Wednesday, January 29, 2020

Food For Thought: Sang Penabur

Sang Penabur bebas menabur

Pada pagi hari ini saya merayakan misa harian bersama umat. Misa ditutup dengan menyanyikan lagu dari Puji Syukur (PS 692). Pada bagian refrainnya terdapat kalimat-kalimat berikut ini: “Marilah, kita pergi bekerja di ladang Tuhan, menaburkan yang baik di dalam hati orang, menaburkan yang baik di dalam hati orang.” Ini adalah lagu perutusan bagi kita semua supaya tekun bekerja di ladang Tuhan. Di samping itu, tugas kita semua adalah menaburkan yang baik di dalam hati orang. Pertanyaan bagi kita adalah apa yang baik yang perlu kita taburkan di dalam hati sesama kita? Ada banyak yang dapat kita taburkan, misalnya kesaksian hidup kita yang nyata melalui  tutur kata, sikap dan tingkah laku, relasi yang sehat, cara memandang sesama dan lain sebagainya.

Kita mendengar kisah Injil yang tentang penabur yang bebas menabur. Sang Penabur memiliki kuasa untuk bebas menabur. Sebab itu ia tidak memilih lahan sesuai seleranya. Ia bebas menabur benihnya di pinggir jalan, di daerah berbatu, di antara semak berduri dan di tanah yang baik. Daerah Galilea mewakili lahan perumpamaan ini. Di sana kita menemukan lahan di pinggir jalan, persis di pesisir pantai danau Galilea, di antara bebatuan dan semak duri. Lahan yang lebih banyak adalah tanah yang subur. Hingga saat ini daerah Galilea merupakan lahan yang subur, dan dapat memberi makan sayur dan buah juga gandum kepada orang-orang Israel. Pengalaman bercocok tanam ini dipakai Yesus untuk menjelaskan kemampuan manusia untuk menerima dan melakukan Sabda di dalam hidupnya.

Sang Penabur yaitu Tuhan sendiri tidak pernah menabur benih yang tidak baik. Ia menabur benih yang baik. Sabda Tuhan itu baik adanya, tidak pernah sabda Tuhan itu tidak baik. Yang menjadi masalah adalah hati manusia, apakah bersedia menerima sabda atau tidak. Apakah sabda itu nantinya dilakukan atau tidak dilakukan. St. Yakobus berkata: “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” (Yak 1:22).  Mungkin banyak kali kita menipu diri sendiri bahwa kita itu tidak lebih dari ‘pinggir jalan’, ‘tanah berbatu’, ‘semak duri’. Atau mungkin kita terlalu berbangga sebagai tanah yang subur sehingga tidak berusaha untuk menghasilkan buah yang berlipat ganda. Kita mendengar Sabda tetapi masih kesulitan untuk merenung dan melakukannya. Kita butuh penyertaan Tuhan yang tiada hentinya. 

PJ-SDB

Homili 29 Januari 2020

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-III
2Sam. 7:4-17
Mzm. 89:4-5,27-28,29-30
Mrk. 4:1-20

Merenungkan Penyertaaan Tuhan

Saya selalu memiliki kenangan manis pada setiap tanggal 29 Januari. Ada dua peristiwa di dalam hidupku yang sangat membantu saya untuk percaya akan adanya penyertaan Tuhan. Peristiwa pertama, 29 Januari 1999 merupakan hari istimewa karena saya mengikrarkan kaul kekal di dalam Kongregasi Salesian Don Bosco. Selama sepekan yakni tanggal 23-29 Januari 1999 kami mengadakan retret tahunan di Bukit Sabda Bahagia, Galilea,Israel. Pada saat misa penutupan bersama dua konfrater saya yakni Jose de Sa’ dan Nicanor Martinez mengikrarkan kaul kekal sebagai Salesian selama-lamanya. Peristiwa kedua, tanggal 29 Januari 2004 terjadi penyerahan tanah sekitar 10H dari pihak Paroki St. Arnoldus Yansen, Tambolaka, kepada pihak Salesian Don Bosco. Hadir dalam penyerahan tanah ini, Mgr. Kherubim Pareira, SVD selaku Uskup Keuskupan Weetabula dan Pater Alo Logos, SVD (alm) selaku Pastor Paroki St. Arnoldus Yensen, Tambolaka. Dari pihak Salesian Don Bosco, hadir Pater Jose Carbonell, SDB selaku Ekonom Salesian Don Bosco Indonesia dan Timor Leste (ITM), juga Pater Andres Calleja, SDB selaku penanggungjawab komunitas SDB, Sumba. Tokoh-tokoh umat yang hadir menyaksikan upacara ini adalah Bapak Alex Malo Masa, Bapak Frans Malo dan umat Stasi Weepengali. Kedua peristiwa ini menunjukkan penyertaan Tuhan yang saya alami dan bagi saya merupakan mukjizat kehidupan.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini membuka wawasan kita untuk mengerti dengan baik penyertaan Tuhan di dalam hidup kita. Mungkin saja kita tidak menyadarainya atau kita lupa tetapi Tuhan tidak pernah berhenti menyertai kita. Dalam bacaan pertama Tuhan membuka pikiran Raja Daud bahwa Ia sendiri yang menyertainya. Ketika itu Raja Daud begitu bahagia karena dapat menjemput Tabut Perjanjian dan meletakkannya di dalam sebuah tenda yang sudah disiapkan. Selanjutnya, Tuhan berfirman melalui Natan untuk menyampaikan kepada raja Daud tentang rencana Daud untuk mendirikan rumah bagi Tuhan. Tuhan hendak menyadarkan Daud bahwa dia hanyalah manusia biasa saja dan tidak perlu memikirkan hal-hal yang muluk-muluk bagi Tuhan. Hal terpenting yang harus disadari Daud adalah penyertaan Tuhan sepanjang hidupnya. Sebab itu Tuhan menegaskan melalui nabi Nathan bahwa Ia tidak pernah berdiam di dalam rumah. Ia justru mengembara dari kemah-kemah sambal menyertai umat Israel dalam perjalanan dari Mesir ke tanah Kanaan.

Untuk lebih menyadarkan Daud maka Tuhan mengingatkannya akan peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya sebagai tanda penyertaan Tuhan baginya. Pertama, Tuhan mengingatkan Raja Daud saat-saat pertama Tuhan mengambilnya dari padang gurun sebagai seorang gembala kambing domba dan menjadikannya sebagai raja atas umat Israel. Kedua, Tuhan telah menyertai raja Daud di segala tempat yang dijalaninya dan para musuh ditaklukan Tuhan baginya. Ketiga, Tuhan membesarkan nama Daud di atas bumi ini. Keempat, Tuhan berjanji untuk menganugerahkan keturunan bagi Daud, di mana anak kandungnya sendiri akan mengokohkan kerajaannya. Anak kandung raja Daud inilah yang akan mendirikan rumah bagi nama Tuhan Allah. Allah sendiri akan menjadi Bapa dan ia menjadi Putra-Nya. Kelima, Tuhan akan tetap menunjukkan kasih setia-Nya kepada raja Daud. Takhta Daud menjadi kokoh selama-lamanya.

Kita melihat relasi antara Tuhan dan raja Daud begitu akrab. Tuhan tetaplah menjadi tokoh utama yang memiliki rencana untuk menyertai umat kesayangan-Nya. Dari Tuhan kita belajar bahwa Ia selalu memiliki rencana yang indah, sebuah pendekatan pertama kepada manusia. Manusia selalu berpikir bahwa mereka menyertai Tuhan, padahal bukanlah demikian. Daud boleh berencana bahwa ia akan mendirikan rumah bagi Tuhan, tetapi Tuhan mengatakan bahwa Dialah yang akan mendirikan rumah bagi Diri-Nya sendiri. Rumah itu akan didirikan oleh Putera Daud yang mana Allah sendiri akan menjadi Bapa-Nya dan Ia menjadi Putera. Perkataan Tuhan ini membuka matai man kita akan Yesus sebagai Anak Daud. Dialah yang akan menjadi bait Allah yang hidup, yakni Tubuh-Nya sendiri (Yoh 2:21).

Tuhan tetap menyertai umat-Nya melalui Sabda-Nya. Kita akan memiliki relasi yang mendalam dengan Yesus kalau kita mampu mendengar, merenungkan dan melakukan Sabda di dalam hidup ini. Melalui perumpamaan tentang seorang penabur di dalam bacaan Injil hari ini, kita dibantu oleh Tuhan untuk memiliki kesadaran bahwa Sabda Tuhan itu menuntun dan mendampingi kita untuk menghasilkan buah-buah Sabda dalam hidup yang nyata. 

Tuhan Yesus sedang berada di sekitar danau Galilea. Ia menceritakan tentang seorang penabur yang keluar untuk menabur benih sesuai kehendaknya. Ada benih yang jatuh di pinggir jalan, di atas batu yang tipis tanahnya, di semak duri dan di tanah yang subur. Suasana benih itu juga berbeda-beda sesuai mediumnya: beinh yang jatih di pinggir jalan itu kelihatan sehingga cepat sekali dimakan oleh burung-burung. Benih yang jatuh di atas batu itu cepat bertumbuh, namun cepat juga mati karena tidak berakar. Benih yang jatuh di antara semak duri memang bertumbuh tetapi dihimpit sehingga mati dan tentu tidak menghasilkan buah. Benih yang hatuh di tanah yang baik akan bertumbuh subur sehingga menghasilkan buah yang berlimpah yakni tiga puluh, enam puluh dan seratus kali lipat.

