Monday, August 31, 2020

Food For Thought: Betapa sulitnya mengapresiasi teman


Betapa sulitnya mengapresiasi teman

Ada beberapa pertanyaan berikut ini mengawali Food for Thought akhir hari ini: Apakah anda pernah mengapresiasi temanmu dengan tulus hati? Apakah anda pernah merasa bahagia karena temanmu sukses? Apakah anda pernah iri hati karena hidup temanmu lebih beruntung dari padamu? Ketiga pertanyaan ini kiranya mewakili suasana batin kita semua selama kita masih hidup berdampingan dengan saudara- saudari dan orang lain yang ada di sekitar kita. Ketiga pertanyaan ini juga menjadi petunjuk apakah kita adalah manusia yang memiliki kepekaan sosial atau tidak memilikinya. Apakah kita melihat dan mendengar sesama kita atau tidak.

Sekarang saya mengajak anda untuk berpikir sejenak: Pikirkanlah dalam acara Bible Sharing selama bulan Kitab Suci Nasional atau selama pertemuan untuk pendalaman iman di lingkunganmu. Ada berapa orang yang sangat bebas untuk membagikan pengalamannya (sharing) tanpa takut dan malu-malu. Namun ada juga orang yang tidak berani membuka mulut untuk sharing pengalaman dari Sabda Tuhan atau kebaikan Tuhan yang sudah sedang dialaminya. Pengalaman semacam ini bukan berarti mereka tidak mau sharing, tetapi mulut mereka benar-benar sudah dikunci oleh sesama yang lain karena ketika mereka sharing, ternyata sharingnya itu dibantah atau dianggap mengada-ada oleh orang lain. Sebenarnya sharing pribadi itu tidak boleh dibantah dalam kelompok, itu tidak elok tetapi ada orang yang kesukaannya memang tidak mau sharing tetapi senang membantah sharing orang lain. Contoh lain, dalam Lectio Divina, ada berapa orang yang terang-terang menyatakan apresiasinya untukmu karena sharingmu bagus dan transformatif? Kadang-kadang tak seorang pun mengungkapkan apresiasinya dengan jujur dan tulus kepadamu. Orang-orang yang sehari-hari bersama dengan anda ternyata selalu lupa untuk mengapresiasi dan mendukungmu. Orang-orang yang berada di luar, jauh lebih mengapresiasi dirimu dan mau mendukungmu supaya anda lebih sukses lagi dalam segala hal.

Ingatlah, Tuhan Yesus saja ditolak Nazareth oleh orang-orang sekampung-Nya. Padahal saat itu Dia sudah terkenal di Galilea karena menghadirkan Kerajaan Allah. Ia mengajar dengan kuasa dan wibawa tidak seperti para pemimpin Yahudi. Ia membuat tanda-tanda heran seperti yang sakit disembuhkan, yang buta melihat, yang tuli mendengar, yang lumpuh berjalan, yang kusta sembuh, setan, roh jahat takluk dan yang mati dibangkitkan. Semua orang terkagum-kagum dengan Yesus di Galilea dan sekitarnya, tetapi di Nazaret malah ditolak dan nyaris dibunuh. Yesus mengatakan seorang nabi tidak dihormati di kampung halamannya. Yesus Tuhan kita diperlakukan demikian apalagi kita para pengikut-Nya. Hanya saja banyak kali kita para pengikut-Nya malah yang menolak Dia. Pikirkanlah, apakah anda berani membuat tanda salib di tempat umum? Apakah anda berani menunjukkan diri atau mengakui diri sebagai pengikut Kristus? Ternyata masih ada yang malu untuk bersaksi bahwa dia mengikuti Kristus tersalib. Ada yang malah menyangkal bahwa dia bukan pengikut Yesus Kristus karena takut kursinya hilang, takut persahabatannya berakhir. Begitulah mentalitas bekicot segelintir pengikut Yesus Kristus zaman now.

