Tuesday, July 31, 2012

Sharing: Lalang dan gandum


Lalang dan gandum
Seorang sahabat saya setelah membaca renungan harian beberapa hari yang lalu (Sabtu 28 Juli 2012) dan renungan harian tadi pagi (31 Juli 2012) menulis pesan kepada saya sore ini. Dia sudah merefleksikan renungan-renungan ini dalam konteks relasi persahabatan. Ia menulis begini, “Pater John, saya baru sadar bahwa ternyata selama ini saya bertumbuh bersama sahabat-sahabat saya ibarat gandum yang bertumbuh bersama lalang. Demi persahabatan saya baru menyadari bahwa ada di antara mereka yang akrab denganku karena persahabatan. Ada yang akrab denganku karena mereka butuh tenaga dan pikiran. Ada juga yang akrab denganku karena mereka butuh duit. Mereka yang bersahabat denganku karena sahabat selalu membahagiakanku, tetapi mereka yang seolah-olah menjadi sahabat bukan karena saya apa adanya tetapi karena saya ada apanya” mengecewakan. Ketika bertemu di jalan, di gereja atau dalam persekutuan mereka menghindar. Mereka masa bodoh seolah-olah tidak ada apa-apa. Orang katolik, pengikut Kristus ternyata menjadi lalang yang subur!"  
Satu sharing “kesadaran” yang lambat tetapi menarik perhatianku. Tanpa sadar banyak kali terjadi di dalam hidup pengalaman-pengalaman seperti sahabatku ini. Kedekatan sebagai sahabat sebenarnya bukan hanya pada saat-saat yang membahagiakan (karena ada apanya) tetapi dalam segala situasi hidup (apa adanya). Persahabatan yang baik bukan berdasar pada rasa simpati tetapi pada rasa empati. Terkadang orang kurang menyadarinya sehingga relasi antar pribadi menjadi rusak. Adalah sebuah kesalahan besar kalau ada orang berperilaku parasit pada orang lain.
Lalang dan gandum itu tumbuhan yang memiliki kemiripan. Pada saat masih bertumbuh bersama di atas lahan, sang petani susah membedakan. Kelihatan dalam bertumbuh bersama tidak menimbulkan masalah apa-apa. Meskipun sebenarnya, petani yang cerdas akan merasa rugi karena humus tanah juga ikut direbut oleh lalang. Para petani dapat membedakannya ketika mulai berbunga dan berbuah hingga panen. Namun masih sulit untuk mencabut lalang karena lalang masih bertumbuh bersama gandum. Hanya saat menuai baru bisa memisahkan lalang dan gandum. Hidup bersama juga demikian. 
Orang-orang di sekitar kita terkadang sulit kita bedakan apakah dia itu baik atau jahat. Kadang karena kedekatan maka tidak dapat dibedakan. Orang dapat menjadi lalang dengan memeras, meminjam duit berkali-kali tanpa pikir untuk mengganti. Hanya karena persahabatan orang susah untuk mengatakan tidak. Tindakan untuk merugikan sahabat itu dosa! Bertobatlah, jadilah gandum yang memberi hidup bukan lalang yang menghasilkan kematian. 
PJSDB

Renungan 31 Juli 2012

St. Ignasius Loyola, Imam
Yer 14:17-22
Mzm 34: 2-3.4-5.6-7.8-9.10-11
Mat 13:36-43
Orang benar akan bercahaya seperti matahari!
Hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan Pesta St. Ignasius Loyola. Ia lahir di Azpeitia,di daerah Basque, Propinsi Guipuzcoa, Spanyol Utara pada tahun 1491. Dia adalah putera bungsu keluarga bangsawan Don Beltran de Onazy Loyola dan Maria Sanchez de Licona. Nama aslinya adalah Inigo Lopez de Loyola. Pada tahun 1517, Ignatius menjadi tentara kerajaan Spanyol. Empat tahun kemudian, pada tanggal 20 Mei 1521, Ignasius menderita luka parah terkena peluru ketika mempertahankan benteng Pamplona dari serangan tentara Prancis. Penderitaan fisik dan mental yang hebat ini ditanggungnya dengan sabar dan berani dalam perawatan selama hampir satu tahun. Selama masa pemulihan kesehatan, ia berniat membaca buku kepahlawanan untuk menghilangkan rasa bosan dan jenuh. Satu-satunya buku yang ada adalah buku tentang Kristus dan riwayat para kudus. Semakin lama membacanya, semakin ia menikmati buku itu. Dari dalam hatinya ada panggilan bukan lagi menjadi seorang militer tetapi menjadi laskar Kristus.
Pada tahun 1522, Ignasius pergi ke biara Benediktin Montserrat, Timur Laut Spanyol. Selama tiga hari berada disana, ia berdoa dengan tekun dan memohon ampun atas semua dosanya di masa silam. Semua miliknya diberikan kepada orang-orang miskin. Niatnya yang sungguh untuk mengabdi Tuhan dan sesama ditunjukkan dengan meletakkan pedangnya di bawah kaki altar biara itu, pada tanggal 24 Maret malam hari. Ia kemudian terus berusaha untuk bertobat dan belajar hingga menjadi sarjana.
Kariernya sebagai Abdi Allah dimulainya dengan mengumpulkan beberapa orang pemuda yang tertarik pada karya pelayanan kepada Tuhan dan GerejaNya. Mereka adalah Beato Petrus Faber, Santo Fransiskus Xaverius, Diego Laynez, Simon Rodiquez, Alonso Salmeron, dan Nikolas Bobadilla. Kelompok pertama dari Serikat Yesus ini mengucapkan kaul hidup religius di kapel Biara Benediktin di Montmartre. Selain mengikrarkan ketiga kaul hidup membiara: kemurnian, ketaatan dan kemiskinan, mereka pun mengikrarkan kaul tambahan, yakni kesediaan menjalankan karya misioner di Tanah Suci di antara orang-orang Islam, kemudian diganti dengan kaul pengabdian khusus kepada Paus. Ignatius sendiri kemudian ditabhiskan menjadi imam pada tanggal 24 Juni 1937. Ia melakukan tugas pelayanan sebagai imam, meneruskan latihan rohaninya hingga meninggal pada tanggal 31 Juli 1556. Pada saat meninggal dunia, jumlah anggota Serikat Yesus adalah kira-kira 1000 orang. Paus Gregorius XV menyatakan Ignasius sebagai Santo pada tahun 1622.
Ignasius mengalami sebuah pegalaman yang istimewa. Masa lalunya menunjukkan bahwa ia menikmati hidup penuh dengan kemewahan, keras sebagai seorang militer tetapi Tuhan selalu punya rencana istimewa dan kesabaran untuk mengubah hidupnya menjadi baru. Bacaan Injil hari ini sangat inspiratif untuk merenungkan hidup St. Ignasius dan hidup kita. Yesus sudah mengatakan sebuah perumpamaan tentang seorang penabur yang keluar untuk menabur benih yang baik. Tetapi pada malam hari daanglah ke lahan itu seorang jahat lalu menabur lalang. Pemilik lahan benih yang baik tahu tentang perilaku si jahat tetapi dia membiarkan gandum dan lalang tumbuh bersama sampai musim menuai. Pada saat itu gandum akan di simpan di lumbung sedangkan lalang akan dipotong dan dibakar. Lihatlah bahwa kebaikan tumbuh bersama kejahatan hingga suatu waktu istimewa di mana Tuhan memisahkan kebaikan dari kejahatan.
Pengajaran Yesus dengan menggunakan perumpamaan membawa kesulitan tertentu bagi para muridNya. Mereka lalu memohon penjelasan perumpamaan kepada Yesus. Tentang perumpamaan benih yang baik (gandum) dan lalang, Yesus menjelaskannya: Si penabur benih yang baik adalah Anak Manusia (Yesus sendiri). Dialah Utusan Bapa untuk bersabda, melayani dan menebus. Lahan adalah dunia. Benih yang  baik adalah anak-anak Kerajaan. Lalang adalah anak-anak si jahat. Musuh yang menabur lalang adalah Iblis. Saat menuai adalah akhir zaman dan penuainya adalah para malaikat. Menurut Yesus, pada akhir zaman Ia pun akan mengirim para malaikatNya untuk mengumpulkan segala kesesatan dan orang yang berlaku jahat untuk dicampakkan ke dalam dapur api, di sana ada ratap dan kertak gigi. Sedangkan orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa.
Penjelasan Yesus atas perumpamaan lalang yang bertumbuh di antara gandum membuat kita sadar bahwa dunia ini merupakan arena di mana kebaikan dan kejahatan berinteraksi. Yesus menabur benih yang baik di dalam hati orang yang bersedia mengikuti kehendak Allah Bapa. Kejahatan juga bekerja dalam diri anak-anaknya untuk melawan Yesus. Lalang sebelum musim panen sulit dibedakan dengan gandum. Demikian juga sepanjang hidup manusia sangat sulit membedakan siapa yang baik dan siapa yang jahat. Para malaikat utusan Yesuslah yang mengetahui orang baik dan jahat. Merekalah yang akan mengenal dan bertugas untuk memisahkah orang benar dan orang jahat pada tempatnya yang berbeda. Orang jahat yang tidak terbuka pada Allah akan menderita selama-lamanya sedangkan orang benar akan bercahaya di dalam Kerajaan Bapa seperti matahari.
Gambaran tentang penderitaan orang-orang yang tidak bertobat diungkapkan oleh Nabi Yeremia dalam bacaan pertama. Pada zaman nabi Yeremia, dosa tumbuh begitu subur. Simbol-simbol yang dipakai Yeremia: ada luka-luka yang tidak dapat disembuhkan, pembunuhan yang merajalela dan kelaparan di seluruh negeri. Melihat situasi penuh dosa ini maka Yeremia berdoa memohon ampun kepada Tuhan, “Ya Tuhan, kami insaf akan kejahatan kami dan akan kesalahan leluhur kami. Kami sungguh telah berdosa terhadapMu. Janganlah kiranya menolak kami dan janganlah Engkau menghinakan takhta kemuliaanMu. Ingatlah akan perjanjianMu dengan kami dan janganlah membatalkannya”. Yeremia percaya Tuhan akan mengampuni orang-orang yang berdosa sehingga tidak masuk dalam dapur api di mana ada ratap dan kertak gigi. Mereka justru akan berubah dan menjadi terang seperti matahari di dalam Kerajaan.
Sabda Tuhan hari ini menyadarkan kita untuk membangun sikap tobat yang benar. St. Ignasius menginspirasikan kita untuk bertobat menjadi orang benar sehingga dapat bercahaya seperti matahari. Artinya dengan bertobat orang dapat menjadi kudus, tanpa cela di hadirat Tuhan. Kesadaran untuk bertobat berasal dari hati yang terbuka pada Tuhan dan hati nurani yang jernih. Mengapa? Karena sesuai dengan rencana Tuhan kita adalah benih yang baik, anak-anak Kerajaan yang sudah dipanggil, dipilih dan ditentukan sebelum dunia dijadikan untuk menjadi kudus, tanpa cela di hadirat Tuhan. Panggilan ini dikuduskan lagi dalam sakramen pembaptisan. Maka kita seharusnya bukan lalang lagi karena iblis sudah dikalahkan oleh Yesus Tuhan kita. Mengapa orang masih cenderung mengikuti gerakan iblis dan berbuat serta menikmati dosa-dosa? Ya, mereka lupa bahwa mereka adalah benih yang baik. Bagi orang benar, mereka akan tetap bercahaya seperti matahari.
Doa: Tuhan bersegeralah menolong kami orang berdosa. Amen
PJSDB

