Am 9:1-6
Mzm 34:2-3.10-11.12-13,14-15
Ef 5:15-20
Yoh 6:51-58
"Menyantap Roti Kehidupan"
Pada suatu hari seorang romo dan saya melakukan kunjungan ke sebuah stasi untuk mendengar pengakuan dosa. Perjalanan memakan banyak waktu karena jalannya penuh dengan batu-batu besar. Ratusan umat menunggu dengan setia kehadiran dan pelayanan kami berdua. Ibadat tobat dan pelayanan sakramen tobat berjalan dengan baik. Setelah semua tuntas, kami bersiap-siap untuk langsung kembali ke pastoran tetapi salah seorang tokoh umat mengajak kami ke rumahnya di pinggir gereja. Saya berpikir akan mendapat hidangan yang lezat tetapi setelah setengah jam keluarlah ibu rumah itu membawa dua butir telur ayam. Satu telur ayam kampung dan satu telur ayam ras. Dia berkata, “Pater berdua, di pastoran kalian punya roti dan ikan yang enak, di sini kami hanya punya dua telur ayam kampung dan ayam ras. Selebihnya tidak ada lagi. Semoga kedua telur ini mengganjal perut kalian sampai tiba di pastoran dan kalian boleh menyantap di sana.” Kami pun menerima kedua telur ayam dan melakukan perjalanan kembali ke pastoran yang berjarak sekitar 30km.
Ini adalah sebuah kisah sederhana yang tetap saya ingat dalam hidup saya. Umat sederhana meskipun tidak memiliki makanan yang dinilai “berharga” namun dengan murah hati mau memberi segala yang mereka miliki untuk pastornya. Saya sangat bangga dengan kesederhanaan dan kepolosan hati mereka. Sekecil apapun yang mereka miliki ketika mereka membaginya dengan orang lain, mereka merasa telah memberi yang terbaik, memberi seluruhnya kepada sesama. Ini yang sempat terlihat dari wajah dan ungkapan mereka di kampung itu.
Bacaan-bacaan liturgi pada hari Minggu Biasa pekan XX/B ini mengantar kita untuk mengenal dan memahami serta mengimani Tuhan Yesus sebagai Roti Hidup. Apakah Roti Hidup itu?
Dalam bacaan pertama penulis Kitab Amsal menulis bahwa sang Hikmat telah mendirikan rumah dan sebagai tanda syukur atas rumah itu maka diadakan sebuah perjamuan. Ternak peliharaan dipotong dan darahnya dicampur dengan anggur untuk disantap. Para pelayan perempuan berseru kepada orang yang belum memiliki kebijaksanaan untuk singgah di rumah kebijaksanaan. Kepada orang yang tidak bijaksana para pelayan berkata, “Marilah makan rotiku, dan minumlah anggur yang telah kucampur! Buanglah kebodohan maka kamu akan hidup dan ikutilah jalan pengertian”.
Seruan Amsal ini kiranya tepat bagi seluruh jemaat yang percaya kepada Tuhan. Setiap pribadi diajak untuk membaharui diri dan komitmennya terus menerus supaya layak menjadi orang yang bijaksana. Kalau orang tetap tinggal diam, ia dapat menjadi orang bodoh yang tidak memiliki arah hidup yang jelas. Hendaklah orang menyadari dan mencari Tuhan dalam hidupnya dengan melepaskan seluruh daya kebodohan. Tuhan menganugerahkan hikmat bukan kebodohan kepada manusia. Orang yang berhikmat akan mengenal Allah secara mendalam, mengimani dan mencintai dengan tulus. Hal yang menarik perhatian kita adalah darah hewan dicampur dengan anggur lalu diminum, roti disantap. Dalam terang Perjanjian Baru, orang yang bijaksana menerima anggur dan roti sebagai tubuh dan darah Kristus.
