Hari Selasa setelah Penampakan
Tuhan
1Yoh. 4:7-10
Mzm. 72:2,3-4ab,7-8
Mrk. 6:34-44
Sebab Allah adalah
kasih
Saya pernah melihat sebuah ikon
Hati Kudus Yesus di rumah sebuah keluarga. Ikon itu terbuat dari
pecahan-pecahan keramik. Pecahan-pecahan keramik yang berwarna-warni itu
dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah ikon Hati Kudus Yesus yang
sangat bagus. Pada bagian bawah dari ikon itu terdapat tulisan begini: “Sebab
Allah adalah kasih”. Apa yang masuk di dalam pikiran saya setelah melihat ikon itu? Saya mengagumi
kreativitas sang pembuat ikon yang tidak mau membuang-buang pecahan keramik di
rumah baru itu tetapi merangkainya menjadi sebuah ikon yang bagus. Mungkin ia
hanya menikmati karya seninya sebatas apa yang ia pikirkan saja. Saya justru
melihat bagaimana ia berusaha mengumpulkan sisa-sisa pecahan keramik,
merangkainya menjadi satu kesatuan yang membentuk ikon Hati Kudus Yesus dan
membuat tulisan ‘Sebab Allah adalah kasih’. Dalam pikiran saya, kiranya hidup
kita juga serupa dengan pecahan keramik yang terbuang karena masa lalu kita
yang penuh kegelapan dan dosa. Meskipun demikian, kita semua telah dikumpulkan kembali
sebagai saudara dalam kasih oleh Tuhan sebab Dia adalah kasih yang
sesungguhnya. Betapa indah dan luhurnya kasih Tuhan Allah bagi kita orang berdosa
sebab Dia adalah kasih.
Pada hari ini kita mendengar
pengajaran dari St. Yohanes bagi komunitasnya. Ia mengatakan: “Saudara-saudaraku
yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari
Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa
tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.” (1Yoh
4:7-8). Ajakan Yohanes ini sangatlah luhur bagi komunitasnya. Ia menyapa mereka
sebagai saudara dalam kasih dan mengajak mereka semua untuk saling mengasihi.
Ia meyakinkan semua anggota komunitasnya bahwa mereka semua hidup dan berasal
dari Allah yang adalah kasih. Sebab itu logikanya adalah Allah adalah kasih sehingga
semua orang yang berasal dari Allah saling mengasihi satu sama lain.
Selanjutnya, Yohanes menerangkan
bahwa kasih Allah menjadi nyata di dalam diri Yesus Kristus Putera-Nya. Allah
Bapa yang adalah kasih, mengutus kasih-Nya ke dalam dunia yaitu Yesus Kristus
supaya dunia hidup dalam kasih Allah. Pada akhirnya Yohanes berkata: “Inilah
kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah
mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi
dosa-dosa kita.” (1Yoh 4:10). Sebuah kekeliruan yang selalu kita alami di
hadirat Tuhan adalah bahwa kita berpikir dan merasa telah mengasihi-Nya. Sebenarnya,
ini hanya pikiran manusiawi yang memuaskan kita sesaat bahwa kita mengasihi
Allah. Bagi Yohanes, bukan kita yang mengasihi Allah melainkan Allah sendiri
yang mengasihi kita sebab Dia adalah kasih. Kasih menjadi nyata dalam Yesus
sebagai damai kita. Dia yang mendamaikan kita dengan Allah Bapa di surga dalam
Roh.
Mari kita belajar untuk mengoreksi
diri di hadirat Tuhan. Kita berpikir bahwa kita telah mengasihi Allah padahal
Allah adalah kasih sehingga Dialah yang pertama mengasihi kita. Dialah asal muasal
kasih itu dan Ia memberikan kesempatan kepada kita untuk mengerti bahwa Ia
memang mengasihi kita. Pengalaman rohani seperti ini hendaknya menjadi sebuah
kultur dalam hidup kita. Kalau Allah membiarkan kita menyadari kasih-Nya maka
kita pun harusnya demikian. Di dalam hidup berkeluarga, masing-masing orang
harus merasakan kasih. Orang mudah berkata: “I Love You” tetapi kalau kasih itu
hanya diucapkan dan tidak dialami maka percuma saja. Tidak ada arti dan
pengaruhnya di dalam hidup kita. Saya mengingat santu Don Bosco yang pernah
berkata: “Kaum muda tidak hanya boleh mendengar bahwa mereka dikasihi, mereka
harus sadar bahwa diri mereka memang dikasihi apa adanya.” Kasih bukanlah
tatanan kata-kata melainkan sebuah pengalaman hidup yang nyata.
Apa wujud nyata sebuah pengalaman
kasih Allah di dalam hidup kita?
Penginjil Markus mengisahkan
sebuah mukjizat yang dilakukan Yesus di tengah para murid-Nya. Ia berkeliling
dan berbuat baik kepada banyak orang. Ia sungguh-sungguh menghadirkan kerahiman
Allah bagi banyak orang saat itu. Kerahiman Allah Bapa diekspresikan seperti
ini: “Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh
belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai
gembala.” (Mrk 6:34). Maka wujud kasih Allah ditunjukkan dalam sikap Yesus yang
berbelas kasih kepada orang-orang yang datang mencari-Nya. Ia tunjukkan secara
nyata dalam menyapa dan mengajar mereka.
Wujud kasih Allah juga menjadi
nyata ketika Yesus mengajar para murid untuk berbagi dengan orang lain. Para
murid memang berpikiran sangat manusiawi bahwa hanya sedikit yang mereka miliki
sehingga sangatlah sulit untuk berbagi. Yesus meyakinkan mereka dengan berkata:
“Kamu harus memberi mereka makan”. Mukjizat pun terjadi. Dengan hanya memiliki
lima roti dan dua ikan, Yesus mengajar para murid untuk memiliki hati penuh
syukur dan berbagi kepada sesama manusia. Kunci mukjizat ini terletak pada kemampuan
dan kesediaan untuk berbagi dengan sukacita. Hasilnya adalah semua orang merasa
puas bahkan kepuasan mereka berlimpah rua.
Kasih Allah melipatgandakan kepuasaan hidup kita, asal kita berani
berbagi dengan sesama yang sangat membutuhkan.
Allah adalah kasih maka tidak ada
yang mustahil bagi hidup kita. Asal kita terbuka pada kasih Allah maka kita
juga akan mampu menunjukkan wajah Allah yang penuh kasih kepada sesama. Kita
mungkin seperti pecahan keramik yang sebenarnya dibuang, tidak berguna tetapi
Allah mengasihi kita apa adanya sehingga kita pun dapat menunjukkan kasih Allah
kepada sesama. Allah adalah kasih. Allah adalah sumber kasih. Mari kita
mengasihi dengan kasih Allah sendiri.
PJ-SDB
No comments:
Post a Comment