Monday, July 30, 2012

Renungan 30 Juli 2012

Hari Senin, Minggu Biasa XVII
Yer 13:1-11
Mzm (Ul) 32:18-21
Mat 13:31-35

Jadilah seperti biji sesawi dan ragi!

Pada suatu kesempatan saya mengikuti upacara adat pernikahan di kampung halamanku. Sebagai pastor saya juga diminta mengenakan sarung adat dan duduk bersama para orang tua, baik dari pihak perempuan (calon isteri) maupun laki-laki (calon suami). Masing-masing pihak memiliki juru bicara yang dianggap bijaksana karena mengerti “bahasa adat”. Mereka menggunakan pantun tertentu dalam kiasan-kiasan dan perumpamaan-perumpamaan. Saya tidak banyak mengerti semua yang juru bicaranya ungkapkan, hanya pada akhirnya saya melihat kedua pihak saling tukar menukar benda adat. Setelah itu mereka saling tepuk tangan diiringi nyanyian berupa pantun tertentu lagi.

Tuhan Yesus ketika menjelaskan tentang Kerajaan Sorga selalu menggunakan perumpamaan-perumpamaan tertentu sehingga dapat membantu para muridNya mengerti dengan baik. Oleh karena daerah Israel dari dulu terkenal dengan sistem pertanian yang baik maka Yesus pun menggunakan perumpamaan seputar kehidupan agraris atau kehidupan sebagai nelayan di danau Galilea. Misalnya Ia menggunakan contoh benih, biji-bijian dan pukat. Hal-hal ini sangat akrab dengan kehidupan para muridNya. Masalahnya adalah para murid memahami semua perumpamaan ini secara harafiah dan sempit sehingga Yesus harus menerangkannya lagi.

Pada hari ini Yesus mengumpamakan Kerajaan Sorga serupa dengan biji sesawi yang ditaburkan orang di atas sebuah lahan. Bagi Yesus, biji sesawi itu memang kecil, tetapi ketika bertumbuh akan menjadi besar melebihi sayuran lainnya bahkan menjadi pohon sehingga burung-burung dapat bersarang di atas cabang-cabangnya. Yesus juga mengumpamakan Kerajaan Sorga itu seumpama ragi yang diambil seorang wanita dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai seluruhnya beragi. Ragi memang sedikit tetapi membuat adonan menjadi besar.

Biji sesawi dan ragi memang kecil dan terkadang kurang diperhatikan atau diabaikan tetapi ternyata memiliki daya yang besar. Biji sesawi dapat menjadi pohon, ragi menjadi adonan besar. Ada daya dari dalam biji sesawi dan ragi yang sifatnya mengubah kehidupan. Ini adalah optimisme Yesus tentang Kerajaan Sorga yang Ia wartakan. Dari sedikit orang yang mendengar pewartaanNya tetapi Ia optimis bahwa pewartaanNya itu akan mencapai seluruh dunia dan selama-lamanya. Para pewarta mengalami perubahan dari dalam dirinya dan dengan demikian mereka akan mengubah sesamanya menjadi baru. Ini semua tidak terlepas dari janjiNya untuk menyertai para utusan hingga akhir zaman.

Hidup kristiani akan bermakna ketika setiap pribadi yang dibaptis bertumbuh dalam iman. Seperti biji sesawi yang kecil bertumbuh menjadi besar, demikian benih-benih iman yang ditaburkan Tuhan di dalam hidup setiap pribadi melalui orang tua dan para pembina diharapkan dapat bertumbuh menjadi dewasa. Kadang-kadang orang boleh mengakui dirinya sebagai orang katolik “dari orok” atau mengakui bahwa nenek moyangnya sudah katolik “dari doeloe” tetapi imannya kerdil. Imannya dari kecil seperti biji sesawi lalu kerdil saat bertumbuh. Biji sesawi harus mendapat lahan yang subur bukan lahan yang mengerdilkan. Demikian juga ragi. Ragi itu sedikit, kelihatan tidak berdaya tetapi ketika diaduk merata bersama tepung terigu, ia membuat adonan itu menjadi besar. Hidup kristiani harus seperti ragi yang menyusup dalam adonan sehingga adonan menjadi besar. Ada roh yang berasal dari dalam diri setiap pribadi yang bekerja diam-diam tetapi memiliki kuasa untuk mengubah hidup banyak orang.

Apa yang harus kita lakukan? Supaya biji sesawi dapat tumbuh subur dan ragi dapat menyusup masuk dan mempengaruhi dari dalam maka kita perlu bertobat. Nabi Yeremia dalam bacaan pertama memberi gambaran nyata hidup manusia yang rapuh di hadirat Tuhan. Ibarat ikat pinggang lenan yang disembunyikan dicela-cela bukit batu dekat sungai Efrat dan menjadi lapuk demikian banyak orang yang mengaku sebagai orang beriman tetapi rapuh di dalam hidup imannya. Selalu saja ada kesombongan dalam diri manusia sehingga tidak mendengar Sabda Tuhan, hatinya degil dan suka menyembah berhala. Namun demikian Tuhan tetap memiliki rencana keselamatan bagi umatNya yang berdosa. Nah, agar orang-orang seperti ini menjadi sadar diri  dan bertobat maka Tuhan menjadikan mereka seperti ikat pinggang yang melekat pada pinggangNya “supaya mereka itu menjadi umat yang ternama, terpuji dan terhormat bagiKu”.

Nabi Yeremia mau mengatakan kebesaran Tuhan yang memiliki inisiatif untuk menarik mereka datang dan bersatu denganNya sebagai satu-satunya Allah yang benar. Laksana ikat pinggang yang menyatu dengan pemakainya, demikian umat Allah yang berdosa sekali pun “ditarik” oleh Allah untuk bersatu denganNya. Sungguh luar biasa Allah kita yang tidak memperhitungkan dosa-dosa tetapi memperhatikan iman kita. Iman sebagai anugerah cuma-cuma dari Tuhan maka tugas kita adalah menumbuhkannya, mematangkannya hari demi hari.

