Monday, December 30, 2019

Homili Hari keenam Oktaf Natal 2019


Hari Senin Oktaf Natal
1Yoh. 2:12-17
Mzm. 96:7-8a,8b-9,10
Luk. 2:36-40

Dia bertambah besar dan kuat!

Saya barusan mengunjungi sebuah keluarga muda yang memiliki seorang anak balita. Saya membaptisnya dua tahun yang lalu. Ketika tiba di rumah, ia memanggilku uncle Romo, sesuai ajaran kedua orang tuanya. Saya sendiri merasa happy saja ketika dipanggil uncle Romo. Tanpa sadar kedua orang tuanya pun memanggil saya uncle Romo. Sambil duduk dan bercerita bersama, mereka merasa bahagia karena Tuhan sudah memberikan hadia terbaik, seorang putera yang sekarang mulai lancar dalam berkomunikasi dengan semua orang. Banyak orang menilai anak ini lebih cepat berbicara dan berpikir dibandingkan teman-teman sebayanya yang masih belajar untuk berbicara dan berpikir. Saya mengatakan kepada kedua orang tuanya untuk bersyukur sambil membiarkannya bertumbuh menjadi dewasa di dalam keluarga.

Setiap keluarga memiliki pengalaman-pengalaman tertentu terutama bagaimana membangun relasi yang baik antara orang tua dengan anak-anak. Para orang tua pasti berusaha untuk menunjukkan kebanggaan terhadap anak-anaknya sendiri. Ketika mereka bertumbuh sebagai anak yang sehat dan baik, juga memiliki keunggulan tertentu dalam hidupnya maka kata-kata yang keluar dari mulut orang tua adalah adalah apresiasi dan pujian tertentu kepada mereka. Hal ini memang dibutuhkan supaya anak-anak memiliki karakter yang baik. Mereka harus bertambah besar secara fisik dan kuat secara mental di dalam hidup pribadi mereka.

Pada hari ini kita mendengar kisah Tuhan Yesus dipersembahkan di dalam Bait Allah. Maria dan Yusuf menunjukkan jati diri sekaligus tanggung jawab mereka sebagai orang tua yang beriman kepada Tuhan Alla. Sebab itu mereka mengantar Yesus, anak mereka ke Yerusalem untuk dipersembahkan di dalam Bait Allah. Ada perjumpaan yang menakjubkan oleh keluarga kudus dengan nabi Hana, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia menanti dengan penuh kerinduan akan kedatangan Yesus sang Mesias. Penantiannya ini diisi dengan berpuasa dan berdoa. Sebab itu kedatangan sang bayi Yesus memang sangat menyukakakn hatinya. Ia memuliakan Tuhan Allah sebab semua yang dibicarakan para nabi menjadi kenyataan yang dapat dilihat dengan matanya sendiri. Yesuslah yang bagi Hana akan membawa kelepasan bagi bangsa Israel. Maria dan Yusuf menunjukkan tugas dan tanggung jawab mereka dengan membawanya kembali ke rumah mereka di Nazaret untuk dibesarkan. Penginjil Lukas bersaksi: “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada pada-Nya” (Luk 2:40). Yesus sungguh-sungguh bertumbuh menjadi sungguh manusia dan sungguh Allah.

Dari keluarga kudus ini kita belajar bagaimana Maria dan Yusuf tidak kenal lelah dalam membesarkan, mendidik dan mengantar Yesus kepada iman. Para orang tua dapat menjadi serupa dengan Maria dan Yusuf untuk membawa anak-anak mereka menjadi semakin dekat dengan Tuhan. Mereka bertumbuh dalam iman, harapan dan kasih kepada Tuhan. Persekutuan dengan Tuhan ini menjadi sebuah kekuatan rohani bagi anak-anak di dalam keluarga. Anak-anak semakin bertambah besar, menjadi kuat, penuh hikmat dan penuh kasih karunia Tuhan.

Bagaimana mewujudkannya?

Yohanes dalam bacaan pertama mencoba untuk membentuk keluarga yang benar-benar katolik. Yohanes menulis suratnya kepada anak-anak sebab dosa mereka diampuni Tuhan karena nama Yesus dan bahwa mereka juga mengenal Bapa. Yohanes menulis surat kepada bapa-bapa sebab mereka telah mengenal Tuhan yang ada dari mulanya. Yohanes menulis kepada kaum muda sebab mereka berani mengalahkan yang jahat, mereka juga kuat dan Firman Tuhan ada di dalam diri mereka.

Santu Yohanes juga mengingat komunitasnya supaya jangan terjebak sehingga mereka mengasihi dunia lebih dari yang lain. Masih banyak orang yang mengasihi dunia dan ini ciri khasnya: “Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.” (1Yoh 2:16-17). Keinginan dunia masih menguasai dunia. Keinginan dunia membuat banyak orang semakin jauh dari Tuhan.

Tugas kita pada hari ini adalah membahwa semua orang kepada Tuhan Yesus. Kita berani bersaksi tentang iman kita yang mampu mengasihi semua orang tanpa syarat. Kesaksian hidup kita dapat mengantar orang untuk berambah besar dan menjadi kuat dalam iman, harapan dan kasih kepada Kristus. Para orang tua mendapat porsi untuk mendidik anak-anak kepada iman akan Tuhan Yesus Kristus.

PJ-SDB

Wednesday, December 25, 2019

Merenungkan Natal 25 Desember 2019

Untukmu Segalanya


Banyak di antara kita tentu masih mengingat seorang artis Indonesia bernama Novia Sanganingrum Saptarea Kolopaking atau lebih dikenal dengan nama panggilan Novia Kolopaking. Beliau adalah pasangan hidup dari seniman Emha Ainun Nadjib. Pada tahun 1994 yang lalu ia mempopulerkan sebuah lagu berjudul 'Untukmu Segalanya'. Lagu itu sangat populer di berbagai lapisan masyarakat kita. Berikut ini adalah sebagian liriknya: "Untukmu segalanya hidupku ini. Untukmu aku rela jalani semua dera dan siksa. Untukmu segalanya..." Saya tertarik dengan lirik lagu yang saya kutip ini karena sangat inspiratif. Ketika seorang merasa sangat mencintai pribadi orang lainnya maka ia akan mengungkapkan cintanya ini dengan berkata, "Untukmu segalanya hidupku ini..." Ini adalah sebuah cinta yang tuntas, tanpa ada sisa-sisanya. Ada kerelaan untuk menderita karena dera dan siksa namun semuanya harus berlanjut karena cinta. Sebuah cinta yang tulus, tanpa pamrih, tanpa hitungan-hitungan apapun.

