Friday, October 2, 2020

Homili 2 Oktober 2020

Peringatan Wajib Para Malaikat Pelindung
Kel. 23:20-23a
Mzm. 91:1-2,3-4,5-6,10-11
Mat. 18:1-5,10.

Kita masih membutuhkan pendampingan

Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang bapa. Ia sempat membagikan pengalaman sebagai sosok ayah yang membesarkan kedua anaknya sendiri karena sang istri sudah dipanggil Tuhan beberapa tahun silam. Ia mengaku harus melakukan tugas sebagai ayah dan ibu sekaligus. Masa yang sulit adalah merawat anak bungsu yang ditinggal ibunya saat baru masih berusia 9 bulan. Ia belajar memasak, menyiapkan susu untuk bayi, mencuci, menggosok, membersihkan rumah dan bekerja. Baginya, pengalaman masa lalu adalah guru kehidupan. Pengalaman itu mendewasakannya sebagai ayah yang terbaik. Kedua anaknya pun bertumbuh sehat, menjadi dewasa, kuliah dan kerja. Ia selalu mengingat masa-masa yang sulit itu dengan penuh syukur. Ia merasakan pendampingan dan penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Kini ia tetap mendampingi kedua anaknya supaya mencapai masa depan yang lebih baik. Ia sempat mengatakan bahwa ayah yang baik adalah malaikat bagi anak-anaknya. Pengalaman sosok seorang ayah yang saya ceritakan ini masih ada dalam hidup kita. Mungkin saja anda yang sedang membaca tulisan ini mengalami hal yang mirip. Setelah menunaikan tugas, anda akan merasa diri serupa dengan seorang malaikat pelindung bagi orang lain.

Pada hari ini kita merayakan Pesta Para Malaikat Pelindung. Siapakah malaikat itu? Katekismus Gereja Katolik mengajarkan: “Malaikat-malaikat adalah makhluk rohani yang memuliakan Allah tanpa henti-hentinya dan melayani rencana keselamatan-Nya untuk makhluk lain. “Dalam segala pekerjaan baik, para malaikat bekerja sama dengan kita” (Tomas Aqu., s.th. 1, 114,3, ad 3). (KGK, 350). Berkaitan dengan para malaikat pelindung, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan: “Sejak masa anak-anak sampai pada kematiannya malaikat-malaikat mengelilingi kehidupan manusia dengan perlindungan” dan doa permohonan. “Seorang malaikat mendampingi setiap orang beriman sebagai pelindung dan gembala, supaya menghantarnya kepada kehidupan” (Basilius, Eun. 3,1). Sejak di dunia ini, dalam iman, kehidupan Kristen mengambil bagian di dalam kebahagiaan persekutuan para malaikat dan manusia yang bersatu dalam Allah.” (KGK, 336). Dari Katekismus Gereja Katolik ini, kita semakin mengerti bahwa Tuhan Allah sendiri menugaskan para malaikat untuk mendampingi, melindungi, menggembalakan dan menghantarkan manusia kepada Tuhan.

Kita semua memiliki Malaikat pelindung sebab Tuhan juga mempunya rencana dan maksud yang istimewa bagi kita masing-masing. Perannya sudah jelas sebagaimana diajarkan dalam Katekismus Gereja Katolik bahwa malaikat itu mendampingi, melindungi, menggembalakan dan mengantar manusia kepada Tuhan. Hal ini sesuai dengan sabda yang kita dengar dalam bacaan pertama: "Sesungguhnya Aku mengutus seorang malaikat berjalan di depanmu, untuk melindungi engkau di jalan dan untuk membawa engkau ke tempat yang telah Kusediakan.” (Kel 23:20). Artinya kita tidak hanya sekedar berjalan bersama Malaikat Tuhan, tetapi juga bersama Tuhan sendiri yang sudah mengutus malaikat kepada kita. Malaikat sebagai pendamping itu berjalan di depan untuk menjaga dan melindungi kita hingga ke tempat tujuan.

Apa yang harus kita lakukan sepanjang hidup ini? 

Tuhan mengingatkan kita untuk menjaga diri dan mendengar setiap perkataan-Nya. Kita patuh kepada kehendak Tuhan yang ada di dalam diri para malaikat, menjauh dari perbuatan durhaka melawannya. Tuhan sendiri berjanji untuk menjaga dan melindungi kita laksana seorang Gembala yang memperhatikan domba-dombanya. Tuhan mengingatkan kita untuk bertobat dan rendah hati seperti seorang anak kecil supaya layak masuk ke dalam Kerajaan Allah. Mengapa kita perlu menghormati anak-anak kecil? Yesus sendiri mengatakan: “Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 18:10). 

Kita patut bersyukur kepada Tuhan sebab Ia juga menjadikan kita sebagai malaikat pelindung bagi sesama yang lain. Selagi masih hidup, kita dapat memiliki peran yang baik bagi sesama kita yakni untuk mendampingi, melindungi, menggembalakan dan menghantarkan manusia kepada Tuhan. Tuhan telah melakukannya bagi kita melalui malaikat pelindung, kita pun melakukan hal yang sama bagi semua orang. Itu tanda cinta kasih dan kebaikan bagi sesama.