Sabda Tuhan hari ini sangat kaya dengan makna. Kita berusaha untuk bertumbuh dalam iman laksana biji sesawi, biji yang kecil menjadi besar. Iman kita kepada Tuhan jangan tetap menjadi iman seorang anak balita tetapi harus bertumbuh sejalan dengan usia kita. Semakin tua semakin menjadi dalam iman. Iman yang matang itu ditandai dengan kematangan dalam tingkah laku yang mencerminkan kematangan hidup rohani. Nah di sinilah peran ragi yang membuat adonan mengembang menjadi besar dari dalam adonan itu sendiri. Kematangan hidup iman, hidup rohani itu gerakan roh dari dalam diri setiap orang. Ini juga yang boleh disebut kharisma dalam diri setiap orang.

Kita juga bersyukur kepada Tuhan karena Ia selalu punya rencana untuk menyelamatkan dan membaharui hidup kita. KuasaNya laksana ikat pinggang yang menarik dan mengikat erat setiap pribadi untuk bersatu denganNya. Dengan demikian manusia yang berdosa akan menjadi ciptaan baru yang ternama, terpuji dan terhormat. Inilah martabat sebagai anak-anak Allah di dalam Yesus Kristus. Di dalam Kerajaan Sorga, orang-orang yang bertobat dan yang memiliki martabat sebagai anak-anak Allah adalah penghuninya.

Doa: Tuhan, terima kasih atas kasih dan pengampunanMu. Amen

PJSDB

Sunday, July 29, 2012

Homili Hari Minggu Biasa XVII/B

Hari Minggu Biasa XVII/B
2Raj 4:42-44
Mzm 145:10-11.15-16.17-18
Ef 4:1-6
Yoh 6:1-15
Bertumbuh sebagai pribadi yang ekaristis!
Pada hari Minggu Biasa XVI yang barusan kita lewati, Tuhan Yesus bertindak sebagai gembala yang baik. Ia tergerak hati oleh belas kasih karena melihat banyak orang yang datang kepadaNya seperti domba tanpa gembala. Penginjil Markus bersaksi bahwa Yesus menunjukkan semangat kegembalaanNya dengan mengajar mereka banyak hal. Pada Hari Minggu Biasa XVII ini Penginjil Yohanes memberi kesaksian bahwa Yesus menunjukkan kegembalaanNya dengan berekaristi bersama para murid dan banyak orang yang berbondong-bondong mengikutiNya. Para pengikut laksana domba tanpa gembala ini diberikan makan dan minum sampai mereka kenyang. Yesus tidak hanya memberi Sabda sebagai makanan rohani tetapi roti dan ikan digandakan untuk memuaskan orang yang lapar secara fisik. Tujuan Yesus adalah menciptakan pribadi-pribadi yang ekaristis.
Di kisahkan oleh Yohanes Penginjil bahwa Yesus menyeberang Danau Galilea ke tempat yang baru. Di tempat baru itu orang tetap mencari Dia karena terdorong oleh aneka mukjizat penyembuhan yang dilakukanNya. Melihat banyaknya orang yang mengikutiNya maka Yesus sekali lagi “tergerak hati oleh belaskasih” (Mrk 8:2) untuk mengasihi orang-orang yang datang kepadaNya. Untuk mencobai para muridNya apakah mereka memiliki kemampuan berbagi dengan sesama, maka Ia bertanya kepada Filipus, “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka dapat makan.” Filipus menjawab, “Roti seharga dua ratus dinar tidak cukup untuk mereka ini sekalipun mendapat sepotong kecil saja.” Andreas memberi informasi kepada Yesus bahwa ada anak kecil yang memiliki lima potong roti dan dua ekor ikan. Yesus mengambil roti dan ikan lalu berekaristi bersama mereka: Ia mengambil roti, mengucap syukur, dan membagikannya kepada semua orang hadir. Mereka makan kenyang, puas dan masih ada sisa 12 bakul penuh. Melihat mukjizat ini, orang mengaggumi Yesus laksana “nabi yang akan datang”. Lihatlah, dengan hanya memiliki lima potong roti dan dua ekor ikan diberikan dengan tulus oleh seorang anak yang murah hati, lalu membiarkan Tuhan Yesus memberkati sehingga memuaskan banyak orang saat itu. 
Pengalaman komunitas Yesus ini mirip dengan pengalaman Elisa dalam Kitab kedua Raja-Raja di Bacaan Pertama. Seorang petani dari Baal-Salisa membawa bekal untuk Elisa sang Abdi Allah berupa dua puluh roti gandum dalam satu kantong sebagai persembahan ulu hasil (Im 2:14; Bil 18:13). Elisa sang Abdi Allah itu meminta pelayannya itu untuk memberikan roti-roti bawaannya itu sebagai santapan banyak orang. Tetapi pelayan itu menjawab, “Bagaimana aku dapat menghidangkannya di depan seratus orang?” Elisa memerintahkan, “Berilah orang-orang itu makan”. Tuhan akan menunjukkan bahwa semua orang makan dan kenyang bahkan masih ada sisa. Persembahan pelayan sang Abdi Allah ini layak di hadirat Tuhan. Hanya dua puluh roti gandum diserahkan kepada Tuhan dan membiarkan Tuhan berkarya, menggandakannya sehingga dapat memuaskan banyak orang. Bagi Allah tidak ada yang mustahil!
Kedua bacaan ini membantu kita untuk belajar dari Tuhan bagaimana berbagi dengan saudara-saudara kita. Kita berbagi dengan mereka bukan karena kita memiliki banyak barang atau harta. Kita justru diajak Tuhan untuk memberi dari sedikit yang kita miliki untuk memuaskan banyak orang. Perhatikan, dengan hanya sedikit roti dan ikan dapat memuaskan ribuan orang. Ya, asal kita percayakan saja pada Tuhan maka Tuhan akan membuat karya besar di dalam hidup kita. Yesus sendiri memberi Tubuh dan DarahNya sebagai makanan rohani bagi banyak orang yang percaya kepadaNya. Ia membagi diriNya, dipecah-pecah dan dibagi-bagi sehingga memuaskan banyak orang. Satu Tubuh untuk semua orang! Perbuatan besar Yesus ini membuat banyak orang mengaggumiNya sehingga berani mengatakan, “Dia adalah benar-benar nabi yang akan datang ke dunia”.  Memang nabi yang melebih segala nabi karena Ia memberikan segala-galanya, total untuk menebus manusia. 
Apa yang harus kita lakukan supaya semangat "berbagi" ini bernilai? Paulus dalam Bacaan Kedua memberikan kepada kita anjuran-anjuran istimewa supaya semangat berbagi memiliki makna yang mendalam. Paulus di dalam penjara tetap mendengar bahwa jemaat di Efesus terpecah-pecah, tidak memiliki semangat “berbagi” untuk menjadi saudara. Paulus lalu mengingatkan jemaat di Efesus sebagai orang-orang yang terpanggil untuk mengayati panggilan mereka.
Bagaimana menghayati panggilan dengan baik sebagai saudara? Paulus menasihati  mereka supaya hidup dalam semangat rendah hati, lemah lembut dan sabar, mampu mengasihi, dan saling membantu. Nilai-nilai ini masih kurang dihayati jemaat di Efesus maka Paulus meminta mereka untuk menumbuhkannya kembali. Di samping itu Paulus juga  mengatakan kepada mereka untuk memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai sejahtera: satu tubuh, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan,  satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa. Setiap pribadi yang berani berbagi akan sungguh-sungguh menjadi saudara dan bersatu dengan Tuhan dan sesama.
Sabda Tuhan hari ini mendorong kita untuk bertumbuh sebagai pribadi-pribadi yang ekaristis. Pribadi yang ekaristis adalah mereka yang berani memberi dari sedikit yang dia miliki untuk memuaskan banyak orang. Pribadi yang ekaristis adalah pribadi yang terus menerus menyadari panggilannya untuk membagi dirinya, waktu, bakat dan kemampuannya untuk menjadi saudara. Pribadi yang ekaristis adalah pribadi yang mampu dan terbuka untuk bersatu dengan Tuhan dan sesama. Pribadi yang ekaristis itu rendah hati, lemah lembut, sabar, mampu mengasihi, suka menolong, dan membawa damai. Mari kita bertumbuh menjadi pribadi ekaristis! 
Doa: Tuhan, syukur atas Ekaristi yang menghidupkan kami setiap hari. Amen
PJSDB

