Sunday, September 29, 2019

Food For Thought: Berharap kepada Tuhan

Berharaplah pada pertolongan Tuhan Yesus!

Seorang sahabat memberi kesaksian hidupnya. Ia melewati masa-masa yang sulit dalam hidupnya. Ia kehilangan anggota keluarga yang dikasihinya, mengalami penolakan ketika melamar pekerjaan namun pada akhirnya ia merasa yakin bahwa Tuhan menunjukkan jalan yang tepat baginya. Ia mendapatkan sebuah pekerjaan dan berusaha untuk melakukannya dengan penuh kasih. Pekerjaan itulah yang turut membesarkannya hingga saat ini. Baginya, semua ini adalah mukjizat dalam hidupnya. Ia pun tetap berharap pada pertolongan Tuhan Yesus. Saya kagum mendengar kesaksian beliau. Semua orang yang mendengar kesaksiannya juga mengakui perjuangan hidup beliau hingga menjadi orang sukses saat ini. 

Saya membayangkan perjuangan sahabat ini sambil mengingat orang-orang lain yang mudah patah semangat dalam hidupnya. Banyak di antara kita yang sekali gagal selalu berpikir bahwa selamanya hidup adalah rentetan kegagalan. Padahal orang juga mengatakan bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang masih tertunda. Kegagalan akan menjadi keberhasilan atau kesuksesan kalau orang memiliki harapan yang pasti untuk memulai lagi usaha di dalam hidupnya. Kalau orang yang gagal dan tinggal dalam kegagalan maka ia tidak akan berhasil dalam hidupnya. Sebab itu kegagalan adalah kesempatan untuk memulai lagi usaha baru di dalam hidupnya.

Bagi saya, orang yang sukses adalah orang yang mampu bertahan melewati kegagalan demi kegagalan sampai dia mencapai pintu kesuksesan. Tanpa ada prinsip seperti ini maka kita belum dapat menjadi pribadi yang sempurna. Napoleon Hill, penulis dan motivator kenamaan dari Amerikan Serikat pernah berkata: “Sebelum kesuksesan datang pada kehidupan seseorang, ia pasti mengalami kekalahan sementara dan mungkin beberapa kegagalan. Ketika kekalahan datang kepada seseorang, hal yang termudah dan yang paling masuk akal adalah keluar. Itulah yang kebanyakan orang lakukan.” Kita harus berani untuk bereksodus, berani keluar dari kegagalan hidup kita untuk meraih kesuksesan.

Mengapa ada nada optimism seperti ini? Karena ada Tuhan. Tuhan tidak pernah merencanakan kegagalan tetapi kesuksesan dalam hidup kita. Kegagalan hanya datang ketika Tuhan sudah menjadi nomor dua dalam hidup kita. Sebab itu, berharaplah kepada Tuhan!

PJ-SDB

Saturday, September 28, 2019

Food For Thought: Apakah anda menderita hari ini?

Apakah anda menderita hari ini?

Saya barusan mendapat sebuah pesan singkat yang disebarkan oleh seorang sahabat berupa sebuah pertanyaan: “Apakah anda menderita hari ini?” Saya hanya tersenyum dan mengatakan dalam hati saya bahwa menderita adalah pengalaman hidup kita semua. Semua orang pasti menderita. Artinya, penderitaan kecil atau besar, ringan atau berat pasti dialami oleh setiap orang dalam hidupnya. Tidak ada seorang pun yang luput dari pengalaman penderitaan. 

Tuhan Yesus sadar bahwa Dia menderita untuk keselamatan manusia yang berdosa. Ia mengatakan: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia”. Penginjil Lukas misalnya mengatakan bahwa para murid Yesus  sendiri tidak memahami dan menanyakan makna perkataan Yesus bahwa Ia akan diserahkan ke dalam tangan manusia. Namun yang pasti Yesus tahu bahwa Ia akan menderita karena tangan manusia yang menyiksa dan membunuh-Nya. Yesus menderita supaya manusia yang berdosa memperoleh keselamatan. Setiap pengalaman penderitaan kita pasti membuahkan hasil yang menyenangkan dan membahagiakan bagi sesama yang lain. Misalnya, seorang ibu yang menderita sakit saat melahirkan akan merasa bahagia melihat bayinya, laksana cermin dirinya sendiri. Seorang ayah menderita di bawah terik matahari merasa bahagia ketika anaknya sukses dalam hidupnya. Setiap pengalaman penderitaan selalu memiliki makna yang positif dalam hidup kita.

Santu Paulus mengatakan: “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat. Aku telah menjadi pelayan jemaat itu sesuai dengan tugas yang dipercayakan Allah kepadaku untuk meneruskan firman-Nya dengan sepenuhnya kepada kamu.” (Kol 1:24-25). Kata-kata yang menguatkan sekali bagi kita yang sedang mengikuti Tuhan Yesus Kristus.

Saya mengakhiri permenungan ini dengan mengutip perkataan Charlie Chaplin (1889-1977). Beliau adalah seorang aktor, komik berkebangsaan Britania Raya. Ia pernah berkata: “Penderitaanku mungkin menjadi alasan orang lain tertawa. Tapi tertawaku bukanlah karena penderitaan orang lain.” Banyak kali kita berhenti pada keadaan ini: tertawa di atas penderitaan orang lain. Tidak ada perasaan empati di dalam hidup kita. Ah, kita lupa bahwa kita adalah manusia yang memiliki hati untuk berempati. Apakah anda menderita hari ini?

PJ-SDB

Tuesday, September 24, 2019

Homili 24 September 2019


Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXV
Ezr. 6:7-8,12b,14-20
Mzm. 122:1-2,3-4a,4b-5
Luk. 8:19-21

Sebuah relasi yang intim dan sehat

Saya barusan mengunjungi beberapa keluarga dari Lewo Tanah atau kampung halaman di diaspora, khususnya di pedalaman Timor Leste. Perjumpaan pertama selalu dihiasi dengan menceritakan sekaligus menjelaskan silsilah keturunan saya dan mereka, hingga mencapai sebuah titik temu, dan menjadi awal dalam membangun sebuah relasi. Setelah berbincang- bincang dengan mereka, akhirnya benar-benar ada titik temunya. Kami masih memiliki hubungan keluarga, hubungan darah di diaspora karena perkawinan antar suku di Lewo Tanah. Tetapi lebih dari itu, relasi kami semakin luas dan terbuka dan menjadi sebuah keluarga baru. Saya kembali ke komunitas dengan sukacita karena keluarga baru di diaspora.  Saya juga memiliki pengalaman lain. Ada juga keluarga lain yang setiap kali meminta saya untuk merayakan misa intensional, selalu mengatakan: "Pater, kita sama-sama dari sana". Bagi saya ini juga sebuah cara mempererat relasi persaudaraan. Tentu saja hal terbaik yang diharapkan adalah setiap pribadi dapat membangun sebuah relasi yang intim dan sehat.

Bacaan Injil hari ini mengingatkan kita untuk membangun sebuah relasi yang intim dan sehat dengan Tuhan. Penginjil Lukas mengisahkan bahwa pada suatu ketika Bunda Maria dan para saudara sepupuh Yesus datang untuk mengunjungi-Nya. Sayang sekali sebab mereka semua tidak dapat berjumpa dengan-Nya sebab ada banyak orang yang berada di dekat-Nya untuk mendengar Sabda-Nya. Tuhan Yesus memperhatikan mereka satu persatu, dan mereka memiliki sikap bathin yang terbuka kepada-Nya. Mereka mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulut-Nya. Sebab itu, ketika orang-orang yang berada di dekat-Nya menyampaikan berita kedatangan Ibu dan saudara-saudara-Nya, Ia menjawab mereka: "Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya." (Luk 8:21). Orang yang mendengar Sabda Tuhan dan melakukan-Nya itu melewati proses ini: mendengar dengan pernuh perhatian, mematuhi apa yang sudah didengar dengan kedua telinganya, mengasihi orang yang berbicara atau mengeluarkan suara yang didengarnya dan melakukan apa yang didengar dalam hidupnya.