Para murid tentu merasa bingung dengan perumpamaan ini meskipun sebenarnya sangat kontekstual. Maka mereka meinta penjelasan dari Yesus: Penabur adalah Tuhan dan yang ditaburkan adalah Sabda-Nya. Orang-orang dipinggir jalan tempat Sabda ditaburkan adalah orang yang mendengar sabda lalu iblis datang dan merampasnya di dalam hidup mereka. Benih yang ditaburkan di atas tanah berbatu itu orang yang mendengar sabda, menerimanya namun tidak berakar sehungga kalau ada penindasan maka mereka cepat murtad. Benih yang ditabur di semak duri itu orang yang mendengar Sabda namun hidupnya penuh dengan kakuatiran, tipu daya kekayaan dan keinginan duniawi sehingga benih itu tidak berbuah. Benih yang ditabur di tanah yang baik itu orang yang mendengar sabda, menerima dan melakukannya dengan sempurna sehingga menghasilkan buah yang berlimpah.

Benih sabda Tuhan ini dapat berbuah karena Tuhan sendiri menabur dan menjaganya. Tuhan sendiri yang menyertai umat-Nya yang mendengar Sabda sehingga menghasilkan buah yang berlimpah. Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki tempat yang subur bagi pertumbuhan Sabda? Apakah Sabda yang kita dengar di dalam hidup ini menghasilkan buah yang berlimpah bagi Kerajaan Allah?

PJ-SDB

Monday, January 27, 2020

Food For Thought: Kekuasaan

Kekuasaan!

Coba lihat baik-baik kata kekuasaan. Kekuasaan merupakan kata benda dengan kata dasar kuasa. Kata ini merujuk pada kemampuan atau kesanggupan yang ada di dalam diri setiap orang untuk menata, mengurus dan lain sebagainya. Banyak kali kita memahaminya sebagai kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau kekuatan fisik. Perhatikan baik-baik kata kekuasaan ini. Ternyata banyak orang mencarinya, bahkan tergila-gila mencarinya sehingga orang itu dilabel ‘gila kuasa’. Orang itu dapat menggunakan berbagai cara untuk mencapai kekuasaan, cara yang halal dan manusiawi. Ada orang yang menggunakan cara yang tidak manusiawi dengan menindas dan mengancam, dengan melakukan pembohongan public di mana-mana, dengan terang-terangan melakukan hoax. Maka benar sekali Abraham Lincoln, ketika suatu saat ia mengatakan: “Hampir semua orang dapat menanggung kemalangan, tapi jika anda ingin menguji watak manusia, coba beri dia kekuasaan.” Akan terbukti siapakah orang itu ketika diberi tugas dna tanggung jawab atau ‘kekuasaan’ kepadanya.

Pada saat ini kata kekuasaan sangat bernilai. Kalau seseorang memiliki kekuasaan maka ia merasa  ada pengakuan orang lain bagi dirinya. Entahlah ia dapat melakukan kekuasaan itu untuk sebuah bonum commune atau untuk dirinya sendiri. Hal ini dapat terlihat dari berbagai keputusan sebagai wujud nyata dari kekuasaannya itu. Kalau keputusannya diterima semua orang maka dia berada di zona nyaman. Tetapi kalau keputusannya bertentangan makan ‘kedudukannya’ mulai diobok-obok. Muncullah ‘crab mentality’ di mana orang lain berusaha menurunkannya dan akan mengantinya, meskipun belum tentu akan menjadi lebih baik. Tetapi… itulah kekuasaan!

Kekuasaan itu bukan hanya urusan antar menusia. Manusia juga menggugat kuasa Tuhan, misalnya dengan pertanyaan: Kalau Allah itu Mahabaik, mengapa ada kejahatan di dunia ini? Mengapa orang baik meninggal lebih dahulu dibandingkan dengan orang-orang jahat? Mengapa saya yang mengalami penderitaan dan kemalangan bukan dia itu? Orang menjadi mambuk dengan pertanyaannya sendiri karena ia juga mau menguasai Tuhan. Aneh tapi nyata! Menara di kota Babel adalah bukti nyata manusia mau menyobongkan kekuasaanya di hadapan Tuhan, meski di mata Tuhan tidak ada artinya apa-apa. Saya mengingat C. S. Lewis pernah berkata: “Seseorang tidak akan mampu lagi menghilangkan kekuasaan Tuhan dengan menolak untuk menyembahNya, kecuali orang gila yang menghilangkan matahari dengan menyusun kata; kegelapan; di dinding selnya.” Siapa tahu di antara anda, saya, kita sudah gila sehingga mau menghilangkan matahari dalam tatatan kata ‘kegelapan’ saja.

Pada hari ini kita semua akan menunjukkan kekuasaan kita di hadapan sesama kita. Mari kita ingat bahwa masih ada Tuhan yang lebih berkuasa dari kita. Di atas langit masih ada langit! Berkuasalah sebagai manusia yang berakal budi dan berhati nurani! 

PJ-SDB

Saturday, January 25, 2020

Homili Pertobatan St. Paulus, 25 Januari 2020

Pesta Bertobatnya St. Paulus
Kis. 22:3-16 
Mzm. 117:1,2 
Mrk. 16:15-18

Beritakanlah Injil!

Pada pagi hari ini saya diundang untuk memberkati sebuah rumah. Saya memperhatikan sebuah ikon Tuhan Yesus sedang berbicara dengan para murid-Nya. Di bagian bawah ikon itu tertulis: Beritakanlah Injil! Hal yang menarik perhatian saya adalah ikon itu diletakkan di ruang doa keluarga di mana setiap orang yang masuk untuk berdoa atau membaca Kitab Suci pasti melihat ikon dan tulisan ini lebih dahulu. Sebenarnya ada ikon lain yang jauh lebih bagus tetapi keluarga telah memilih ikon ini dan meletakkannya di ruang doa. Saya menjadikannya sebagai sebuah permenungan pribadi saya dan saya mau membagikannya dalam mengawali homili saya ini. Hidup kita sebagai pengikut Kristus menjadi bermakna ketika kita siap untuk menjalani perintah-perintah Tuhan Yesus Kristus.  Perintah Tuhan Yesus adalah kasih secara total kepada Tuhan dan kepada sesama manusia. Sebab itu tulisan pada ikon yang saya lihat di dalam ruang doa ini: "Beritakanlah Injil" juga merupakan sebuah perintah Yesus kepada saya. Maka ketika saya menjalankannya berarti saya mencintai Yesus. Saya merasa yakin bahwa keluarga menempatkan ikon untuk mengingatkan mereka akan perintah yang harus mereka lakukan sebagai tanda kasih kepada Tuhan Yesus. Wujud nyata kasih kepada Yesus adalah mereka mewartakan Khabar Sukacita dengan hidup sebagai keluarga katolik yang terbaik.

Pada hari ini kita kembali mengenang pertobatan St. Paulus sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul. Paulus sendiri tidak merasa malu untuk menceritakan peristiwa pertobatannya sebanyak tiga kali di dalam Kisah Para Rasul. Artinya Paulus benar-benar sadar dan menerima diri dan masa lalunya. Ia pernah jatuh ke dalam dosa yakni keinginannya untuk membunuh semua pengikut Kristus tetapi Tuhan Yesus meneranginya dengan cahaya ilahi dan mengubahnya menjadi baru. Ia lahir baru dan siap untuk memberitakan Injil. Hidup pribadi Paulus ini memang sangat inspiratif bagi kita semua untuk berani menerima masa lalu yang gelap dan siap untuk menjadi baru di dalam Tuhan. Ini bukanlah hal yang mudah karena orang biasanya malu dan tidak mau menerima diri, tetapi kita harus melakukannya supaya dapat menerima rahmat baru dari Tuhan. Paulus sudah membuktikannya.

Kita dapat membayangkan Saulus yang begitu gagah perkasa duduk di atas kuda kebanggannya. Dia mengenakan mantel dan pedang sebagai tanda bahwa ia sangat mengandalkan kekuatan dirinya. Apa yang dilakukan untuk membuktikan kekuatannya ini? Ia menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan ditangkapnya dan diserahkan ke dalam penjara. Dia merasa bahwa tidak ada orang lain yang pintar selevel dengan dia sebagai hasil didikan penuh ketelitian dari Gamaliel. Lihatlah masa kegelapan Saulus yang kiranya tidak jauh berbeda dengan masa lalu kita masing-masing. Kita memiliki masa lalu yang gelap ketika kita membenci sesama, berniat jahat, dendam, tamak, memeras orang lain, merusak rumah tangga orang dengan gosip dan lain sebagainya. Kita seperti Saulus yang membutuhkan cahaya ilahi untuk menerangi hidup kita supaya menjadi baru.