Saturday, July 28, 2012

Renungan 28 Juli 2012


Hari Sabtu, Pekan Biasa XVI
Yer 7:1-11
Mzm 84: 3.4.5-6a.8a.11
Mat 13:24-30
Tuhan selalu sabar!
Seorang ibu datang ke pastoran dan sambil menangis ia mengatakan tidak tahan lagi hidup di dunia ini. Setiap hari pasti bentrok dengan semua orang di rumah, terutama dengan putranya yang baru kelas V SD.  Sebelumnya, putranya itu penurut dan baik hati tetapi setelah bergaul dengan anak lain maka perilakunya berubah. Ia sudah kelihatan liar dan susah diatur. Ia mengakui tidak sabaran lagi menunggu kapan anaknya berubah menjadi anak yang  baik. 
Ini hanya sepenggal kisah dari sebuah keluarga. Mungkin banyak di antara kita yang mengalami kesulitan dalam mendidik anak pada zaman ini. Kadang-kadang ketika komunikasi antar pribadi di dalam keluarga terhalang maka akan mempengaruhi kesabaran setiap pribadi. Ada kecenderungann untuk tidak sabar, tergesa-gesa menyelesaikan persoalan anak, memutuskan relasi pergaulannya dengan anak-anak lain karena mereka jahat dan lain sebagainya. Padahal anak usia dini memang memerlukan interaksi dengan lingkungann atau dengan kelompok sebayanya.
Hari ini kita mendengar perumpamaan lain dari Yesus. Yesus mengatakan bahwa hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih baik di ladangnya. Musuhnya juga datang pada malam hari untuk menabur benih lalang di antara gandum itu lalu pergi. Gandum dan ladang tumbuh bersama-sama sampai saat berbulir. Para pekerja tadinya sulit membedakan gandum dan lalang tetapi saat berbulir mereka menyadarinya dan meminta tuannya untuk mencabut lalang. Tetapi si Penabur itu berkata, “Jangan, sebab mungkin gandum itu akan ikut tercabut pada waktu kalian mencabuti lalang itu. Biarkan keduanya bertumbuh bersama-sama sampai waktu menuai tiba. Pada saat itu gandum akan dikumpulkan dan masuk ke dalam lumbung sedangkan lalang akan dikumpulkan untuk dibakar.”
Perikop ini sangat menarik perhatian kita. Benih gandum yang ditaburkan adalah benih yang baik. Si Penaburnya sendiri adalah Yesus sang Anak Manusia yang menghadirkan Kerajaan Sorga. Dia menaburkan benih gandum sebagai benih yang baik karena Ia sendiri nantinya menjadi “Biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati” (Yoh 12:24) sehingga memberikan hidup baru kepada manusia. Dia sendiri yang nantinya menjadi “makanan rohani” atau “Roti Hidup” bagi banyak orang dalam berekaristi. Benih yang baik adalah mereka semua yang layak di hadirat Tuhan dan disebut anak-anak Kerajaan yang masih tinggal di dunia (ladang). Lalang (kejahatan) ditaburkan oleh Iblis dan pada akhir zaman Yesus sang Anak Manusia akan datang untuk “mengadili orang yang hidup dan mati”. 
Si Penabur menunjukkan kesabaran yang luar biasa ketika para hambanya tidak sabaran melihat lalang yang tumbuh bersama gandum. Para hamba maunya cepat-cepat mencabut lalang, tidak peduli dengan gandum dari benih yang baik. Si Penabur mengatakan kesabarannya, “Biarkan mereka bertumbuh sampai waktu menuai tiba karena gandum dapat ikut tercabut”. Kelihatan Yesus sangat optimis dalam menghadirkan Kerajaan Allah. Ia tahu bahwa iblis turut menurunkan kuasanya untuk memecah belah umat manusia tetapi Yesus memenangkan segalanya pada saat kebangkitanNya dari alam maut.
Seringkali kita tidak sabar dengan diri dan sesama. Ketika melihat ada lalang yakni segala hal yang dianggap negatif dan jahat sering membuat kita tidak berpikir panjang untuk mengatasinya. Kita lebih memilih tergesa-gesa menyelesaikan persoalan itu demi gengsi dan harga diri. Misalnya, seorang anak yang bergaul dengan teman sebayanya sering dikenyangkan dengan aneka nasihat yang berlebihan dalam membangun relasi dengan sesama. Kadang-kadang bisa terjadi seorang anak masih kecil sudah memiliki persepsi negatif atau bahkan pikiran negatif terhadap sesama. 
Kita butuh semangat Tuhan Yesus yang sabar dengan manusia yang berdosa. Ia membiarkan manusia hidup berdampingan, orang yang baik dan jahat hidup bersama-sama. Tuhan punya rasa optimisme bagi manusia bahwa segala kebaikan orang-orang benar akan mengubah kejahatan menjadi kebaikan. Orang dengan sikap hidup, perilaku yang baik akan mengubah perilaku sesama yang jahat menjadi baik. Tentu saja membutuhkan waktu yang panjang untuk mengubah kejahatan orang menjadi kebaikan. Makanya kesabaran menjadi sangat berharga.
Apa yang harus dilakukan untuk menjadi orang yang sabar? Yeremia dalam bacaan pertama memberikan sebuah rumusan yang bagus. Kita harus bertobat dari dosa-dosa kita. Seruan tobat Yeremia adalah. “Perbaikilah tingkah laku dan perbuatanmu. Jangan percaya kepada perkataan pendusta, melakukan keadilan, tidak menindas orang kecil (para janda, yatim piatu), tidak menumpahkan darah orang lain (membunuh), tidak mengikuti allah lain, tidak mencuri dan berzinah.” Semua orang hendaknya memiliki kerinduan untuk tinggal di rumah Tuhan selamanya (Mazmur antar Bacaan).
Kita bersyukur kepada Tuhan karena Ia selalu sabar dengan diri kita. Berkali-kali kita menjadi “lalang” dengan berbagai kejahatan yang kita miliki sebagai manusia tetapi Tuhan selalu punya kesabaran istimewa. Dia percaya bahwa manusianya dapat berubah karena Dia Tuhan yang sabar dan dapat mengubah manusia dari dalam dirinya sebagai manusia. Setiap pribadi dibekali dengan kebaikan-kebaikan sebagai senjata untuk mengatasi kejahatan pribadi yang lain. Dengan kata lain, orang jahat dapat berubah menjadi orang baik karena kebaikan orang-orang benar di hadirat Tuhan. Tuhan kita sabar, marilah kita menjadi orang-orang yang sabar dengan diri sendiri, sesama dan lingkungan.
Doa: Tuhan, berikanlah kami anugerah kesabaran. Amen
PJSDB