Ada dua kata penting yang keluar dari mulut Yesus dalam Injil hari ini:

Pertama, kata mendengar. Mengapa mendengar Sabda Tuhan itu penting sekali di dalam hidup ini? Ada beberapa manfaat dari kita mendengar Sabda Tuhan yakni, pertama, dengan mendengar Sabda Tuhan, kita dapat mengalami Allah di dalam hidup kita secara pribadi. Kedua, dengan mendengar Sabda Tuhan, kita dapat membentuk sebuah komunitas persaudaraan. Ketiga, dengan mendengar Sabda Tuhan, kita semakin setia dalam menjalani panggilan hidup masing-masing. Keempat, dengan mendengar Sabda Tuhan, kita menjadi rasul bagi Sabda itu sendiri. Keempat manfaat mendengar Sabda ini sebenarnya membantu kita untuk membentuk sebuah relasi yang intim dan sehat dengan Tuhan. Kita mendengar berarti kita mematuhi dan mengasihi.

Kedua, kata melakukan. Kita semua membangun relasi yang intim dan sehat dengan Tuhan bukan hanya dengan mendengar saja tetapi melakukan Sabda. Kita semua dipanggil untuk menjadi pelaku Sabda atau pelaku Firman Tuhan. Santu Yakobus berkata: "Jadilah pelaku firman dan bukan hanya pendengar; jika tidak, kamu menipu diri sendiri." (Yak 1:22). Banyak kali orang berpikir bahwa dengan mendengar Sabda saja sudah cukup. Artinya orang datang ke Gereja bukan hanya untuk mendengar sabda, mendengar homili dan selesai. Sabda yang berinkarnasi dalam homili haruslah menjadikan setiap orang pelaku firman bukan hanya mendengar Sabda. Ada umat yang senang mendengar tetapi sulit untuk melakukannya. Ada pastor yang suka memberi homili tetapi masih sulit untuk mendengar dan melakukan sabda di dalam hidupnya. Tentu saja semua ini akan berpengaruh dalam membangun relasi yang intim dan sehat dengan Tuhan.

Mari kita belajar lebih lanjut tentang mendengar Sabda. Bangsa Israel mendengar perintah untuk kembali ke Yerusalem supaya membangun Rumah Tuhan melalui orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Mereka adalah Koresh, Darius dan Artahsasta yang merupaka raja-raja dari negeri asing yaitu Persia. Tuhan menyampaikan Sabda dan menggerakkan hati mereka untuk memerintahkan bangsa Israel supaya kembali ke Yerusalem untuk membangun rumah Tuhan. Di dalam rumah Tuhan inilah mereka akan merasakan jati diri mereka sebagai umat pilihan dan dapat mendengar kembali Sabda Tuhan. Dampak lebih lanjut adalah  bangsa Israel kembali memurnikan atau mentahirkan diri mereka di hadapan Tuhan Allah.

Ada satu hal yang menarik perhatian kita hari ini. Tuhan menggerakkan hati para raja asing untuk melakukan kebaikan yakni mengembalikan bangsa Israel ke Yerusalem. Orang asing saja masih mendengar Sabda dan melakukan kebaikan meskipun mereka tidak mengenal Allah. Bagaimana dengan kita? Kita mengakui diri sebagai orang beragama, beriman tetapi masih sulit untuk mendengar Sabda apalagi menjadi pelaku Firman. Kita butuh Tuhan untuk membaharui hidup kita. Kita butuh Tuhan supaya menyehatkan relasi kita dengan diri-Nya dalam Yesus Kristus, Putera-Nya. Bulan Kitab Suci menjadi kesempatan untuk membaharui diri dan mengakrabkan relasi dengan Tuhan melalui Sabda-Nya. Sungguh sabda Tuhan adalah pelita bagi langkah kaki kita.

PJ-SDB

Monday, September 23, 2019

Homili 23 September 2019

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXV
St. Padre Pio dari Pietrelcina
Ezr. 1:1-6
Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6
Luk. 8:16-18

Mewartakan Sabda dengan hidup nyata

Pada hari ini kita mengenang St. Padre Pio. Orang kudus modern terlahir dengan nama Francesco Forgione. Beliau dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1887 di Pietrelcina, Italia selatan dan merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Grazio Forgione dan ibunya Maria Giuseppa De Nunzio. Orang tuanya mengenangnya sebagai anak yang berbeda dari anak-anak sebayanya sebab ia tidak pernah tidak sopan ataupun bersikap tidak pantas. Ketika masih berusia lima tahun, Francesco dianugerahi penglihatan-penglihatan surgawi dan juga mengalami penindasan-penindasan setan. Ia melihat dan berbicara dengan Yesus dan Santa Perawan Maria, juga dengan malaikat pelindungnya. Ia tidak hanya mengalami kehidupan surgawi, ada juga pengalaman tentang neraka dan setan. Ia menjadi seorang Fransiskan Capusin dan terkenal di dalam Gereja karena stigmata yang dimilikinya hingga wafat pada tanggal 23 September 1968.

St. Padre Pio sangat realistik dengan kehidupan di dunia ini. Ia mengatakan: “Kehidupan adalah perjuangan yang tidak boleh kita hindari tapi harus kita menangkan.” Perkataannya ini bukan hanya keluar dari mulutnya saja tetapi dari pengalaman hidupnya yang nyata. Sebagai seorang Fransiskan tulen beliau memiliki satu prinsip hidup yakni keinginannya untuk menjadi seorang biarawan miskin yang berdoa tanpa henti. Doa merupakan kekuatan baginya, bagian dari perjuangan hidupnya hingga mencapai sebuah kemenangan. Berdasar pada pengalaman hidupnya ini, beliau menegaskan: “Berdoalah, berharaplah, dan jangan khawatir. Kecemasan tidak membantu sama sekali. Allah yang berbelas kasih akan mendengarkan doamu.” 

Beliau selalu menasihati orang-orang yang datang kepadanya ketika mereka mengakui dosa atau meminta nasihat-nasihatnya. Ia berkata: “Jangan biarkan godaan menakutkanmu; mereka adalah cobaan bagi jiwa yang kepadanya Allah ingin menguji ketika Ia melihat mereka memiliki kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan perjuangan, karenanya menenun mahkota kemuliaan dengan tangan mereka sendiri.” Orang harus terus memandang Yesus, belajar untuk memikul salib dan dekat kepada-Nya. Berkaitan dengan ini, Santu Padre Pio pernah mendengar suara Yesus yang berkata: “Di kaki salib, seseorang belajar tentang cinta, tapi Aku tidak memberikan ini kepada semua orang, hanya kepada jiwa-jiwa yang paling Aku kasihi.”