Saulus sempat menjadi buta. Ini saat yang sangat menentukan bagi masa depannya: apakah dia tetap mengandalkan dirinya atau mengandalkan Yesus yang Mahakuasa. Orang Hanya boleh unjuk kekuatan di hadapan manusia yang lain tetapi di hadapan Tuhan dia tidak berdaya. Saulus yang tadinya superpower ternyata buta dan tak berdaya di depan Cahaya. Ananias adalah orangnya Tuhan yang mendampingi Saulus. Ia memintanya untuk membuka mata dan melihat. Ini adalah pesan kenabian Ananias kepada Saulus: "Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulut-Nya. Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar. Dan sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan sambil berseru kepada nama Tuhan!" (Kis 22:14-16). Semua pesan Ananias ini membuka masa depan Saulus menjadi Paulus, rasul segala bangsa yang berani mewartakan Injil sampai tuntas.

St. Paulus berusaha menjadi saksi Kristus dengan memberitakan Injil tanpa henti. Prinsip Paulus adalah: "Karena, jika aku memberitakan Injil, aku tidak memiliki alasan untuk bermegah karena kewajiban itu ada atasku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil." (1Kor 9:16). Dia juga mengatakan: "Aku sudah disalibkan dengan Kristus. Bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalam aku. Hidup yang sekarang ini kuhidupi dalam daging adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah, yang mengasihi aku dan telah memberikan diri-Nya untuk aku." (Gal 2:20). Paulus menjadi Baru dan ia memberikan segalanya untuk Tuhan.

Pada hari ini kita mengenang pertobatannya. Dari Paulus kita belajar untuk melihat masa lalu, berusaha memperbaikinya dan menyongsong masa depan yang lebih baik lagi. Dari Paulus kita belajar untuk menyatu dengan Kristus dan siap untuk memberitakannya dengan hidup kita yang nyata. Bersama St. Paulus kita berani berkata: "Aku tahu siapa kepercayaanku, dan Aku yakin, bahwa Ia sanggup memelihara simpananku sampai hari terakhir, sebab ia hakim yang adil" (2Tim 1:12). Apapun hidup kita, Tuhan Yesus tetap mengasihi dan akan mengubah hidup kita menjadi baru. Mari kita bertekun dalam memberitakan Injil dengan hidup kita yang nyata.


PJ-SDB

Friday, January 24, 2020

Food For Thought: Kasih penuh kebaikan

Amorevolezza

Sudah pasti anda kaget mendapatkan sebuah kata yang tidak ada dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia. Amorevolezza adalah sebuah kata dalam Bahasa Italia yang berarti kasih penuh kebaikan. Artinya bahwa orang tidak hanya mampu mengasihi, tetapi kasihnya yang ditunjukkan itu selalu diikuti oleh kebaikan hati sebagai pelengkapnya. Kebaikan hati dilihat orang lain dalam kata dan tindakan. Setiap orang memang perlu menunjukkan jati dirinya sebagai makhluk sosial dengan kasih penuh kebaikan hati.

Mahatma Gandhi pernah berkata: “Kasih sayang merupakan bentuk tertinggi dari sikap tanpa kekerasan.” Kasih penuh kebaikan akan menyatukan mereka yang tercerai berai dan mendamaikan mereka yang bermusuhan. Tanpa kasih sayang maka dunia ini tidak bermakna. Dunia membutuhkan damai namun para penghuninya tidak mengusahakan perdamaian. Orang lebih mementingkan kekerasan dari pada damai. Maka saya sepakat dengan Gandhi yang mengatakan bahwa kasih saying merupakan bentuk tertinggi dari sikap tanpa kekerasan. Gandhi sudah membuktikan dalam revolusi kemerdekaan India. Dia mengajak banyak orang untuk berjuang tanpa kekerasan. 

Pada hari ini kita mengenang dan menghormati Santu pelindung Kongragasi Salesian Don Bosco. Don Bosco sangat mengagumi St. Fransiskus dari Sales karena kasih dan kebaikannya kepada jemaat yang dia layani. Dengan kata lain mereka hidup dalam masa yang berbeda namun semangat St. Fransiskus dari Sales sangat menginspirasinya. St. Fransiskus dari Sales berjalan dari rumah ke rumah, berbicara dengan semua keluarga, dan semua orang yang tadinya terpisah karena agama katolik dan protestan kembali hidup berdampingan. Ada banyak di antara mereka yang kembali ke Gereja Katolik karena kasih dan kebaikan St. Fransiskus dari Sales. Don Bosco juga mengikuti teladannya dengan keluar dan masuk lorong untuk menjemput kaum muda. Kasih dan kebaikan Don Bosco memenangkan jiwa kaum muda.

Kasih penuh kebaikan haruslah menjadi bagian dari hidup kita. Kasih penuh kebaikan haruslah menjadi kultur dalam hidup pribadi kita. Kita semua lahir ke dunia karena kasih, kita hidup karena kasih dan kasih menjadi segalanya bagi kita. Kasih mendatangkan kebahagiaan. Saya teringat pada Denis Waitley. Beliau adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat. Ia pernah berkata: “Kebahagiaan adalah pengalaman spiritual dari menikmati setiap detik kehidupan kita dengan penuh rasa cinta, rasa syukur dan terima kasih serta pengabdian kepada Tuhan yang menciptakan kita.”

St. Fransiskus dari Sales, bantulah kami untuk memiliki semangatmu yakni kasih penuh kebaikan. 

Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB

Homili 24 Januari 2020 - St. Fransiskus dari Sales

Peringatan Wajib St. Fransiskus dr Sales
Ef. 3:8-12
Mzm. 37:3-4, 5-6, 30-31 
Yoh. 15:9-17

Kasih penuh kebaikan mengubah hidup manusia

Pada hari ini Gereja Katolik mengenang Santo Fransiskus dari Sales, Uskup dan Pujangga Gereja. Beliau dilahirkan di Savoy, Prancis pada tanggal 21 Agustus 1567. De Sales merupakan sebuah keluarga yang kaya sebab itu di usianya yang masih muda, Fransiskus sudah disekolahkan hingga tingkat Universitas. Di usianya yang ke-24, beliau mendapat gelar doktor dalam bidang hukum. Ia kembali ke Savoy untuk memulai kariernya. Namun ada hal yang selalu muncul dalam pikirannya yaitu panggilan baginya Tuhan untuk menjadi imam. Ia mengutarakannya kupada orang tuanya. Mulanya keluarganya tidak menyetujui cita-cita Fransiskus ini, namun ia mendesak kedua orang tuanya sehingga mereka pun menyetujuinya. Ia lalu masuk seminari dan ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 18 Desember 1593.

Pada saat ia masih sebagai imam muda, umat Kristen di Prancis mengalami perpecahan. Dalam situasi yang sulit ini, Fransiskus de Sales menawarkan diri untuk membantu mempersatukan orang-orang Kristen yang sudah terpecah-pecah itu. Fransiskus bersama sepupunya, Pater Louis de Sales rela berjalan kaki hingga tiba di daerah Chablais. Mereka merasakan banyak penderitaan, kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Mereka berdua berada di dalam bahaya namun Tuhan tetap melindungi mereka. Karena kasih dan kebaikan maka mereka berhasil membawa orang-orang di daerah ini ke dalam Gereja Katolik. Fransiskus kemudian diangkat menjadi uskup Geneva, Swiss. Pada tahun 1610, bersama St. Yohana Fransiska de Chantal, membentuk sebuah ordo religius bagi para biarawati yang diberi nama Serikat Visitasi. Beliau dikenal juga sebagai penulis yang mengagumkan mengenai kehidupan rohani dan cara untuk menjadi kudus yang dimuat dalam berbagai buku hasil karyanya. Beliau wafat pada tanggal 28 Desember 1622 dalam usia limapuluh enam tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Inosensius X pada tahun 1665.

St. Yohanes Bosco sangat mengagumi St. Fransiskus dari Sales karena kasih dan kebaikannya yang dapat mengubah kehidupan orang lain. Ia berjalan dari rumah ke rumah jemaat, mengalami kekerasan fisik dan verbal namun ia tetap tabah dan berbuat baik. Cinta kasih penuh kebaikan ini memenangkan hati banyak orang. Don Bosco juga berpikir bahwa untuk menyelamatkan kaum muda butuh kasih penuh kebaikan. Hanya dengan demikian para Salesian dapat memenangkan jiwa orang-orang muda. Itu Sebabnya Don Bosco mendirikan Kongregasi Salesian. Kita mengenal Salesian Don Bosco (SDB), Salesian dari nama St. Fransiskus de Sales, dan nama Don Bosco sendiri.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada pesta pelindung Kongregasi Salesian Don Bosco ini membuka pikiran kita untuk mengikuti teladan kekudusan St.Fransiskus dari Sales. Dalam bacaan Pertama, St. Paulus membagikan pengalaman rohaninya dalam melayani Gereja di Efesus. Dalam suasana yang sulit Paulus tetap setia mewartakan sabda. Ia merasa paling hinda dari semua orang kudus namun ia menerima anugerah untuk mewartakan Kristus kepada orang lain yang bukan Yahudi. Bagi Paulus, hanya di dalam Yesus, kita semua beroleh keberanian an jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan dan iman kepada-Nya. Pengalaman Paulus adalah pengalaman Fransiskus de Sales, ketika ia harus melawan arus dalam upaya untuk mempersatukan kembali pengikut-pengikut Kristus yang tercerai berai. Ia berkorban, tidak takut terhadap berbagai ancaman yang dapat merengut nyawanya karena kecintaannya kepada Tuhan Yesus Kristus. Memang benar, kalau hidup kita berakar pada Kristus maka yang terpecah belah akan didamaikan.