Tuhan memberkatimu,

PJ-SDB

Homili 31 Agustus 2020


Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXII
1Kor. 2:1-5
Mzm. 119:97,98,99,100,101,102
Luk. 4:16-30

Siap Mewartakan Injil

Saya pernah berjumpa dengan seorang misionaris. Ia mengaku sedang berkarya di tanah misi selama lebih kurang tiga puluh tahun. Mula-mula ia ditempatkan di sebuah pedalaman untuk melayani masyarakat yang pekerjaan hariannya adalah bercocok tanam secara tradisionil. Selanjutnya ia dipindahkan di sebuah daerah yang mayoritas penduduknya nelayan sederhana. Di kedua daerah ini ia mengalami transformasi yang luar biasa. Ia mengaku berasal dari keluarga petani dan pernah tinggal di sebuah kampung nelayan sehingga dalam perutusannya ini ia tidak mengalami kesulitan. Hal yang menyenangkannya adalah ia selalu menggunakan contoh-contoh dalam Kitab Suci tentang hidup sebagai petani dan nelayan untuk menguatkan ketahanan ekonomi umat. Perlahan-lahan ia melihat perubahan pola pikir dan perilaku umat untuk menjadi petani dan nelayan yang berwawasan ekonomi. Baginya, hal yang penting adalah selalu tinggal bersama umat dan mendampingi mereka supaya memahami nilai-nilai injili dalam hidup keseharian mereka.

Saya merasa senang dan menikmati sharing pengalaman misioner beliau. Dia benar-benar merasa bahwa hidup sebagai misionaris adalah sebuah panggilan sehingga ia dapat bertahan selama lebih kurang tiga puluh tahun di tanah misi dan masih mau lanjut lagi di sana. Tuhan Yesus sendiri ketika memanggil para murid perdana, khusus mereka yang berlatar belakang nelayan sederhana mengatakan kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." (Mat 4:19). Menjadi penjala manusia berarti mengusahakan agar mereka yang menjadi sasaran penginjilan itu harus sejahtera secara jasmani dan rohani. Artinya umat yang menerima Injil itu tidak hanya mengetahui Tanda Salib, Doa Bapa kami dan Salam Maria, tetapi mereka juga memiliki bekal untuk mengisi perut mereka. Bagaimana mungkin mereka memuji Tuhan dengan perut yang kosong? Itu tentu hal yang sulit dalam hidup menggereja.

Pada hari ini kita mendengar kesaksian Rasul Paulus ketika berada di Korintus. Ia mengingat saat awal melayani jemaat di Korintus, di mana dia merasa tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan himat dalam mewartakan kesaksian Allah. Ia mengaku sudah memutuskan untuk tidak mengetahui suatu apa pun dalam jemaat selain Yesus Kristus yang tersalib. Ia datang dengan satu bendera dan dengan satu branding yang jelas yaitu Yesus Kristus yang tersalib. Dalam mewartakan Yesus Kristus tersalib itu, ia mengakui memiliki banyak kelemahan, dengan takut dan gentar. Hal yang menjadi kekuatannya adalah Roh yang diyakininya dapat memperkuat iman mereka. Kita melihat bahwa Paulus sang Misionaris besar ini juga merasakan kesulitan dalam perutusannya. Ia juga mengakui adanya kelemahan-kelemahan dalam bermisi. Namun Roh Kudus menguatkannya untuk terus mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa. Ia tidak mengandalkan kekuatannya tetapi kekuatan dari Tuhan dalam Roh.

Pengalaman Paulus adalah pengalaman Yesus sendiri. Dalam bacaan Injil Lukas, Tuhan Yesus juga menunjukkan diri-Nya sebagai pewarta Injil dengan kuasa Roh. Ketika itu Dia sudah mewartakan Injil kemana-mana dengan kuasa dan wibawa dan membuat tanda-tanda heran. Kali ini Ia kembali ke Nazaret tempat Ia dibesarkan. Sebagai seorang dewasa, Ia mengikuti peribadatan di dalam Sinagoga. Ia membaca nas dari Kitab nabi Yesaya (Yes 61:1-2 dan 58:6) sebagai berikut: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19). Ini boleh dikatakan sebagai visi dan misi dari Yesus di dunia ini. Hal yang menarik perhatian adalah semua mata di dalam Sinagoga tertuju kepada Yesus dan Yesus dengan tegas mengatakan: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." (Luk 4:21).