Santu Padre Pio menyadari bahwa Gereja adalah manusia yang hidup dan percaya kepada Tuhan Yesus. Sebab itu, setiap orang yang dibaptis perlu membuka dirinya kepada Tuhan dalam waktu-waktu hidupnya. Tuhan Yesus sungguh-sungguh hadir dan bekerja di dalam Gereja-Nya. Padre Pio berkata: “Tetaplah dekat dengan Gereja Katolik di setiap saat, karena hanya Gereja yang dapat memberikanmu kedamaian sejati, sebab hanya dia yang memiliki Yesus, Raja Damai yang sesungguhnya, dalam Sakramen Maha Kudus.” Di dalam Gereja kita berjumpa dengan Yesus, sabda hidup dan sumber kedamaiaan sejati.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengajak kita untuk kembali kepada Tuhan dan mewartakan sabda-Nya dalam hidup yang nyata. Penulis Kitab Ezra mengisahkan bagaimana Tuhan menggerakan hati Raja Koresh dari Persia untuk mengembalikan umat Allah ke Yerusalem. Ketika tiba di Yerusalem, mereka diharapkan untuk mendirikan rumah Tuhan Allah Israel. Orang-orang yang digerakkan hatinya oleh Allah berkemas-kemas untuk kembali ke Yerusalem. Mereka adalah keturunan Yehuda, Benyamin dan kaum Lewi. Mereka pun mendirikan rumah Allah di Yerusalem. Dukungan penuh diberikan oleh orang-orang dari sekitar mereka berupa barang-barang perak, dengan emas, harta benda dan ternak dan dengan pemberian yang indah-indah, selain dari segala sesuatu yang dipersembahkan dengan sukarela.

Bangsa Israel mengalami banyak penderitaan dan kemalangan di Babilonia. Dalam suasana seperti ini, Tuhan memberi kekuatan dan harapan  melalui para nabi supaya bangsa Israel dapat kembali ke jalan yang benar dan menikmati belas kasih Tuhan. Tuhan mewujudkan rencana-Nya dengan menggerakan hati Koresh supaya mengembalikan bangsa Israel ke Yerusalem, kota damai. Di sini, Tuhan menjanjikan keselamatan melalui orang asing yakni Koresh dan berhasil. Saya mengingat kembali perkataan Santu Padre Pio: “Jangan biarkan godaan menakutkanmu”. Ini adalah kata-kata penuh harapan yang disampaikan orang kudus ini kepada kita saat ini juga. Pengalaman penderitaan dan kemalangan adalah godaan yang menakutkan kita semua. Kalau kita sunggu beriman maka godaan itu kecil sekali sebab Tuhan Yesus juga sudah memenangkan godaan dan cobaan.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengingatkan kita untuk selalu siap mewartakan sabda-Nya. Kita mengingat dua perkataan dalam Kitab Mazmur: Pertama, “Di dalam terang-Mu, kami melihat terang” (Mzm 36:9). Kedua, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” (Mzm 119:105). Sabda atau Firman sebagai terang Tuhan bagi langkah kaki kita maka kita harus mewartakannya dengan hidup yang nyata. Tepatlah perkataan Tuhan Yesus dalam perumpamaan ini: "Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan.” (Luk 8:16-17). Sabda sebagai terang tidak perlu disembunyikan tetapi harus ditampilkan supaya dapat mengubah hidup pribadi dan hidup orang lain.

Sabda Tuhan membebaskan kita dari kebutaan dosa sehingga kita dapat berjalan dalam kebenaran dan kebaikan. Tuhan dan rahmat-Nya tidak hanya menerangi kegelapan hidup kita, ia juga memenuhi hidup kita dengan terang rohani, sukacita dan damai. Pelita merupakan lambang yang dipakai Tuhan Yesus untuk membuka pikiran para murid-Nya supaya hidup dalam terang kebenaran dan kasih-Nya. Tugas kita di dalam gereja saat ini adalah membawa terang sabda melalui kesaksian hidup yang nyata untuk mengubah hidup sesama yang masih berada dalam kegelapan. Harapan Tuhan Yesus ini juga merupakan cita-cita dari Santu Padre Pio: “Tetaplah dekat dengan Gereja Katolik di setiap saat, karena hanya Gereja yang dapat memberikanmu kedamaian sejati, sebab hanya dia yang memiliki Yesus, Raja Damai yang sesungguhnya, dalam Sakramen Maha Kudus.”

St. Padre Pio, doakanlah kami. Amen. 

PJ-SDB

Saturday, September 21, 2019

Homili 21 September 2019 - Pesta St. Matius, Rasul

Pesta St. Matius Rasul dan Penginjil
Ef. 4:1-7,11-13
Mzm. 19:2-3,4-5
Mat. 9:9-13

Tuhan melihat hatimu!

Saya selalu mengingat nasihat dari salah seorang Bapa Pengakuan saya: “Tuhan melihat hati bukan penampilan lahiriahmu”. Saya lalu mengamini perkataan beliau karena memang sudah terbukti di dalam Kitab Suci. Misalnya, kita mengingat kisah Samuel dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Pada suatu saat Tuhan mengutus Samuel ke rumah Isai untuk memilih salah seorang puteranya menjadi pengganti raja Saul yang sudah ditolak Tuhan Allah. Samuel tiba di rumah Isai dan melihat anak-anak Isai seperti Eliab, Abinadab dan Syama yang bertubuh besar dan tinggi. Samuel berpikir bahwa penampilan fisik itu turut menentukan pilihan Tuhan. Tetapi ternyata Tuhan memiliki cara memilih yang sangat berbeda. Tuhan berkata kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati." (1Sam 16:7). Tuhan memilih David, seorang gembala kecil, kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok. (1Sam 16:12). 

Pengalaman Samuel dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kiranya mirip dengan pengalaman Yesus di dalam dunia Perjanjian baru dalam hal memilih orang-orang yang akan mengikuti-Nya dari dekat. Kisah panggilan Lewi atau Matius benar-benar menggambarkan bahwa Tuhan Yesus melihat hati manusia bukan penampilan lahiriah atau cashingnya. Dikisahkan oleh Matius sendiri dalam Injil bahwa Tuhan Yesus melihatnya sedang duduk di rumah cukai. Tuhan Yesus memanggilnya dan Ia pun segera berdiri dan mengikuti Yesus. Matius tidak hanya mengikuti tetapi menerima Yesus di rumahnya dan menjamu-Nya bersama para pemungut cukai yang lain. Daerah Galilea adalah sebuah pusat perniagaan yang ramai maka para pemungut cukai bukan hanya Matius. Ada banyak pemungut cukai yang akhirnya duduk dan makan bersama Yesus di rumah Matius.  Tuhan Yesus memilih Matius bukan karena kuat dan hebatnya melainkan karena hati Matius terbuka pada kasih dan kerahiman Allah dalam diri Yesus Kristus. Hati Matius terbuka kepada Tuhan Yesus sehingga ia berani meninggalkan lahan basahnya untuk mengikuti Yesus dari dekat.

Tuhan Yesus Kristus sungguh-sungguh mengasihi Matius. Ia melihat Matius berarti Ia mengasihi Matius apa adanya. Matius mengalamik kasih Tuhan Yesus maka ia pun berani menginggalkan segalanya untuk mengikuti Yesus dari dekat. Matius adalah contoh orang sakit yang membutuhkan dokter. Dia adalah sosok orang berdosa yang mengalami panggilan Tuhan, berani menjawab panggilan dengan meninggalkan segalanya supaya layak mengikuti Tuhan Yesus. Tepatlah perkataan Yesus ini: “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mat 9:13). 