PJ-SDB

Monday, September 28, 2020

Food For Thought: Saudara kematian terkasih

Saudara kematian yang terkasih 



Selama beberapa hari terakhir ini saya merayakan Ekaristi secara online untuk mengenang umat yang sudah dipanggil Tuhan. Tiga di antara mereka yang saya doakan meninggal dunia karena covid-19. Tentu saja seluruh keluarga merasa kehilangan dan ada perasaan marah kepada Tuhan. Ini memang pengalaman yang sangat manusiawi dan Tuhan tentu mengerti dan peduli dengan situasi dan pengalaman hidup kita masing-masing. Tuhan kita Maharahim dan suka mengampuni orang-orang berdosa. Dia juga akan memberikan Roh-Nya untuk memberi hidup kekal kepada kita. St. Paulus menulis: “Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.” (Rom 8:11). 

Tentu saja di saat-saat seperti ini keluarga besar yang ditinggalkan butuh penghiburan dan doa dari kita semua yang mengenal atau tidak mengenal mereka. Doa benar-benar menjadi hadiah yang istimewa bagi yang berpulang dan keluarganya yang masih hidup. Doa akan mengubah seluruh hidup kita untuk mengatakan dengan lapang dada bahwa kematian adalah saudara, sebagaimana dikatakan St. Fransiskus dari Asisi. Kita semua dengan lapang dada mengatakan hal yang sama: “Saudara kematian yang terkasih”. Kematian sebagai saudara tidak akan menakutkan karena merupakan saat ‘hidup kita diubah’ menjadi hidup yang baru dan bermakna bagi Tuhan. 

Pada hari ini kita belajar untuk menjadi pribadi yang rendah hati di hadirat Tuhan dan sesama. Kita perlu memiliki semangat anak kecil yang polos, tulus, jujur dalam hidupnya. Dengan hati sebagai anak kecil, kita akan menjadi lebih pantas dalam Tuhan. Kadang-kadang penderitaan dan kemalangan menguasai hidup kita sebagaimana dialami oleh Ayub. Beliau adalah orang kaya dan saleh di hadapan Tuhan. Pada akhirnya dia kehilangan segalanya. Ia digoda untuk meninggalkan Tuhan namun ia tetap setia kepada-Nya. Kata-kata Ayub ini sangat meneguhkan dan menguatkan kita semua di saat yang sulit ini: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!" (Ayub 1:21). Kata-kata Ayub ini penuh dengan kebijaksanaan bagi kita. Ketika meninggal dunia, kita tidak membawa apa-apa dari dunia ini. Kita membawa diri kita dan membiarkan Tuhan menguatkan dan mematangkan hidup kita. 

Pada hari ini saya mengulangi kalimat-kalimat ini berkali-kali: “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!" Ayub adalah pribadi yang kuat. Dalam situasi yang keras ia tetap setia kepada Tuhan dan tidak jatuh ke dalam dosa. 

Tuhan memberkati kita semua, 

PJ-SDB

Homili 28 September 2020

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXVI 

Ayb. 1:6-22 

Mzm. 17:1,2-3,6-7 

Luk. 9:46-50 


Belajar berpasrah kepada Tuhan 

Saya mengenal sebuah keluarga. Hidup mereka sederhana tetapi kelihatan sangat bahagia. Dalam kekurangan, mereka masih terus berderma kepada sesama yang lain. Saya sendiri sampai bingung dengan keluarga ini sebab mereka juga berkekurangan tetapi masih tetap berbagi dengan sesama. Di masa pandemi ini, saya menyaksikan sendiri, mereka menerima bantuan sembako. Setelah menerimanya, mereka masih menyisihkan bantuan itu untuk tetangganya yakni seorang ibu lansia yang tinggal sendirian. Saya bertanya kepada mereka tentang kebiasaan berbagi ini dalam kunjungan keluarga. Inilah jawaban kepala keluarga itu: “Kami memang orang sederhana, tetapi kami sadar bahwa masih ada orang lain yang lebih sederhana dari pada kami. Maka tugas kami adalah menabur sukacita kepada mereka yang lebih membutuhkan daripada kami. Dan Tuhan memang sungguh baik, sebab selama masa pandemi ini, kami tidak mengalami kekurangan apapun. Bantuan tetap ada dan selalu tepat pada waktunya. Bebrbagi itu indah, penting dan harus.” Luar biasa kesaksian keluarga ini dan saya boleh mengatakan keluarga katolik hendaknya seperti ini, tidak takut manjadi miskin. 

Hidup penuh dengan kepasrahan kepada penyelenggaraan ilahi apapun situasinya itu baik adanya. Satu nilai penting yang harus selalu kita miliki adalah kebajikan kerendahan hati. St. Agustinus mengatakan bahwa kerendahan hati adalah kerendahan hati. Kerendahan hati itu menjadi segalanya bagi orang yang berharap kepada Tuhan. Dalam bacaan Injil Lukas hari ini, kita mendengar dua kisah yang membuka pikiran kita untuk mawas diri supaya berpasrah kepada Tuhan dan selalu rendah hati. Para murid Yesus, yang setiap hari tinggal bersama Yesus masih bertengkar di antara mereka tentang siapakah yang terbesar di antara mereka. Tuhan Yesus hebat, Dia mengambil sosok anak kecil untuk mengedukasi orang-orang dewasa supaya menjadi seperti anak kecil yang polos, tulus dan jujur. Anak kecil itu duduk di samping Yesus dan menunjukkan kerendahan hatinya yang besar di hadapan para murid yang sudah dewasa. Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan: "Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar." (Luk 9:48). 