Mengapa Fransiskus dari Sales begitu berani dalam upaya untuk mempersatukan jemaat yang sudah terpecah-pecah? Satu alasan yang dimiliki Fransiskus adalah kasih. Dari Tuhan Yesus, Fransiskus melanjutkan pesan-pesan kasih kepada orang lain yang dijumpai dan dilayaninya. Pengalaman kasih setia Tuhan dibagikan kepada orang yang sedang bermusuhan. Yesus dalam Injil mengatakan bahwa Bapa telah mengasihi-Nya, Dia mengasihi kita maka kita berhak untuk tinggal di dalam kasih-Nya. Kita masuk dan menyatu dalam kasih Allah Tritunggal Mahakudus. Sebagai manusia kita dituntut untu melakukan perintah Tuhan Yesus yakni perintah kasih. Kasih itu bermakan ketika ada pengorbanan diri. Fransiskus de Sales mewartakan kasih Yesus karena dia merasakan persahabatan yang begitu akrab dengan Tuhan Yesus.

Dari banyak hal yang nampak dalam kehidupan pribadi St. Fransiskus dari Sales, kita dapat belajar nilai-nilai luhur yang ditunjukannya kepada kita. Pertama, kasih dan kebaikan hati itu dapat mengubah hidup manusia. Orang-orang yang bermusuhan sekali pun, kalau kasih hadir maka tembok pemisah permusuhan akan runtuh dengan sendirinya. Kedua, Fransiskus adalah gembala yang baik. Ia mengenal umatnya karena selalu memiliki waktu untuk mengunjungi umat. Nah, ini yang belakangan ini sulit dilakukan oleh para gembala zaman now. Kita benar-benar membutuhkan sosok gembala baik yang mampu mengasihi seperti St. Fransiskus dari Sales.

Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip perkataannya: “Bersabarlah dengan segala hal, tapi terutama bersabarlah terhadap dirimu. Jangan hilangkan keberanian dalam mempertimbangkan ketidaksempurnaanmu, tapi mulailah untuk memperbaikinya, mulailah setiap hari dengan tugas yang baru.” Mari kita belajar untuk lebih sabar sehingga kasih Tuhan menjadi segalanya bagi semua orang.

PJ-SDB

Thursday, January 23, 2020

Food For Thought: Mudah Tersinggung

Mudah tersinggung

Ada sebuah pertanyaan: “Apakah anda mudah tersinggung?” Jawabannya ada di dalam dirimu dan anda dapat menjawabnya sendiri. 

Adalah Mark Twain. Penulis berkebangsaan Amerika Serikat ini pernah berkata: “Ketika orang tidak menghormati kita, kita sangat tersinggung; namun jauh di lubuk hatinya, tak seorang pun yang menghargai dirinya sendiri.” Mari kita coba masuk dalam pengalaman hidup kita. Ketika orang tidak menghormati kita, mereka tidak mengapresiasi dan menghargai karya-karya kita maka kita pasti tersinggung. Ketika orang lebih menghargai orang lain daripada diri kita maka kita juga tersinggung. Ini memang pengalaman manusiawi yang nyata dan setiap orang pasti mengalaminya.

Pada hari ini saya tertarik dengan kisah hidup raja Saul dan Daud. Daud seorang pemuda, minim pengalaman tetapi dia mengandalkan kuasa Tuhan. Sebab itu ia berhasil mengalahkan Goliat seorang Filistin yang bertubuh kekar. Kemampuan Daud ini memang sempat diragukan Saul ketika Daud menyampaikan niatnya untuk melawan Goliat. Tetapi pada akhirnya Saul mengijinkan Daud dengan mengatakan bahwa Tuhan menyertai Daud. Tuhan sungguh menyertai Daud sehingga dapat mengalahkan Goliat. Kuasa Tuhan memang luar biasa, tidak dapat diselami oleh pikiran manusia.

Apakah kemenangan Daud ini benar-benar menjadi sukacita raja Saul? Ternyata tidak! Ketika Saul kembali setelah Daud mengalahkan kaum Filistin, orang-orang Israel di berbagai kota bersorak sorai dengan berkata: "Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa." (1Sam 18:7). Saul mendengar, telinganya kepanasan dan senyumnya kecut. Ia sungguh tersinggung sehingga ia dengan marah berkata: "Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya." (1Sam 18:8). Saul tersingung karena kepadanya hanya beribu-ribu musuh, sedangkan Daud berlaksa-laksa atau suatu jumlah yang sangat besar melebihi beribu-ribu. Saul ingin membunuh Daud karena tersinggung dengan angka-angka ini. Atas bantuan putera Saul bernama Yonatan, Daud tidak dibunuh oleh Saul.

Mari kita masuk dalam pengalaman hidup kita. Ketika kita tersinggung maka di hadapan kita semuanya gelap. Orang sebaik apapun akan menjadi jelek, kawan menjadi lawan. Relasi antar pribadi tidak sehat. Kita menjadi terisolasi di negeri kita sendiri. Lalu apa untungnya anda tersinggung? Mungkin anda puas sebentar karena ketersinggunganmu karena anda menunjukkan keberadaan dirimu sebagai individu. Hanya akan sangat sulit untuk membangun kembali relasi yang telah rusak. Sangat sulit untuk membangun kembali kepercayaan yang telah hilang. Maka janganlah mudah tersinggung. Mudah tersinggung itu tidak sehat dan tidak dewasa.

PJ-SDB 

Homili 23 Januari 2020

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-2
1Sam. 18:6-9; 19:1-7
Mzm. 56:2-3,9-10a,10bc-11,12-13
Mrk. 3:7-12

Kuasa menyembuhkan

Saya pernah mengunjungi dan mendoakan seorang pasien di rumah sakit. Setelah selesai mendoakannya, saya mengingatkannya untuk beristirahat dan mempercayakan dirinya kepada Tuhan melalui doa. Ia menjawabku: “Ya, Romo, saya percaya bahwa Yesuslah yang berkuasa untuk menyembuhkanku”. Saya mengangguk dan mengatakan: “Yesus pasti menyembuhkanmu asalkan kamu percaya kepadanya”. Saya tetap mengingat dialog sederhana ini, sebab beberapa hari kemudian pasien itu keluar dari rumah sakit dan dinyatakan sembuh  total oleh dokter. Mukjizat itu nyata dan selalu dialami oleh orang-orang yang percaya kepada Tuhan.

Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan semua orang yang percaya kepada-Nya. Banyak orang sakit mencari Yesus untuk merasakan penyembuhan. Markus dalam bacaan  Injil hari ini mengisahkan bahwa Yesus dengan murid-murid-Nya menyingkir ke danau, dan banyak orang dari Galilea mengikuti-Nya. Juga dari Yudea, dari Yerusalem, dari Idumea, dari seberang Yordan, dan dari daerah Tirus dan Sidon datang banyak orang kepada-Nya, sesudah mereka mendengar segala yang dilakukan-Nya. (Mrk 3:7-8). Nama Yesus semakin dikenal di kalangan umum karena Ia memiliki kuasa untuk menyembuhkan orang-orang sakit dan mengusir setan-setan. Maka orang-orang dari daerah-daerah di sekitar danau Galilea berdatangan untuk merasakan kuasa penyembuhan Yesus. Tempat-tempat yang disebutkan di sini, secara geografis memang berjauhan tetapi mereka ma uke Galilea untuk memperoleh kesembuhan.

Apa yang terjadi pada orang-orang sakit di hadapan Tuhan Yesus? Mereka sangat antusias dan percaya bahwa Tuhan Yesus pasti akan menyembuhkan mereka. Mereka berdesak-desakan ingin mendekatkan diri mereka kepada Yesus untuk memperoleh jamahan tangan-Nya yang menyembuhkan. Roh-roh jahat jatuh tersungkur di hadapan Yesus sambil mengakui kuasa Yesus sebagai Putera Allah. Ini adalah kesempatan Yesus menunjukkan kuasa-Nya sebagai Putera Allah yang menyembuhkan. Dia menyembuhkan banyak orang dari sakit penyakit mereka dan mengusir setan-setan. Roh-roh jahat saja takluk di hadapan-Nya dan mengakui Yesus sebagai Putera Allah.

Kisah Injil ini hendaklah menjadi kisah kehidupan kita. Dalam peziarahan hidup di dunia ini, kita pun sedang mencari Tuhan Yesus untuk menyembuhkan kita. Dan ketika saudara maut menjemput maka Yesuslah yang menyelamatkan kita sebab Dialah satu-satunya Penyelamat kita di hadapan Allah Bapa. Kita perlu memiliki sebuah prinsip bahwa kita sangat membutuhkan Yesus di dalam hidup ini. Kita kembali kepada kisah Injil hari ini bahwa semua orang mencari Yesus karena mereka membutukan Yesus untuk menyembuhkan mereka. Di pihak Yesus, Ia menyembuhkan banyak orang artinya, Yesus begitu terbuka untuk menerima manusia dengan segala penyakit dan kelemahan mereka. 

