St. Simon dan St. Yudas
Ef. 2:19-22
Mzm. 19:2-3,4-5
Luk. 6:12-19
Kekuatan sebuah panggilan
Saya selalu mengingat sharing
seorang bapa tentang kehidupan keluarganya dalam sebuah acara rekoleksi bersama
keluarga. Ia bercerita: “Ada satu hal yang selalu saya ingat sepanjang hidup
saya sebagai seorang ayah bagi anak-anak dan suami bagi istri saya, yakni
selalu berpegang teguh pada komitmen pribadi pernikahan saya.” Ia menjelaskan
bahwa apa yang merupakan kesepakatan bersama di dalam keluarga tetaplah ia
pegang teguh dan setia menjalaninya. Misalnya, kesepakatan untuk saling
berjabatan tangan sebagai pasutri, baginya merupakan sebuah komitmen setiap
hari. Ia tidak pernah merasa bosan untuk menjabat tangan istrinya sebelum dan
sesudah bekerja. Kontak antar tangan memiliki kekuatan untuk mencairkan situasi
yang beku di dalam keluarga sebagai pasutri. Ia merasa bahwa kadang-kadang
sangat sulit untuk berjabatan tangan, namun karena komitmen pribadi terhadap
pasangan maka ia setia melakukannya. Pengalaman sederhana yaitu saling
berjabatan tangan ini sangat memiliki daya transformatif yang luar biasa. Ia
merasa selalu diperbaharui setiapa saat menyentuh tangan istrinya. Ini sebuah
pengalaman sederhana tetap sungguh bermakna.
Pada hari ini kita merayakan
pesta Santu Simon dan Santu Yudas, Rasul Yesus Kristus. Simon adalah seorang
Kanaan. Ia dikenal dengan sapaan orang Zelot yang berarti orang yang rajin,
orang yang tekun, orang yang semangatnya meluap-luap. Ia memiliki komitmen dan
integritas yang tinggi dalam mempelajari dan menaati hukum Taurat, dan dalam
mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Ia wafat sebagai martir di Persia pada tahun
107M. Yudas dikenal sebagai Tadeus, saudara dari Yakobus muda. Namanya Tadeus
berarti yang berani. Namanya juga menunjukkan integritas dan komitmennya dalam
mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Kita dapat mengenal jati dirinya dalam suratnya
yang singkat (hanya 25 ayat). Ia memberi motivasi, peneguhan kepada Gereja muda
untuk setia Tuhan Yesus Kristus. Ia meninggal dunia sebagai martir pada abad
pertama di Persia. Kedua Santu ini merupakan bagian penting dalam panggilan dan
pilihan Tuhan Yesus sebagaimana kita dengar dalam bacaan Injil hari ini. Mereka
mewujudkan panggilan mereka dalam kesetiaan untuk mengasihi Yesus dan
Gereja-Nya sampai tuntas.
Bagaimana Tuhan memanggil dan
memilih para Rasul atau Utusan-Nya? Para penginjil memberi kesaksian yang sama
bahwa Yesus mendaki sebuah bukit, sebuah tempat yang lebih tinggi untuk berdoa.
Ia berdoa dalam waktu yang tidak singkat, tetapi berdoa semalam-malaman kepada
Allah. Sikap doa Yesus ini menunjukkan persekutuan-Nya yang begitu mendalam
dengan Allah Bapa di Surga. Ia benar-benar mengangkat hati dan pikiran-Nya
supaya tertuju hanya kepada Bapa di dalam Surga. Doa ini memang penting bagi
Yesus sebelum mengambil keputusan-keputusan yang penting untuk menyelamatkan
manusia. Misalnya ketika Dia hendak memilih kedua belas Rasul-Nya dari banyak
orang yang berbondong-bondong mengikuti-Nya. Buah dari doa-Nya
semalam-malaman-Nya adalah memilih nama-nama ini sebagai Rasul-Rasul-Nya:
“Simon yang juga diberi-Nya nama Petrus, dan Andreas saudara Simon, Yakobus dan
Yohanes, Filipus dan Bartolomeus, Matius dan Tomas, Yakobus anak Alfeus, dan
Simon yang disebut orang Zelot, Yudas anak Yakobus, dan Yudas Iskariot yang
kemudian menjadi pengkhianat.” (Luk 6:14-16).