Tentu saja semua orang terheran-heran melihat Yesus yang tampil beda saat itu.Ia sebelumnya dikenal sebagai Anak Yusuf si Tukang Kayu, dan Ibunya bernama Maria, kini menjadi seorang Rabi yang disegani karena kuasa dan wibawa-Nya dalam berkata dan tanda-tanda heran yang dilakukan-Nya di hadapan banyak orang di Galilea. Namun orang-orang di Nazaret menutup mata dan hati mereka sehingga menolak bahkan hendak membunuh Dia. Yesus berkata: “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.” (Luk 4:24).

Banyak misionaris juga mengalami hal yang sama dengan Yesus. Mereka ditolak bahkan gugur sebagai martir. Namun janji Yesus sangat berharga: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5:11-12). Dalam situasi apapun mereka tetap setia mewartakan Injil sampai tuntas.

Pengalaman Yesus adalah pengalaman Gereja dan pengalaman kita sebagai pribadi. Gereja juga mengalami penolakan dan penganiayaan di mana-mana. Namun Tuhan selalu hadir dan menyertai Gereja yang didirikan-Nya di atas wadas. Sebab itu meskipun Gereja diterpa angin sakal, dihantam dari luar dan dalam, namun Gereja tetap berdiri kokoh. Berbagai skandal yang memalukan Gereja seperti korupsi, pedofilia tidak menghancurkan Gereja karena Tuhan menyertainya hingga akhir zaman. Hal terpenting adalah pertobatan radikal Gereja. Pengalaman Yesus menjadi pengalaman pribadi sebagai pengikut-Nya. Pikirkanlah, di saat-saat kita melayani, orang hanya melihat kelemahan bukan kelebihanmu dalam melayani. Kalau hanya sebuah kesalahan kecil yang anda lakukan maka anda akan langsung hilang dari peredaran. Ketika ada sharing Kitab Suci selalu tidak jalan dengan baik karena orang tidak menghargai sharing sesamanya. Hanya orang luar komunitas yang menghargai sharing pengalaman rohaninya.

Pada hari ini kita belajar untuk tetap mengandalkan Tuhan dalam Roh-Nya yang menjadi kekuatan untuk mewartakan Injil. Apapun situasinya, penolakan yang datang bertubi-tubi tidak harus mematikan api yang membara untuk mewartakan Injil dan membabaskan sesama dari belenggu-belenggu kelaliman. Misi Yesus adalah misi kita saat ini. Biarkanlah orang melihat wajah Yesus dalam karya-karya misi Gereja.

PJ-SDB

Saturday, August 29, 2020

Homili 29 Agustus 2020 -Peringatan Wafatnya Yohanes Pembaptis

Peringatan Wafatnya Yohanes Pembaptis
Yer 1:17-19
Mzm 71: 1-2.3-4a.5-6ab. 15ab.17
Mrk 6:17-29

Jujurlah dalam berkata-kata

Saya selalu ingat seorang sahabat yang membagikan pengalamannya kepada para peserta rekoleksi keluarga. Ia mengakui bahwa sejak usia dini ia sudah mendengar perkataan dari ayahnya bahwa supaya dapat menjadi orang sukses di masa depan maka ia harus jujur dalam berkata-kata sejak usia dini sebab itu akan menjadi suatu habitus sepanjang hidupnya. Pada saat ini ia sedang merasakan bahwa dengan berkata jujur dan menunjukkan dalam perbuatan yang nyata maka ia merasa tidak kekurangan suatu apapun. Kejujuruan dalam berbicara memang merupakan salah satu modal penting dalam kehidupan manusia. Orang selalu mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulut dan melihat perilaku dalam hidup yang nyata. Kata-kata yang keluar dari mulut bermakna kalau sesuai dengan apa yang dihayati secara pribadi. Kata-kata menjadi kata-kata kosong atau bualan belaka kalau tidak sejalan dengan perilaku hidup pribadi. Saya merasa yakin bahwa semua orang memiliki pikiran yang sama  bahwa setiap perkataan haruslah sejalan dengan hidup yang nyata.