Friday, July 27, 2012

Renungan 27 Juli 2012

Hari Jumat, Pekan Biasa XVI
Yer 3:14-17
Mzm (Yer) 31: 10.11-12ab.13
Mat 13:18-23
Mendengar Sabda dan Memahaminya 
supaya Menghasilkan buah
“Kami belum mampu mendengar satu sama lain. Kami belum sepenuhnya saling memahami. Kami belum bisa menghasilkan buah kebajikan-kebajikan kepada anak-anak kami”. Demikian doa spontan dari pasutri dalam misa peringatan HUT Perkawinan ke-50. Memang amat mengherankan karena setelah bertahun-tahun hidup bersama sebagai suami dan isteri namun mereka masih merasa kurang dalam hal saling mendengar, masih kurang dalam hal saling memahami. Dengan demikian belum bisa menghasilkan buah yang berlimpah. Padahal keluarga ini merupakan seorang tokoh umat dan tokoh masyarakat yang sangat berjasa di daerah itu. Doa ini inspiratif dan patut kita renungkan bersama terutama kata-kata kunci: mendengar, memahami supaya menghasilkan buah.
Ketika membaca Injil, satu kesan terhadap Yesus adalah Ia selalu berusaha untuk membuka pemahaman para rasul tentang Kerajaan Sorga. Ia pernah berkata, “Siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di Sorga, dialah saudaraku laki-laki, saudariku perempuan dan dialah ibuKu (Mat 12:50; Mrk 3:35)”. Bagi Penginjil Lukas, yang menjadi saudara Yesus adalah “Mereka yang mendengar Firman Allah dan melakukannya” (Luk 8:21). Yesus menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang sederhana sesuai konteks para pendengarNya saat itu. Misalnya Ia menjelaskan makna sabda Tuhan dengan menggunakan perumpamaan tentang penabur. Dikatakan bahwa si Penabur keluar dan menabur benih sesuai seleranya. Sebagian benih jatuh di pinggir jalan, sebagian benih di tanah berbatu, sebagian benih jatuh di semak duri dan sebagian lagi jatuh di tanah yang baik. 
Tentu saja dengan perumpamaan yang kelihatan sederhana ini membuat para muridNya sambil mendengar, mereka juga membayangkan si penabur yang sedang menabur benih. Mungkin saja pemahaman mereka sangat harafiah. Namun pengalaman praktis yang sedang terjadi adalah: semua murid sedang mendengar Yesus. Cara mereka mendengar dan memahami juga berbeda-beda maka buah yang dihasilkan juga pasti berbeda. Yesus menjelaskan makna perumpamaan penabur sebagai berikut: benih yang jatuh di pinggir jalan itu sama dengan orang yang mendengar sabda tentang Kerajaan Sorga, tidak memahaminya, dan si jahat merampas benih itu dari dalam hatinya. Benih yang jatuh di tanah berbatu adalah mereka yang cepat menerima sabda namun tidak berakar kuat sehingga ketika terjadi penganiayaan dan penindasan, mereka menjadi murtad. Benih yang jatuh di semak duri adalah mereka yang mendengar sabda tetapi hidup dalam kekhawatiran dunia dan tipu daya kekayaan sehingga sabda menjadi kerdil. Benih yang jatuh di tanah yang baik adalah orang yang mendengar sabda, memahaminya sehingga menghasilkan buah yang berlipat ganda.
Dengan menjelaskan makna perumpamaan tentang penabur ini para murid dibantu untuk berefleksi serta menyadari keterlibatan mereka bersama Yesus sebagai saudara dalam mewartakan Kerajaan Surga. Tentu saja di antara para murid memang sama-sama mendengar sabda yang sama tetapi cara menghayati dan menghasilkan buah berbeda-beda. Hal ini terwujud dalam aneka bentuk pelayanan dan pengabdian yang dilakukan berbeda-beda dan tentu akan menghasilkan kualitas dan kuantitas buah yang berbeda-beda pula. 
Yeremia dalam bacaan pertama memberikan isyarat bagaimana menghasilkan buah yang berlimpah dari sabda Tuhan. Bagi Yeremia, Tuhan yang punya rencana dan kehendak untuk memberdayakan umatNya sehingga menghasilkan buah yang berlimpah dari benih SabdaNya. Untuk itu pertama-tama Tuhan memanggil umatNya sebagai anak untuk bertobat atau kembali kepadaNya.Tuhan akan memberikan kepada mereka gembala-gembala untuk mendampingi, membimbing dengan kebijaksanaan yang dianugerahi Tuhan sendiri. Dan terakhir, Yerusalem tetaplah menjadi Takhta Tuhan, segala bangsa akan berkumpul di sana sebagai orang-orang yang sudah bertobat dari dosa-dosa mereka. 
Sabda Tuhan membuat kita yang mendengarnya patut memeriksa bathin dan berkata jujur di hadirat Tuhan. Kita boleh bertanya dalam diri kita, “Apakah benih Sabda Tuhan yang ditaburkan di dalam diri kita sebagai lahan itu ibarat benih yang jatuh di pinggir jalan, bebatuan, semak duri atau tanah yang baik? Masing-masing orang harus berkata jujur di hadapan Tuhan. Kita akan menjadi saudara Yesus yang hebat apabila kita mendengar Sabda, memahaminya dengan baik dan melakukan Sabda sehingga menghasilkan buah yang berlimpah. Ini adalah panggilan dan perutusan kita.
Sabda Tuhan juga mengisyaratkan pertobatan yang terus menerus. Memang setiap pribadi itu tidak luput dari dosa dan salah. Tetapi Tuhan punya kuasa dan kehendak untuk memanggil kita “kembali” kepadaNya. Ya, betapa indahnya rumah Tuhan. Betapa nyamannya Yerusalem abadi. Kita “kembali” dan mengarahkan pandangan kepadanya. Di Yerusalem abadi Tuhan ada dan bertakhta. Di sanalah kebahagiaan selamanya menanti kita semua.
Doa: Tuhan, bersihkanlah hati kami untuk menjadi lahan yang baik bagi Sabdamu. Amen
PJSDB

Thursday, July 26, 2012

Renungan 26 Juli 2012

Peringatan St. Yoakim dan St. Ana
Sir 44:1.10-15
Mzm 132:11.13-14.17-18
Mat 13:16-17
Berbahagialah Matamu, 
Berbahagialah Telingamu!
Hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan peringatan nama Santo Yoakim dan Santa Ana, orang tua dari Bunda Maria. Di dalam Injil memang tidak ditemukan perikop tentang nama orang tua Bunda Maria. Tetapi di dalam sebuah tulisan apokrif sekitar abad ke dua yakni “Protovangelo St. Yakobus” nama Yoakim dan Ana disebutkan sebagai nama orang tua Bunda Maria. Gereja-gereja Timur memasukkan nama Yoakim dan Ana sebagai orang kudus dalam penanggalan liturgi mereka. Alasan mendasarnya adalah dengan merayakan pesta ini, sekaligus memberi motivasi dan sukacita kepada para orang tua untuk menjadi orang tua yang baik. Sukcita karena kelahiran seorang anak di dalam keluarga. Demikian terjadi dalam liturgi: kelahiran Bunda Maria pada tanggal 8 September menjadi sukacita Yoakim dan Ana. Kelahiran Yesus Kristus 25 Desember menjadi sukacita Bunda Maria sebagai Bunda Allah (1 Januari). Dengan demikian Janji Tuhan melalui Abraham sungguh terwujud, para orang tua ini juga disapa berbahagialah.
Para orang tua adalah mereka yang memiliki mata dan telinga istimewa. Mereka melihat  dan mendengar suara rencana Tuhan yang agung dalam diri mereka. Dalam bacaan Injil, Yesus berkata kepada para muridNya, “Berbahagialah matamu karena telah melihat, berhagialah telingamu karena telah mendengar”. Para orang tua tidak pernah mengikuti kursus untuk menjadi orang tua tetapi kita harus percaya bahwa Tuhan berkarya, mempersiapkan pribadi-pribadi yang cocok atau sepadan satu sama lain untuk menjadi orang tua. Tuhan memberikan “gen” istimewa kepada suami dan isteri untuk menjadi orang tua yang melihat hal-hal terbaik dan memiliki kemampuan untuk lebih banyak mendengar di dalam hidup mereka.
Yesus melanjutkan, “Aku berkata kepadamu: banyak nabi dan orang benar ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya dan ingin mendengar apa yang kamu dengar tetapi tidak mendengarnya”. Yesus memang sedang berbicara dengan para murid dan mengatakan bahwa berbahagialah mata dan telinga mereka karena melihat dan mendengar Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Para nabi bernubuat dalam Kitab Perjanjian Lama namun mereka tidak sempat melihat dan mendengar Yesus sang Sabda. Berbahagialah Yoakim dan Ana karena janji Tuhan melalui Abraham terpenuhi. Di dalam hati mereka ada sukacita tersendiri sebagai orang tua yang melihat, mendengar dan merasakan Allah. Maria, puteri mereka akan melahirkan Yesus, penebus dunia.
Di dalam Kitab Perjanjian Lama, orang tua memiliki pujian istimewa. Penulis Putra Sirakh memberi pujian khusus kepada para orang tua. Mereka adalah orang-orang kesayangan yang kebajikannya tidak sampai terlupa, semua tetap disimpan oleh keturunannya sebagai warisan yang baik. Orang tua selalu menjadi cermin semua kebajikan. Apabila ada pengalaman tertentu selalu mengingat masa-masa istimewa bersama orang tua. Maka penulis Kitab Putra Sirakh menambahkan, “Kebijaksanaan mereka akan diceritakan oleh bangsa-bangsa, dan para jemaah mewartakan pujian mereka.” 
Hari ini adalah hari istimewa bagi para orang tua. Kita semua patut bersyukur memiliki orang tua yang dipilih oleh Allah bagi kita. Kita sendiri tidak pernah memilih orang tua. Oleh karena itu apapun mereka, siapapun mereka, orang tua tetaplah pilihan Allah bagi kita selamanya. Mereka memiliki mata dan telinga istimewa yang “bahagia” untuk anak-anak. Betapa berdosanya anak-anak ketika tidak mengormati orang tua. Anak-anak yang lupa diri dan tidak empati dengan orang tua yang sakit, pikun, kotor. Renungkanlah perbuatan-perbuatanmu di hadapan orang tuamu. Perbuatan baik apa yang anda lakukan bagi orang tuamu? Perbuatan jahat apa yang selalu anda lakukan untuk orang tuamu? Apakah anda sebagai anak berani meminta maaf atau memohon ampun?
Orang tua memiliki mata yang bahagia dan telinga yang bahagia. Ajakan Yesus ini memiliki dampak yang positif dalam parenting. Sebagai orang tua, Tuhan memberi anugerah istimewa untuk melihat hal-hal terbaik, potensi-potensi terbaik dalam diri anak-anak, bantulah supaya potensi-potensi itu dapat berkembang. Orang tua juga memiliki telinga yang bahagia. Yesus mengingatkan supaya para orang tua juga banyak mendengar. Orang tua yang berhasil adalah mereka ang selalu memberi kesempatan kepada anak untuk berbicara dan mengekspresikan diri. Orang tua yang gagal adalah mereka yang selalu ingin menang sendiri, tidak mau mendengar anaknya. Dikatakan gagal karena secara tidak sadar, orang tua mematikan ekspresi diri dan juga pikiran anak. Wahai orang tua, kalian adalah pendidik anak-anak maka gunakanlah mata dan telingamu dengan baik.
Doa: Tuhan, terima kasih karena Engkaulah memberi bapa dan mama bagiku sebagai orang tua. Amen
PJSDB