Satu hal yang penting di sini
adalah, Yesus tidak hanya memanggil dan memilih para rasul-Nya dan selesai. Ia
selalu mendampingi dan berjalan bersama mereka. Ada perjumpaan yang
menyelamatkan yang nantinya terus-menerus akan diwartakan oleh para Rasul.
Tawaran kerasulan yang dikehendaki Yesus adalah ‘menyelamatkan semua orang’.
Tuhan Yesus sendiri menunjukkan kuasa-Nya dalam kata dan karya. Orang yang
datang kepada-Nya mengalami keselamatan. Tuhan melepaskan mereka dari belenggu
dosa dan memberikan keselamatan dan keabadian. Pengalaman indah ini nantinya
menjadi kerasulan dari para pilihan Yesus. Mereka akan mengajar dan
menyembuhkan. Mereka akan menyelamatkan seperti Yesus sendiri karena mereka
sungguh-sungguh melakukan pekerjaan Allah yang sudah dimulai oleh Yesus
sendiri.
St. Paulus dalam Bacaan Pertama
mempertegas misi Yesus yakni menyelamatkan semua orang. Dia tidak memilah-milah
para pengikut-Nya. Lebih jelas Paulus mengatakan: “Kamu bukan lagi orang asing
dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan
anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para
nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” (Ef 2:19-20). Dalam Yesus
kita semua bersaudara. Memang masih banyak orang yang masih melihat
perbedaan-perbedaan di dalam hidup menggereja. Mereka masih berpegang teguh
pada suku, bangsa, bahasa, ras, agama, dan budaya. Padahal sesungguhnya di
dalam Yesus, tidak ada lagi perbedaan di antara kita. Setiap perbedaan adalah
pintu masuk kepada persekutuan dan persaudaraan.
Santu Paulus juga mengatakan: “Di
dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang
kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat
kediaman Allah, di dalam Roh.” (Ef 2:21-22). Tuhan Yesus membangun Gereja
sebagai Tubuh Mistik-Nya bukan sekedar sebuah bangunan tanpa makna. Gereja
sebagai Bait Allah yang kudus, bukan sekedar susuan batu-batu buatan tangan
manusia. Sebagai Gereja, Tuhan juga membentuk kita sebagai tempat kediaman
Allah dan Bait Roh Kudus. Konsekuensinya adalah kita sadar diri sebagai Bait
Roh Kudus. Sebab itu kita perlu dan harus menghargai diri kita dan dengan
demikian dapat menghargai hidup sesama di hadapan Tuhan. Kita menguduskan diri
kita dan dengan demikian dapat menguduskan sesama manusia. Kekuatan sebuah
panggilan terungkap dalam kemampuan kita untuk mengubah diri kita menjadi kudus
dan menguduskan sesama yang lain dalam kata dan tindakan nyata kita. Hidup
Kristiani bermakna ketika kita berusaha untuk semakin serupa dengan Yesus
Kristus dalam kata dan tindakan nyata hidup kita.
Apa yang kita lakukan untuk
menunjukkan kekuatan sebuah panggilan hidup? Kita mengingat pada hari istimewa
ini kita merayakan hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 untuk menjadi
satu Nusa, satu Bangsa dan satu Bahasa yaitu Indonesia. Saya teringat pada
sebuah tulisan inspiratif: “Indonesia adalah satu Nusa, satu Bangsa dan satu
Bahasa bukan satu Agama.” Kekuatan panggilan kita terletak pada kemampuan untuk
menjadi satu dalam persaudaraan sejati.
PJ-SDB
No comments:
Post a Comment