Pada hari ini kita mengenang kemartiran St. Yohanes Pembaptis. Kita mengetahui banyak hal tentang sosok pribadinya yang dipersiapkan oleh Tuhan untuk menyiapkan jalan bagi kedatangan Yesus sang Mesias. Hal-hal nyata yang dilakukannya adalah dengan membaptis orang di sungai Yordan sebagai tanda pertobatan, menyerukan pertobatan dan menjadi panutan karena kesederhanaan hidupnya. Ia mengungkapkan realitas seadanya dan diharapkan supaya orang yang mendengar perkataannya itu dapat berubah secara radikal sebab apa yang dikatakannya adalah ungkapan kenyataan hidupnya sendiri. Hal ini dirasakan sendiri oleh Herodes setiap kali mendengar perkataan Yohanes. Sebagai leader dan public figur, Herodes seharusnya menunjukkan keteladanan yang baik. Namun Herodes juga manusia lemah sehingga ia mengambil Herodias yang waktu itu masih merupakan istri saudaranya Herodes Filipus untuk menjadi istrinya. Yohanes menyadari bahwa sikap Herodes ini tidaklah benar maka ia pun menegur Herodes bahwa tidaklah halal ia mengambil Herodias istri saudaranya menjadi istrinya sendiri. 

Apa yang terjadi usai teguran Yohanes ini? Herodes segan terhadap Yohanes sebab ia tahu bahwa Yohanes adalah orang yang benar dan suci sehingga ia berusaha untuk melindunginya. Hatinya selalu terombang-ambing bercampur senang setiap kali mendengar Yohanes. Hal ini berbeda dengan Herodias yang merasa tersinggung dan sakit hati sehingga selalu ada keinginan untuk membunuh Yohanes. Pada akhirnya Herodes dan Herodias juga mewujudkan amarah dan dendam mereka. Yohanes Pembaptis dibunuh demi kebencian dan popularitas manusiawi semata. Ia wafat sebagai martir karena mengatakan kebenaran, sedangkan Herodes dan Herodias merasa puas karena orang baik seperti Yohanes adalah duri yang tajam dan harus dikeluarkan karena selalui membuat rasa sakit dalam hati.

Yohanes Pembaptis menumpahkan darah supaya kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan. Nilai-nilai moral telah merosot karena keinginan dan nafsu manusiawi semata. Seharusnya orang berusaha untuk mencari kebenaran, kebaikan dan keadilan namun kejahatan selalu membayang-bayangi, bahkan terkadang kejahatan mengalahkan kebaikan. Dengan akal sehat kita pasti sepakat bahwa tidaklah elok kalau seorang saudara merebut istri saudaranya menjadi miliknya. Dahulu dan mungkin dalam suku-suku tertentu masih ada perkawinan levirat, di mana kakak yang meninggal tanpa meninggalkan keturunan maka adiknya berhak untuk memberikan keturunan dengan mengawini istri kakaknya. Orang-orang yang dikuasai oleh nafsu semata sudah kebal dengan teguran dan kalau mendapat teguran maka ia akan mencari jalan untuk menghabiskan orang yang menegurnya. Yohanes melakukan dengan sempurna perkataan Yesus ini: “Berbahagialah orang yang dianiaya demi kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Mat 5:10). 

Dari Yohanes kita belajar bahwa hingga saat ini masih ada banyak Herodes dan Herodias yang patut mendapat teguran. Banyak pejabat publik yang terang-terangan berpoligami dan poliandri tanpa merasa malu. Mereka mengandalkan uang dan kekuasaan untuk menambah istri atau suami sesuai selera. Kalau bukan berpoligami dan poliandri mereka tak segan-segan mencari dan menikmati orang kesukaan mereka yang berbeda jenis atau yang sejenis. Orang-orang yang seperti ini dalam hal-hal tertentu lebih jelek dan jahat dari Herodes dan Herodias. Kita tidak menutup mata dengan berbagai kasus pedofilia yang terjadi dalam masyarakat dan di dalam gereja dan keluarga sendiri. Pedofilia sering dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban. Semua kejahatan ini ada di depan mata dan kita semua yang masih memiliki hati nurani dipanggil untuk berkata benar dan mengungkapkan kasus-kasus yang menjadi skandal besar dalam masyarakat kita. Yohanes mengajarkan kita hari ini untuk melakukan revolusi mental bagi orang-orang yang penuh dengan borok dalam masyarakat kita dengan berkata yang jujur dan benar, meskipun pada akhirnya nyawa menjadi taruhan. Tuhan sendiri akan menjaga dan melindungi orang yang berjuang demi kebenaran dan keadilan. St. Yohanes Pembaptis, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB


