Kamu adalah Garam
Dunia
Rekan-rekan pria katolik yang terkasih.
Pada suatu hari saya menyaksikan sepasang suami
dan istri berkelahi. Sebelumnya sudah ada kekerasan fisik dan verbal di dalam rumah.
Sekarang sang suami mengejar istrinya sampai di jalan raya sambil meluapkan
segala emosinya. Banyak orang
menyaksikan pemandangan yang tidak menarik ini. Setelah diselidiki ternyata
masalahnya sepeleh. Ketika istrinya menyiapkan sayur, ternyata ia lupa memberi
garam sehingga sayurnya hambar. Memang masalahnya sepeleh tetapi dapat
menimbulkan goncangan yang besar di dalam keluarga.
Dari zaman dahulu hingga saat ini garam
memiliki banyak faedahnya. Garam dapat dipakai untuk mengawetkan makanan dan memberi
rasa nikmat kepada makanan. Garam juga berguna untuk kesehatan tubuh manusia,
misalnya sering dipakai untuk mandi, scrub, masker, deodorant, pasta gigi, obat
kumur, pembersih hidung, perawatan luka. Namun kita juga berhati-hati dengan
kelebihan garam karena berbahaya bagi tubuh. Tentu saja hal ini dikhususkan
bagi mereka yang mengalami penyakit darah tinggi dan jantung.
Di daerah antara Israel, daerah otoritas
Palestina dan Yordania terdapat laut mati. Laut mati letaknya sekitar 418 m di
bawah permukaan laut tengah. Kadar garamnya sekitar 32 kali lebih asin dari
garam laut yang lain. Mengapa disebut laut mati? Karena di sana tidak ada makhluk
hidup yang dapat bertahan dalam air garam ini. Sejak dahulu material yang
terdapat dalam laut mati diketahui mempunyai efek untuk mempercantik kulit.
Dengan mengoleskan lumpurnya ke tubuh, mineral yang terkandung di dalamnya
terbukti dapat memperbaiki kulit, melancarkan sirkulasi darah dan dapat
membantu kesehatan. Hal ini sudah lama diketahui oleh Raja Salomo, Cleopatra
dan Herodes Agung sehingga mereka mendatangi Laut Mati untuk memperoleh efek
tersebut.
Kalau kita memperhatikan baik-baik, garam dapat
berguna kalau ia dapat melebur dirinya. Misalnya supaya dapat memberi
kenikmatan pada makanan, garam harus rela kehilangan wujud padatnya dalam
bentuk butiran garam menjadi air, merembes masuk ke dalam makanan dan dari
dalam makanan itu garam memberi rasa nikmatnya. Banyak di antara kita yang tidak
menyukai butiran garam yang belum tercampur merata dengan makanan. Garam memberi
pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.
Bagaimana garam dapat menginspirasikan kita
untuk menemukan sebuah Spiritualitas Pria Katolik. Kita juga dapat menjadi seperti
garam yang dapat memberi rasa tertentu di dalam hidup bersama, entah di dalam
keluarga maupun masyarakat social. Untuk dapat menjadi garam kita harus
memiliki sikap rela berkorban. Kita harus berani membuang sikap sombong, ingin
menang sendiri, rela “kehilangan diri” seperti garam supaya dapat masuk ke
dalam hidup seseorang atau masyarakat social dan memberi rasa tertentu dari
dalamnya. Misalnya, anda dapat menjadi garam kalau anda memiliki sikap rendah
hati, masuklah ke dalam hidup sesama dengan diam-diam dan berikanlah pengaruh
yang baik dari dalam dirinya. Semua jenis perbuatan baik adalah wujud
meleburnya garam di dalam hidup kita.
Tuhan Yesus pernah berkata kepada para
muridNya: “Kamu adalah garam dunia. Jika garam menjadi tawar, dengan apakah ia
diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang” (Mat 5:13).
Tuhan Yesus meminta kita untuk menjadi garam dalam lingkup yang lebih luas
yakni garam dunia. Wah, ini tantangan bagi kita semua. Mari kita kuatkan
semangat hidup untuk menjadi garam di dalam keluarga, gereja, masyarakat dan
akhirnya dunia. Mari kita berusaha untuk selalu berbuat baik bagi sesama.
Perbuatan baik kepada semua orang, tanpa memandang siapakah orang itu merupakan
garam yang paling nikmat. Ayoo, jadilah garam yang memberi rasa nikmat dan
menyehatkan.
Saya mengakhiri refleksi ini dengan sebuah
cerita dari Antonny de Mello, SJ. Di dalam bukunya “Burung Berkicau”, ia bercerita
bahwa ada seekor ikan kecil. Sambil berenang, ia berjumpa dengan ikan yang
lebih tua. Ia bertanya: “Maaf, anda lebih tua dan berpengalaman melebih saya.
Di manakah saya dapat menemukan laut? Saya sudah mencarinya tetapi belum
menemukannya!” Ikan yang lebih tua menertawakannya dan berkata: “Anda mencari laut?.
Laut adalah tempat di mana engkau sedang berenang”. Ikan kecil itu berkata, “Saya
merasa di sini hanya air saja! Ia kecewa dan berenang mencari laut di tempat
yang lain”. Banyak kali kita tidak bisa menjadi garam karena kita tidak percaya
diri, sulit untuk menyadari diri dan lingkungan kita. Sadarilah dirimu,
lingkunganmu dan jadilah garam yang
memberi rasa baru dalam hidup sesamamu.
Salam dan berkat
PJSDB
No comments:
Post a Comment