Matius adalah kita. Anda dan saya yang membaca Injil hari ini juga merupakan orang berdosa. Hanya Tuhan yang tidak berdosa dan Bunda Maria yang dikandung tanpa noda dosa. Maka kita hendaknya serupa dengan Matius yang berani membuka diri kepada belas kasih Tuhan Yesus dan meninggalkan segala-galanya supaya ia lebih bebas untuk mengasihi dan mengikuti Yesus. Satu pelajaran hidup bagi kita adalah janganlah kita memandang sesama manusia dari tampilan luarnya saja atau dari cashingnya saja. Kita perlu memandang hati manusia, tempat di mana cinta kasih Tuhan menjadi besar dari saat ke saat. Matius adalah kita yang berdosa tetapi menjadi baru karena jasa Yesus Kristus.

Apa yang harus kita lakukan? 

Santu Paulus dalam bacaan pertama mengakui dirinya sebagai seorang yang menderita karena dipenjara demi Tuhan. Pengurbanan Paulus ini bertujuan supaya jemaat hidup sepadan dengan panggilannya yakni untuk menjadi kudus. Hal praktis yang perlu dilakukan adalah menghayati kebajikan-kebajikan yang berasal dari Tuhan seperti: “Selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” (Ef 4:2-6). Semua kebajikan ini berasa dari Tuhan dan patut dilakukan sepanjang hidup gereja dari dahulu hingga saat ini. 

Kita perlu bersyukur atas kasih karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Tuhan Yesus mengenal kita dan memberikan kasih karunia-Nya yang berlimpah kepada kita semua. Tuhan Yesus memiliki kuasa untuk memberikan kepada para rasul kuasa-Nya. Ada yang bertugas sebagai pemberita Injil, gembala umat dan pengajar. Tujuannya yaitu memperlengkapi orang-orang kudus bagi tugas pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus. Semua orang beriman dipanggil kepada kekudusan dan kesempurnaan.

Tuhan melihat hatimu juga. Sebab itu berusahalah untuk bertobat dan kembalilah kepada Jalan Tuhan yang benar. Matius bertobat dan kembali ke jalan Tuhan yang benar. Anda dan saya juga dapat bertobat dan kembali ke jalan Tuhan, mengikuti-Nya dari dekat. Bertobat menjadi tanda sukacita yang besar. Sakramen tobat hendaknya menjadi sarana keselamatan bagi kita semua. Ayo, jangan takut untuk mengakui dosa dan salahamu sebab Tuhan melihat hatimu!

PJ-SDB

Friday, September 13, 2019

Homili 13 September 2019


Hari Jumad, Pekan Biasa ke-XXIII
1Tim. 1:1-2,12-14
Mzm. 16:1,2a,5,7-8,11
Luk. 6:39-42

Sungguh Kuberubah!

“Siapa yang mengatakan bahwa pertobatan itu sulit? Pertobatan itu tidak sulit ketika Tuhan menghendaki dan kita menurutinya.” Ini adalah sebuah kutipan perkataan dari seorang pembicara dalam sebuah acara Kebangunan Rohani Katolik (KRK). Bagi saya, kedengarannya mudah tetapi sebenarnya juga sulit. Orang berdosa supaya dapat bertobat maka akan berusaha semaksimal mungkin untuk berubah dalam hidupnya. Ia harus berani melawan arus terutama keinginan yang mengikat batinnya sehingga dia tidak bebas dan jatuh dalam dosa yang sama. Orang berdosa harus berprinsip: “Aku berubah, sungguh kuberubah dalam hidupku!” Perubahan yang radikal di dalam diri kita akan mendekatkan kita dengan Tuhan, sumber kekudusan dan kesempurnaan.

Hari ini kita mendapat kekuatan dari St. Paulus. Ia menulis dua buah surat kepada Timotius yang disapanya sebagai ‘anakku yang sah dalam iman’. Siapakah Timotius itu? Timotius, dalam bahasa Yunani: Τιμόθεος; (Timótheos) berarti "memuliakan Tuhan" adalah seorang uskup Kristen pada abad pertama yang meninggal sekitar tahun 97 Masehi. Beliau adalah rekan sepelayanan Santu Paulus dalam perjalanan misionernya. Pada awal bagian suratnya yang pertama, Paulus menulis isi hatinya: “Dari Paulus, rasul Kristus Yesus menurut perintah Allah, Juruselamat kita, dan Kristus Yesus, dasar pengharapan kita, kepada Timotius, anakku yang sah di dalam iman: kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan Kristus Yesus, Tuhan kita, menyertai engkau.” (1Tim 1:1-2). Bagian ini sangat kaya maknanya bagi kita sebagai pengikut Kristus. Paulus tidak sungkan untuk menyatakan kesaksian hidupnya sebagai rasul Kristus. Yesus Kristus sendiri adalah Juruselamat, dasar pengharapan kita. Dia memohon kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera bagi Timotius anaknya yang sah dalam iman. Kita belajar sebuah relasi kasih antara Paulus dengan Tuhan Yesus dan Paulus dengan Timotius, yang begitu luhur adanya.

Selanjutnya, Paulus menyampaikan pengalaman pertobatannya kepada Timotius. Pengalaman pertobatannya ini ditandai dengan rasa syukurnya kepada Tuhan Yesus Kristus sebab Tuhan Yesus sendiri telah menguatkannya dan menganggapnya setia untuk melakukan perutusan istimewa yaitu mewartakan Injil. Ia merasa tidak layak sebab sebelumnya memang dia adalah seorang penghujat dan penganiaya yang ganas. Tetapi kunci pertobatan Paulus yang disadari dan diakuinya adalah: Tuhan Yesus mengasihaninya. Belas kasih Tuhan Yesus mengubah seluruh hidup Paulus sehingga dia berubah dari Saulus menjadi Paulus. Paulus jujur bahwa pengalaman ia jatuh dalam dosa merupakan pengalaman yang dilakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman.  Kasih Tuhan benar-benar dahsyat karena mengubah seluruh hidup Paulus. Ia berubah dan sungguh benar-benar berubah menjadi milik Tuhan.

Proses perubahan yang radikal dalam diri Paulus dapat terlaksana karena bimbingan Tuhan Yesus sendiri. Saulus menjadi Paulus semata-mata karena kasih Tuhan Yesus, yang mengantarnya untuk mengalami dan mengenal terang-Nya. Dalam hal ini Paulus mengenal terang Tuhan Yesus yang bangkit dengan mulia. Tuhan Yesus bertindak sebagai guru kehidupan yang baik dan mengubah hidup Paulus. Mungkin saja hal yang terjadi di dalam diri kita itu berbeda. Banyak kali kita tidak jauh berbeda dengan orang buta yang membimbing orang buta sehingga jatuh dalam satu lubang yang sama. Kita berpikir sudah layak di hadirat Tuhan, ternyata bukanlah demikian. Kita masih orang berdosa, yang hidup dalam kelemahan di hadapan Tuhan dan mengharapkan kekuatan baru dari Tuhan untuk berubah atau bertobat. Makah al terpenting adalah tetap mempercayakan diri kepada Tuhan dan memohon anugerah pertobatan dari pada-Nya.

Satu hal lain yang selalu ada dalam hidup kita sehingga membuat kita sulit berubah adalah selalu berpikiran negatif kepada orang lain. Pikirkanlah saat-saat di mana kita hanya melihat ‘selumbar dalam mata saudara kita sedangkan balok di mata sendiri kita tidak ketahui’. Kita harusnya merasa malu karena setiap kejahatan yang kita pikirkan pada sesama adalah proyeksi kejahatan yang ada di dalam diri kita. Ibarat kita menunjukkan dua jari tangan ke depan dan tiga jari tangan menghadap kepada diri kita sediri. Perubahan yang radikal dapat terjadi ketika kita mengenal diri kita, semua kelebihan dan kekurangan kita, segala dosa dan salah kita dan sambil berlutut kita memohon pengampunan dari Tuhan.