Sambil mengingat dan mengenang lagu 'Untukmu Segalanya' ini, pikiran saya tertuju pertama-tama kepada Tuhan Allah Bapa di dalam surga yang begitu mengasihi manusia tanpa menghitung-hitung kesalahan dan dosanya. Ia bahkan telah mengutus Yesus Kristus Putera-Nya untuk menjadi tanda kasih. Selanjutnya pikiran saya tertuju kepada Tuhan Yesus Kristus. Dialah satu-satunya Penyelamat kita, tidak ada yang lain. Dialah yang kita rayakan kedatangan-Nya secara meriah pada Hari Raya Natal. Dialah damai kita sebab hanya Dia pulalah yang dapat mendamaikan kita dengan Bapa surgawi. Maka wajarlah Dia disapa sebagai 'Raja Damai' di masa Natal. 'Untukmu segalanya' juga menjadi nyata di dalam perayaan Ekaristi, di mana kita selalu berdoa kepada Tuhan Yesus: "Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa-dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu..." Tuhan Yesus tidak memperhitungkan dosa dan salah kita sebab ia memberi segalanya bagi kita orang berdosa. Hidup-Nya hanya bagi manusia. Hidup pribadi Yesus inilah yang mampu menginspirasi kita untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya. Pikiran saya akhirnya tertuju kepada Roh Kudus yang menguduskan, menginspirasi dan membaharui serta menguatkan kita. Dialah yang mengajarkan dan mengingatkan segala sesuatu yang sudah diajarkan Yesus kepada kita. 

Sambil Belajar

Untukmu segalanya hidupku ini! Saya menemukan figur-figur tertentu yang dapat menginspirasikan kita supaya memiliki semangat untuk mengabdi kepada kemanusiaan sebagaimana ditunjukkan Tuhan Yesus Kristus. Dia datang ke dunia untuk mengabdi dan melayani manusia. Ini memang luar biasa karena Anak Allah telah merelakan diri untuk menjadi seorang Abdi dan Pelayan tulen bagi manusia. Maka boleh dikatakan bahwa dibalik sukacita Natal ada sosok seorang Abdi dan Pelayan sejati yaitu Yesus Kristus, sabda Allah yang menjadi manusia dan tinggal bersama kita. 

Berkaitan dengan perutusan Yesus ke dunia, saya memilih dua sosok penting yakni santa Theresia dari Kalkuta, T. Raja Auto Raja. Kedua sosok ini sangat inspiratif sebab mereka dapat membantu kita untuk memaknai sebuah pengabdian dan pelayanan bagi sesama. Mereka memikirkan bagaimana memberi diri dan segalanya sebagaimana dilakukan Tuhan Yesus sendiri. 

Santa Theresia dari Kalkuta

Santa Theresia dari Kalkuta muncul sebagai figur yang mengubah dunia. Ia pernah berkata: “Menurut darah, saya seorang Albania. Menurut kewarganegaraan, saya seorang India. Menurut iman, saya seorang biarawati Katolik. Menurut panggilan, saya milik dunia. Sementara hati saya, sepenuhnya saya milik Hati Yesus.” Perkataan sederhana ini meringkaskan kehidupannya yang memberi dirinya sampai tuntas bagi orang-orang miskin di Kalkuta. Ia meninggalkan negerinya menuju Kalkuta, India pada tanggal 6 Januari 1929. Dikisahkan bahwa pada tanggal 10 September 1946, ia melakukan sebuah perjalanan dengan kereta api dari Kalkuta ke Darjeeling untuk menjalani retret tahunannya. Pada saat itu ibu Theresia mendapat “inspirasi” yakni “panggilan dalam panggilan”-nya. Pada hari itu, dengan suatu cara yang tidak pernah dapat dijelaskannya, dahaga Yesus akan cinta dan akan jiwa-jiwa memenuhi hatinya. “Mari, jadilah cahaya bagi-Ku.” Sejak itu, Ibu Teresa dipenuhi hasrat “untuk memuaskan dahaga Yesus yang tersalib akan cinta dan akan jiwa-jiwa” dengan “berkarya demi keselamatan dan kekudusan orang-orang termiskin dari yang miskin”. Pada tanggal 17 Agustus 1948, untuk pertama kalinya Ibu Theresia tampil mengenakan sari putih dengan pinggiran garis-garis warna biru. Ia keluar melewati gerbang Biara Loreto yang amat dicintainya untuk memasuki dunia orang-orang miskin. 

Santa Theresia dari Kalkuta mengispirasikan kita untuk menjadi pribadi yang siap untuk mengabdikan diri bagi orang lain. Ia membuktikannya dengan melayani kaum miskin sampai wafat di tengah-tengah mereka pada tanggal 5 September 1997 jam 9:30 malam. Prinsip pelayanannya sangat sederhana: "Tak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar. Namun kita dapat melakukan hal kecil dengan cinta yang besar." Ia benar-benar menyerupai Tuhan Yesus yang mengabdikan diri-Nya bagi kaum papa dan miskin. Semangat Santa Theresia dari Kalkuta haruslah menjadi semangat kita semua sebagai Gereja. Sebuah Gereja yang mengabdikan diri bagi kemanusiaan. Gereja yang tetap berpegang teguh pada semangat 'pereferential option for the poor.'

T. Raja Auto Raja

Figur kedua adalah T Raja Auto Raja. Beliau adalah pendiri New Ark of Mission di India yang memiliki misi untuk membantu kaum papa dan miskin. Ia mengawali hidupnya dengan sangat dramatis. Ia dikenal sebagai pemabuk, pencuri dan pengacau akibat bentukan lingkungan hidupnya, dalam hal ini teman sebayanya yang memiliki 'profesi' seperti ini. Ia pernah dipenjarakan dan selama dua puluh hari ia merasakan hidup yang keras di sana. Pengalaman di dalam penjara ini mengubah hidupnya. Ia berjanji kepada Tuhan bahwa segera setelah keluar dari dalam penjara, ia akan berusaha untuk menjadi orang baik di Bangaluru, India. Ia mula-mula bekerja sebagai sopir bajaj di Bangaluru. Setiap kali melakukan perjalanan, ia melihat betapa banyak orang miskin, terutama yang berusia muda. Ia lalu memutuskan untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat persinggahan. Ia menampung orang-orang miskin dengan sukarela. Kelak ia dikenal sebagai pendiri rumah pengharapan bagi mereka yang tak berpengharapan di Bangaluru, India.

Pada suatu kesempatan ia mendapat penghargaan karena pengabdiannya kepada kaum miskin melalui karya-karya sosialnya. Dalam kesaksiannya di sebuah stasiun Televisi, beliau mengatakan bahwa melayani orang miskin adalah sebuah panggilan yang luhur. Ia telah berusaha untuk membantu kaum miskin supaya sebelum mereka meninggal dunia, sekurang-kurangnya mereka sudah pernah meminum dan merasakan pepsi, cocacola, spirite dan 7up. T. Raja mengakui bahwa sosok inspirator baginya adalah Tuhan Yesus Kristus dan Ibu Theresia dari Kalkuta. Lihatlah, sorang mantan penghuni Lapas telah mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Ia melayani kaum miskin dari hasil menjalani sebuah Bajaj dan inspiratornya adalah Tuhan Yesus  dan Bunda Theresia.  T. Raja adalah sosok yang mengubah dunia dengan hidupnya yang nyata, jujur dan rela berkorban bagi kemanusiaan. Dalam kacamata Kristiani, T Raja adalah seorang yang melakukan dan menghayati nilai-nilai Injili. Dari T. Raja kita belajar bahwa masing-masing orang memiliki masa lalu yang gelap, namun Tuhan yang berkehendak supaya orang menjadi terang bagi sesamanya.  