Marilah kita memikirkan diri kita sendiri. Berapa kali dalam sehari kita menjadi pribadi yang congkak hati, memiliki nafsu berkuasa sehingga menghalalkan segala cara untuk memuaskan keinginan pribadi. Misalnya, dalam masa menjelang ‘pilkada serentak’ ini, kita menemukan gerakan-gerakan orang atau kelompok untuk memenangkan pilkada. Untuk memenangkan calon kebanggaan mereka, selalu dilakukan kecurangan-kecurangan, misalnya, mengintimidasi para lawan politik, menyebarkan hoaks dan lain sebagainya. Contoh loinnya, kita sedang berada di akhir bulan September maka media sosial dipenuhi kembali oleh kampanye tentang PKI yang sebenarnya tidak ada lagi. Semua ini karena ada nafsu besar untuk berkuasa. Orang mudah menjadi sombong dan lupa diri bahwa pemimpin adalah pelayan bukan penguasa. Mari kita memandang Yesus. Ia adalah Tuhan, namun Ia masih berlutut di depan manusia pendosa yakni para murid-Nya untuk membasuh kaki mereka. Kapan anda dan saya bisa melakukannya kepada sesama lain? Butuh kerendahan hati bukan nafsu untuk berkuasa. 

Pada bagian kedua dari Injil, Lukas mengisahkan tentang Yohanes yang datang kepada Yesus dan mengatakan tentang orang lain mengusir setan dalam nama Yesus padahal bukan pengikut Yesus sehingga ia melarang mereka. Yesus mengoreksi murid-murid-Nya dengan berkata: "Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu." (Luk 9:50). Yohanes dan para murid lain ternyata tidak jauh berbeda dengan kita. Pikirkanlah perkataan dan perbuatan kita terhadap orang-orang yang tidak seiman. Banyak di antara kita yang cukup sombong mengatakan tentang agama kita sebagai yang terbaik dibandingkan dengan agama lain. Bagi saya lebih terhormat ketika kita betul-betul toleran terhadap sesama. Prinsip yang penting adalah agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku. Orang boleh beda agama tetapi mereka masih mampu menghayati nilai-nilai universal keagamaan seperti kasih, pengampunan dan lainnya. 

Hidup dengan berpasrah kepada Tuhan memiliki makna yang sangat indah. Ketika kita bisa rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama, ketika kita bisa menghargai charisma sesama yang berbeda maka dunia kita akan penuh dengan keindahan dan kedamaian. Bahwa ada penderitaan dan kemalangan bukan menjadi halangan bagi kita untuk selalu berbagi sukacita dengan sesama manusia. Sosok inspirator bagi kita hari ini adalah Ayub. Ayub adalah orang saleh dan tahan banting ketika imannya diuji. Ia kehilangan segalanya tetapi tetap tabah kepada Tuhan dan tidak membuat dosa melawan Tuhan. Kata-kata Ayub yang menunjukkan kerendahan hati dan kepasrahannya kepada Tuhan adalah: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!" (Ayb 1:21). Ayub memang sosok yang luar biasa. 

Kapan kita bisa menjadi serupa dengan Ayub? Kelihatannya sulit bagi orang-orang tertentu karena tidak mudah berpasrah kepada Tuhan. Orang mudah mengeluh dan jatuh ke dalam dosa. Kita butuh Ayub untuk menginspirasi dan menguatkan kita semua supaya layak bagi Tuhan.Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan. 

PJ-SDB

Sunday, September 27, 2020

Homili Hari Minggu Biasa ke-XXVI/A - 2020

Hari Minggu Biasa ke-XXVI/A
Yeh. 18:25-28 
Mzm. 25:4bc-5,6-7,8-9 
Flp. 2:1-11 
Mat. 21:28-32 

Saya percaya kepada perubahan 

Beberapa tahun yang lalu saya membaca buku Let’s Change!, karya Prof. Rhenald Kasali. Pendidik dan pendiri Rumah Perubahan ini menulis dalam buku karyanya ini, sebuah kalimat inspiratif, bunyinya: “Manusia ingin berubah, tetapi tidak mau diubah”. Saya sepakat dengan perkataan beliau ini. Banyak kali orang bercita-cita setinggi langit untuk berubah tetapi tidak membuka diri kepada perubahan. Saya teringat ketika masih menjadi kepada sekolah di sebuah sekolah milik Yayasan kami. Para guru di sekolah itu meminta kepada saya untuk belajar Bahasa Inggris. Saya menemukan seorang sukarelawan dari Australia, native speaker yang hebat. Saya mengingatkan kepadanya untuk memberi test tertulis dan lisan supaya dapat menentukan level mereka sebelum memulai kursus. Ia pun memberi test tertulis dan lisan kepada mereka semua dan hasilnya adalah hampir semuanya mengikuti kelas pemula. Sebagai kelas pemula mereka harus mulai belajar mengucapkan alfabet dari A-Z. Setelah seminggu mengikuti kursus, sudah ada guru yang bolos dan akhirnya ‘muntaber’ alias mundur tanpa berita dan hanya tiga minggu saja kursus saya tutup karena tidak ada guru yang mau melanjutkannya. 