Wednesday, July 25, 2012

Renungan 25 Juli 2012

Pesta St. Yakobus, Rasul
2Kor 4:7-15
Mzm 126: 1-2ab.2cd-3.4-5.7
Mat 20: 20-28
Harus Berani Meminum Cawan!
Santo Yakobus, Rasul ini biasa disebut Yakobus “Major” atau Yakobus “Tua” untuk membedakanya dengan Yakobus anak Alfeus atau Yakobus “Muda”. Orang tuanya bernama Zebedeus dan Salome (Mrk 15:40; Mat 27:56). Saudaranya bernama Yohanes yang nantinya dikenal sebagai Yohanes Penginjil atau murid yang dikasihi Yesus. Kedua bersaudara ini adalah nelayan-nelayan yang sedang bekerja bersama ayah mereka di danau Galilea saat dipanggil untuk menjadi penjala manusia (Mrk 1:19; Mat 4:21:Luk 5:10). Dia juga menjadi rasul inti bersama Petrus dan Yohanes (Mrk 3:17; Mat 10:2; Luk 6:14: Kis 1:13). Bersama saudaranya Yohanes mereka adalah pribadi-pribadi yang selalu siap, berkarakter kuat sehingga Yesus menyebut mereka, “Boanerghes” yang berarti putera-putera guruh (Mrk 3:17).
Sebagaimana dikatakan di atas bahwa Yakobus menjadi salah satu rasul inti dalam komunitas Yesus. Ia hadir dalam penyembuhan ibu mertua Petrus (Mrk 1:29-31), pada kebangkitan anak perempuan Yairus (Mrk 5:37-43; Luk 8:51-56), pada saat transfigurasi di Gunung Tabor (Mrk 9:2-8; Mat 17:1-8; Luk 9:28-36). Bersama saudara-saudara (Petrus, Andreas dan Yohanes) mereka bertanya kepada Yesus tentang tanda-tanda zaman dan akhir dunia (Mrk 13:1-8) dan bersama Petrus dan Yohanes dipanggil Yesus untuk berjaga-jaga di Getzemani (Mrk 14:33; Mat 26:37). Ia juga meminta Yesus untuk menurunkan api bagi orang-orang Samaria kalau tidak menerima Yesus (Luk 9:51-56). Orangnya ambisius sehingga meminta tempat di sisi kiri atau kanan Yesus sehingga menimbulkan konflik komunitas para rasul (Mrk 10:35-45; Mat 20:20-28). Realisasi penuh dari Sabda Yesus tentang meminum cawan menjadi nyata. Selama pesta Paskah orang Yahudi tahun 44, ia dibunuh oleh Raja Herodes Agripa I (Kis 12:1-2). 
Dengan membaca perikop-perikop Injil yang berkaitan dengan kehidupan St. Yakobus ini, kelihatan bahwa Tuhan Yesus memiliki cara memilih dan menentukkan rasul-rasulNya secara istimewa. Ia memanggil Yakobus ketika sedang bekerja sebagai nelayan bersama Yohanes dan Zebedeus ayah mereka. Dalam proses pembentukan sebagai murid, Yesus juga mengetahui karakter Yakobus an saudaranya Yohanes sebagai orang yang kuat dan keras sehingga diberi gelar Boanerghes. Yesus juga mengetahui bahwa mereka memiliki ambisi manusiawi untuk memimpin dan menguasai. Kelemahan-kelemahan manusiawi ini tidak mengurangi hasrat Yesus untuk menentukan mereka menjadi utusan. Pesan istimewa yang menjadi pedoman bagi Yakobus dan para rasul lainnya adalah menjadi pelayan. Rasul adalah utusan yang melayani atas nama Yesus. Yesus sendiri berkata, “Barangsiapa ingin menjadi yang besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaknya ia menjadi hambamu sama seperti Anak manusia yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang”
Para rasul sebagai utusan Tuhan senantiasa mengalami resiko-resiko tertentu di dalam hidupnya. Menyerahkan nyawa sepenuhnya kepada Tuhan selalu menjadi tuntutan dalam kemartiran mereka. Paulus dalam Bacaan pertama mengatakan, “Saudara-saudara, harta pelayanan sebagai rasul kami miliki dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang berlimpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami sendiri.” Bejanah tanah liat itu rapuh tetapi menjadi bejana yang kuat dan indah karena kreasi dari sipembuat bejana. Demikian para rasul dengan segala kelemahan yang mereka miliki menjadi kuat dan sempurna karena karya Tuhan. Tentang kemartiran, Paulus menegaskan: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terhimpit, kami habis akal namun tidak putus asa, kami dianiaya namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan namun tidak binasa. Kami membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami supaya kehidupan Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami.”
Kemartiran para rasul mencapai mahkota abadi ketika darah mereka yang tertumpah itu membawa kehidupan baru kepada banyak orang. Banyak orang semakin percaya dan bersatu dengan Kristus. Paulus menegaskan: “Sebab semuanya ini terjadi demi kamu, supaya kasih karunia, yang semakin besar karena semakin banyaknya orang yang menjadi percaya, menghasilkan ucapan syukur semakin melimpah bagi kemuliaan Allah”.
Sabda Tuhan hari ini medorong kita untuk mengikuti teladan kemartiran Rasul Yakobus. Kita belajar menyerupainya dalam memberi diri secara total untuk melayani Tuhan dan sesama. Oleh karena itu jangan pernah berhenti melayani, apapun situasinya di dalam hidupmu. Terus menerus melayani dengan sungguh. Bertekunlah karena "upahmu besar di Sorga" (Mat 5:12). Itulah janji Tuhan bagi kita semua yang mengikutiNya.
Kita juga diingatkan bahwa sesungguhnya sebagai rasul itu ibarat bejana tanah liat, yang rapuh dan tidak sempurna. Bejana itu menjadi indah karena kreasi pembuatnya. Demikian hidup kita akan semakin kuat, sempurna apabila kita berpasrah, menyerahkan diri kita kepada Tuhan. Biarlah tanganNya yang perkasa membentuk anda dan saya menjadi bejana yang siap dibentuk menjadi kuat dan indah. Biarlah Kristus sang pembuat bejana itu sungguh-sungguh hidup di dalam diri kita. Bersiaplah meminum cawanNya. Jadilah pelayan dan abdi Tuhan yang setia. Apakah anda mau?
Doa: Tuhan, jadikanlah aku utusanMu untuk mengabdi selamanya. Amen
PJSDB

