Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXII
1Kor. 2:1-5
Mzm. 119:97,98,99,100,101,102
Luk. 4:16-30
Siap Mewartakan Injil
Saya pernah berjumpa dengan
seorang misionaris. Ia mengaku sedang berkarya di tanah misi selama lebih
kurang tiga puluh tahun. Mula-mula ia ditempatkan di sebuah pedalaman untuk
melayani masyarakat yang pekerjaan hariannya adalah bercocok tanam secara
tradisionil. Selanjutnya ia dipindahkan di sebuah daerah yang mayoritas penduduknya
nelayan sederhana. Di kedua daerah ini ia mengalami transformasi yang luar biasa.
Ia mengaku berasal dari keluarga petani dan pernah tinggal di sebuah kampung nelayan
sehingga dalam perutusannya ini ia tidak mengalami kesulitan. Hal yang
menyenangkannya adalah ia selalu menggunakan contoh-contoh dalam Kitab Suci tentang
hidup sebagai petani dan nelayan untuk menguatkan ketahanan ekonomi umat.
Perlahan-lahan ia melihat perubahan pola pikir dan perilaku umat untuk menjadi petani
dan nelayan yang berwawasan ekonomi. Baginya, hal yang penting adalah selalu
tinggal bersama umat dan mendampingi mereka supaya memahami nilai-nilai injili
dalam hidup keseharian mereka.
Saya merasa senang dan menikmati
sharing pengalaman misioner beliau. Dia benar-benar merasa bahwa hidup sebagai
misionaris adalah sebuah panggilan sehingga ia dapat bertahan selama lebih
kurang tiga puluh tahun di tanah misi dan masih mau lanjut lagi di sana. Tuhan
Yesus sendiri ketika memanggil para murid perdana, khusus mereka yang berlatar
belakang nelayan sederhana mengatakan kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan
kamu akan Kujadikan penjala manusia." (Mat 4:19). Menjadi penjala manusia
berarti mengusahakan agar mereka yang menjadi sasaran penginjilan itu harus
sejahtera secara jasmani dan rohani. Artinya umat yang menerima Injil itu tidak
hanya mengetahui Tanda Salib, Doa Bapa kami dan Salam Maria, tetapi mereka juga
memiliki bekal untuk mengisi perut mereka. Bagaimana mungkin mereka memuji
Tuhan dengan perut yang kosong? Itu tentu hal yang sulit dalam hidup
menggereja.
Pada hari ini kita mendengar
kesaksian Rasul Paulus ketika berada di Korintus. Ia mengingat saat awal
melayani jemaat di Korintus, di mana dia merasa tidak datang dengan kata-kata yang
indah atau dengan himat dalam mewartakan kesaksian Allah. Ia mengaku sudah
memutuskan untuk tidak mengetahui suatu apa pun dalam jemaat selain Yesus
Kristus yang tersalib. Ia datang dengan satu bendera dan dengan satu branding
yang jelas yaitu Yesus Kristus yang tersalib. Dalam mewartakan Yesus Kristus
tersalib itu, ia mengakui memiliki banyak kelemahan, dengan takut dan gentar.
Hal yang menjadi kekuatannya adalah Roh yang diyakininya dapat memperkuat iman
mereka. Kita melihat bahwa Paulus sang Misionaris besar ini juga merasakan
kesulitan dalam perutusannya. Ia juga mengakui adanya kelemahan-kelemahan dalam
bermisi. Namun Roh Kudus menguatkannya untuk terus mewartakan Injil kepada
bangsa-bangsa. Ia tidak mengandalkan kekuatannya tetapi kekuatan dari Tuhan
dalam Roh.
Pengalaman Paulus adalah
pengalaman Yesus sendiri. Dalam bacaan Injil Lukas, Tuhan Yesus juga
menunjukkan diri-Nya sebagai pewarta Injil dengan kuasa Roh. Ketika itu Dia
sudah mewartakan Injil kemana-mana dengan kuasa dan wibawa dan membuat tanda-tanda
heran. Kali ini Ia kembali ke Nazaret tempat Ia dibesarkan. Sebagai seorang
dewasa, Ia mengikuti peribadatan di dalam Sinagoga. Ia membaca nas dari Kitab
nabi Yesaya (Yes 61:1-2 dan 58:6) sebagai berikut: "Roh Tuhan ada
pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19). Ini boleh dikatakan sebagai visi
dan misi dari Yesus di dunia ini. Hal yang menarik perhatian adalah semua mata
di dalam Sinagoga tertuju kepada Yesus dan Yesus dengan tegas mengatakan: "Pada
hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." (Luk 4:21).
Tentu saja semua orang
terheran-heran melihat Yesus yang tampil beda saat itu.Ia sebelumnya dikenal
sebagai Anak Yusuf si Tukang Kayu, dan Ibunya bernama Maria, kini menjadi
seorang Rabi yang disegani karena kuasa dan wibawa-Nya dalam berkata dan
tanda-tanda heran yang dilakukan-Nya di hadapan banyak orang di Galilea. Namun
orang-orang di Nazaret menutup mata dan hati mereka sehingga menolak bahkan
hendak membunuh Dia. Yesus berkata: “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai
di tempat asalnya.” (Luk 4:24).
Banyak misionaris juga mengalami
hal yang sama dengan Yesus. Mereka ditolak bahkan gugur sebagai martir. Namun
janji Yesus sangat berharga: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan
dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan
bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya
nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5:11-12). Dalam situasi apapun mereka tetap
setia mewartakan Injil sampai tuntas.
Pengalaman Yesus adalah pengalaman
Gereja dan pengalaman kita sebagai pribadi. Gereja juga mengalami penolakan dan
penganiayaan di mana-mana. Namun Tuhan selalu hadir dan menyertai Gereja yang
didirikan-Nya di atas wadas. Sebab itu meskipun Gereja diterpa angin sakal,
dihantam dari luar dan dalam, namun Gereja tetap berdiri kokoh. Berbagai
skandal yang memalukan Gereja seperti korupsi, pedofilia tidak menghancurkan Gereja
karena Tuhan menyertainya hingga akhir zaman. Hal terpenting adalah pertobatan
radikal Gereja. Pengalaman Yesus menjadi pengalaman pribadi sebagai pengikut-Nya.
Pikirkanlah, di saat-saat kita melayani, orang hanya melihat kelemahan bukan
kelebihanmu dalam melayani. Kalau hanya sebuah kesalahan kecil yang anda lakukan
maka anda akan langsung hilang dari peredaran. Ketika ada sharing Kitab Suci
selalu tidak jalan dengan baik karena orang tidak menghargai sharing sesamanya.
Hanya orang luar komunitas yang menghargai sharing pengalaman rohaninya.
Pada hari ini kita belajar untuk
tetap mengandalkan Tuhan dalam Roh-Nya yang menjadi kekuatan untuk mewartakan
Injil. Apapun situasinya, penolakan yang datang bertubi-tubi tidak harus
mematikan api yang membara untuk mewartakan Injil dan membabaskan sesama dari
belenggu-belenggu kelaliman. Misi Yesus adalah misi kita saat ini. Biarkanlah
orang melihat wajah Yesus dalam karya-karya misi Gereja.
PJ-SDB
No comments:
Post a Comment