Dalam pertemuan dewan guru, saya bertanya tentang hal ini. Salah seorang mewakili para guru mengatakan: “Pater, kami ini sudah menjadi guru bertahun-tahun. Kami mau berbicara Bahasa Inggris bukan melatih diri untuk melafal Alfabet A-Z seperti anak-anak TKK”. Saya hanya tersenyum mendengar perkataan guru ini, dan memberi komentar singkat: “Bapa dan ibu guru sekalian, untuk Bahasa Inggris, kalian semua memang seperti anak-anak TKK. Hasil test menunjukkan bahwa kalian semua berada di level pemula atau level dasar.” Semuanya diam dan tidak melanjutkan kursus mereka. Orang mau berbicara Bahasa Inggris tetapi tidak mau memulai dari Alfabet, kosa kata dan belajar tata bahasanya. Aneh tetapi nyata. Ada keinginan untuk berubah tetapi tidak mau diubah. 

Kisah singkat di atas menggambarkan hidup banyak di antara kita yang mau berubah tetapi tidak mau diubah di hadapan Tuhan dan sesama. Niat untuk berubah itu tidak cukup, kita harus terbuka untuk berubah dan diubah oleh lingkungan di mana kita berubah. Ketika kita tidak mampu membuka diri untuk diubah maka akan menjadi sulit bagi kita semua supaya menjadi pribadi yang matang. Kita semua harus menjadi agen perubahan yang lebih baik dari saat ke saat. Let’s change! Mari kita berubah. Ini adalah perkataan yang tepat untuk mengubah hidup dan komiten kita kepada perubahan. 

Sabda Tuhan pada Hari Minggu Biasa ke-XXVI/A ini mengarahkan kita untuk membangun komitmen peribadi kita kepada perubahan yang lebih baik. Dalam kacamata kristiani, kita menyebutnya sebagai komitmen kepada pertobatan pribadi yang radikal. Nabi Yehezkiel dalam bacaan pertama, menulis begini: “Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan yang dilakukannya.” (Yeh 18: 26). Ada kalanya kita menjumpai pribadi-pribadi tertentu yang memiliki keperibadian seperti ini. Mulanya dia boleh masuk kategori orang benar dan lurus. Namun perlahan-lahan dia berubah dengan membuat kecurangan sehingga membuat banyak orang merasa heran karena perubahannya ini. Orang seperti ini layak untuk mati karena kecurangannya ini. Nabi Yehezkiel juga mengatakan: “Sebaliknya, kalau orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya. Ia insaf dan bertobat dari segala durhaka yang dibuatnya, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.” (Yeh 18:27-28). Kalau orang berdosa sadar bahwa dia melakukan perbuatan dosa maka ada kehidupan bukan kematian baginya. Perkataan nabi Yehezkiel mengandung nuansa pertobatan yang radikal atau metanoia. Ada nuansa perubahan yang lebih positif bagi kehidupan kita di hadapan Tuhan dan sesama. 

Nuansa pertobatan juga merupakan nuansa perubahan. Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus berbicara kepada para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi melalui perumpamaan. Ada seorang yang mempunya dua anak laki-laki. Pekerjaannya adalah sebagai petani. Pada suatu hari ia meminta kepada anak yang sulung dan memintanya untuk pergi dan bekerja di kebun anggurnya hari ini juga. Anak sulung ini mengatakan ‘Ya, baik Bapa’ namun dia tidak pergi bekerja. Sang ayah mengatakan kepada anak yang kedua sama dengan perkataan sebelumnya, dan hasilnya adalah ‘anak kedua tidak mau pergi bekerja’ namun setelah merenung sikapnya ini, dia merasa malu, menyesal dan pergi bekerja di kebun anggur tuannya. Dua sikap yang berbeda ini selalu ada di dalam hidup kita. Kadang-kadang kita mengatakan ‘Ya’ tetapi tidak melakukan kehendak Tuhan. Kita juga sering mengatakan ‘tidak’ kepada Tuhan, sering jatuh ke dalam dosa yang sama tetapi mampu berubah dalam hidup karena ada pertobatan bathin. 

Hal lain yang menarik perhatian kita kepada Tuhan adalah pengalaman akan Allah yang tentu berjalan bersama dengan waktu. Pengalaman akan Allah ini menjadi nyata dalam usaha untuk membangun pertobatan yang radikal. Dalam kisah injil ini, Anak kedua tampil beda dari anak pertama. Ia memiliki penyesalan terhadap kesalahan yang sudah dilakukannya dan berniat untuk menjadi baru dengan melakukan kehendak ayahnya. Bagi kita saat ini, ada sebuah persoalan yakni apakah penyesalan dalam diri kita itu bersifat sementara atau berlanjut selamanya. Penyesalan dan pertobatan adalah jalan perubahan dalam hidup manusia. 

Apa yang harus kita lakukan? 

