kasih
itu berasal dari Allah. Manusia sendiri diciptakan sesuai dengan gambar dan
rupa Allah. Maka konsekuensi logisnya adalah manusia harus mampu mengasihi
Tuhan dan sesamanya. Kemampuan untuk mengasihi sesama manusia merupakan tanda
bahwa Allah berada di dalam diri kita meskipun Ia tidak kelihatan. Yohanes mengingatkan
kita supaya kita sadar diri ada di dalam Allah dan Allah sendiri di dalam diri
kita. Yohanes dengan tegas mengatakan: “Kita telah mengenal dan telah percaya
akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada
di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1Yoh
4:16). Allah adalah kasih maka Ia akan membantu untuk mengubah hati kita supaya
mampu mengasihi.
Yohanes juga menegaskan: “Di
dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan;
sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di
dalam kasih.” (1Yoh 4: 18). Orang berhati degil diliputi banyak ketakutan di
dalam hidupnya. Orang yang berubah secara radikal tidak akan mengalami
kesulitan dalam mengasihi. Kasih itu universal karena berasal dari Allah
sendiri. Lagi pula Allah adalah kasih (1Yoh 4:16). Maka apa untungnya kita berhati degil? Lebih
baik kita memiliki hati yang mampu mengasihi. Janganlah berdegil hati tetapi
milikilah hati yang mampu mengasihi Tuhan
dan sesama.
P. John Laba, SDB
No comments:
Post a Comment