Santa Theresia dari Kalkuta dan T. Raja Auto Raja merupakan dua orang yang membuktikan keindahan sebuah pelayanan dalam nama Tuhan. Kita pun dipanggil untuk mengabdi kepada kemanusiaan dengan membagi waktu, bakat dan kemampuan untuk kebaikan mereka. Kita butuh  figur  St. Theresia dari Kalkuta yang membaktikan dirinya bagi kaum miskin di Kalkuta dan quality time seperti T. Raja untuk selalu bersama 700 anak di rumah pengharapannya. Merekalah guru kehidupan dari banyak guru kehidupan kita di zaman ini.

Yesus adalah modelnya

Untukmu segalanya dalam hidup ini. Sosok atau model yang paling tepat bagi kita untuk memberi diri sampai tuntas adalah Tuhan Yesus sendiri. Penginjil Yohanes dengan tepat mengatakan: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia." (Yoh 3:16-17). Misi utama Yesus ke dunia adalah mengabdi kemanusiaan. Ia tidak datang untuk menghakimi melainkan menyelamatkan. Kehadiran Yesus di dunia semata-mata untuk menunjukkan wajah kerahiman Allah Bapa.

Wujud kerahiman Allah Bapa di dalam diri Yesus berkaitan dengan Natal dapat kita renungkan dalam peristiwa kelahiran hingga wafat-Nya. 'Tidak ada tempat bagi mereka untuk menginap'. Ini adalah kata-kata Injil yang selama ini kita dengar dan tahu. Maria dan Yusuf taat pada kehendak Bapa sehingga mereka tidak menuntut tetapi menerima kenyataan. Peristiwa Bethlehem lalu di pandang sebagai awal sukacita tetapi juga menjadi awal dukacita. Peristiwa Bethlehem membuka jalan menuju Kalvari di mana Yesus menderita dan wafat untuk menyelamatkan manusia. Maria dan Yusuf adalah saksi semuanya ini. Mereka menyimpan segalanya dalam bathin dan mendoakan keselamatan manusia melalui Yesus Putera mereka. Peristiwa Yesus, yakni lahir, hidup, menderita dan wafat karena keselamatan kita. Ini adalah tanda pengabdian Yesus bagi manusia. Kita belajar dari Tuhan Yesus yang memberi diri-Nya dengan sukacita.

Bagaimana dengan kita?

Kita memandang Yesus dan mengagumi-Nya serta berkata: "Untuk-Mu segalanya hidupku!" Dia sendiri mengabdikan diri-Nya bagi kita maka kita juga membalasnya dengan mengabdikan diri sampai tuntas hanya bagi-Nya. Apa yang harus kita perbuat? Kita berusaha untuk menjadi serupa dengan-Nya dalam segala hal. Ia lahir di Bethlehem sebagai bayi nan mungil. Ia bertumbuh menjadi dewasa, menderita, wafat dan bangkit dengan mulia. Iman kita kepada Yesus hendaknya sejalan dengan hidup Yesus. Kita tidak mengimani Yesus hanya sebatas seorang bayi yang lemah. Kita mengimani Yesus yang pernah menjadi bayi dan bertumbuh menjadi dewasa. Iman kita harus menjadi iman yang dewasa bukan kekanak-kanakan atau iman seorang bayi yang lemah. Kita harus berani berkata:  "Untuk-Mu aku rela jalani semua dera dan siksa." Kata-kata ini benar-benar menunjukkan sebuah pengabdian hingga tuntas.

Mari kita menjadi abdi bagi kemanusiaan sebagaimana Tuhan Yesus teladani bagi kita semua. "Untukmu segalanya hidupku ini. Untukmu aku rela jalani semua dera dan siksa. Untukmu segalanya..." Selamat merayakan Natal 25 Desember 2019 dan bahagia Tahun baru 1 Januari 2020.

P. John Laba, SDB 

Tuesday, December 10, 2019

Food For Thought: Membangun kultur kehidupan bukan kematian

Tuhan menghendakimu hidup

Saya pernah mendoakan seorang yang sedang sakit keras. Setelah memberinya minyak suci ia memandang saya, dan berusaha untuk mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang saya berikan kepadanya. Saya tersenyum dan mengatakan kepadanya: "Tuhan menghendakimu hidup!" Dia mengangguk sebentar dan langsung tertidur lelap. Saya sendiri berpikir bahwa saat itu menjadi saat terakhir baginya dan saya percaya bahwa Tuhan pasti memberinya kebahagiaan abadi di surga. Setelah dua minggu, ia mengunjungi saya di pastoran. Ia mengatakan bahwa ada kata-kata saya yang menguatkannya di saat ia sedang sakit yakni 'Tuhan menghendakimu hidup'. Ia mengamini kata-kata ini dan percaya bahwa Tuhan akan memulihkannya. Ia pulih, sembuh total. Mukjizat benar-benar nyata di dalam hidupnya.

Saya sendiri kaget ketika menjumpainya. Setelah mendengar semua cerita, terutama pengalaman iman yang menyembuhkannya ini maka saya sendiri merasa dikuatkan. Banyak kali Tuhan berkarya melalui pengalaman-pengalaman yang kecil dan sederhana. Apa yang tidak kita pikirkan dan harapkan ternyata menjadi kekuatan yang menyembuhkan. Saya hanyalah abdi Tuhan yang datang untuk mendoakan dan memberkatinya. Kata-kata yang saya ucapkan juga sangat spontan bahwa Tuhan menghendakinya untuk hidup. Tuhan menganugerahkan mukjizat kesembuhan kepadanya.

Saya mengingat perkataan Paus Fransiskus, dalam Seruan Apostolik Pascasinode 'Christus Vivit' mengatakan: "Kristus hidup. Dia adalah harapan kita dan kemudaan paling indah dari dunia ini. Apa pun yang disentuh oleh-Nya menjadi muda, menjadi baru, dipenuhi hidup. Maka, kata-kata pertama yang ingin saya sampaikan kepada setiap orang muda Kristiani adalah: Dia hidup dan ingin agar engkau hidup!" (CV, 1). Paus Fransiskus benar ketika mengatakan bahwa Kristus hidup dan Dialah harapan kita. Dia hidup dan menghendaki supaya kita juga hidup.

Tuhan menghendakimu untuk hidup. kata-kata sederhana ini membangunkan banyak orang dari tidur imannya. Pada saat ini masih banyak orang yang tidak menghargai nilai-nilai luhur kehidupan manusia. Kita tidak dapat menutup mata terhadap orang-orang yang melecehkan manusia lain, pedofilia, pemerkosaan, perdagangan manusia dan berbagai tindakan lain yang tidak manusiawi. Ada anak-anak perempuan yang hamil di luar nikah atau ibu-ibu yang berselingkuh, melahirkan dan membuang bayinya di tempat sampah. Ini benar-benar kultur kematian bukan kultur  kehidupan. Tuhan menghendaki anda dan saya hidup!

Masa Adventus menjadi kesempatan bagi kita untuk membaharui diri dan memperjuangkan kultur kehidupan bukan kultur kematian. Kelahiran Yesus adalah harapan bagi kita semua. Dia mengajar kita kultur kehidupan bukan kultur kematian.