Tuesday, July 24, 2012

Renungan 24 Juli 2012

Hari Selasa, Pekan Biasa XVI
Mi 7:14-15.18-20
Mzm 85:2-4.5-6.7-8
Mat 12:46-50
Indahnya bersaudara dengan Yesus Kristus
Dalam suatu pentas seni untuk menghormati Santa Sesilia, 22 Nopember di Bethlehem, seorang frater berkebangsaan Italia bertugas sebagai MC. Ia memperkenalkan semua anggota paduan suara dengan menyapa satu persatu dengan sapaan “saudara” dan beberapa kali mengatakan “saudara-saudaraku sekomunitas”. Orang-orang Palestina yang hadir dalam acara tersebut kebingungan karena melihat frater bule menyapa semua orang berwajah dan kulit Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa Timur dan Timur Tengah sebagai saudara. Setelah selesai semua rangkaian acara, seorang Palestina datang menghampiri frater itu dan berkata kepada frater itu, “Anda menyapa semua orang saudaramu padahal anda berbeda dengan mereka”. Frater itu menjawab, “Ya mereka adalah saudara-saudaraku. Kami telah menjadi saudara karena sama-sama tinggal dalam satu rumah, bekerja dengan semangat yang sama dan kami juga memiliki Yesus Kristus yang sama.” Orang itu mengangguk-angguk dan berkata, “Seandainya kami bangsa Palestina juga merasakan yang sama”.
Kalau kita membaca Kitab Suci Perjanjian Lama, gambaran relasi antara Allah dan manusia didasarkan pada pilihan Allah semata-mata dan pilihan itu diperkuat dalam ikatan Perjanjian. Ia memanggil Musa untuk membebaskan Bangsa Israel dari perbudakan Mesir, kemudian mengikat mereka dengan Perjanjian di gunung Sinai. Melalui para nabi Allah membaharui ikatan perjanjianNya dengan manusia. Perjanjian dengan manusia menjadi baru dan sempurna dalam diri Yesus Kristus. Meskipun Yesus secara manusiawi adalah orang Yahudi namun Ia memilih mengikuti kehendak Bapa dengan membaharui segala sesuatu. Maka semua orang, baik Yahudi maupun bukan Yahudi yang mengalami kasih Allah Bapa merupakan bagian dari Kristus sendiri. Dengan demikian ikatan kekeluargaan bukan lagi semata-mata ikatan keluarga alamiah (natural family) melainkan ikatan baru yang didasarkan pada kemampuan untuk melaksanakan kehendak Bapa di Surga.
Bacaan Injil hari ini membuka pemahaman relasional yang baru dengan Yesus. Ketika Ia sedang berbicara dengan orang banyak, seorang datang dan berkata bahwa Maria ibuNya dan saudara-saudaraNya ingin menjumpaiNya. Yesus tidak langsung pamit dan pergi menemui mereka. Dia justru mengangkat kepala dan bertanya, “Siapakah ibuKu?” Dan siapakah saudara-saudaraKu? Sambil memandang kepada semua orang yang hadir, Ia berkata, “Inilah ibuKu, inilah saudara-saudaraKu! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak BapaKu di Surga, dialah saudaraKu, dialah saudariKu, dialah ibuKu.” Mungkin bagi kita kedengaran aneh, tetapi Yesus tetaplah Tuhan yang tentunya berbeda dengan Maria ibuNya.
Injil menyadarkan kita semua akan ikatan kekeluargaan yang baru dalam Kristus yang didasarkan pada usaha untuk melakukan kehendak Bapa. Menjadi saudara, saudari dan ibu Yesus berarti mendengar Sabda dengan baik dan melakukannya secara nyata di dalam hidup kita. Pemahaman ini menjadi universal dan menembusi batas-batas relasi antar pribadi manusia. Semua orang dari berbagai suku dan bangsa serta bahasa dapat menjadi saudara karena mengimani Yesus yang sama sebagai Tuhan dan Juru Selamat dunia.
Mengapa kita menjadi saudara di dalam Yesus Kristus? Kata kuncinya adalah taat pada kehendak Allah. Di dalam Kitab Perjanjian Baru, Yesus meskipun Anak Allah rela belajar menjadi taat. Ia berkata, ”Lihatlah, Aku datang untuk melakukan kehendakMu, ya Allah.” (Ibr 10:5-7). Ia mengajar para muridNya untuk berdoa, “Jadilah kehendakMu di bumi dan di Sorga” (Mat 6:10). Sambil siap untuk menderita di Getsemani, Ia masih berdoa, “Bukanlah kehendakKu melainkan kehendakMu” (Mat 26:39). Dia menunjukkan sikapNya sebagai Anak yang taat kepada Bapa. Maria ibunya sudah menunjukkan teladan yakni mentaati kehendak Bapa ketika berkata, “Terjadilah padaku menurut kehendakMu” (Luk 1:38). 
Hampir semua orang dapat mengakui dirinya sebagai pribadi-pribadi yang tidak sempurna di hadirat Tuhan. Semua orang mengalami kesulitan untuk mewujudkan diri sebagai pribadi yang sungguh taat pada kehendak Allah. Umat  Israel sebagai bangsa terpilih sering jatuh dalam dosa. Tuhan tetap rela untuk mendampingi perjalanan hidup mereka. Nabi Mikha dalam bacaan pertama mengatakan bahwa Allah itu laksana gembala yang mendampingi domba-dombaNya. Ia memiliki kuasa untuk mengampuni dosa-dosa serta memaafkan pelanggaran-pelanggaran umatNya. Dia juga yang menyayangi kita. Dia menghapus kesalahan-kesalahan dengan melemparkan dosa kita ke tubir-tubir laut. Allah sungguh-sungguh maharahim bagi kita. Oleh karena itu hal yang penting adalah keterbukaan hati kita untuk menerima dan melaksanakan kehendakNya.
Sabda Tuhan pada hari ini membuat kita berbangga karena disapa oleh Yesus sebagai saudara, saudari dan ibu. Tuhan menyapa kita dengan caraNya yang istimewa. Coba bayangkan bahwa Yesus berdiri di hadapanmu dan menyapamu demikian. Bagaimana perasaanmu? Dia tenyata tidak memperhitungkan dosa-dosa dan salah kita tetapi memperhatikan iman kita. Kita dapat menjadi saudara, saudari dan ibu yang baik jika kita melakukan kehendakNya. Maka hiduplah sebagai orang beriman yang baik.
Kita juga berbangga karena Tuhan mengasihi kita apa adanya. Dia laksana gembala yang memperhatikan domba-dombaNya. Dia maharahim, menyayangi, mengampuni, memaafkan dan membuang semua dosa dan salah kita ke tubir-tubir laut. Hebatnya Tuhan di sini adalah Dia tidak menyimpan dendam karena orang berdosa. Memang dalam Kitab Suci sering digambarkan Tuhan murka dengan orang berdosa, tetapi lebih dari itu, Allah tetaplah maharahim yang melupakan dosa-dosa kita. Mengampuni berarti melupakan! Mengapa anda selalu menyimpan dendam terhadap saudaramu?
Doa: Tuhan, terima kasih karena Engkau telah mengampuni dan menjadikanku saudaraMu. Amen.
PJSDB

Monday, July 23, 2012

Renungan 23 Juli 2012

Hari Senin Pekan Biasa XVI
Mi 6:1-4.6-8
Mzm 50:5-6.8-9.16-17. 21.23
Mat 12:38-42
Yesus lebih dari Yunus dan Salomo!

Ada seorang romo yang bertubuh mungil. Penampilannya tidak meyakinkan orang bahwa dia seorang romo. Ketika diundang untuk merayakan misa di sebuah sekolah, seorang siswa kelas 4SD merasa iba dengan romo itu karena ia berpikir romonya tidak mampu mengangkat kotak persembahannya besar. Anak-anak lain malah lebih sinis, mereka berpikir bahwa romo itu mungkin tidak mampu membuat misa yang menarik. Tetapi ketika mulai merayakan Ekaristi, semua anak terkagum-kagum. Semua anak bersemangat dan menikmati misanya dengan meriah. Manusia selalu melihat dengan cepat keadaan fisik dan meragukan kemampuan sesamanya.

Para ahli Taurat dan kaum Farisi melihat dan mengalami segala sesuatu yang dikerjakan Yesus. PengajaranNya dilakukan dengan baik dan membuat semua orang takjub kepadaNya. Namun ketakjuban ini bukanlah jaminan untuk menjadi percaya kepadaNya. Mereka belum percaya. Mereka datang kepada Yesus dan berkata, “Guru kami ingin melihat suatu tanda dariMu”. Yesus tidak memberi satu tanda tetapi hanya mengingatkan mereka akan pengalaman Yunus dalam perut ikan dan Salomo yang bijaksana. Yunus dipanggil Tuhan untuk mempertobatkan orang-orang Ninive, dia berusaha menolak kehendak Tuhan sehingga harus mengorbankan dirinya masuk dalam perut ikan selama 3 hari dan 3 malam (Yun 3:1-10). Orang-orang Ninive bertobat setelah menerima seruan tobat Yunus. Yesus mengatakan bahwa diriNya sebagai Anak Manusia juga akan mengalami pengalaman Yunus ini, bedanya Yunus berada di dalam perut ikan sedangkan Anak manusia di dalam perut bumi. Yunus masih di dalam perut makhluk hidup, Anak manusia berada di dalam dunia orang mati. Yunus keluar dari perut ikan, Anak Manusia bangkit dengan mulia.  

Yesus juga mengambil contoh Salomo yang dikenal dikalangan bangsa Israel sebagai orang yang paling bijaksana. Kebijaksanaannya adalah anugerah istimewa dari Tuhan yang ia minta untuk memperjuangkan kebaikan Umat Allah. Banyak orang termasuk Ratu dari Selatan mencari Salomo di Yerusalem untuk menikmati kebijaksanaannya. Ini wujud ketakjuban manusiawi kepada Salomo, meski Salomo akhirnya menyalahgunakan kebijaksanaan sebagai anugerah Tuhan. Orang juga mencari Yesus untuk mengalami mukjizat sebagai mukjizat bukan motivasi luhur untuk bersatu dengan Tuhan. Oleh karena itu Yesus dengan tegas memberi predikat “angkatan yang jahat” kepada para ahli Taurat dan kaum Farisi. Mereka seharusnya menyadari bahwa Yesus melebihi Yunus dan lebih bijaksana dari Salomo. 

Para nabi juga mengalami hal yang sama dengan Yesus. Selalu saja ada tuntutan-tuntutan tertentu baik ditujukkan kepada nabi atau kepada Tuhan. Dengan tuntutan-tuntutan tertentu maka Mikha menggambarkan sebuah model pengadilan Allah bagi umatNya. Umat Allah memang dikasihi apa adanya, namun mereka tidak setia kepada Yahwe. Kehancuran adalah hal yang seharusnya mereka rasakan. Dengan demikian Mikha dengan berani menasihati umat Allah untuk meniadakan korban persembahan karena yang terpenting adalah kebajikan-kebajikan. Tuhan berfirman, “Hai manusia telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai, kesetiaan dan hidup rendah hati di hadapan Allahmu.” Kebajikan-kebajikan ini yang paling penting bagi manusia untuk hidup layak di hadirat Tuhan.

