Komitmen itu perlu dan harus!
Selamat sore menjelang malam bagimu. Pada hari ini saya menulis bahwa perkawinan itu sebuah misteri karena manusianya juga sebuah misteri. Seorang pembaca memberi komentar kepada saya, “Pater, bukan hanya suami dan istri yang setelah menikah 35 tahun belum saling kenal satu sama lain, mungkin saja seorang imam, biarawan dan biarawati juga setelah 35 tahun imamat atau membiara belum mengenal Yesus juga”. Saya tersenyum dan merenung juga bersyukur karena diingatkan pada kata ‘komitmen’ yang memang perlu dan harus saya lakukan dalam hidup. Bagi saya, tanpa komitmen seorang pribadi tidak dapat menjalani panggilan hidupnya dengan baik, tidak akan mengenal lebih dalam pasangan hidup dan siapa yang sedang diikutinya.
Saya lalu mengingat sebuah perjumpaan dengan seorang pemuda. Ia meminta waktu untuk berbicara dengan saya di pastoran. Ia mengatakan bahwa ada sebuah pengalaman yang mengganjalnya untuk berpikir tentang masa depan. Ayah dan ibunya mengambil keputusan untuk bercerai ketika ia masih kecil dan ibunya memiliki hak asuh hingga menjadi dewasa. Ia memang sangat bersyukur karena memiliki seorang ibu yang bertindak sebagai ayah dan ibu. Seorang ibu berhati ayah yang membantu dia bertumbuh dan berkembang hingga saat ini. Dia sangat mengasihi ibunya, namun ia juga tidak membenci ayahnya. Baginya, semua sudah terjadi dan sangat sulit untuk menyatukan kembali dua pribadi yang sudah merasa tidak cocok satu sama lain. Masalah bagi dia saat ini adalah apakah dia akan memilih untuk menikah atau tidak sebab ia tidak menemukan panutan yang tepat. Di satu pihak dia tidak mau mengulangi pengalaman ibunya yang ditinggalkan ayah, di lain pihak dia tidak mau menyakiti hati pasangannya kalau toh ia menyerupai ayahnya nanti. Ia mengalami dilemma dan masih sulit untuk mengambil keputusan: menikah atau bujang seumur hidup.
Saya merasa yakin bahwa banyak orang muda yang tak bersalah telah mengalami pembunuhan karakter yang dilakukan oleh orang tuanya yang tegar hati, egois, hedonis dan lain sebagainya. Karena bertegar hati maka para orang tua tertentu melakukan perselingkuhan di mana-mana hingga mendapat label pelakor dan pebinor. Memang menyakitkan bagi seorang anak ketika mengetahui hidup pribadi orang tuanya begini. Memang sangat manusiawi tetapi sangat menghalangi pertumbuhan kepribadiannya. Rasa benci dan dendam bersifat laten.
Maka kembalilah ke ‘komitmen’. Setiap pasangan, ketika mengalami kesulitan dalam perkawinan maka kembalilah kepada komitmenmu.Ingat masa-masa mudamu saat sebelum hidup bersama. Mengapa saat sudah hidup bersama semuanya berubah? Mengapa kata pengampunan akhirnya mandek dan tak berarti lagi? Pikiran saya adalah begini: “Saya yang hidup selibat sebagai imam, dengan bebas untuk memilih tidak menikah akan tetap teguh mempertahankan selibat saya ketika saya melihat keluarga-keluarga, pasangan suami dan istri tetap berkomitmen untuk setia dan terus mempertahankan perkawinannya dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, hingga saudara maut menjemput mereka.” Ini kesaksian hidup para orang tua, suami dan istri kepada kami para selibater.
Tuhan memberkatimu, Tuhan memberkati para pasangan suami dan istri yang membaca homili saya ini.
P. John Laba, SDB
No comments:
Post a Comment