P. John Laba, SDB

Food For Thought: Menghibur dan Membahagiakan

Menghibur dan membahagiakan

Kita mengawali hari ini dengan memaknai kedua kata ini: menghibur dan membahagiakan. Menghibur adalah sebuah kata kerja yang berarti usaha untuk menyenangkan dan menyejukkan hati yang susah atau melipur. Artinya bahwa ada sesama yang sedang mengalami kesusahan dan kita siap untuk hadir dalam hidupnya, menyenangkan dan menyejukkan. Sikap seperti ini memang sangatlah manusiawi namun sangat bermakna. Saling menghibur adalah sebuah bentuk dukungan kemanusiaan kepada sesama supaya hidupnya lebih bermakna. Membahagiakan juga merupakan kata kerja yang berarti menjadikan atau mendatangkan bahagia. Membahagiakan juga merupakan sebuah sikap yang menunjukkan bahwa kita sungguh-sungguh manusia. Kita memiliki tanggung jawab moral untuk membahagiakan diri dan sesama. Kiranya sanbgat tepat Mark Twain (1835-1910) ketika mengatakan: "Cara terbaik untuk menghibur dan membahagiakan diri adalah dengan mencoba untuk menghibur dan membahagiakan orang lain."

Salah satu ciri khas masa Adventus adalah munculnya dua kata bermakna yakni menghibur dan membahagiakan. Pikiran kita langusung tertujuh pada Tuhan yang selalu menghibur dan membahagiakan umat-Nya. Ekspresi yang kita tangkap dari Kitab Suci terutama pewartaan para nabi adalah manusia dalam dunia Perjanjian Lama yang merasa sendirian, jauh dari Tuhan akibat dosa dan salah mereka. Sebab itu Tuhan tidak tinggal diam. Ia mengutus para nabi untuk menghibur dan membahagiakan mereka. Perhatikan kutipan perkataan Tuhan melalui nabi Yesaya ini: "Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni, sebab ia telah menerima hukuman dari tangan Tuhan dua kali lipat karena segala dosanya." (Yes 40:1-2). Perhatikanlah bahwa janji Tuhan dalam nubuat Yesaya ini begitu indah. Tuhan sendiri yang menghilangkan penderitaan sebagai hamba, dosa dan salahnya diampuni. Tuhan menghibur dan membahagiakan karena Ia tidak menghitung dosa-dosa manusia.

Penghiburan terbesar yang diberikan Tuhan adalah mengutus Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal untuk datang, mencari dan menyelamatkan orang berdosa. Laksana domba yang tersesat, demikian hidup manusia di hadirat Tuhan. Ia tidak akan membiarkan manusia tersesat dan hancur dalam dosa. Sebaliknya Ia mencari yang tersesat, menemukan dan membawanya kembali. Ini adalah cara Tuhan menghibur dan membahagiakan manusia dengan pengampunan yang berlimpah. Perkataan Yesus ini sangat bermakna: "Bapamu yang di surga tidak menghendaki seorang pun dari anak-anak ini hilang" (Mat 18:14). 

Apa yang harus kita lakukan?

Masa Adventus menjadi kesempatan bagi kita untuk bertobat. Wujud nyata pertobatan kita adalah kita beralih dari kecenderungan untuk menjadi manusia egois menjadi manusia sosial. Kita harusa merasa dipanggil untuk menjadi nabi masa kini yang berperan untuk membaharui dunia dengan hidup kita yang suka menghibur dan membahagiakan. Artinya, semua tutur kata, sikap hidup, cara pikir dan cara pandang, menunjukkan apakah kita menghibur dan membahagiakan sesama manusia atau tidak. Kita perlu memiliki semangat gembala baik seperti Yesus sendiri yang mencari dan menemukan sesama yang masih tersesat untuk kembali ke jalan yang benar. Maranatha...


P. John Laba, SDB

Monday, December 9, 2019

Food For Thought: Dari kekosongan menuju kepenuhan

Dari Kekosongan menuju Kepenuhan

Pada sore hari ini saya berbicara dengan seorang pemuda. Ia mengaku memiliki banyak persoalan dalam hidupnya di dalam keluarga dan di tempat kerjanya. Banyak kali ia merasa kosong, nyaris kehilangan harapan. Namun dalam suasana yang sulit ini ia selalu ingat bahwa Tuhan ada dan akan memperhatikannya. Dan ia percaya bahwa benar, Tuhan turut bekerja untuk memulihkan kekosongan di dalam hidupnya. Ia kemudian mengatakan Tuhan selalu menyelamatkannya di saat-saat yang sulit. Saya mendengar dan menyimak semua sharingnya ini. Saya hanya mengatakan kepadanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui doa. Semoga Tuhan memberi yang terbaik dalam hidupnya. 

Masing-masing orang memiliki pengalaman. Kekosongan dalam hati, kekosongan di dalam hidup selalu ada. Dari kekosongan menuju kesepian dan dapat menghancurkan hidup pribadi dan hidup orang lain. Mengapa merasa kesepian? Bagi saya, orang merasa kesepian bukan karena tidak bersama orang lain, tetapi karena kita tidak sedang bersama diri kita sendiri. Ini adalah sebuah kelemahan yang ada di dalam hidup kita.

Saya tertarik dengan pengalaman pemuda yang saya sharingkan di atas. Ia mengakui bahwa Tuhan menyelamatkannya di saat-saat yang sulit. Nabi Yesaya pernah berkata: "Tuhan Allah sendiri akan datang untuk menyelamatkan kita" (Yes 35:4d). Dia tidak akan membiarkan kita mengembara dalam kekosongan hingga kesepian yang acute. Dia akan mengutus seseorang untuk memberikan penghiburan dan keselamatan.

Masa Adventus menjadi kesempatan bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan merasakan keselamatan. Adventus berarti kedatangan. Ya, benarlah perkataan nabi Yesaya bahwa Allah sendiri datang menyelamatkan kita. Kita butuh persiapan diri untuk menyambut kedatangan-Nya. 

Apa yang harus kita lakukan? 

Kita butuh sebuah kesadaran baru bahwa kita ini adalah orang berdosa. Perasaan sebagai orang berdosa harus kita miliki. Hanya dengan kesadaran diri seperti ini akan membuka jalan bagi pertobatan. Kita tidak dapat bertobat sendiri. Kita butuh sesama untuk mengantar kita kepada pertobatan yang radikal. Kita butuh dan mau mengengar perkataan Tuhan Yesus: "Hai saudara, dosamu sudah diampuni." (Luk 5:20). Sebuah perkataan yang sangat menguatkan karena cinta. Ia tetap mencintai orang berdosa dan siap untuk menghancurkan dosa manusia. Hanya kepada-Nya patutlah kita berkata: "Terima kasih Tuhan Yesus, atas pengampunan-Mu. Terima kasih telah mengisi kekosongan hidup ini dengan kasih-Mu yang penuh dengan kerahiman."