St. Paulus dalam bacaan kedua menghendaki kita semua untuk berubah. Let’s change! Saya mengingat Lao-Zu. Filsuf dari Tiongkok yang hidupnya sekitar tahun 600 SM, pernah berkata: “Kehidupan adalah perubahan yang alami dan spontan. Jangan menolaknya, karena akan menimbulkan kesedihan. Biarlah sesuai dengan kenyataan. Biarkan mengalir secara natural, berjalan seperti apa adanya.” Kita memang harus berubah. Berkaitan dengan perubahan pribadi yang radikal, St. Paulus menulis: “Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Flp 2:2-4). Kalau kita menghendaki perubahan maka mari kita berubah menjadi lebih baik lagi. 

Saya menutup homili ini dengan mengutip Mahatma Gandhi, ketika mengatakan: “Jika kamu ingin dunia berubah, jadilah perubahan itu sendiri.” Kita mengubah dunia karena kita berubah bukan karena dunia berubah. Maka arah hidup kita harusnya dari hidup lama ‘tidak’ menjadi hidup baru ‘menyesal dan ya’. Kalau kita hanya tinggal dalam ‘ya’ tetapi ‘tidak’ melakukan kehendak Tuhan maka kita menipu diri kita sendiri. Maka, mari kita berubah! 

PJ-SDB

Saturday, September 26, 2020

Homili 26 September 2020

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXV 

Pkh 11:9-12:8 

Mzm 90: 3-4.5-6.12-13.14.17 

Luk 9: 43b-45 

Mesias yang menderita 

Selama masa pandemi covid-19 ini, banyak umat Katolik yang tidak bisa ke Gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi dan menerima pelayanan sakramen-sakramen lainnya. Untuk perayaan Ekaristi, ada livestreaming sehingga ada kesempatan untuk menerima komuni bathin. Tetapi bagaimana dengan sakramen tobat? Hingga saat ini tidak ada pengakuan dosa online, harus langsung kepada Romo sebagai Bapak pengakuan. Namun belum ada romo manapun yang bersedia menerima pelayanan sakramen tobat, sebab Romo-Romo juga mengikuti peraturan Gereja lokal. Dalam keadaan seperti ini, seorang sahabat mengatakan: “Kita semua merasa dan boleh mengakui bahwa kita sedang menderita karena tidak mendapat pelayanan yang maksimum dari Gereja sebagai akibat dari covid-19. Namun demikian kita juga lupa bahwa Tuhan Yesus lebih menderita akibat dosa-dosa kita. Penderitaan-Nya sebagai Mesias tidak dapat kita pahami dengan akal budi kita.” 

Saya sepakat dengan beliau. Banyak kali kita lupa bahwa karena situasi pandemi covid-19, Gereja melupakan kita, Tuhan juga melupakan kita. Padahal justru Gereja peduli dan berusaha melayani dengan cara-cara yang tepat dan pasti. Misalnya Gereja selalu patuh pada protokol kesehatan yang berlaku. Ini merupakan bukti ketaatan kita sebagai Gereja kepada para pemimpin. Penulis surat kepada umat Ibrani menulis dengan jelas begini: “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka. Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.” (Ibr 13:7.17). 

Pada hari ini kita mendengar kisah Injil yang indah tentang Tuhan Yesus yang sebelumnya diakui sebagai Mesias Anak Allah. Yesus bukanlah sebagai Mesias yang jaya melainkan Mesias yang menderita. Kita tahu bahwa Tuhan Yesus melakukan banyak tanda heran. Dia juga mengajar dengan kuasa dan wibawa melebih para nabi. Hal ini membuat semua orang merasa heran akan semua karya dan tanda yang dilakukan Yesus di depan mata mereka. Tentu saja semua yang dilakukan Yesus sangat berarti bagi mereka. Namun Ia juga berkata kepada mereka: “Dengarkan dan camkanlah segala perkataan-Ku ini: Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tanga manusia.” Para murid masih bereuforia karena pengakuan iman bahwa Yesus adalah Mesias Anak Allah. Maka ketika Yesus mengatakan berita tentang penderitaan-Nya, tidak ada di antara mereka yang mengerti dengan perkataan-Nya sebab masih tersembunyi bagi mereka. Roh Kudus belum membuka pikiran mereka untuk memahami perkataan Yesus, terutama rencana keselamatan dari Allah Bapa. Para murid juga tidak berani menanyakan makna perkataan-Nya karena pikiran mereka tetap berpatok pada tanda-tanda yang dilakukan Yesus, sangat nyata dan meyakinkan, lagi pula Dia sudah dikenal sebagai Mesias. 

Suasana komunitas Yesus ini juga merupakan suasana bathin kita semua. Kalau seandainya kita hidup pada masa Yesus, pasti situasinya juga sama. Tuhan Yesus boleh berkata tentang penderitaan-Nya, tetapi kita masih bereuforia dengan diri-Nya sebagai Mesias Anak Allah. Kita lupa bahwa Mesias harus menderita untuk keselamatan kita. Mesias kita itu menderita bukan Mesias yang jaya. Dia harus menderita karena diserahkan ke dalam tangan manusia yang berdosa. Tuhan Allah Bapa sendiri tidak menghentikannya. Dia tetap menyerahkan Anak-Nya yang tunggal karena kasih (Yoh 3:16). Penebusan berlimpah yang kita alami berasal dari kasih Bapa melalui Yesus Kristus. Semua ini kita dapat memahaminya melalui karya Roh Kudus di dalam hidup kita. 