Friday, August 28, 2020

Food For Thought: Perlu bijaksana dalam hidup

Perlu Bijaksana dalam hidup

Saya mengundang anda untuk membayangkan sosok seorang yang kaya raya atau bayangkanlah dirimu sendiri masuk dalam cerita ini: Pada suatu hari ada seorang kaya tanpa nama ini singgah di sebuah restoran favorit untuk makan siang. Ia kelihatan terburu-buru turun dari mobil. Mobilnya segera dibawa pergi oleh sopir untuk mengganti oli di bengkel. Orang kaya ini masuk ke dalam restoran yang kelihatan ramai, menemukan sebuah tempat duduk yang nyaman dan mulai memesan makanan sesuai seleranya. Setelah selesai makan ia memanggil pelayan untuk membayar makanannya. Di atas kertas tertulis totalnya sebanyak beberapa ratus ribu rupiah. Sayang sekali karena saat itu ia baru sadar bahwa dompet berisi uang cash, ATM dan CC masih ada di mobil. Handphone yang dibawanya tidak memiliki aplikasi perbankan dan baterainya juga mulai merah, maka wifi dan paket datanya juga tidak bisa berfungsi. Dia mulai berkeringat dingin karena takut dipermalukan oleh pelayan kalau ia jujur mengatakan bahwa ia tak memiliki uang di tangan untuk membayar. Dia juga berpikir bahwa uangnya memang banyak tetapi pada saat seperti itu ia merasa tak berdaya, tak punya apa-apa seperti orang lain. Dari pengalamannya ini ia belajar untuk menjadi bijaksana dalam hidup.  

Mungkin kita tertawa ketika membaca kisah pengalaman ini. Mungkin juga kita menertawakan kelemahan yang pernah kita alami, yang mirip seperti ini. Saya menyaksikan banyak orang yang berpikir bahwa E-tal-nya ada uang, tetapi ternyata sudah habis. Akibatnya ia dicaci maki, dibully dengan klakson-klakson mobil. Hanya ada satu atau dua orang yang peduli dengan kelemahan orang yang tidak mengecek E-tal sebelum naik tal. Ada yang mobilnya bagus, mahal tetapi mengalami hal yang sama. Maka kita butuh untuk selalu belajar dari kelemahan untuk menjadi bijaksana.

Pada hari ini saya merenung tiga kata penting yang selalu ada di dalam diri anda dan saya: kelemahan, kebodohan dan kebijaksanaan. Kita semua tidak luput dari kelemahan manusiawi. Kita bukanlah malaikat, kita hanya manusia yang memiliki banyak kelemahan. Sebab itu jangan pernah menertawakan kelemahan orang lain. Kita semua memiliki kebodohan tertentu. Sehebat dan sepintar apapun orang itu, ia pasti pernah mengalami kebodohan. Ia juga tidak sempurna sehingga memiliki kebodohan. Jangan pernah mengatakan orang lain bodoh sebab kita berada dalam satu kelas yang sama. Kebodohan adalah bagian dari hidup kita. Jangan menertawakan kebodohan orang lain karena aka nada saat orang menertawakan kebodohanmu. Kita semua berhasrat untuk menjadi bijaksana dalam hidup. Kita butuh Tuhan sumber kebijaksanaan yang dapat mengubah kelemahan, kebodohan menjadi kebijaksanaan. Hanya Tuhan yang mengubah hidup kita menjadi bijaksana. Maka kita perlu bijaksana dalam hidup.

Tuhan memberkati kita semua.

PJ-SDB

Homili 28 Agustus 2020

Hari Jumat, pekan Biasa ke-XXI/A
Peringatan Wajib St. Augustinus
1Kor. 1:17-25
Mzm. 33:1-2,4-5,10ab,11
Mat. 25:1-13