PJ-SDB

Thursday, September 12, 2019

Homili 12 September 2019


Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXIII
Kol 3:12-17
Mzm 150:1-6
Luk 6:27-38

Seratus persen Katolik!

Banyak di antara kita yang sudah biasa mendengar perkataan Mgr. Soegijopranoto yakni menjadi ‘Orang Katolik 100% dan orang indonesia 100%’. Menjadi orang katolik 100% berarti kita menunjukkan jati diri kita sebagai orang katolik yang sudah dibaptis, setia dalam melakukan tugas dan kewajiban sebagai warga gereja. Jadi, seorang warga Negara Indonesia yang beragama Katolik, oleh karena imannya kepada Tuhan Yesus Kristus, terlibat aktif dalam mewujudkan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat dan bangsa Indonesia, khususnya mereka yang kecil lemah miskin, tersingkir dan difabel (Bdk GS 1, Mat 25: 40). Gereja sebagai umat Allah, haruslah menjadi pelopor kebaikan dan kasih kepada Tuhan dan sesama manusia. Santu Paulus dan Tuhan Yesus membantu kita melalui bacaan-bacaan liturgi hari ini untuk bertumbuh sebagai pribadi yang serratus persen katolik dan serratus persen Indonesia.

Sosok pertama adalah santu Paulus. Dalam bacaan pertama, beliau mengingatkan jemaat di Kolose untuk menyadari panggilan luhur mereka. Ia memberikan keyakinan kepada jemaat di Kolose bahwa mereka adalah pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi Allah. Tentu saja ini nuansa optimisme yang diberikan Paulus kepada Gereja di Kolose dan kita semua yang membaca dan merenungkannya saat ini. Paulus selanjutnya berharap supaya kita semua mengenakan belas kasihan, kemurahan dan kerendahana hati, kelemahlembutan dan kesabaran dan saling mengampuni. Dari semua kebajikan yang ada, Paulus berharap supaya kita mengenakan cinta kasih sebagai tali pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.

Marilah kita merenungkan perkataan Paulus ini. Kita semua membutuhkan kesadaran yang jernih bahwa kita juga merupakan pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya. Sebagai pilihan Allah maka kita berusaha untuk menghayati kebajikan-kebajikan dari Allah sendiri seperti memiliki hati yang berbelas kasih kepada sesama, murah hati, rendah hati, lemah lembut, sabar dan suka mengampuni. Semua ini ada di dalam diri Yesus sendiri. Dia tidak hanya mengatakan tetapi lebih dari itu menunjukkannya di dalam hidup yang nyata. Misalnya, kita selalu berdoa: “Yesus yang lemah lembut dan rendah hati, jadikanlah hati kamik seperti hati-Mu”. Saya membayangkan bahwa semua kebajikan ini kalau dihayati dengan baik oleh Gereja maka kita semua benar-benar Kristen, artinya Kristus kecil yang sedang hidup dan berjalan di tengah dunia saat ini. Sebaliknya kita harus merasa malu, ketika mengakui diri sebagai orang katolik, mengikuti Yesus Kristus namun hidup jauh dari kehidupan Tuhan Yesus sendiri.

Tuhan Yesus sendiri menurut Paulus, telah memanggil dan membentuk kita untuk menjadi satu tubuh dengan-Nya. Proses pembentukan ini terjadi sebab ada damai Kristus, sabda dan kekayaannya melingkupi hidup kita. Maka sebagai tugas dan panggilan Gereja sebagai umat Allah adalah menyanyikan Mazmur, puji-pujian dan nyanyian rohani, untuk mengucap syukur kepada Tuhan Allah di dalam hati kita. Di samping itu hendaknya kita juga sadar diri bahwa apa yang kita ucapkan dan lakukan dalam hidup itu demi nama Tuhan Yesus Kristus bukan demi diri kita sendiri. Kita ingat istilah ini: CHRISTIAN, apabila kita membuat penggalan kata akan menjadi CHRIST-IAN. Kita dapat mengatakan: CHRIST, I Am Nothing! Tuhan Yesus adalah segalanya bagi kita.

Sosok kedua adalah Tuhan Yesus Kristus. Pengajaranan-Nya dari Injil hari ini, benar-benar mengubah arah hidup kita secara radikal. Bagi saya, menjadi pengikut Kristus yang radikal memang harus demikian, karena Tuhan Yesus sendiri melakukannya di dalam hidup pribadi-Nya. Apa yang Tuhan Yesus ajarkan kepada kita pada hari ini? Pertama, mengasihi musuh. Kedua, selalu berbuat baik kepada orang yang membenci kita. Ketiga, memohon berkat bagi orang-orang yang mengutuk kita. Keempat, mendoakan orang-orang yang mencaci maki kita. Kelima, berpasrah dan melepaskan. Keenam, selalu bermurah hati. Ketujuh, jangan menghukum sesama lain. Ketujuh ajaran ini benar-benar mengorientasikan kita untuk menjadi pengikut Kristus sejati.

Pada hari ini kita berani bermimpi dan berharap untuk menjadi seratus persen katolik, serratus persen Indonesia. Kita menjadi seratus persen katolik ketika kita mampu melakukan dalam hidup yang nyata semua pengajaran Yesus dan wejangan santu Paulus di atas. Memang tidaklah mudah, namun kita perlu melakukannya sampai tuntas melalui kesaksian hidup kita. Kita dapat menjadi seratus persen Indonesia kalau benar-benar melakukan perbuatan amal kasih kepada orang-orang kecil di negeri ini.

PJ-SDB

Wednesday, September 11, 2019

Food For Thought: Berbahagialah yang miskin...


Berbahagialah yang miskin!

Pada hari Minggu Biasa ke-XXIII, saya berkesempatan untuk merayakan misa kudus di sebuah stasi baru di Paroki Maria Auxiliadora, Comoro, Dili, Timor Leste. Stasi ini terletak di pinggiran kali kering Comoro, atau orang setempat menyebutnya Mota Comoro. Pekerjaan utama penduduk setempat adalah berkebun dan mengumpulkan pasir dan kerikil di kali kering di depan stasi itu. Maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah orang-orang sederhana dan lebih tepat lagi mereka miskin. Mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih, dan makanan secukupnya.

Meskipun masyarakatnya masuk kategori miskin namun mereka berusaha untuk kaya dalam iman. Mereka bahu membahu membangun sebuah kapel sederhana untuk memfasilitasi umat setempat. Kapel sudah selesai dibangun dan masih harus disempurnakan. Temboknya diperhalus, pengadaan bangku Gereja dan perlengkapan lainnya di dalam Gereja supaya benar-benar layak untuk menjadi sebuah tempat ibadah. Semua ini masih dalam taraf perjuangan umat sederhana, bak anawim. Mereka boleh miskin namun kaya dalam iman! Saya sendiri sampai berangan-angan, kalau saja saya ini seorang pengusaha maka saya akan membuat kapel ini menjadi indah untuk Tuhan. Hehe, harus berani bermimpi!

Saya tertarik dengan perkataan Tuhan Yesus hari ini: "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Luk 6:20). Paus Fransiskus memberi sebuah komentar yang bagus tentang Sabda Bahagia ini, dengan berkata: “Kekayaan tidak menjamin apa-apa. Justru ketika kita merasa kaya, kita menjadi puas diri sehingga kita tidak menyisakan ruang bagi Sabda Allah, bagi kasih akan sesama, atau bagi kegembiraan akan apa yang paling penting dalam hidup ini. Dengan demikian, kita sama sekali tidak memperoleh kekayaan terbesar dalam hidup. Itulah mengapa Yesus menyebut berbahagialah mereka yang miskin dalam roh, mereka yang miskin hatinya, sebab disanalah Tuhan dapat masuk dengan kebaruan-Nya yang abadi.” (Gaudete et Exultate, 68). Paus bahkan mengatakan ‘Menjadi miskin dalam hati itulah kekudusan’ (GE, 70).

