Daya transformatif sebuah kematian
Kematian itu sebuah kepastian, tak
ada sebuah keraguan padanya. Masing-masing kita pernah mengalami ‘kehilangan’
orang-orang terkasih akibat datangnya saudara maut untuk memisahkan kita dan
dia serta mereka. Kalau kita tidak siap untuk menerima dan mengolah pengalaman ‘kehilangan’
akibat kematian maka dapat menjadi luka yang tidak sembuh-sembuh. Sebaliknya
kalau kita menerima kematian sebagai sebuah kenyataan dan kepastian maka tidak akan
menjadi luka yang bertahan lama dalam hidup kita. Sekarang pikirkan lukamu yang
masih menganga, meskipun sudah bertahun-tahun sebagai akibat dari kematian
orang-orang yang terkasih dan dikasihi serta mengasihimu. Sudah berapa lama
anda gagal mengobati lukamu itu? Apakah anda membiarkan luka itu tetap menganga?
Saya mengingat Santu Yohanes
Bosco. Ketika baru berusia dua tahun ayahnya bernama Fransiskus Bosco meninggal
dunia. Yohanes merasa heran karena ayahnya tidak bangun. Dia lalu bertanya
kepada mamanya bernama Margaretha alasan mengapa ayahnya tidak bangun dari tempat
tidurnya. Ibunya mengatakan: “Engkau sudah tidak memiliki ayah lagi”. Yohanes
kaget. Ini menjadi sebuah luka baginya! Ia meminta ibunya untuk menjelaskan perkataan:
‘Engkau tidak memiliki ayah lagi’. Ibunya menjelaskan dengan sederhana kondisi
ayahnya yang tidak bernyawa lagi. Kalimat
‘Engkau sudah tidak memiliki ayah lagi’ memiliki dampak yang sangat besar dalam
seluruh hidup Yohanes Bosco. Betul, ia tidak memiliki ayah lagi dan berusaha
untuk bertahan hidup bersama ibunya Margaretha. Buah manis dari pengalamannya
ini adalah dia menjadi Bapa, Guru dan Sahabat kaum muda. Yohanes Bosco mampu
mengolah pengalaman masa kecil, tanpa ayah ini menjadi seorang pribadi yang
dewasa dan sempurna bagi orang-orang muda. Ini adalah daya transformasi
kematian sang ayah dalam diri Yohanes Bosco.
Ayah saya ketika masih hidup
memiliki karakter yang kuat. Filosofinya adalah kalau anda tidak bekerja maka
anda juga tidak berhak untuk mencicipi makanan di atas meja makan. Kami
anak-anaknya berusaha untuk mengerti filosofi ayah ini. Maka kebiasaan yang
kami lakukan di rumah adalah bekerja dan bekerja di samping belajar. Dia juga
selalu mengatakan: “Sekarang ini saya memberikan diri saya untuk kalian, namun
hanya dua hal yang saya boleh minta dari kalian sebagai anak-anakku, pertama,
jangan lupa berdoa supaya saya masuk surga. Kedua, kalau datang jangan lupa
bawa lilin putih dan pasanglah di atas kuburku. Biarlah cahaya lilin putih
menghiburku” Pada saat-saat terakhir sebelum meninggal dia berpesan kepada ibu
saya: “Jangan lupa perhatikan frater Yohanes”. Kadang saya merasa sedih tetapi
saya mengganti kesedihan dengan doa dan membawa lilin putih pesanannya. Kematian
ayah memiliki daya transformatif yang luar biasa dalam hidup saya, bahkan sampai
saat ini sebagai gembala.
Memang benar kata orang: “Kehidupan
memang indah, tapi siapa sangka kematian jauh lebih indah. Buktinya yang pernah
mati mereka betah dan enggan untuk kembali.” Mungkin itu yang ayah saya, juga
saudari dan saudara yang sudah meninggal dunia mengalaminya. Maka dari itu, “Daripada
sibuk menghitung detik, menunggu datang malaikat maut, lebih baik tetap lakukan
yang terbaik, sampai ajal menjemput.” Selalu berbuat baik, jujur dan adil dalam
hidup kita. Kita akan meninggalkan kebajikan-kebajikan yang dikenang dan
memiliki daya transformatif juga bagi hidup orang lain.
Moga-moga jiwa orang beriman
beristirahat dalam ketentraman karena kerahiman Tuhan. Amen.
P. John Laba, SDB
No comments:
Post a Comment