P. John Laba, SDB

Sunday, December 8, 2019

Homili Hari Minggu Adventus II/C - 2019

Hari Minggu Adventus II/A
Yes 11:1-10
Mzm 72: 1-2.7-8.12-13.17
Rm 15:4-9
Mat 3:1-12

Keharmonisan

Adalah Albert Eisntein (1879-1955). Ahli Fisika berkebangsaan Jerman ini pernah berkata: "Ada tiga rumus kerja yakni pertama, menghindari kekacauan sehingga menemukan cara sederhana. Kedua, beranjak dari ranah konflik sehingga menemukan keharmonisan.  Ketiga, di tengah kesulitan selalu ada kesempatan." Ketiga rumusan ini selalu kita alami dalam keseharian hidup kita. Kita selalu mengalami chaos di dalam keluarga dan tempat kita berkarya. Selalu saja ada keluhan bahwa pekerjaan ini tidak tuntas karena ini dan itu. Performance dan profesionalisme selalu dipertanyakan oleh banyak orang terhadap pribadi tertentu dalam berkarya. Butuh kemampuan untuk menghindari kekacauan dengan cara-cara yang sederhana. Apakah dengan demikian berarti kita tidak membutuhkan konflik? Kita sangat membutuhkan konflik sehingga dapat menghidupi keharmonisan bersama. Tanpa ada konflik maka tidak ada keharmonisan dalam hidup ini. Tanpa konflik, orang tidak sempat berpikir bagaimana dapat hidup berdampingan sebagai saudara. Suasana chaos dan konflik merupakan kesulitan tersendiri bagi kita semua. Namun setiap kesulitan yang kita hadapi selalu ada kesempatan untuk mengatasinya. Tuhan pasti membuka jalan untuk mengatasinya 

Kata yang menarik perhatian kita pada pekan kedua adven adalah keharmonisan. Tuhan memilih seorang pemimpin supaya menjadikan manusia pribadi-pribadi yang harmonis satu sama lain sebagai manusia, dan juga harmonis dengan lingkungan hidupnya. Nabi Yesaya dengan tepat menggambarkan suasana keharmonisan sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan melalui sang pemimpin pilihan-Nya. Dalam bahasanya Yesaya, 'Tunas' yang tidak lain adalah Yesus Kristus sendiri. Dialah yang mendamaikan Allah dengan manusia. Perhatikan kutipan ini: "Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan, seperti air laut yang menutupi dasarnya." (Yes 11: 6-9). Sebuah keharmonisan yang memang sangat sulit dilakukan namun bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.

Santu Paulus melihat keharmonisan dalam perkataan ini: "Semoga Allah, sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus." (Rm 15:5). Susana keharmonisan juga ditandai dengan saling menerima satu sama lain (Rm 15: 7). Kata-kata kunci: kerukunan, satu hati, satu suara dan saling menerima memang sangatlah sulit untuk kita hayati bersama. Namun satu hal yang pasti adalah usaha dan ketekunan untuk melakukan kehendak Tuhan supaya mampu dan sukses dalam melakukan kehendak ilahi-Nya. Keharmonisan dalam kebersamaan dapat dicapai dengan mengalami Allah dan kasih-Nya di dalam hidup ini. Pengalaman akan Allah ini selalu ditandai dengan pertobatan secara terus menerus. Pertobatan sebagai jalan yang terbuka kepada keharmonisa di dalam hidup ini.

Masa adventus selalu menjadi kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik lagi (pertobatan). Perubahan yang radikal ini membawa kita semua kepada sebuah keharmonisan yang luhur di hadirat Tuhan. Sambil memandang lilin kedua yaitu lilin damai, mari kita berdamai dengan diri kita, berdamai dengan lingkungan kita dan dengan Tuhan sendiri. 


P. John Laba, SDB 

Saturday, December 7, 2019

Food For Thought: Dari Maria Kita Belajar

Dari Maria kita belajar


Pada malam hari menjelang Hari Raya Bunda Maria Dikandung Tanpa Noda, saya membaca kembali tulisan-tulisan Paus Fransiskus tentang Bunda Maria. Saya menemukan tulisannya yang terakhir yakni 'Surat Apostolik Admirabile Signum' tentang pentingnya Gua Natal. Pada nomor yang ke-7 dari surat ini, Sri Paus menulis begini: "Secara bertahap, kita sampai di gua, di mana kita menemukan sosok Maria dan Yusuf. Maria adalah seorang ibu yang merenungkan Anaknya dan menunjukkan-Nya kepada setiap yang berkunjung. Sosok Maria membuat kita merenungkan misteri agung yang mengelilingi perempuan muda ini ketika Allah mengetuk pintu hatinya yang tak bernoda. Maria menanggapi dengan penuh ketaatan terhadap pesan malaikat yang memintanya untuk menjadi Bunda Allah. Kata-katanya, “sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”(Luk 1:38), memperlihatkan kepada kita semua bagaimana melepaskan diri kita dalam iman menuju kehendak Allah. Dengan "fiat"-nya, Maria menjadi ibu dari Anak Allah, tanpa kehilangan tetapi, berkat Dia, mempersembahkan keperawanannya. Di dalam dirinya, kita melihat Bunda Allah yang tidak menyimpan Anaknya hanya untuk dirinya sendiri, tetapi mengundang semua orang untuk mematuhi Sabda-Nya dan melaksanakannya." (lih. Yoh 2: 5).

Dari semua perkataan Sri Paus Fransiskus ini, kita menemukan nilai-nilai luhur kehidupan Bunda Maria di dalam Gereja Katolik. Nilai-nilai yang dimaksud adalah: 

Pertama, Maria adalah seorang ibu. Pikiran kita langsung tertuju kepada sosok sang ibu, ibu kita di rumah, baik yang mati maupun hidup. Maria sebagai ibu, mengalami sendiri pengalaman manusiawi yakni melahirkan sebagai seorang ibu dan membesarkan Yesus sebagai Anaknya. Bagi para ibu rumah tangga: apakah anda sudah menjadi ibu yang terbaik di dalam keluargamu seperti Maria?

Kedua, Maria merenungkan Anaknya. Maria sangat mengasihi Yesus Puteranya. Sejak menerima khabar sukacita hingga ia bersama para murid menunggu kedatangan Roh Kudus. Maria benar-benar menemani Yesus sejak menerima khabar sukacita, lahir hingga wafat di atas kayu salib. Maria senantiasa merenungkan Anaknya. Di saat-saat yang sulit Maria hadir dan menyaksikan penderitaan Yesus Putranya. 

Ketiga, Fiat Maria. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38). Maria menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhan Allah dengan hati yang Tidak terbagi. Saya yakin bahwa dari Maria kita belajar untuk tekun dan taat mendengar, membaca, merenungkan dan melakukan Sabda Tuhan dalam hidup kita.

Keempat, Bunda Maria murah hati. Ia mengandung dan melahirkan Yesus, namun ia tidak merasa memiliki-Nya sendiri. Dari Maria kita belajar bagaimana Maria menjadi misionaris yang membawa Yesus Kristus kepada orang lain. Kita saat ini pun belajar untuk membawa banyak orang kepada Kristus Tuhan kita.

Masih banyak lagi yang kita masih bisa belajar dari Bunda Maria. Namun benar juga perkataan ini: "De Maria nunquam satis" artinya 'Tentang Bunda Maria tidak pernah cukup'. Kata-kata yang terungkap dari mulut tidak pernah cukup. Masih ada kata-kata baru yang muncul yang menambah khasana devosi kepada Bunda Maria. Mari kita memandang kepada Bunda Maria dan belajar daripadanya.

Ave Maria...