Bagaimana dengan kita? Banyak kali kita masih kesulitan untuk mendekatkan diri kita kepada Yesus. Kita lupa bahwa kita membutuhkan Tuhan Yesus di dalam hidup ini. Mungkin ada prinsip bahwa kita sudah menjadi orang katolik dan itu sudah cukup. Padahal menjadi orang katolik saja belum cukup. Kita harus menjadi orang katolik yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Anak Allah. Kalau roh jahat saja mengakui Yesus sebagai Putera Allah, mengapa kita yang sudah dibaptis dan bangga sebagai orang katolik masih kesulitan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yesus? Mengapa kita belum setia secara penuh kepada Tuhan Yesus?

Tentu saja kita sebagai orang katolik tidak hanya memfokuskan relasi kita kepada Tuhan saja. Kita juga memfokuskan relasi kita pada sesama manusia. Hal ini penting untuk menunjukkan jati diri kita sebagai pengikut Kristus yang mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia. Bacaan pertama dari Kitab I Samuel membantu kita untuk membangun relasi yang sehat dengan orang lain. Setelah Daud mengalahkan Goliat, pamor Daud semakin besar. Kota-kota di Israel saat itu bersukacita menyambut raja Saul dengan perkataan ini: "Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa." (1Sam 18:7). Perkataan ini menyinggung perasaan raja Saul karena di hadapannya sebagai raja, orang Israel lebih menghormati Daud yang mengalahkan ‘berlaksa-laksa’. Saul marah dan berniat untuk membunuh Daud. Untung ada Yonatan, putera Saul yang merayu-rayu ayahnya supaya tidak membunuh Daud.

Yonatan berkata kepada Saul ayahnya: "Janganlah raja berbuat dosa terhadap Daud, hambanya, sebab ia tidak berbuat dosa terhadapmu; bukankah apa yang diperbuatnya sangat baik bagimu! Ia telah mempertaruhkan nyawanya dan telah mengalahkan orang Filistin itu, dan Tuhan telah memberikan kemenangan yang besar kepada seluruh Israel. Engkau sudah melihatnya dan bersukacita karenanya. Mengapa engkau hendak berbuat dosa terhadap darah orang yang tidak bersalah dengan membunuh Daud tanpa alasan?" (1Sam 19:4-5).  Perkataan Yonatan ini mengubah hati Saul yang panas menjadi dingin dengan berkata: "Demi Tuhan yang hidup, ia tidak akan dibunuh." (1Sam 19:6).

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengingatkan kita untuk tetap terbuka kepada kehendak Tuhan. Dia yang menyembuhkan segala penyakit kita. Dia pulah yang melindungi kita dari bahaya dan malapetaka. Bersyukurlah atas kuasa Tuhan yang menyembuhkan dan melindungi.

PJ-SDB

Wednesday, January 22, 2020

Homili 22 Januari 2020

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-2
1Sam. 17:32-33,37,40-51
Mzm. 144:1,2,9-10
Mrk. 3:1-6

Saling curiga itu tidak manusiawi!

Pada pagi hari saya mendapat sebuah pesan singkat dari salah seorang sahabat. Ia menulis begini:  “Orang yang melakukan kejahatan biasanya mudah ketakutan dan curiga.” Saya tersenyum dan mengatakan dalam hati bahwa perkataan ini ada benarnya. Misalnya, ketika ada seseorang yang melakukan kejahatan tertentu dan kejahatannya itu sudah diketahui maka orang itu akan mudah curiga, sensitif, merasa tidak nyaman ketika berada di antara orang-orang lain. Orang itu juga akan berusaha dengan cara apa saja untuk membenarkan dirinya. Saya merasa yakin bahwa anda juga memiliki pengalaman-pengalaman tertentu seperti ini. Sebenarnya saling mencurigai itu tidaklah manusiawi.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Yesus dalam Injil Markus. Markus mengisahkan bahwa pada suatu hari Sabat, Yesus masuk ke dalam sebuah rumah ibadat. Ada seorang yang berada di dalam rumah ibadat itu menderita sekali karena sebelah tangannya mati. Ia sulit menggerakannya dan tentu saja ia juga tidak dapat beraktivitas dengan baik. Orang-orang Farisi itu sangat legalis. Mereka menaruh curiga kalau-kalau Yesus menyembuhkannya pada hari Sabat di dalam rumah ibadat. Sebab itu mereka menunjukkan sikap curiga seperti ini: “Mereka mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang itu pada hari Sabat, supaya mereka dapat mempersalahkan Dia.” (Mrk 3:2). Orang-orang Farisi memiliki kebiasaan yakni suka ‘mengamat-amati’ Yesus dan menaruh curiga kepada-Nya. Orang-orang Farisi ini adalah anda dan saya yang juga memiliki kecurigaan tertentu kepada sesame manusia. Banyak kali kita juga suka mengamat-amati dan menilai kehidupan pribadi orang lain, yang sebetulnya mungkin tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Memang, manusia selalu melihat sesamanya dari luar saja, Tuhan melihat hati manusia.

Reaksi Yesus adalah Ia tetap mewujudkan keselamatan bagi manusia yang sangat membutuhkannya. Ia datang ke dunia untuk menyelamatkan bukan membinasakan. Sebab itu, meskipun kaum Farisi menaruh curiga, suka mengamat-amati dan berhati jahat kepada Yesus, namun Ia tetap menyelamatkan orang yang mati sebelah tangan itu. Yesus meminta orang sakit itu, mengulurkan tangannya dan seketika itu juga Yesus menyembuhkannya. Tuhan Yesus melakukan perbuatan baik dengan menyembuhkan orang yang sakit tangannya namun orang Farisi tidak melihat kebaikan itu. Mereka malah bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Yesus. 

Kisah Injil ini adalah kisah kehidupan kita setiap hari. Berapa kali dalam sehari kita mengamat-amati kehidupan pribadi orang lain dan menilainya secara subjektif. Kita lupa bahwa setiap penilaian negatif kita terhadap orang lain itu merupakan proyeksi atau pencerminan diri kita sendiri. Ketika kita menunjuk sesuatu atau seseorang, dua jari kita ke depan dan tiga jari menunjuk kepada kita. Artinya ketika kita mencurigai orang lain, mengamat-amati dan menilai kehidupan pribadi orang maka sebenarnya kita juga menunjukkan ketidakberdayaan kita di hadapan sesama lain. Sebab itu kita perlu mawas diri dan bersikap adil terhadap sesama kita. 
Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah Daud dan Goliat. Dua sosok yang terkenal dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Daud masih muda tetapi memiliki pikiran yang matang. Saul sendiri tidak percaya pada kemampuan Daud di hadapan Goliat. Inilah perkataan Saul kepada Daud: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit." (1Sam 17:33). Tetapi Daud sangat percaya diri bahwa ia dapat memenangkan pertempuran ini. Ia dengan tegas berkata: "Tuhan yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (1Sam 17:37). Saul akhirnya mendukung Daud dengan mengatakan bahwa Tuhan Allah akan menyertainya.

Daud dianggap tidak mampu. Ini adalah sebuah kecurigaan karena hanya melihat tubuhnya yang kecil. Goliat sendiri meremehkan Daud. Namun Daud tetap tegar. Ia mengatakan kepada Goliat: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Tuhan semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu.” (1Sam 17:45). Daud akhirnya memenangkan pertempuran ini. Seorang yang dianggap tidak berdaya tetapi Tuhan menguatkannya sehingga ia dapat menaklukan Goliat orang Filistin itu.

Pada hari ini kita belajar supaya jangan mencurigai dan meremehkan orang lain. Kita semua mengidap sebuah penyakit yang sama yaitu mencurigai, mengamat-amati dan meremehkan hidup orang lain. Apalah artinya hidup sebagai pengikut Kristus kalau kita tidak menerima orang lain apa adanya? Kita bukanlah yang paling hebat, kita semua memiliki kelemahan-kelemahan maka kita membutuhkan dan mengandalkan Tuhan. Daud mengandalkan Tuhan sehingga mampu mengalahkan Goliat. Orang yang mati sebelah tangannya mengandalkan Yesus sehingga memperoleh kesembuhan. Bagaimana dengan kita? Siapakah andalan kita?

PJ-SDB

Tuesday, January 21, 2020

Homili 21 Januari 2020


Hari Selasa Pekan Biasa ke-2
Peringatan Wajib St. Agnes
1Sam. 16:1-13
Mzm. 89:20,21-22,27-28
Mrk. 2:23-28

Merawat Kebersamaan

Pada pagi hari ini saya menemukan sebuah kutipan inspiratif ini: “Jangan terlalu cepat menilai seseorang, terkadang apa yang kau lihat adalah hal yang memang sengaja ingin dia perlihatkan kepadamu.” Perkataan ini memang sering terjadi dan dialami banyak orang. Ada kebiasaan untuk terlalu cepat menilai seseorang dengan hanya melihat tampilan lahirianya saja: tubuhnya indah atau tidak indah, penampilannya menarik atau tidak menarik dan hal lainnya yang dapat kita rasakan dengan panca indra kita. Orang mudah terjebak melihat tampilan lahiria padahal belum tentu hal itu yang terbaik. Mengapa? Sebagaimana dikatakan di atas bahwa terkadang apa yang kita lihat adalah hal yang memang sengaja ingin dia perlihatkan kepada kita. Kita perlu pandai membaca tanda-tanda zaman.