Pada hari ini kita berusaha untuk membaharui diri kita di hadapan Tuhan dan sesama. Banyak kali kita berada di zona nyaman sehingga tidak ada ruang bagi Tuhan dan Sabda-Nya. Banyak kali kita tidak memiliki hati untuk mengasihi kaum miskin yang ada di sekitar kita. Padahal pada wajah kaum miskin itu kita berjumpa dengan Yesus yang hidup di tengah-tengah kita saat ini.

PJ-SDB

Homili 11 September 2019


Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXIII
Kol. 3:1-11
Mzm. 145:2-3,10-11,12-13ab
Luk. 6:20-26

Jangan ada dusta di antara kita

Banyak di antara kita yang masih ingat tembang kenangan tempo doeloe dari Broery Marantika dan Dewi Yull, berjudul 'Jangan ada dusta di antara kita'. Ada kata-kata dalam lagu itu mengatakan: "...Dan kini semua kau katakan padaku, Jangan ada dusta di antara kita, kasih..." Lagu ini merupakan kisah kasih dua anak manusia yang sangat normal. Ada rasa kasih, kecewa, dan menyesal dalam hati karena sebelum menyatu memang sudah orang lain yang dikenal dan masuk dalam kehidupan pribadi. Maka jalan terbaik adalah terbuka dang jujur satu satu sama lain sebagai pasangan hidup. Pasangan yang bahagia itu tidak ada dusta dalam hubungan mereka. Apa untungnya saling berdusta satu sama lain?

Pada hari ini kita mendengar nasihat-nasihat yang indah dari St. Paulus kepada jemaat di Kolose. Setelah memberikan wejangan tentang hidup dalam kepenuhan dengan Kristus, ia melanjutkan wejangan-wejangan yang indah tentang bagaimana menjadi manusia baru di dalam Kristus. Ia mula-mula mengingatkan jemaat untuk mengingatkan kembali peristiwa Yesus yaitu Ia telah hidup, wafat dan bangkit dari kematian-Nya. Kebangkitan Kristus adalah kebangkitan kita juga. Sebab itu hidup kita tersembunyi bersama Kristus di dalam Allah. Kelak, Kristus menyatakan diri-Nya dan kita juga menyatakan diri bersama dengan Dia. Maka tugas dan kewajiban kita adalah mencari ‘perkara yang di atas, di mana Kristus berada bukan perkara di bumi.

Bagaimana cara kita mencari perkara yang di atas? Paulus mengatakan bahwa perlu menyadari diri kita sebagai manusia yang lemah dan pernah mengalami sisi-sisi kegelapan di dalam hidup kita. Sisi-sisi kegelapan adalah dosa dan salah kita. Itu adalah hidup lama yang harus berani kita lepaskan atau tinggalkan. Kita perlu mematikan segala sesuatu yang duniawi: percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat, keserakahan dan menyembah berhala. Buah dari dosa semacam ini adalah maut karena murka Allah. Sekarang ini, kita berani membuangnya: marah, geram, kejahatan, fitnah,  dan kata-kata kotor yang keluar dari mulut dan janganlah saling mendustai satu sama lain. Paulus memanggil kita semua untuk membangun semangat tobat. Kita tidak harus membeda-bedakan sesama kita, namun kita semua tetaplah satu di hadapan Tuhan yang satu dan sama. Di dalam Tuhan kita benar-benar menjadi manusia baru. Prinsip penting bagi kita adalah Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu (Kol 3:11).

Nasihat-nasihat Paulus ini masih sangat aktual dengan hidup kita sebagai pengikut Kristus. Kita masih memiliki sisi-sisi gelap yang menguasai tubuh dan jiwa kita. Pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian hidup kita selalu berkaitan dengan hal-hal menyangkut percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat, keserakahan, menyembah berhala. Banyak kali terungkap dalam sikap marah, geram, kejahatan, fitnah, kata-kata kotor dan saling berdusta satu sama lain. Semua hal ini masuk dalam pengalaman pribadi kita dan hendaknya kita berusaha untuk melepaskannya di dalam hidup ini. Apa untungnya kita berbuat dosa dan menjauhkan diri dari sumber segala kebaikan? Kepuasan dosa hanya bersifat sementara, kematian adalah akibat fatal dari dosa. Orang tidak akan menjadi pribadi yang bahagia ketika ia tidak berani bertobat dengan mencari perkara yang di atas.

Musa dalam Kitab Perjanjian Lama, dikisahkan berada di puncak gunung Sinai untuk berjumpa dengan Tuhan. Ia turun gunung dengan membawa kebahagiaan berupa dua loh batu yang berisi sepuluh perintah Allah. Tuhan Yesus semalam-malaman berada di bukit untuk berdoa. Ketika Dia turun dari bukit, Ia memanggil para murid yang disebut-Nya rasul atau utusan-Nya. Di samping memilih para utusan, Yesus memandang dan mengajar murid-murid-Nya tentang Sabda Bahagia dan usaha untuk menghindari kecaman-Nya. Sapaan bahagia di sampaikan Yesus kepada orang-orang miskin, yang hanya mengandalkan Tuhan sebab mereka akan memiliki Kerajaan Allah, bagi orang lapar karena mereka akan dipuaskan, bagi orang yang menangis karena mereka akan tertawa dan mereka yang dibenci, dikucilkan, dicela dan ditolak karena Anak Manusia. Upah mereka besar di surga.

Namun Tuhan Yesus juga menyampaikan warning kepada para murid-Nya dengan menggunakan kata celakalah. Celakalah bagi orang kaya karena mengandalkan kekayaannya, mereka yang kenyang, yang tertawa dan mereka yang mendapat pujian. Mereka dikecam karena mereka lupa diri di hadapan Tuhan dan sesama manusia. Mereka suka berdusta atau menipu diri karena tidak memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Mereka terbiasa untuk menertawakan sesama yang menderita.

Hari ini Tuhan menasihati kita supaya jangan ada dusta di antara kita dengan Tuhan dan sesama. Jangan ada dusta di antara kita yang selalu berdalil lupa sehingga selalu jatuh ke dalam dosa yang satu dan sama. Saya mengingatkan kembali daftar dosa yang disampaikan santu Paulus: percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat, keserakahan dan menyembah berhala, marah, geram, kejahatan, fitnah,  dan kata-kata kotor yang keluar dari mulut dan janganlah saling mendustai satu sama lain. Banyak kali kita menipu diri bahwa kita memang seperti ini. Bertobatlah dan baharuilah hatimu.

Janganlah ada dusta di antara kita ketika kita menyadari diri sebagai pribadi yang sedang berusaha untuk berjalan dalam jalan kekudusan. Kita menjawabi sapaan berbahagialah dari Tuhan Yesus dengan mewujudkan diri kita sebagai sosok yang miskin, lapar, menangis dan dibenci karena bersekutu dengan Yesus. Sebaliknya celakalah kita kalau kita lupa diri dan tertawa di atas penderitaan sesama. Jangan ada dusta di antara kita kalau kita benar-benar menyadari kasih dan kebaikan Tuhan. Apakah anda berbahagia dalam hidupmu saat ini?