P. John Laba, SDB

Homili 7 Desember 2019

Hari Sabtu, Pekan Adven I
Peringatan Wajib St. Ambrosius
Yes. 30:19-21,23-26
Mzm. 147:1-2,3-4,5-6
Mat. 9:35-10:1,6-8

Belajar berbelas kasih

Pada pagi hari ini saya menemukan sebuah kutipan yang inspiratif dari Albert Schweitzer (1875-1965). Beliau dikenal sebagai seorang berkebangsaan Jerman, dan selama hidupnya berprofesi sebagai dokter, teolog, filsuf dan pemusik. Dari banyak perkataan yang merupakan ungkapan pemikirannya, beliau mengatakan: “Tujuan hidup manusia adalah untuk melayani, dan untuk menunjukkan belas kasih dan kemauan untuk membantu orang lain.” Kutipan perkataan ini mengingatkan saya kepada sebuah pertanyaan saya kepada seorang sahabat: “Apa tujuan anda hidup di dunia ini?” Ia selalu menjawabnya: “Saya mau berbuat baik, Romo!” Setiap kali saya menanyakan pertanyaan yang sama, ia selalu memberi jawaban yang sama pulua: “Saya mau berbuat baik, Romo!” Saya melihat konsistensi jawabannya dan kenyataan hidupnya bahwa ia memang suka menolong. Saya sepakat dengan Tuan Schwietzer, bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah untuk melayani, untuk berbelas kasih dan membantu. Saya yakin bahwa kita semua memiliki tujuan hidup yang sama yakni untuk kebaikan bukan kejahatan.

Dalam masa Adventus ini, Tuhan Yesus menunjukkan satu karakter keilahian-Nya yaitu berbelas kasih kepada manusia yang berdosa. Ia memandang manusia dan selalu menunjukkan belas kasih-Nya kepada mereka. Para penginjil dengan tepat mendeskripsikan gerakan bathin Yesus di hadapan manusia: “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.” (Mat 9:36). Hati Yesus penuh dengan belas kasih kepada manusia yang lemah dan berdosa. Ia benar-benar menunjukkan wajah Allah yang berbelas kasih atau wajah Allah yang Maharahim. Kerahiman Allah ini Yesus tunjukkan dengan berkurban, dengan menyerahkan seluruh hidup-Nya demi keselamatan manusia.

Apakah anda masih memiliki hati yang penuh belas kasih kepada sesama manusia? Mari kita melihat keluarga dan komunitas kita masing-masing. Sebenarnya tujuan hidup bersama adalah supaya saling mengasihi satu sama lain. Raja Daud pernah bernyanyi di hadirat Tuhan: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun.” (Mzm 133:1). Kitab Mazmur mau membuka hati dan pikiran kita untuk berbelas kasih satu sama lain sebagai saudara. Kalau kita hidup berdampingan dan rukun maka dunia ini tentu berbeda. Tidak ada lagi dengki dan iri hati, tidak ada lagi pertikaian antar sesama manusia. Mengapa? Sebab kita adalah saudara.

Kita hidup berdampingan sebagai saudara adalah kehendak Tuhan bukan kehendak kita. Tuhan sendiri yang memanggil dan memilih kita untuk hidup dan bekerja bersama. Kita menjadi saudara dalam satu Bapa yang sama di Surga. Kita memiliki satu saudara yaitu Yesus Kristus, Anak sulung Allah Bapa. Dialah satu satunya Tuhan dan penebus kita. Mari kita mengikuti teladan-Nya yang mengasihi manusia tiada batasnya. Ia berkata: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat 28:20). Ia berbelas kasih kepada manusia sampai tuntas bahkan hingga akhir zaman. 

Bagaimana dengan kita? Apakah ada belas kasih di dalam hati kita? Kalau masih ada belas kasih maka tunjukanlah belas kasih Allah dalam hidup kita setiap hari. Saya menutup permenungan ini dengan mengutip Robert Nathan (1894-1985). Beliau adalah Novelis Amerika yang berkata: “Bersyukurlah atas kesedihan, yang mengajari anda belas kasihan. Atas penderitaan yang mengajari yang mengajari anda keberanian. Berterima kasihlah pada misteri, yang tetap menjadi misteri, tabir yang menutupi anda dari sang maha pencipta, yang membuat anda percaya, tentang sesuatu yang tak kelihatan.” Anda mengalami kesedihan, belas kasihan akan datang menghiburmu.

P. John Laba, SDB

Friday, December 6, 2019

Food For Thought: Membungkuk dan memberi

Ketika aku membungkuk di hadapanmu!

Saya barusan membuka beberapa file di laptop yang sudah lama saya simpan. Saya menemukan sebuah foto berupa lukisan tangan seorang siswa yang dianggap sangat nakal dan susah diatur di sekolah. Lukisannya sangat sederhana yakni ada seorang ibu yang membungkuk sambil memberi sebotol aqua kepada anaknya yang kelihatan sangat haus. Sejenak gambar ini tidak berbicara banyak kepada saya. Namun semakin saya memperhatikan lukisan ini, saya menemukan ada tulisan yang tidak begitu jelas nampaknya. Bunyi tulisannya adalah: ‘Aku mengasihimu sampai tuntas’. Kata-kata ini benar-benar membangunkan kesadaran saya saat itu. Seorang ibu telah mengurbankan dirinya dengan mengandung, melahirkan dan memelihara anaknya. Dari gambar, ia membungkuk sambil memberi. Ini benar-benar sebuah simbol kerendahan hati dan cinta kasih tanpa batas orang tua kepada anaknya.

Apa yang menjadi insight bagi saya setelah memperhatikan foto ini? 

Saya percaya bahwa manusia dapat berubah dalam hidupnya. Lukisan ini menggambarkan suasana bathin, idealism yang hendak dicapai oleh sang pelukis. Label siswa yang ‘sangat nakal’ dan ‘susah diatur’ hendak dibuktikannya melalui lukisan ini bahwa ia memang berubah dari dalam, meskipun belum disadari oleh orang-orang yang melihatnya dari luar. Lukisan seorang ibu yang ‘membungkuk’ dan ‘memberi’ merupakan gambaran dirinya bahwa ia juga mau melayani dan memberi dirinya kepada sesama yang berkekurangan, mewujudkan sebuah bentuk pelayanan kasih kepada mereka yang sangat membutuhkan.

Orang tua memang memiliki banyak kelebihan dan kekuarangan. Satu hal yang tidak akan hilang dari diri mereka adalah semangat untuk melayani, rela berkorban, semangat berbagi hidup dalam situasi apa saja. Semua ini merupakan wujud nyata cinta kasih tanpa batas atau cinta kasih sampai tuntas. Memang kita tidak dapat menutup mata terhadap berbagai krisis yang melanda keluarga seperti perceraian, poligami, poliandri dan lain sebagainya. Semua ini adalah tanda-tanda ketidaksempurnaan orang tua sebagai pribadi. Dia atau mereka adalah manusia atau daging yang lemah dan tak berdaya. Namun di dalam hati mereka masih ada cinta tanpa batas kepada anak-anaknya. Mereka akan tetap ‘membungkuk’ dan ‘memberi’ kepada anak-anaknya. Kalau saja ada orang tua yang tidak ‘membungkuk’ dan ‘memberi’ karena kelemahan manusiawinya.  