Pada hari ini kita mendengar kisah lanjutan tentang Samuel. Suasana Kerajaan Israel di bawah kepemimpinan Saul bermasalah. Sebab itu Tuhan menolak Saul sebagai raja Israel. Tuhan Allah lalu menyapa dan mengutus Samuel untuk menjumpai Isai, orang asli Bethlehem dengan sebuah keterangan bahwa dari anak-anak Isai, Tuhan akan memilih seorang anak Isai yang akan menggantikan Saul sebagai raja bagi-Nya. Samuel menunjukkan rasa kemanusiaannya yakni ia merasa takut karena selalu ada kesempatan bagi Saul untuk membunuh Samuel. Tuhan memberi petunjuk kepada Samuel supaya luput dari sikap jahat Saul, yakni Samuel harus menyiapkan bahan persembahan kepada Tuhan sendiri. Ketika para tua-tua bertanya perihal kedatangannya ke Bethlehem, Samuel menjawab: "Ya, benar! Aku datang untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan. Kuduskanlah dirimu, dan datanglah dengan daku ke upacara pengorbanan ini." (1Sam 16:5).

Selanjutnya, Samuel menguduskan Isai dan anak-anaknya yang laki-laki sekaligus mengundang mereka ke pesta pengorbanan itu. Samuel menggunakan kategori manusiawi, sehingga ia memperhatikan setiap anak Isai yang lewat di hadapannya. Secara fisik orang seperti Eliab dan Abinadab memang sangat meyakinkan karena bertubuh kekar, tinggi dan tentu sangat di segani. Tuhan berkata kepada Samuel: "Sungguh, di hadapan Tuhan sekarang berdiri yang diurapi-Nya." Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati." (1Sam 16:6-7). Samuel mengamini percakapannya dengan Tuhan. Kini Samuel bercakap-cakap dengan Isai dan menanyakan semua anak-anaknya. Ternyata masih ada anak bungsu yang menggembalakan ternak mereka.

Samuel bertanya apakah ada anak-anak Isai yang lain? Isai menjawab: "Masih tinggal yang bungsu, tetapi sedang menggembalakan kambing domba." Kata Samuel kepada Isai: "Suruhlah memanggil dia, sebab kita tidak akan duduk makan, sebelum ia datang ke mari." Mereka pun memanggil Daud. Ada pun deskripsi fisik dari Daud adalah ia kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok. Tuhan meminta Samuel untuk segera mengurapi Daud sebagai raja Israel yang baru. Pengurapan berdampak positif yakni Roh Kudus selalu menyertai Daud.

Kisah Samuel dalam bacaan ini membuka wawasan kita. Pertama, supaya kita melihat dengan menggunakan mata Tuhan bukan semata-mata dengan mata kita. Kita melihat dengan mata Tuhan berarti kita semakin berfokus pada jati diri atau bagian terdalam hidup pribadi saudara-saudari kita. Banyak kali kita terjebak dan hanya memandang hal-hal lahiria saja. Orang mengatakan kita melihat cashingnya saja dan lupa bagian terdalam di dalam diri manusia. Kita butuh perubahan radikal dalam hidup ini. Kedua, aspek kesetiaan sangatlah penting. Kita belajar dari Samuel yang sebenarnya memiliki beban dan ketakutan tersendiri akibat penolakan Saul sebagai Raja Israel. Namun Samuel menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan, dengan melakukan tugasnya secara sempurna. Ketiga, Kisah Samuel ini membangkitkan semangat kita untuk merajut sekaligus merawat kebersamaan. Artinya apapun perbedaan yang dimiliki, orang harus tetap setia melakukan tugasnya untuk mempersatukan semua orang. Samuel merawat kebersamaan orang-orang Israel yang sedang mencari seorang leader baru.

Tuhan Yesus adalah seorang leader baru yang merawat kebersamaan di antara banyak perbedaan yang ada. Markus mengisahkan perjalanan bersama antara Yesus dan para murid-Nya pada hari Sabat. Sambil berjalan bersama para murid Yesus memetik bulir gandum. Hal ini memang sederhana namun dipersoalkan oleh orang-orang Farisi. Mereka menganggap Yesus dan para murid-Nya tidak menguduskan hari Sabat. Tuhan Yesus bereaksi dengan mengambil contoh rajau Daud dan pasukannya yang masuk ke dalam rumah Tuhan Allah, lalu mengambil roti yang hanya boleh dimakan oleh para imam, tetapi mereka mengambil dan memakannya karena lapar. Yesus dengan tegas mengatakan: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat." (Mrk 2:27-28).

Mengapa Yesus merawat kebersamaan? Ia datang ke dunia untuk mempersatukan semua orang, mengikis semua perbedaan. Banyak orang bersikap legalis seperti orang-orang Farisi di hadapan Yesus namun mereka tidak dapat bersekutu dengan orang-orang lain. Mereka menjadi kelompok khusus yang tidak dapat membaur karena menganggap dirinya sudah suci. Yesus datang untuk mengubah mindset orang-orang yang sok legalis dan sok suci. Di hadapan Tuhan semua orang sama sebagai manusia lemah dan hanya Yesus saja yang menguatkan kita.

Pada hari ini kita belajar untuk merawat kebersamaan sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri. Hidup kita sungguh bermakna bukan karena kita hebat, tetapi kita berhasil mengubah orang lain menjadi hebat. Tuhan Yesus mengubah kita menjadi hebat di hadapan Bapa, dengan hidup tanpa cela dan layak mendapat harkat dan martabat sebagai anak-anak Allah. Semoga santa Agnes yang kita kenang hari ini menginspirasikan kita untuk merawat kebersamaan dengan sesama kita.

PJ-SDB

Friday, January 17, 2020

Food For Thought: Menerima diri dan bersyukur

Menerima diri dan bersyukur

Saya membaca buku berjudul: “The Story of My life”. Ini bukanlah sebuah buku baru. Buku ini mengisahkan tentang Helen Keller, seorang perempuan yang buta dan tuli namun kehidupannya benar-benar mengubah dunia. Saya menemukan sebuah perkataan yang mengesankan di dalam buku ini. Inilah kutipannya: “Jauh lebih baik berlayar selamanya di malam kebutaan tetapi mempunyai perasaan dan pikiran dari pada hanya berpuas diri dengan kemampuan untuk melihat.”

Helen Keller lahir sebagai bayi normal. Ia sempat melihat keindahan dunia dan mendengar suara alam. Namun pada usia 19 bulan ada sebuah penyakit yang menyerangnya. Ia pun menjadi buta dan tuli selamanya. Dalam suasana yang sulit ini ia sadar dan menerima diri apa adanya. Maka benarlah perkataannya bahwa meskipun ia mengalami kebutaan, tidak melihat suatu apapun, namun ia bangga karena masih memiliki pikiran dan perasaan. Melihat saja belum cukup baginya. Melihat tanpa pikiran dan perasaan tidaklah berguna.

Banyak kali kita sulit menerima diri kita apa adanya. Banyak kali kita sulit menerima kekurangan fisik kita. Kita melihat namun tidak memiliki pikiran dan perasaan. Pikirkanlah saat-saat kita tertawa di atas penderitaan orang lain. Sangat tidak manusiawi! Itulah melihat tanpa pikiran dan perasaan. Ada juga keluhan-keluhan menghiasi hari-hari hidup kita. Akibatnya relasi dengan Tuhan dan sesama pun terganggu. Terima kasih Helen Keller, engkau telah menjadi guru kehidupan bagi banyak orang.

Pada hari ini marilah kita berusaha untuk menerima diri dan bersyukur kepada Tuhan atas hidup kita apa adanya. Tuhan memberkati kita dan selamat pagi.

P. John Laba, SDB 

Thursday, January 16, 2020

Homili 16 Januari 2020

Hari Kamis, Pekan Biasa I
1Sam. 4:1-11
Mzm. 44:10-11,14-15,24-25
Mrk. 1:40-45

Turut Mewartakan Yesus

Saya pernah bertemu dengan sepasang suami dan istri di ruang tunggu Airport Soeta, Cengkareng, Jakarta. Mereka hendak melakukan perjalanan ke Indonesia Timur untuk melakukan karya amal kasih di sebuah paroki. Sang suami adalah seorang katekis, sedangkan sang istri adalah seorang counsellor. Mereka berniat untuk melayani selama sebulan, dan kalau memang masih dibutuhkan mereka akan memperpanjang pelayanan mereka. Sang suami berharap agar pelayanan amal kasih ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk mewartakan Tuhan Yesus Kristus. Saya bertanya kepada mereka, mengapa sebagai suami dan istri memilih untuk melakukan pelayanan yang luhur di daerah terpencil. Kedua-duanya sama-sama mengakui semua mukjizat yang pernah mereka alami dalam hidup berkeluarga, semata-mata karena kasih setia Tuhan. Sebab itu, sebagai ungkapan syukur, mereka mau memberi diri dalam pelayanan kasih kepada sesama manusia. Pengalaman ini memang luar biasa. Masing-masing orang yang sudah dibaptis memiliki tugas mulia untuk mewartakan Yesus dalam hidupnya yang nyata. 