Apa yang harus kita lakukan? 

Kita semua mengikuti Yesus Kristus. Dia menderita akibat perbuatan tangan manusia yang berdosa. Dia wafat dan bangkit dengan mulai untuk menebus dosa-dosa kita. Ini adalah sebuah warta yang penuh sukacita dan penuh dengan nuansa optimisme. Nada-nada optimisme harus kita miliki, bukan berarti kita tertawa di atas penderitaan Yesus, tetapi bahwa kita begitu bernilai di mata Tuhan sehingga Ia mau menderita dan menebus kita. 

Dalam bacaan pertama kita mendengar ungkapan-ungkapan bernada optimisme dari Kitab Pengkhotbah. Kaum muda dinasihati untuk memiliki jiwa yang penuh sukacita selagi masih muda. Kaum muda diharapkan untuk membuang kesedihan dari hatinya, menjauhkan penderitaan dari tubuhnya karena masa muda dan fajar hidup adalah kesia-siaan. Hal terpenting adalah kaum muda selalu mengingat Allah sang Pencipta pada masa mudanya, sebelum debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah. 

Pesan pewartaan dari Kitab Pengkhotbah adalah tentang pertobatan. Mudah sekali kita bergembira hingga lupa diri dan melupakan Tuhan. Di saat-saat bahagia, siapa yang masih bersyukur kepada Tuhan? Ternyata tidak semuanya bersyukur kepada Tuhan. Ketika ada kesulitan barulah orang mendekatkan diri kepada Tuhan. Itulah hidup manusia tertentu di hadirat Tuhan. Mari kita berubah. Mari kita berusaha untuk mengikuti dan bersatu dengan Mesias yang menderita yaitu Yesus Kristus Tuhan kita. 

PJ-SDB

Friday, September 25, 2020

Homili 25 September 2020

Hari Jumat Pekan Biasa ke-XXV
Pkh. 3:1-11 
Mzm. 144:1a,2abc,3-4 
Luk. 9:19-22 

Ada waktu untuk mengakui iman kita 

Saya pernah bertemu dengan seorang mantan pimpinan perusahaan terkenal. Bertahun-tahun ia memiliki jabatan penting di dalam perusahaan dan banyak orang mangakui bahwa perusahaan itu pernah mencapai titik keemasan pada masa kepemimpinannya. Kini ia sudah pensiun dan menghabiskan masa tuanya sebagai ketua lingkungan dan prodiakon. Karakter kepemimpinannya tetap nampak dalam pelayanannya. Maka lingkungannya dan kelompok prodiakon juga mengalami pembaruan dalam semangat pelayanannya. Pokoknya maju dan teamwork merupakan andalannya. Saya sempat bertanya kepadanya mengapa sekarang ia begitu focus dalam pelayanan di dalam Gereja? Ia menjawabku: “Romo, bertahun-tahun saya sibuk mencari uang dan pingin menjadi orang kaya. Sayang sekali, tidak kesampaian menjadi orang kaya. Namun sekarang saya menemukan wajah Yesus dalam diri orang-orang miskin dan terlantar. Saya memaknai pengalaman ini sebagai bagian dari rencana Tuhan yang indah pada waktunya. Sayapun berprinsip untuk menjadi kaya dalam iman dengan melayani Tuhan tanpa pamri.” Saya merasa begitu terkesan dengan perkataan beliau. 

Saya merasa yakin bahwa kita selalu menemukan sosok-sosok orang biasa yang menjadi luar biasa dalam pelayanannya. Ia melayani bukan karena ia hebat dan kuat tetapi semata-mata karena mau membalas kasih dan kebaikan Tuhan. Ada pelayan-pelayan Tuhan yang mengalami mukjizat dan sebagai tanda syukurnya, mereka menyediakan waktu untuk Tuhan. Ada yang memiliki waktu atau saat teduh, ada yang menggunakan waktu untuk membaca dan merenungkan Sabda, ada yang terlibat dalam karya sosial karitatif. Semua dilakukan dengan sukarela, penuh dengan sikap lepas bebas. Benarlah perkataan Tuhan bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya, untuk apa pun di bawah langit ada masanya (Pkh 3:1). Waktu yang ada tidak dapat disia-siakan tetapi digunakan untuk kebaikan yang indah. 

Himne tentang waktu dalam bacaan ini sangat menguatkan karena masuk dalam pengalaman-pengalaman hidup kita yang nyata. Ada waktu untuk lahir dan meninggal, ada waktu untuk menanam dan menuai, ada waktu untuk membunuh dan menyembuhkan, ada waktu untuk memrombak dan membangun. Ada waktu untuk menangis dan tertawa, ada waktu untuk meratap dan menari. Ada waktu untuk membuang batu dan mengumpulkannya kembali. Ada waktu untuk memeluk dan menahan diri untuk tidak memeluk. Ada waktu untuk mencari dan ada waktu untuk menderita rugi. Ada waktu untuk menyimpan dan ada waktu untuk membuang. Ada waktu untuk merobek dan ada waktu untuk menjahit. Ada waktu untuk berdiam diri dan ada waktu untuk berbicara. Ada waktu untuk mengasihi dan ada waktu untuk membenci. Ada waktu untuk perang dan ada waktu untuk damai. Lihatlah bahwa segala sesuatu itu memang ada waktunya. Kita membaca: “Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Hanya manusia yang tidak mampu memahami dan menyelami rencana Tuhan. 