Saya mengakhiri permenungan ini dengan mengingat sebuah perkataan Khalil Ghibran: “Cinta yang terbatas ingin memiliki yang dicintai, tapi cinta yang tak terbatas hanya terbatas menginginkan cinta itu sendiri, cinta yang tumbuh dalam perpaduan kenaifan dan gairah masa muda, memuaskan diri dengan memiliki dan tumbuh dengan pelukan. Tapi cinta yang dilahirkan bersama segala rahasia malam tidak pernah puas dengan apa pun selain keabadian dan kelestarian dan ia hanya membungkuk dan patuh kepada Tuhan.”

Masa adventus merupakan kesempatan untuk ‘membungkuk’ dan ‘memberi’. Kebajikan kerendahan hati dan kerelaan untuk berbagi atau berempati merupakan jalan yang baik untuk mewujudkan masa adventus yang bermakna. Maknanya adalah kita berubah dari dalam untuk menjadi pribadi yang sungguh-sungguh kristiani.

Tuhan memberkati.

PJ-SDB

Wednesday, December 4, 2019

Food For Thought: Suka mempersalahkan orang lain

Suka mempersalahkan orang lain

Apakah anda pernah dan masih memiliki kebiasaan yang satu ini: ‘Suka mempersalahkan orang lain?’ Saya merasa yakin bahwa anda, saya dan kita semua sudah pernah dan akan mempersalahkan orang lain selagi masih bernafas. Ada orang yang mudah mempersalahkan orang lain, dan menjadikan mereka bumper atau sasaran untuk mengungkapkan kekesalan dan kemarahan. Kadang-kadang saya sendiri merasa malu karena suka mempersalahkan orang lain, meskipun kadang saya juga keliru. Memang sangatlah sulit untuk mempersalahkan diri sendiri. Kita butuh waktu supaya memperbaiki diri dari semua kekurangan yang kita miliki.

Kebiasaan mempersalahkan orang lain ini bukanlah hal yang baru. Adam dan Hawa pernah melakukannya dan menjadi dosa turun temurun. Kita membaca dalam Kitab Kejadian (Kej 3: 9-13), bagaimana Tuhan menyapa Adam dan Hawa yang barusan jatuh ke dalam dosa pertama. Pada saat itu Adam merasa malu di hadapan Tuhan sebab ia telanjang. Tuhan bertanya kepadanya apakah ia sudah memakan buah dari pohon yang dilarang Tuhan. Adam mempersalahkan Hawa dan Hawa mempersalahkan ular. Tuhan sungguh baik, sebab itu Ia tetap memberkati manusia yang diciptakan sesuai wajah-Nya sendiri. Hanya ular saja yang mendapat kutukan dari Tuhan. Dapatlah dikatakan bahwa saling mempersalahkan sebagai saudara akan berakhir saat ajal menjemput.

Di dalam keluarga sendiri, saling mempersalahkan masih ada. Orang tua mempersalahkan anak-anak, anak-anak mempersalahkan orang tua. Kakak mempersalahkan adik dan sebaliknya. Para siswa mempersalahkan guru dan sebaliknya. Kita butuh waktu untuk mawas diri, mengontrol diri supaya tidak mudah mempersalahkan sesama manusia. Setiap kali kita gagal dalam hidup maka kita selalu kesulitan untuk mengakuinya. Kita mencari alasan untuk membenarkan diri, seolah-olah kita itu suci adanya. Padahal nyatanya kita masih hidup sebagai orang berdosa, yang masih terus berjuang untuk menjadi yang terbaik bagi Tuhan dan sesama. Kesulitan untuk menerima diri apa adanya, minder dengan orang lain karena alasan-alasan tertentu. 

Paulo Coelho pernah berkata: “Tidaklah mudah untuk menjelaskan kesusksesan, lebih mudah menjelaskan kegagalan dengan seribu satu alasan.” Saya sepakat dengan perkataan ini. Betapa mudahnya ketika kita menjelaskan sebab-sebab kegagalan kita dalam pekerjaan, supaya semua orang mengakui bahwa kita pernah gagal. Sebaiknya kita jujur dan mengakui kegagalan kita. Dari kegagalanlah kita belajar untuk menjadi sosok yang berhasil, kuat dan gagah. Maka apakah untungnya kita masih mempersalahkan orang lain dan lupa mempersalahkan dan memperbaiki diri sendiri?

Viva Don Bosco,

P. John Laba, SDB 

Tuesday, December 3, 2019

Homili 4 Desember 2019 - Injil Untuk Daily Fresh Juice

Hari Rabu, Pekan Adven I
Yes. 25:6-10a
Mzm. 23:1-3a,3b-4,5,6
Mat. 15:29-37

Lectio

Pada suatu ketika Yesus menyusur pantai danau Galilea dan naik ke atas bukit lalu duduk di situ. Kemudian orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya membawa orang lumpuh, orang timpang, orang buta, orang bisu dan banyak lagi yang lain, lalu meletakkan mereka pada kaki Yesus dan Ia menyembuhkan mereka semuanya. Maka takjublah orang banyak itu melihat orang bisu berkata-kata, orang timpang sembuh, orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, dan mereka memuliakan Allah Israel. Lalu Yesus memanggil murid-murid-Nya dan berkata: "Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan." Kata murid-murid-Nya kepada-Nya: "Bagaimana di tempat sunyi ini kita mendapat roti untuk mengenyangkan orang banyak yang begitu besar jumlahnya?" Kata Yesus kepada mereka: "Berapa roti ada padamu?" "Tujuh," jawab mereka, "dan ada lagi beberapa ikan kecil." Lalu Yesus menyuruh orang banyak itu duduk di tanah. Sesudah itu Ia mengambil ketujuh roti dan ikan-ikan itu, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya pula kepada orang banyak. Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, tujuh bakul penuh.

Demikianlah Injil Tuhan kita
Terpujilah Kristus

Masih ada harapan untuk hidup


Adalah Dale Carnegie (1888-1955). Beliau dikenal kalangan umum sebagai seorang Penulis berkebangsaan Amerika Serikat. Beliau pernah berkata: "Segala sesuatu yang luar biasa di dunia ini diciptakan oleh orang-orang yang tak pernah berhenti mencoba bahkan disaat kelihatannya tak ada harapan lagi." Perkataan Carnegie ini mengisyarakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk bekerja sesuai dengan kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Ia akan coba melakukakan apa saja yang dapat dilakukannya untuk kehidupannya, bahkan di saat yang ekstrim sekalipun. Singkatnya, manusia akan senantiasa berjuang untuk bertahan hidup karena ia masih memiliki harapan. Saya mengingat Pastor dan Aktivis HAM Amerika Serikat bernama Martin Luther King yang berkata: "Kalau anda kehilangan harapan, anda akan kehilangan bahan bakar dalam hidup. Selalu jaga harapan anda." Memang, harapan selalu membuka jalan optimis bagi setiap pribadi untuk suatu kebaikan.