Kita semua mengenal lagu ‘Jadilah saksi Kristus’. Perhatikanlah liriknya yang sederhana namun menggugah hidup kita: “Setelah dirimu dis'lamatkan, jadilah saksi Kristus. Cahaya hatimu jadi terang, jadilah saksi Kristus. Tujuan hidupmu jadi nyata, jadilah saksi Kristus. Setelah dirimu kau tinggalkan, jadilah saksi Kristus. Kehidupan baru kau dapatkan, jadilah saksi Kristus. Api cinta Kristus kau kobarkan, jadilah saksi Krisus.” Kalau kita sendiri merasa dan mengalami secara pribadi keselamatan dari Tuhan maka tugas kita adalah menjadi saksi Kristus dalam hidup yang nyata. Kita bersaksi tentang Kristus karena kita sudah diselamatkan oleh darah-Nya yang mulia. Mari kita membaca lirik lagu ini sekali lagi, merefleksikannya dan mengatakan bahwa Tuhan Yesus sungguh baik karena telah menyelamatkan kita. Mari kita mewartakan-Nya dengan sukacita.

Penginjil Markus melanjutkan kisah Yesus di depan umum. Ia menyembuhkan semua orang yang datang kepada-Nya. Mereka mengidap berbagai jenis penyakit dan ada yang dirasuki roh-roh jahat. Dikisahkan oleh Markus bahwa ada seorang kusta juga ikut datang kepada Yesus dan memohon kesembuhan. Posisi tubuhnya menandakan bahwa ia sungguh membutuhkan Yesus di dalam hidupnya. Sebab itu ia berlutut dan memohon bantuan Yesus untuk menyembuhkannya. Posisi tubuh ini menandakan bahwa ia rendah hati dan sangat membutuhkan pertolongan Tuhan Yesus. Ia juga memohon, berdoa kepada Tuhan untuk kesembuhannya. Ia juga pasti percaya bahwa Yesus akan menyembuhkannya. 

Orang kusta ini memang beda. Pada zaman Yesus, orang kusta dianggap najis karena luka apalagi kalau tubuhnya berdarah-darah. Sebab itu orang kusta biasanya diasingkan ke tempat yang terisolasi, ada anggapan bahwa orang kusta itu sudah mati meskipun badannya hidup. Mereka harus berpakaian compang-camping, memiliki rambut yang tidak terurus, dan kalau berjalan di jalan raya mereka harus berteriak bahwa mereka orang kusta sehingga orang sehat menghindar. Ini benar-benar sangat diskriminatif tetapi sebuah realita pada zaman itu. Ia melihat Yesus dan mendekati Yesus bukan menjauhi sebagaimana ketika berhadapan dengan manusia lainnya. Ia percaya bahwa Yesus akan melakukan yang terbaik baginya.

Reaksi Yesus juga luar biasa. Ia tidak menjauh dari manusia yang dianggap najis ini. Ia malah merasa tergerak hati oleh belas kasihan, mengulurkan tangan, menjamah dan menyembuhkannya. Orang kusta merasa disembuhkan Yesus. Yesus memintanya untuk menunjukkan dirinya kepada imam, supaya nantinya ia boleh beribadah bersama orang lain. Yesus bahkan melarangnya untuk tidak menceritakan tentang kisah peyembuhan yang dilakukan Yesus bagi dirinya. Namun sukacita karena penyembuhan ini tidak dapat dibendung. Orang kusta yang sudah sembuh ini pergi dan mewartakan Yesus dengan sukacita. Yesus semakin dikenal dan semua orang mencari-Nya.

Kisah Yesus dalam Injil ini luar biasa. Kita semua merasa disapa, ditegur, didampingi Tuhan Yesus supaya menjadi lebih baik lagi dalam hidup sebagai pengikut-Nya. Kita semua disapa Yesus sebagai ‘orang sakit’ yang membutuhkan-Nya. Kita seharusnya berusaha untuk mendekati bukan menjauhi-Nya. Kita semua ditegur Yesus karena menungkirkan sesama manusa di dalam hidup kita. Kita menolak dan menganggap mereka bukanlah bagian dari hidup kita. Kita memilih-milih orang yang kita sukai dan menguntungkan hidup kita. Padahal Yesus tidak pernah bersikap seperti itu sehingga kita layak untuk ditegur. Kita butuh Yesus untuk mendampingi dan membimbing kita supaya menghargai manusia yang lain. 

Pada hari ini kita memohon supaya Tuhan Yesus memampukan kita supaya mampu mewartakan-Nya di dalam hidup setiap hari. Semoga tutur kata dan tingkah laku kita menyerupai Yesus. Jadilah saksi Kristus! 

PJ-SDB

Wednesday, January 15, 2020

Homili 15 Januari 2020

Hari  Rabu, Pekan Biasa I
1Sam. 3:1-10,19-20
Mzm. 40:2,5,7-8a,8b-9,10
Mrk. 1:29-39

Sembuhkanlah saudaramu!

Saya pernah mengunjungi seorang umat yang sudah beberapa Minggu terbaring di rumah sakit. Teman-temannya melabelnya sebagai pasien terbaik di rumah sakit itu karena hampir setiap bulan ia berobat dan opname. Ketika tiba di ruangan opname, saudaranya mengatakan kepada saya, “Romo, sembuhkanlah saudaraku”. Saya tersenyum dan mengatakan kepadanya: “Tuhan Yesus akan menyembuhkannya karena doa-doa kita semua”. Tuhan yang kita Imani adalah Allah yang menyembuhkan. Ia menjamah dan menyembuhkan sakit dan penyakit saudara ini dan label sebagai pasien terbaik di rumah sakit itu pun lenyap. Ia sangat bersyukur karena Tuhan menyembuhkannya. Saya merasa yakun bahwa kita semua pernah sakit dan memiliki pengalaman tertentu yang mirip. Kita semua membutuhkan kesembuah sebagai anugerah Tuhan.

Pada hari ini kita mendengar kisah lanjutan tentang hidup Yesus versi Injil Markus. Ia barusan mengajar dengan kuasa dan wibawa serta menyembuhkan seorang yang kerasukan roh jahat. Hal ini membuat semua orang takjub kepada-Nya. Selanjutnya,Yesus dengan ditemani oleh anak-anak Zebedeus, yakni Yakobus dan Yohanes pergi mengunjungi Simon dan Andreas. Pada saat itu ibu mertua Simon sakit demam sehingga mereka meminta Yesus untuk menyembuhkannya. Yesus menjenguknya, memegang tangannya dan membangunkannya. Sakit demamnya pun hilang seketika. Ia pun melayani Yesus dan para murid-Nya dengan sukacita. Pada hari yang sama, orang membawa banyak orang sakit kepada Yesus. Ia sekali lagi menunjukkan kuasa-Nya dengan menyembuhkan orang-orang sakit, mengusir setan-setan. Ia tidak memberi kesempatan kepada setang untuk menunjukkan kuasanya sebab Yesus lebih berkuasa dari mereka. Hari itu ditutup dengan mukjizat penyembuhan-penyembuhan.

Yesus memasuki hari yang baru dengan pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa. Ia bersyukur karena anugerah sabda dan kesembuhan yang diterima dari Bapa dan diteruskan kepada para murid-Nya. Simon dan kawan-kawannya juga mencari keberadaan Yesus. Mereka mengatakan kepada Yesus bahwa semua orang mencari-Nya untuk disembuhkan. Ia berkeliling bersama para murid-Nya untuk berbuat baik. Ia mewartakan Injil dan melakukan tindakan penyembuhan dengan penuh sukacita. 

Kisah Injil hari ini mengatakan tentang hidup kita setiap hari. Kita semua pernah sakit. Pada saat-saat seperti itu kita mendekatkan diri kepada Tuhan melalui doa-doa, menerima sakramen perminyakan, kita dikunjungi untuk didoakan. Ini adalah tanda bahwa Tuhan Yesus hingga saat ini melawati kita dan menyembuhkan kita semua dari sakit penyakit yang ada di dalam diri kita. Tuhan membantu kita untuk ikut menyembuhkan saudara-saudara kita. Masalahnya adalah banyak orang katolik yang mendua hati. Mereka percaya kepada dukun dan tukang ramal. Mereka lebih percaya kepada romo-romo yang katanya punya indera keenam. Padahal sebenarnya romo-romo itu juga bias-biasa saja. Tanpa Tuhan mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa. Nah di sini ada dua hal penting, di satu pihak orang mengagungkan Tuhan dan mengandalkan kuasa-Nya. Di lain pihak orang masih mengagungkan manusia dan melupakan Tuhan. Apakah anda juga masuk dalam kategori seperti ini?

Dalam bacaan pertama, kita mendengar kisah tentang Samuel kecil. Meskipun umurnya belum cukup, namun karena komitmen dan janji Hannah ibunya kepada Tuhan maka ia dipersembahkan kepada Tuhan melalui imam Eli. Ia mendapat tiga kali panggilan dan imam Eli mengajarkannya: "Pergilah tidur dan apabila Ia memanggil engkau, katakanlah: Berbicaralah, Tuhan, sebab hamba-Mu ini mendengar." Maka pergilah Samuel dan tidurlah ia di tempat tidurnya. Lalu datanglah Tuhan, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar." (1Sam 3:9-10). Dikisahkan juga bahwa sejak saat itu Samuel bertambah besar dan Tuhan menyertainya. Ia setia dalam mewartakan Sabda Tuhan.