PJ-SDB

Sunday, September 8, 2019

Food For Thought: Apakah anda bernilai di mata Tuhan?


Bernilai di mata Tuhan!

Adalah Jimmy Carter. Mantan Presiden Amerika Serikat ini pernah berkata: “Komitmen kami untuk hak asasi manusia harus mutlak, hukum kita adil, keindahan alam kita dilestarikan; yang kuat tidak harus menganiaya yang lemah dan martabat manusia harus ditingkatkan.” Perkataan ini menggambarkan  bagaimana besarnya perhatian setiap orang terhadap orang lain di sekitarnya. Perhatian kepada keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia. Tidak ada hitung menghitung kalau menyangkut martabat manusia.

Ada sebuah kisah di dalam Kitab Suci yang membuat saya merenung lebih dalam lagi. Kisah yang dimaksud adalah tentang Onesimus dalam surat Paulus kepada Filemon. Onesimus adalah seorang hamba dari Filemon. Nama Onesimus berarti berguna. Ia melakukan pekerjaannya sebagai seorang hamba, namun pada suatu kesempatan ia melarikan diri dengan membawa harta benda Filemon. Ia berhasil ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Di dalam penjara ini dia menemukan sosok Paulus yang juga sedang dipenjara. Onesmus lalu menceritakan seluruh pengalamannya kepada Paulus. Paulus tergugah dan menulis surat kepada Filemon supaya nantinya dapat menerima Onesimus dengan baik. Surat itu dibawa sendiri oleh Onesimus untuk diberikannya kepada Filemon. Dengan menyebut nama Onesimus, kita perlu mengingat sosok Filemon. Nama Filemon berarti penuh kasih. Dia merupakan salah seorang warga Kolose. Ia merupakan orang terkemuka dan memiliki banyak budak termasuk Onesimus. Rumahnya menjadi markas bagi para pengikut Kristus di Kolose.

Pada hari kita belajar bagaimana Santu Paulus mencari jalan untuk meredam isu perlakuan yang tidak adil dari tuan atau mandor dengan hamba atau anak buah. Ia menulis surat dengan nada yang menasihati dan berharap supaya nilai martabat manusia haruslah diperhatikan. Seorang hamba memang tidak lebih tinggi dari tuannya, namun tanpa hamba, semua pekerjaan tuannya juga tidak dapat selesai pada waktu yang diinginkan. Para hamba memiliki harkat dan martabat, nilai hidup yang harus dijunjung tinggi.

Sekarang mari kita memikirkan para pembantu rumah tangga, para sopir, para pekerja musiman. Banyak kali mereka ini mengalami perlakuan yang tidak adil dalam masyarakat. Mereka diukur berdasarkan uang bukan melihat manusia sebagai manusia. Ukuran ini ditambah dengan kekerasan verbal dan fisik. Betapa susahnya menjadi Oshin di saat mudik. Hanya saja ketika ada Oshin, jarang diperhatikan, malah dimarahi dan diperlakukan tidak adil. Mari kita menghargai sesama yang lain sebab masih banyak Onesimo di sekitar kita.

Damai Tuhan,

PJ-SDB

Homili Hari Minggu Biasa ke-XXIII/C - 2019


Hari Minggu Biasa XXIII/C
Keb. 9:13-18
Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17
Flm. 9b-10,12-17
Luk. 14:25-33

Mewujudkan Pribadi Berhikmat

Seorang guru Sekolah Dasar membagikan pengalamannya. Ia pernah bertanya kepada para siswa di kelasnya tentang cita-cita mereka di masa depan. Ada siswa yang mengatakan keinginannya untuk menjadi petani, pedagang, guru, dokter, tentara, pilot dan presiden. Hanya ada seorang siswa yang duduk, diam dan tenang. Guru itu kembali bertanya secara khusus kepada siswa itu dan ia menjawab: “Saya ingin menjadi seorang pribadi yang berhikmat”. Sejenak, guru ini kaget dengan jawaban yang begitu tenang dari siswa ini, namun dengan cepat ia menyadari makna sebuah hikmat dalam diri manusia. Selanjutnya, ia menjelaskan kepada para siswanya bahwa entah menjadi petani, pedagang, guru, dokter, tentara, pilot dan presiden, pertama-tama ia haruslah menjadi pribadi yang berhikmat. Hikmat berarti kebijakan atau kearifan manusia sebagai pribadi dan merupakan rahmat dari Tuhan sang Pencipta. Tuhan telah menciptakan manusia seturut citra-Nya maka Ia pun memberikan hikmat kepada manusia sesuai kehendak-Nya sendiri.

Ada sebuah pertanyaan yang membantu refleksi kita yakni apa persepsi umum tentang seorang manusia yang berhikmat? Dalam pengalaman hidup setiap hari, kita selalu mendengar kriteria-kriteria tertentu tentang pribadi yang hidup berhikmat. Ada orang yang beranggapan bahwa pribadi yang berhikmat itu memiliki pendidikan yang tinggi. Anggapan semacam ini tidak selamanya benar karena ternyata banyak orang boleh berpendidikan tinggi namun masih memiliki perilaku yang tidak sepadan dengan pendidikannya. Misalnya, tingkat kematangan berpikir dan menganalisis suatu persoalan masih kekanak-kanakan. Anggapan lain dalam masyarakat bahwa orang berhikmat adalah mereka yang memiliki banyak pengalaman hidup. Anggapan ini tidak selamanya benar, sebab mereka yang sudah lama berkarya masih memiliki perilaku dan tutur kata yang tidak sepadan dengan pengalaman kerja mereka. Misalnya orang itu selalu bersungut-sungut, padahal sudah lama bekerja di tempat itu. Anggapan yang sama berlaku bagi orang yang sudah memasuki usia senja. Ada saja pikiran bahwa pengalaman masa muda dan di dalam dunia kerja menjadikan kaum tua menjadi bijaksana, ternyata bukan demikian. Banyak orang berusia tua menunjukkan dirinya sebagai orang yang tidak berhikmat. Misalnya orang tua yang suka mengeritik dan membandingkan masa lalunya dengan masa kini.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini membuka wawasan kita untuk bertumbuh sebagai pribadi yang berhikmat. Bacaan pertama dari Kitab Kebijaksanaan membantu kita untuk bertumbuh sebagai pribadi yang berhikmat, dewasa serta mampu menyelamatkan sesama manusia, berdasar pada hikmat dari Tuhan sendiri. Ada sebuah pertanyaan awal yang menarik perhatian kita: “Manusia manakah dapat mengenal rencana Allah, atau siapakah dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan?” (Keb 9:13). Manusia tidak mampu menyelami rencana dan kehenak Tuhan. Hanya Tuhan sendiri saja yang mampu membuka pikiran manusia untuk memahami-Nya, meski Dia tetaplah sebuah Misteri. Manusia hanya memiliki pikiran manusiawi yang fana, hina dan pertimbangannya yang tidak tetap. Mengapa manusia berlaku demikian? Jawaban pastinya adalah manusia memiliki jiwa yang masih dibebani oleh badan yang fana dan kemah dari tanah memberatkan budi yang banyak berpikir.

Perlu kita ketahui juga bahwa hikmat yang dimiliki manusia berasal dari Tuhan. Sebab itu manusia diharapkan untuk tetap memohonkannya dari Tuhan. Manusia membuka dirinya kepada Tuhan dan membiarkan Tuhan membentuknya menjadi pribadi yang berhikmat. Tuhan menganugerahkan hikmat-Nya melalui Roh Kudus-Nya. Roh Tuhan mengajarkan manusia untuk berkenan kepada Tuhan. Hikmat dalam hal ini Tuhan sendirilah yang menyelamatkan manusia. Semua ekspresi ini sangat indah dari Kitab Kebijaksanaan.