Mengapa kita masih kesulitan untuk memahami dan menyelami rencana Tuhan? Karena kita yang mengaku percaya kepada-Nya belum mengenal-Nya secara pribadi. Dalam bacaan Injil kita mendengar bagaimana Tuhan Yesus sedang berdoa seorang diri lalu berdialog dengan para murid mengenai identitas diri-Nya sebagai Mesias yang menderita. Hal pertama yang patut kita renungkan adalah Yesus meskipun Anak Allah namun Ia tetap bersatu dengan Bapa dalam doa. Ia memiliki waktu-waktu tertentu untuk berdoa kepada Bapa. Dia berdoa seorang diri. Apakah kita juga memiliki waktu yang cukup untuk berdoa seorang diri seperti yang Tuhan Yesus lakukan? Untuk segala sesuatu ada waktunya, hanya saja banyak kali kita lalai untuk berdoa secara pribadi. Kalau berdoa seorang diri saja kita lalai, bagaimana kita dapat berdoa bersama-sama dengan orang lain? Selalu saja ada alasan untuk membenarkan diri kita supaya lalai dalam doa secara pribadi dan doa bersama. 

Hal kedua yang penting dalam bacaan Injil adalah ada waktu untuk mengakui iman kita kepada Tuhan Yesus. Kita perlu mengenal Tuhan Yesus secara pribadi dan lebih dalam lagi. Orang lain menyangka bahwa Yesus adalah Yohanes Pembaptis, Elia atau seorang nabi tempo doeloe dan bangkit kembali. Mengapa mereka senang menyebut Yohanes Pembaptis? Karena Yohaneslah yang menyiapkan kedatangan Yesus sang Mesias, lagi pula banyak di antara mereka adalah murid-murid Yohanes. Nama Elia disebut karena mereka masih memiliki harapan bahwa Elia adalah Mesias yang akan datang kembali. Demikian juga nabi-nabi yang tidak disebut namanya dengan jelas karena keterpesonaan mereka terhadap nabi-nabi masa lalu. Ketika Yesus bertanya kepada mereka tentang siapakah Yesus bagi mereka maka Simon Petrus menjawab: "Mesias dari Allah." Yesus adalah Yang Diurapi dari Allah. Jawaban Petrus sebagai juru bicara para murid bukan dari dirinya melainkan dari Bapa di Surga. Apakah kita memiliki waktu untuk mengakui bahwa Yesus adalah satu-satunya Mesias bagi kita? 

Hal ketiga, Tuhan Yesus adalah sosok Mesias yang menderita. Dia bukan Mesias yang jaya sebagaimana dipikirkan secara manusiawi. Ia berkata: "Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga." (Luk 9:22). Sang Mesias sendiri merasakan ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk meninggal dunia. Hal yang sama akan kita alami juga maka kita tidak memiliki hak untuk menolak rencana Tuhan yang terjadi dalam waktu dan terjadi dalam hidup kita. 

Pada hari ini Tuhan menyapa kita supaya selalu menyadari semua waktu sepanjang hidup ini dan mensyukurinya. Semakin kita bersyukur semakin kita menyapa Tuhan dalam doa-doa kita. Semakin kita berdoa kita juga mengenal-Nya lebih dalam lagi. Siapakah Kristus bagimu saat ini? 

PJ-SDB

Friday, September 18, 2020

Homili 18 September 2020

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXIV
1Kor 15:12-20 
Mzm 17:6-7.8b.15 
Luk 8:1-3 

Menyertai dan melayani Yesus 

Saya pernah mengikuti perayaan syukur 40 tahun hidup membiara dari seorang suster dari sebuah tarekat. Perayaan Ekaristi berjalan dengan meriah. Semua umat yang hadir merasakan kemeriahannya karena benar-benar dipersiapkan dengan baik. Beliau memberikan sebuah sambutan yang inspiratif dengan mengatakan kepada kami semua yang hadir, sebuah kesaksian hidup pribadinya yang sangat meneguhkan. Inilah kesaksiannya: “Saya senantiasa bersyukur kepada Tuhan karena selama empat puluh tahun hidup membiara ini, Tuhan Yesus selalu menyertai dan melayani saya. Dia tidak pernah mengeluh karena lelah dalam melayani dan menyertai saya. Justru saya sendiri yang selalu mengeluh dalam menyertai dan melayani Dia dalam kerasulan, padahal tidak seberapa penyertaan dan pelayananku dibandingkan dengan-Nya. Namun pada hari ini saya membaharui diri saya untuk kesekian kalinya supaya saya tetap setia menyertai dan melayani Dia lagi sebab Dia juga tidak pernah berhenti menyertai dan melayani saya. Saya akan memberikan diri untuk selama-lamanya bagi Dia.” Bagi saya ini adalah sebuah pengalaman pribadi yang juga dirasakan oleh semua orang yang mengabdikan diri seutuhnya bagi Tuhan. 