Kita perlu bersyukur kepada Tuhan karena Ia senantiasa berbicara kepada kita. Ia dapat berbicara kepada kita melalui orang-orang yang kita jumpai setiap hari. Pembicaraan-pembicaraan kita dapat memnyembuhkan mereka yang sakit dan meringankan beban hidup sesame yang berbeban berat. Kita belajar dari Yesus yang datang untuk mewartakan Injil dengan pengajaran-pengajaran-Nya, menyeruhkan tobat dan melepaskan segala penyakit dan kelemahan-kelemahan kita. 

PJ-SDB

Tuesday, January 14, 2020

Food For Thought: Saya takjub


Saya Takjub!

Adalah Walter Bagehot. Beliau dikenal sebagai seorang ekonom berkebangsaan  Inggris yang hidup pada tahun 1826-1877. Pada suatu kesempatan ia berkata: “Seorang guru sekolah harus memiliki suasana kekaguman, dan berjalan dengan penuh rasa ingin tahu, seolah-olah dia takjub menjadi dirinya sendiri.” Saya sepakat dengan perkataannya ini bahwa seorang guru yang baik mestinya memiliki rasa kagum di dalam dirinya. Tanpa rasa kagum dan sikap ingin tahu maka ia mungkin menjadi seorang guru yang tidak kreatif dan tidak inovatif. Ia memang harus menjadi dirinya sendiri dalam kekaguman akan dirinya.

Pada hari ini saya juga merasa takjub dengan Tuhan Yesus. Ini bukan untuk pertama kali saya merasa takjub, tetapi sudah berkali-kali saya merasa takjub kepada-Nya. Mengapa saya merasa takjub kepada-Nya? Pada hari ini penginjil Markus menceritakan bagaimana Yesus mengajar dengan penuh kuasa dan wibawa. Semua orang takjub karena Yesus sangat berbeda dengan orang-orang yang mengaku diri pintar dalam memahami Kitab Suci tapi tidak punya kuasa dan wibawa yang cukup dengan Yesus. Saya sendiri merasa malu karena sebagai seorang gembala ternyata saya belum menyerupai Yesus. Tuhan kasihanilah aku yang lemah ini.

Saya juga merasa takjub dengan Yesus karena Ia menunjukkan kuasa-Nya yang luar biasa. Roh-roh jahat saja mengenal dan takluk kepada-Nya. Mereka begitu lemah di hadapan Yesus. Saya lalu bertanya di dalam diri saya tentang rasa takjub saya kepada Yesus. Kalau roh-roh jahat saja takluk kepada Tuhan Yesus, mengapa saya dan teman-teman sangat sulit untuk takjub kepada Tuhan dan takjub kepada sesame yang ‘lebih’ dalam hal-hal tertentu? Mengapa di dalam hati bukan rasa takjub tapi iri hati, amarah, dengki dan lain sebagainya. Berarti ‘kita’ ini lebih dari roh-roh jahat. Tuhan kasihanilah kami yang lemah ini.

Apakah anda saat ini juga takjub kepada Yesus? Kalau anda juga takjub maka mari kita belajar untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Ini berarti kita perlu bertobat dan berani berkata: “Saya juga takjub kepada Yesus”.

Tuhan memberkati kita semua,

P. John Laba, SDB

Homili 14 Januari 2020


Hari Selasa, Pekan Biasa I
1Sam 1:9-20
MT. 1Sam. 2:1,4-5,6-7,8abcd
Mrk. 1:21b-28

Tuhan lebih berkuasa!

Saya pernah mendengar seruan dari seorang ibu yang anaknya sakit keras di rumah sakit: “Tuhanku adalah Allah yang menyembuhkan. Tuhan lebih berkuasa!” Saya mendengar seruan ini sambil memperhatikan pasien yang terbaring lemah di atas ranjang. Ada dua situasi yang saya pahami di sini: pertama, ibu sebagai orang tua memiliki iman dan optimisme bahwa Tuhan pasti dapat menolong anaknya. Ia sungguh percaya pada kuasa Tuhan yang menyembuhkan. Kehadiran imam sebagai alter Christus membantu dalam hal doa kepada Tuhan untuk anugerah kesembuhan. Kedua, anak yang sedang sakit sangat membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Ia lemah dan tak berdaya namun dengan adanya iman dari ibunya, kiranya dapat menolongnya untuk mengurangi beban hidupnya. Tuhan dapat menyembuhkannya melalui perantaraan orang lain yang beriman kepada Tuhan. Bagi saya, ini adalah pengalaman dari setiap orang beriman di hadirat Tuhan dan sesama.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini berbicara tentang kuasa Tuhan bagi manusia. Dalam bacaan Injil kita mendengar bagaimana Markus melukiskan kegiatan-kegiatan lanjutan Yesus setelah memanggil para murid perdana di pantai danau Galilea. Posisi Yesus adalah Ia sedang berada di dalam rumah ibadat di Kapernaun. Ia melakukan tugas-tugas harian-Nya dengan sempurna, yakni mengajar dengan penuh kuasa dan wibawa sehingga banyak orang takjub kepada-Nya. Ia melakukan sebuah mukjizat yaitu menyembuhkan seorang yang kerasukan roh jahat. Orang yang kerasukan roh-roh jahat berperilaku demikian karena dikontrol oleh kuasa roh-roh jahat. Kini di hadapan Yesus, roh-roh jahat itu tidak memiliki kuasa apapun.

Perhatikan perkataan perwakilan roh jahat kepada Yesus: "Apa urusan-Mu dengan kami, hai Yesus orang Nazaret? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah." (Mrk 1:24). Hanya ada satu manusia tetapi dikuasai oleh roh-roh jahat. Hanya ada satu Yesus, tetapi kuasa-Nya mampu melumpuhkan kuasa roh-roh jahat. Hal yang menarik perhatian kita adalah roh jahat sekalipun masih mengenal Yesus dan kuasa-Nya. Tuhan Yesus dengan kuasa dan wibawa membentak roh-roh jahat itu dan mengeluarkan mereka dari tubuh manusia yang mereka rasuki. Roh-roh jahat sempat menunjukkan rasa takutnya di hadapan Tuhan Yesus. Namun karena kuasa Tuhan Yesus melebihi segalanya maka roh-roh jahat sekalipun takut dan takluk.

Hal lain yang menarik dari kuasa Tuhan Yesus ini adalah rasa takjub dan syukur. Orang yang tidak mengalami mukjizat tetapi hanya melihat terjadinya mukjizat merasa takjub dengan kuasa Allah di dalam diri Yesus Putera-Nya. Inilah perkataan mereka: "Apa ini? Suatu ajaran baru. Ia berkata-kata dengan kuasa. Roh-roh jahatpun diperintah-Nya dan mereka taat kepada-Nya." (Mrk 1:27). Yesus semakin terkenal karena kuasa dan wibawa-Nya mengubah hidup banyak orang. Wujud nyata dari kuasa Tuhan adalah manusia berubah, manusia menjadi baru, bebas dari kuasa dan ikatan roh-roh jahat.

Satu hal yang bagi saya penting buat direnung bersama adalah Tuhan Yesus berbicara dengan penuh kuasa dan wibawa di dalam Sinagoga. Mari kita membiarkan diri kita sebagai sinagoga, tempat kudus, di mana Tuhan dapat berbicara dengan kuasa dan wibawa. Pada hari ini kita coba membenahi diri kita. Roh jahat saja takhluk kepada Yesus, mengapa kita masih kesulitan untuk mentaati dan melakukan perintah-perintah Yesus? Mengapa kita masih kesulitan mengakui otoritas Yesus? Mengapa kita masih mempertanyakan otoritas dan kuasa Yesus di dalam diri kita dan di dalam Gereja?

Dalam bacaan pertama kita juga berjumpa dengan sosok Hannah, istri Elkana. Ia divonis tidak memiliki anak karena kandungannya sudah ditutup. Ia berada di bawah tekanan Penina selaku istri Elkana yang memiliki anak. Banyak kali Hannah merasa dibully oleh Penina. Hannah tidak berhenti dalam penderitaannya. Ia meminta kepada Tuhan untuk menolongnya. Sebab itu ia rajin berdoa di rumah Tuhan di Silo. Ia tekun berdoa, mulutnya komat-kamit namun imam Eli berpikir bahwa Hannah sedang mabuk. Hannah menjelaskan maksud dan intensinya kepada imam Eli. Dengan penuh harapan imam Eli berkata kepadanya: "Pergilah dengan selamat, dan Allah Israel akan memberikan kepadamu apa yang engkau minta dari pada-Nya." (1Sam 1:17). Kisah ini berlanjut di mana kuasa Allah benar-benar nyata. Dkisahkan bahwa setahun kemudian mengandunglah Hana dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia menamai anak itu Samuel, sebab katanya: "Aku telah memintanya dari pada Tuhan." (1Sam 1:20).

Kuasa Tuhan sungguh nyata di dalam hidup ini. Banyak kali kita sendiri mengalami kesulitan tertentu seperti sakit dan penyakit yang menguasai kita, masalah-masalah keluarga ataukah relasi antar pribadi di dalam keluarga masing-masing. Kita semua tidak boleh mengandalkan diri kita. Kita butuh Tuhan yang datang untuk menyembuhkan. Kita butuh Tuhan untuk memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita sukai.

PJ-SDB