Sabda Tuhan hari ini membantu kita untuk mengimani Allah dengan sepenuh hati. Kita sedang menikmati segala ciptaan dan anugerah-anugerah yang diberikanNya kepada kita, mengapa masih meminta tanda atau bukti-bukti lain lagi? Para ahli Taurat dan kaum Farisi melihat dan mengalami karya-karya Yesus tetapi mereka tidak percaya dan meminta tanda. Singkatnya, mereka tidak bertobat. Kita pun seringkali mengalami hal yang sama, merasakan kebesaran Tuhan tetapi tidak bersyukur, malah menjadi serakah, dan tidak percaya kepadaNya. Bertobatlah, baharuilah hidupmu.

Sabda Tuhan menyadarkan kita untuk menghayati kebajikan-kebajikan kristiani. Kita hanya akan menjadi hebat ketika dalam hidup setiap hari menjadi pribadi yang tidak banyak menuntut, mempraktekkan keadilan cinta kasih dan kerahiman. Semua kebajikan dari Tuhan ini membantu kita untuk bertumbuh sebagai anak-anak Allah. Kita boleh berefleksi: sejauh mana anda dan saya mempraktekkan kebajikan-kebajikan ini?

Pada akhirnya kita diarahkan untuk memfokuskan diri kita pada Yesus. Mari kita memandang Yesus karena Dia "lebih dari" Yunus dan Salomo. Yesus adalah segalanya maka kita pun mengasihiNya "lebih" dari segala sesuatu yang lain. Siapakah Yesus di dalam hidupmu? Apakah Yesus selalu  "lebih dari" atau selalu "kurang dari" segala sesuatu yang lain?

Doa: Tuhan, pertobatkanlah hati kami yang keras. Amen

PJSDB

Sunday, July 22, 2012

Homili Hari Minggu Biasa XVI/B


Hari Minggu Biasa XVI/B
Yer 23:1-6
Mzm 23: 1-3a.3b-4.5.6
Ef 2:13-18
Mrk 6:30-34
Tuhanlah gembalaku
Sambil menyiapkan homili hari Minggu ini, saya terinspirasi oleh sebuah lagu yang dinyanyikan oleh seorang saudara di kamar sebelahku. Sepenggal syair lagu yang diulang terus menerus adalah: “Allah baik, Allah baik, Allah baik padaku selalu”. Semakin sering syair ini diulangi, saya sepertinya dibantu untuk merefleksikan seluruh kebaikan Allah di dalam hidup ini. Saya juga menamukan hal yang sama: “Allah baik padaku selalu”
Allah selalu baik pada manusia. Kalau kita membaca Kitab Suci, baik Kitab Perjanjian Lama maupun Kitab Perjanjian Baru, kita akan menemukan sosok Allah sebagai Bapa yang baik dan kekal abadi kasih setianya. Allah sebagai Bapa yang baik ibarat seorang gembala yang selalu menyertai domba-dombanya. Di mana domba-domba berada dan merumput, di sana pasti ada gembalanya, demikian Allah juga senantiasa hadir di tengah-tengah umatNya dimana pun umatNya itu berada. 
Mazmur antar bacaan hari Minggu ini menggambarkan Allah sebagai gembala yang baik: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan Aku.Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau. Ia membimbing aku ke air yang tenang. Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku ke jalan yang benar oleh karena namaNya. Sekali pun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku; gadaMu dan tongkatMu itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku. Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku seumur hidupku dan aku akan diam di rumah Tuhan sepanjang masa.” (Mzm 23:1-6).
Penginjil Yohanes menggambarkan Yesus sebagai gembala yang baik. Yesus berkata, “Akulah Gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Domba-domba mengenal gembalanya.” (Yoh 10: 11.14). Sebagai gembala yang baik, Yesus mewariskan kuasaNya di dalam gereja melalui Petrus dan pengganti-penggantinya. Yesus berkata kepada Petrus, “Gembalakanlah domba-dombaKu”. (Yoh 21:15-17). Dalam bacaan Injil hari ini Yesus tampil sebagai gembala yang baik dengan perasaan “tergerak hati oleh belas kasihan” karena orang-orang yang datang kepadaNya kelihatan seperti domba tanpa gembala. Ini adalah contoh-contoh penyertaan Allah bagi umat kesayangannya sebagai gembala yang baik.
Dalam bacaan pertama, nabi Yeremia memberi kecaman kepada para pemimpin yang tidak bertanggung jawab dalam tugas-tugasnya. Firman Tuhan, “Celakalah para gembala yang membiarkan kambing dan domba gembalaanKu hilang dan terserak!”  Oleh karena kelalaian para gembala sebagai pemimpin umat maka Tuhan berjanji untuk mengumpulkan sisa-sisa kambing dan domba yang tercerai berai, membawa mereka kembali ke padang sehingga mereka dapat berkembang biak dan bertambah banyak. Tuhan juga berjanji untuk mengangkat gembala-gembala untuk menggembalakan domba-domba sehingga domba-domba tidak takut dan terkejut dan hilang. Pada zaman dahulu, para pemimpin memang sering diidentikkan dengan figur seorang gembala dan masyarakat sebagai domba-domba. Maka wajar saja Tuhan menyatakan kekecewaannya kepada para pemimpin yang tidak memiliki tanggungjawab terhadap masyarakatnya. Pada akhirnya Tuhan berjanji untuk memilih seorang raja baru dari keturunan Daud  yang bijaksana, dan mahir dalam melakukan keadilan dan kebenaran. Dialah yang akan membebaskan Yehuda dan Israel mengalami ketentraman. Dia akan menjadi Tuhan keadilan kita.
Pengalaman umat perjanjian lama pada masa nabi Yeremia ini mirip dengan pengalaman kebanyakan orang pada zaman Yesus. Banyak di antara mereka yang tidak memiliki arah hidup yang jelas. Banyak di antara mereka yang masih mencari Tuhan.Tuhan Yesus melihat begitu banyak orang yang hidup dan pencariannya laksana domba yang tidak memiliki gembalanya. Maka sikap Yesus sangat menarik perhatian kita. Ia memang sudah mengutus para muridNya pergi berdua-dua untuk mewartakan Injil namun Yesus mau melengkapinya dengan “mengajarkan banyak hal kepada mereka”. Jadi, perutusan para murid senantiasa dikuatkan dan disempurnakan oleh Yesus sendiri.
Tugas sebagai gembala digambarkan dengan jelas oleh Paulus dalam bacaan kedua. Kepada jemaat di Efesus, Paulus menegaskan peran Yesus sebagai gembala yang baik yang menjadi damai sejahtera dan mempersatukan pihak-pihak yang bermusuhan. Paulus berkata, “Saudara-saudara, di dalam Kristus Yesus, kamu yang dahulu “jauh” sekarang sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus”. Yesus wafat di kayu salib dan menjadi damai sejahtera bagi manusia. Dia membatalkan hukum Taurat dan menjadi manusia baru yang mempersatukan pihak-pihak yang bermusuhan yakni golongan Yahudi dan bukan Yahudi.  Maka tugas sebagai gembala adalah memimpin, membimbing, mendamaikan dan mempersatukan semua orang.
Apa yang harus kita lakukan?
Pertama, Sabda Tuhan pada hari Minggu ini menyadarkan kita untuk bertumbuh menyerupai Yesus sang gembala baik. Kita dipanggil dan dijadikan sebagai pemimpin untuk membawa umatNya ke padang rumput yang hijau dan air yang tenang. Kita dipanggil untuk melindungi domba-dombanya dari malapetaka. Kita diserahi tanggungjawab untuk membawa mereka kepada Tuhan Bapa surgawi sebagai gembala agung. 
Kedua, Kita juga dikuatkan untuk memiliki rasa belas kasih terhadap sesama. Yesus tergerak hati oleh belas kasih untuk memperhatikan mereka yang tercerai berai. Dia mengumpulkan dan mengajar mereka banyak hal. Tuhan sendiri sudah berjanji untuk mengangkat gembala-gembala yang bertugas untuk mendamaikan dan mempersatukan setiap pribadi. Para gembala melakukan tugas kegembalaan Tuhan bukan tuga kegembalaan dirinya sendiri.
Ketiga, Bacaan-bacaan ini juga mendukung para gembala di dalam gereja.  Bapa Suci, para uskup dan imam adalah pribadi-pribadi yang dipanggil dan dipilih Tuhan dan mereka diberi kuasa sebagai gembala. Dengan sakramen tahbisan atau imamat, orang-orang pilihan ini menjadi pelayan dalam memimpin umat dan mewartakan Sabda. Maka Tugas gereja adalah mendukung dengan doa dan aneka dukungan lain bagi tugas kegembalaan mereka.
Doa: Tuhan, jadikanlah aku gembalaMu yang setia. Amen
PJSDB