Banyak kali para pelayan atau abdi Tuhan berpikir bahwa mereka lebih menyertai dan melayani Tuhan. Sebenarnya ketika kita baru berpikir untuk menyertai dan melayani Tuhan, Dia ternyata sudah lebih dahulu melakukannya dalam hidup kita. Kita sebenarnya selalu terlambat dalam melayani dan menyertai-Nya, hanya kita yang tidak menyadarinya. Kita tidak hanya terlambat tetapi kita juga selalu membuat perhitungan tentang berapa yang sudah kita lakukan bagi Tuhan di dalam Gereja. Ada yang suka menghitung berapa kolekte yang sudah disumbangkan ke Gereja, ada yang menghitung berapa mater lain yang sudah diberikannya kepada Gereja. Begitulah hidup kita di hadirat Tuhan. Kita memang menyertai dan melayani-Nya namun selalu disertai dengan kelemahan-kelemahan yang kita miliki. 

Pada hari ini saya merasa sangat diteguhkan oleh Tuhan Yesus. Ia berkeliling dan berbuat baik dari kota ke kota dan dari desa ke desa untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah. Tuhan Yesus tidak melakukannya seorang diri. Ia membutuhkan manusia untuk menjadi rekan kerja dan rekan seperjalanan. Maka ada keduabelas murid yang menyertai perjalanan-Nya dan ada juga para wanita yang mengikuti Dia dari dekat untuk melayani-Nya sebagai tanda syukur yang mendalam karena kasih dan kebaikan yang sudah mereka alami dari Tuhan Yesus sendiri. Para wanita itu pernah sakit dan dikuasai oleh roh-roh jahat namun Tuhan menjamah dan menyembuhkan mereka. Penginjil Lukas mencatat nama-nama mereka yakni: Maria yang berasal dari kampung Magdala di Galilea. Tuhan Yesus pernah mengusir tujuh setan yang merasukinya. Para wanita lain adalah Yohan, Istri Khuza, bendahara Herodes, Susana dan masih banyak lagi yang menyertai dan melayani Yesus dan para murid-Nya dengan harta kekayaan yang mereka miliki. Mereka tidak membuat perhitungan apapun dengan Yesus. 

Menyertai dan melayani Yesus dalam hidup kita memang benar-benar membutuhkan ketulusan hati. Supaya kita dapat menyertai dan melayani Tuhan dengan sukacita maka harus memiliki semangat rela berkorban, tidak merasa takut untuk menjadi miskin, siap untuk menderita demi iman kepada Kristus. Gereja sepanjang sejara sudah melakukannya sehingga sesulit apapun situasinya, Tuhan tetap memulihkannya. Tuhan sudah menyertai dan melayani kita maka kita tak perlu pelit dalam menyertai dan melayani Tuhan melalui sesama kita. 

Di masa pandemi covid-19 ini, kita selalu menemukan Yesus yang hadir dalam diri saudara-saudari yang sangat membutuhkan. Pada saat ini saya menjadi moderator Pelayanan Belas kasih Allah santu Leopold. Kami selalu mengadakan pertemuan rutin setiap hari Selasa untuk komunitas Lippo Utara dan Hari Rabu untuk Komunitas Citra garden. Para anggota persekutuan adalah orang-orang sederhana, namun mereka memiliki semangat yang tinggi untuk berbagi lima potong roti dan dua ekor ikan kepada sesama yang sangat membutuhkan di masa pandemi ini. Prinsipnya sederhana, kita sebagai orang miskin harus berani untuk melayani sesama yang miskin. Kita berusaha untuk melupakan diri kita dan memajukan pelayanan belas kasih Allah kepada mereka yang lemah dan miskin. Gerakan lima potong roti dan dua ekor ikan ini memang menarik perhatian karena menjadi tanda empati kepada sesama yang menderita. 

Santu Paulus dalam bacaan pertama selalu memberi insipirasi yang bagus. Ia tidak hanya memberi kesaksian tentang kebangkitan Kristus, Ia juga menggambarkan situasi iman kita apabila pewartaannya tentang kebangkitan Kristus tidak terbukti. Pada saat itu masih banyak orang yang meragukan kebangkitan Kristus sesuai pewartaan Paulus. Paulus dengan tegas mengatakan bahwa kalau tidak ada kebangkitan orang mati maka Kristus juga tidak dibangkitkan.Kalau memang demikian maka semua pewartaan Paulus dan rekan-rekannya menjadi sia-sia saja dan sia-sia juga apa yang sudah mereka percaya sebagai jawaban pasti akan pewartaan Paulus. Kalau demikian maka orang-orang Korintus juga masih hidup dalam dosa mereka. Namun Paulus dengan tegas mengatakan bahwa Kristus telah bangkit dan menjadi sulung dari anatara orag-orang yang sudah meninggal dunia. 

Kita menyertai dan melayani Tuhan untuk memberi diri kita seutuhnya seperti para rasul. Mereka tidak menyesal karena meninggalkan segalanya untuk mengikuti Yesus sampai tuntas. Semua karena kasih dari Tuhan yang mereka alami. Kita juga mengalami kasih Tuhan, penyertaan dan pelayanan Tuhan dalam hidup kita. Mari kita menyertai dan melayani Tuhan dengan sukacita. 

PJ-SDB