Tuhan menunjukkan hikmat-Nya dengan memberikan pengampunan dan penebusan berlimpah kepada manusia. Seorang pribadi yang berhikmat tentu akan membuka pikirannya untuk menerima dan mengampuni setiap pribadi manusia yang telah bersalah sebagaimana Tuhan sendiri sudah melakukannya di dalam diri manusia berhikmat. Kisah Onesimus sangat indah untuk kita renungkan bersama sebagai pribadi yang berhikmat. Onesimus (artinya berguna) adalah budak Filemon yang tinggal di Kolose. Ia melarikan diri dari rumah Filemon, tuannya namun berhasil ditangkap dan dipenjarakan, satu sel dengan Paulus. Onesimus kemudian meminta perlindungan kepada Paulus. Paulus lalu mengirimkan surat kepada Filemon agar menerima kembali dan memperlakukan Onesimus dengan baik. Memang saat itu ada peraturan bahwa orang yang menyembunyikan para budak akan mendapat hukuman dari kekaisaran Romawi. Paulus menunjukkan hikmatnya dengan mengembalikan Onesimus kepada Filemon, bukan lagi sebagai hamba melainkan sebagai saudara. Ia menyatukan sebuah relasi antar pribadi yang telah patah anatara Onesimus dan Filemon.

Banyak kali kita mengalami masalah dan persoalan hidup. Tugas kita yang mulia adalah menunjukkan kelembutan hati untuk menyatukan hubungan yang telah patah, menghindari kekerasan verbal dan fisik. Ada pribadi-pribadi tertentu yang mengambil jalan pintas dengan melakukan kekerasan dan tidak menghasilkan apa-apa. Relasi antar pribadi menjadi dangkal dan mudah hancur. Orang tidak saling menerima sebagai saudara. Itulah hidup kita yang nyata di hadapan Tuhan. Banyak Onesimus yang menderita karena Filemon-Filemon zaman now. Sosok Paulus kita butuhkan sebagai pribadi berhikmat untuk mendamaikan dan menyatukan.

Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk menjadi pribadi berhikmat dalam mengikuti-Nya dari dekat. Bagaimana menjadi pribadi yang berhikmat di hadirat Yesus? Ia meminta kita untuk berani melepaskan segala hal milik kita. Berani memiliki sikap lepas bebas yang membuka jalan untuk bersatu dengan Tuhan. Yesus berkata: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk 14:26-27). Mungkin kita kaget dengan perkataan Tuhan Yesus yakni ‘membenci’. Kata ini bukanlah bernuansa negatif dalam paham semitis. Tuhan Yesus hendak menegaskan tentang sikap manusia yang berpegang teguh hanya kepada Tuhan, selalu berharap kepada penyelenggaraan ilahi dari Tuhan bukan berharap kepada manusia. Tuhan haruslah menjadi prioritas utama baru manusia.

Pribadi yang berhikmat akan berusaha untuk membuat perencanaan yang matang tentang hidupnya. Dicontohkan dengan orang yang hendak membangun Menara harus memiliki perencanaan yang bagus sehingga bisa membanggunya sampai tuntas. Raja yang hendak berperang juga perlu menyiapkan perencanaan pasukannya untuk melawan musuh. Nah di sini hikmat manusia ditunjukkan dengan membentuk sebuah perencanaan yang matang dan berusaha untuk melepaskan diri dari kepemilikannya sehingga ia hanya berfokus kepada Tuhan.

Apakah anda seorang berhikmat? Orang berhikmat akan mengandalkan kasih karunia dan penyelenggaraan ilahi dari Tuhan dalam hidupnya. Orang berhikmat akan memperhatikan nilai-nilai luhur hidup manusia dan menerimanya apa adanya bukan ada apanya. Orang berhikmat akan berusaha melepaskan diri dari kepemilikannya supaya lebih leluasa menerima Tuhan sebagai segalanya dalam hidupnya. Yesus berkata: “Di mana hartamu berada, hatimu juga berada di sana” (Mat 6:21). Sikap lepas bebas adalah sebuah jalan berhikmat untuk berbahagia bersama Tuhan dan sesama kita.

PJ-SDB

Saturday, September 7, 2019

Food For Thought: Keluarga, surgaku


Keluarga, surgaku!

Pada sore hari ini, saya mendapat kunjungan dari sebuah keluarga. Sudah lama keluarga ini meminta waktu untuk bertemu sekaligus berbincang-bincang. Saya memperhatikan putera sulungnya mengenakan baju kaos dengan tulisan di dadanya: FAMILY= Father And Mother I Love You. Anak kecil ini mungkin tidak memperhatikan tulisan pada bajunya ini. Andaikan dia sudah bisa membaca dan mengerti Bahasa Inggris maka dia pasti mengerti tulisan ‘Family’ namun dengan usia yang masih sekitar setahun  maka tentu dia belum mengerti apa-apa. Saya lalu bertanya kepada pasutri ini tentang baju yang dikenakan puteranya. Mereka menjawab dengan penuh keyakinan: “Ini adalah salah satu komitmen kami sebelum menikah yakni kami harus mendidik anak untuk mencintai keluarga” Wah, saya merasa bangga dengan keluarga ini dan berkata dalam hati: ‘Luar biasa!’

Apa yang istimewa dari sebuah keluarga katolik? Dari pengalaman pastoral saya, hampir semua keluarga memberi jawaban yang sama yakni cinta. Dalam hal ini, para pasutri dan anak-anak mengatakan hal yang sama: “Saya merasa yakin dikasihi tanpa syarat apapun”. Maka yang terjadi di dalam sebuah keluarga adalah hidup bersama yang indah itu penuh dengan kasih sayang, solidaritas, penghargaan, komitmen untuk tidak mementingkan diri sendiri, saling menolong dan membangun rasa adil. Hal lain yang turut menghiasi sebuah keluarga adalah setiap anggota keluarga itu merasa diakui, diterima apa adanya dan martabatnya dihormati. Singkatnya, cinta adalah segalanya. Semua yang diungkapkan ini begitu indah meskipun harus diakui masih sulit untuk dilakukan dalam hidup nyata.

St. Paus Paulus ke-VI dalam kunjungannya ke Nazaret, mengungkapkan pengalaman rohaninya seperti ini: “Keluarga Nazaret mengajari kita arti kehidupan keluarga, harmoni kasih sayang, kesederhanaan dan keindahan mendalam, karakter yang kudus dan tak bernoda, semua itu mengajarkan betapa manis dan tidak tergantikannya ajaran keluarga kudus, betapa mendasar dan tak tertandingi perannya dalam hidup bermasyarakat.” Ini adalah sebuah ekspresi yang luhur tentang keindahan keluarga kudus dari Nazaret yakni Yesus, Maria dan Yusuf.

Mari kita kembali ke dalam keluarga kita masing-masing. Baik atau tidak baik keluarga kita selalu yang terbaik. Keluarga di mana kita memiliki ibu, ayah dan saudari saudara selalu menjadi yang terbaik. Anda boleh bermimpi tentang keluarga ideal dan memang keluarga ideal adalah keluargamu sendiri. Sebab itu terimalah, milikilah dan cintailah keluargamu. Jangan pernah mengidolakan keluarga lain di dalam keluargamu sendiri. Rumput tetangga boleh hijau tetapi rumput di dalam rumah sendiri jauh lebih subur, tidak hanya hijau saja.

Damai Tuhan,

PJ-SDB