Senada dengan Amsal, Paulus dalam bacaan kedua juga menasihati umat di Efesus: “Saudara-saudara, perhatikanlah dengan saksama bagaimana kamu hidup: janganlah seperti orang bebal tetapi seperti orang arif. Jangan kamu bodoh tetapi berusaha untuk mengerti kehendak Tuhan.” Mengapa Paulus menasihati orang-orang Efesus untuk menjadi orang arif dan bukan orang bodoh? Paulus menginginkan agar jemaat Efesus benar-benar mengimani Yesus sang kebenaran sejati. Orang-orang yang bodoh tentu akan menolak Tuhan sedangkan orang arif akan menerima Tuhan di dalam hidupnya. Orang-orang bodoh adalah simbol orang-orang yang masih hidup dalam dosa dengan gaya hidup berfoya-foya dan melupakan kehendak Tuhan di dalam hidup mereka. Tentang hal ini Paulus menulis, “Janganlah kamu mabuk oleh anggur karena anggur dapat menimbulkan hawa nafsu.” Apa yang harus dilakukan oleh jemaat Efesus? Mereka harus bertobat. Tanda pertobatan yang harus mereka lakukan adalah hidup dalam Roh dengan mengucap syukur dalam mazmur, kidung pujian, dan nyanyian rohani. Semua syukur hanya kepada Bapa di Surga dalam Yesus Kristus. Secara singkat, boleh dikatakan Paulus memahami hidup sebagai orang bijaksana adalah hidup di dalam Roh Tuhan.
Kebijaksanaan bagi orang-orang percaya adalah menerima Yesus seutuhnya. Dialah Tuhan yang memberi diriNya sampai tuntas untuk keselamatan kita. Penginjil Yohanes meneruskan kesaksiannya atas permenungan Yesus tentang Roti Hidup. Kali ini Yesus dengan terang-terangan berbicara di dalam rumah ibadat di Kapernaum, “Akulah Roti Hidup yang telah turun dari Surga. Roti yang akan Kuberikan adalah dagingKu”. Yesus mau mengoreksi pemikiran mereka bahwa roti yang dimakan nenek moyang mereka di Padang gurun itu diberikan Bapa tetapi nenek moyang mereka telah makan dan mereka juga telah mati. bagi Yesus, Roti adalah daging TubuhNya dan anggur adalah darahNya diberikan untuk hidup kekal manusia dan hidup dunia. Yesus juga mengatakan bahwa siapa yang makan TubuhNya dan minum darahNya akan tinggal di dalamNya dan Dia di dalam pribadi tersebut.
Kata-kata Yesus ini menimbulkan krisis Galilea. Banyak orang akan mundur karena mendengar kata-kata Yesus yang dinilai keras: “Makan tubuhNya dan minum darahNya sebagai santapan hidup kekal”. Bagi kita para pengikutNya, kata-kata Yesus ini tetap dikenang di dalam perayaan Ekaristi. Dengan menyantap Tubuh dan DarahNya, kita juga memperoleh kehidupan kekal. Ekaristi yang membuat kita mengenang Yesus membagi diriNya: diangkat, dipecah-pecah, dibagi-bagi, disantap dan diutus sebagai pribadi ekaristis. Di dalam Ekaristi Kristus hadir secara nyata: bisa disentuh, diraba, disantap dan menyatu dengan hidup kita.
Kita bersyukur kepada Tuhan atas kebijaksanaan yang membuat kita sadar dan mengimaniNya sebagai Tuhan dan Allah Bapa kita di dalam Yesus PuteraNya dan Roh KudusNya. Kita dipanggil untuk bersatu denganNya dalam kehidupan kekal. Ekaristi menjadi bekal perjalanan untuk berjumpa dengan Tuhan sendir.
Saya akhiri homili ini dengan mengingatkan kita semua akan sebuah Himne Ekaristi terkenal dari St. Thomas Aquinas:
Saya akhiri homili ini dengan mengingatkan kita semua akan sebuah Himne Ekaristi terkenal dari St. Thomas Aquinas:
O Salutaris Hostia
Quae caeli pandis ostium:
Bella premunt hostilia,
Da robur, fer auxilium.
Uni trinoque Domino
Sit sempiterna gloria,
Qui vitam sine termino
Nobis donet in patria.
Amen.
Doa: Tuhan, terima kasih atas Ekaristi yang menghidupkan kami selama-lamanya. Amen
PJSDB
No comments:
Post a Comment