Kita berada di pekan Adven Pertama. Pekan Adven pertama ini dikenal sebagai pekan para nabi yang memberi harapan akan keselamatan yang Tuhan anugerahkan bagi setiap pribadi. Sebab itu pekan Adven pertama ini disebut juga sebagai pekan harapan. Apa yang menjadi harapan kita di hadapan Tuhan dan sesama? Tentu saja kita memiliki harapan untuk hal yang baik-baik saja. Tidak pernah ada orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak baik, apalagi harapan itu ditujukan kepada Tuhan. Kita berdoa dan berharap supaya Tuhan memberi yang terbaik: Misalnya, bagi setiap orang supaya Tuhan selalu memberi berkat melimpah. Bagi orang-orang sakit dan yang kehilangan harapan supaya Tuhan menjamah dan menyembuhkan mereka. Bagi yang lapar dan haus, yang tak memiliki pakaian, orang asing dan imigran, orang sakit, orang-orang yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan supaya mendapat perhatian dan pelayanan khusus. Bahkan orang yang meninggal pun perlu dikuburkan. Semua ini adalah pekerjaan-pekerjaan belas Kasih Allah yang harus kita lakukan sebagai Gereja. Ini adalah pekerjaan Kristus yang wajib kita lakukan di dalam Gereja dan masyarakat kita. 

Bacaan Injil yang barusan kita dengar bersama hari ini meningatkan kita akan harapan-harapan manusia masa kini yakni harapan untuk menjadi sembuh dari sakit penyakit dan harapan untuk sejahtera secara jasmani dan rohani. Mari kita mendalami kedua harapan ini:

Pertama, harapan akan kesembuhan. Tuhan Yesus sedang berada di sekitar danau Galilea, tepatnya di atas bukit yang berhadapan langsung dengan danau Galilea. Banyak orang berbondong-bondong datang kepada-Nya sambil membawa orang-orang sakit supaya memohon kesembuhan dari pada-Nya. Mereka yang sakit adalah orang-orang lumpuh, timpang, buta, bisu dan yang lainnya. Mereka semua memiliki harapan pasti bahwa Yesus akan menyembukan mereka semua. Yesus bukanlah sosok php (pemberi harapan palsu). Ia justru memenuhi harapan mereka dengan menyembuhkan semuanya. Hal yang nyata terjadi adalah orang-orang banyak itu disembuhkan dan rasa takjub dari banyak orang yang menyaksikan mukjizat ini. Nama Tuhan Allah Israel sungguh-sungguh dimuliakan.

Kedua, harapan untuk mengalami kepuasan. Paus Fransiskus dalam Misericordiae Vultus mengatakan bahwa Tuhan Yesus menunjukkan wajah Allah yang berbelas Kasih (MV,1). Dalam bacaan Injil hari ini, Tuhan Yesus  menunjukkan wajah kerahiman Allah dengan berkata: "Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan." (Mat 15:32). Kerahiman Allah ditunjukkan dalam Ekaristi-Nya di mana Ia memperbanyak tujuh buah roti dan beberapa ikan kecil. Para murid diajarkan Yesus untuk berbagi kerahiman Allah melalui roti dan ikan. Semuanya kenyang dan masih ada sisa tujuh bakul penuh. 

Dari Tuhan Yesus dalam Injil kita belajar untuk memberi harapan akan kesembuhan kepada semua orang. Di sekitar kita masih ada banyak orang yang sakit secara jasmani dan Rohani. Mari kita  mendoakan, melakukan perbuatan amal kasih, supaya mereka sembuh dan memuliakan Allah. Singkatnya masa adventus menjadi kesempatan bagi kita untuk berdoa dan beramal. Kita juga memberi harapan untuk berbagi dengan sesama yang berkekurangan. Masih banyak orang yang lapar dan haus di sekitar kita. Perubahan iklim saat ini membuat kemarau panjang dan jumlah orang-orang lapar dan haus semakin bertambah. Di saat seperti ini kita belajar untuk berbagi.  Yesus mengajar para murid untuk berbagi dengan mereka yang sedang mengalami kelaparan tiga hari. Masa adventus menjadi kesempatan bagi kita untuk berbagi. Berbagi adalah sebuah cara kita bersyukur dalam hidup kita. Semua yang kita miliki adalah milik Tuhan, kita berbagi supaya sama-sama merasakan kasih dan kebaikan Tuhan.

Doa: Tuhan, bantulah kami supaya selalu memiliki harapan dan keyakinan untuk memperoleh kesembuhan dari pada-Mu. Semoga kami juga mampu berbagi dengan sesama yang sangat membutuhkan. Amen.


PJ-SDB   

Monday, December 2, 2019

Food For Thought: Kasih ada harapan

Masih ada harapan

Apakah anda masih memiliki harapan? Ini adalah pertanyaan terakhir saya kepada seorang pemuda yang berbicara dengan saya selama lebih kurang satu jam sore tadi. Ia barusan mengakhiri relasi cintanya dengan pacaranya setelah lima tahun mereka berjalan bersama dalam suka dan duka. Dia mengakui bahwa sungguh tidaklah mudah untuk mengakhiri sesuatu yang sudah dimulai dengan baik, namun dia harus berani mengambil keputusan untuk mengakhiri semuanya karena alasan-alasan yang rasional dan demi kebaikan bersama. Terhadap pertanyaan yang saya ajukan kepadanya 'apakah ia masih memiliki harapan?', ia mengatakan dengan tegas bahwa selagi masih bernafas maka harapan selalu ada untuk sebuah tujuan yang terbaik. Saya senang mendengar dan melihat semangatnya yang penuh harapan dan optimis. 

Setiap orang hampir pasti pernah mengalami yang namanya kehilangan harapan. Pemuda yang berbicara dengan saya dalam sharingnya ini sedang kehilangan harapan. Ia menyaksikan kebohongan-kebohongan dari pacaranya yang relasi mereka sudah sedang berlangsung selama lima tahun melalui berbagai foto di galeri HP, foto-foto yang tersimpan di laptop, video dan chatingan tertentu yang membuatnya kehilangan kepercayaan secara total. Hal-hal ini terjadi bukan hanya sekali tetapi berkali-kali. Dan ia sendiri menemukannya. Ia kehilangan harapan dan kehilangan seorang pribadi yang pernah mengasihi dan dikasihi. Ketika ada pengalaman 'kehilangan harapan' maka semua pengaruhnya akan dialami dalam hidup kita juga. 

Adalah Maya Angelou (1928-2014). Beliau adalah seorang Penyair dan penulis Negro-Amerika. Ia berkata: "Cinta tidak mengenal hambatan. Cinta melewati rintangan, melompati pagar hambatan, dan menembus tembok untuk sampai ke tempat tujuan yang penuh harapan." Memang sangatlah tepat perkataan Maya ini. Kita membutuhkan cinta sebab kita hidup karena ada cinta. Cinta yang benar itu bebas hambatan dan memiliki harapan yang pasti yakni kebahagiaan. Tidak pernah ada cinta tanpa ada harapan. Bahkan penulis Prancis bernama Alexandre Dumas Père (1802-1870) mengatakan bahwa semua jenis kebijaksanaan itu berakar pada dua kata: kesabaran dan harapan. Harapan itu patut kita miliki di dalam hidup ini.

Masa Adventus, khususnya pekan pertama Adventus ini dikenal dengan pekan harapan. Tuhan memberi harapan akan keselamatan manusia melalui para nabi yang realisasinya menjadi sempurna dalam diri Yesus Kristus. Harapan berlaku bagi semua orang, karena dalam suasana yang ekstrim sekalipun, ia akan tetap mengakui bahwa 'masih ada harapan'. Hiduplah sebagai Pribadi yang memiliki harapan yang pasti. Jauhilah dirimu sebagai sosok php alias pembawa harapan palsu. Php itu melukai nilai luhur harapan yang sebenarnya.


P. John Laba, SDB