Bodoh, lemah dan Bijak

Pada hari ini kita mengenang Santu Agustinus. Saya membaca kembali buku ‘Pengakuan-Pengakuan’ edisi Bahasa Indonesia dari buku aslinya ‘Confesiones’. Saya menemukan kata-kata yang bagus seperti ini: “Dari sana kami pergi ke tempat ibuku; kami masuk, ia kami beri tahukan: ia bergirang. Ia kami ceritakan bagaimana kejadiannya; ia bersuka ria dan merasa menang. Dan kau dipujinya, Kau yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kami doakan atau pikirkan… Aku memang Kautobatkan kepada-Mu begitu rupa, sehingga aku tidak lagi mencari istri, atau apapun yang diharapkan di dunia ini; aku tegak dalam pedoman iman, sebagaimana Kauungkapkan kepadanya sekian tahun lebih dahulu.” (Hal 241). Kutipan kecil dalam buku Pangakuan-pengakuan ini mengungkapkan iman ibunya yakni Santa Monika kepada Tuhan dan pengakuan iman Agustinus yang begitu polos kepada Tuhan yang mengubah seluruh hidupnya. St. Monika berbahagia karena memuji Tuhan dan bahwa Tuhan melakukan lebi banyak yang dapat dilakukan. Agustinus sendiri percaya bahwa Tuhanlah yang mengubah hidupnya maka dia tidak mencari hal duniawi tetapi tegak dalam iman kepada Tuhan.

Agustinus mengungkapkan pengakuannya-pengakuannya tanpa menyembunyikan suasana masa lalu yang gelap. St. Thersesia dari Kalkua pernah berkata banyak orang kudus tidak merasa malu untuk menceritakan masa lalu mereka yang penuh kekelaman. Perkataan ini sangat tepat. Ketika orang berdosa memiliki kebajikan kerendahan hati maka ia dengan sendirinya akan berjalan dalam kekudusan karena ia menumbuhkan pertobatan radikan di dalam dirinya. Tanpa kebajikan kerendahan hati maka tidak ada pertobatan yang benar. Pertobatan sebagaimana dialami oleh St. Agustinus di dasari pada kemauan untuk berdoa  dan melayani seraya memohon kerahiman Allah. Berkaitan dengan doa, Agustinus berkata: “Berdoalah seolah-oleh semuanya bergantung pada Allah. Bekerjalah seolah-oleh segalanya bergantung kepadamu.” Agustinus mengubah kehidupan banyak orang melalui gagasan dan pikiran, terlebih kehidupan pribadinya. Ada perubahan dari pribadi yang bodoh, lemah dan bijak di hadapan Tuhan.

Kehidupan St. Agustinus menginspirasi kita untuk memahami bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini. Di hadirat Tuhan kita patut mengakui diri kita sebagai orang bodoh, lemah dan bijak. St. Paulus dalam bacaan pertama mengingatkan jemaat di Korintus dan kita saat ini bahwa Tuhan Yesus mengutusnya bukan untuk membaptis melainkan untuk memberitakan Injil dan salib Kristus. Paulus mengatakan: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (1Kor 1:18). Paulus hidup dalam masa dan budayanya maka benarlah ungkapannya ini. Orang memandang salib dengan menganggap remeh Dia yang tersalib. Padalah perkataan ini benar “In Cruce Salus’ (Pada salib ada keselamatan). 

Selanjutnya St. Paulus mengatakan: “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” (1Kor 1:22-24). Paulus melihat jemaat di Korintus yang sedang dipengaruhi oleh pemikiran Yahudi dan filsafat Yunani. Ketika itu ia melihat bahwa orang Yahudi menghendaki tanda yang membuktikan, orang Yunani mementingkan hikmat, para murid Kristus seperti Paulus memberitakan Salib. Ini memang melawan arus sebab orang Yahudi melihat salib adalah suatu batu sandungan, orang-orang bukan Yahudi melihat salib sebagai suatu kebodohan. Orang-orang yang dipanggil melihat Kristus adalah kekuatan dan hikmat Allah. Pada akhirnya Paulus mengatakan: “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” (1Kor 1:25). 

Mari kita memandang St. Agustinus. Dia menampilkan kelemahan dan kebodohannya sebagai manusia yang fana. Namun karena kuasa Tuhan melalui pengurabanan mamanya Santa Monika makai a bertobat dan memiliki hikmatg Allah yang luar biasa. Dari kelemahan dan kebodohan menjadi orang berhikmat. Itulah rencana dan kuasa Tuhan bagi manusia. Sambil memandang santu Agustinus kita melihat diri kita. Ternyata kebodohan demi kebodohan adalah bagian hidup kita. Ternyata kelemahan demi kelemahan melilit hidup kita. Tetapi dari kebodohan dan kelemahan kita menjadi bijaksana karena kuasa Tuhan.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil kita kembali ke kata bodoh dan bijak. Kisah lima gadis yang bodoh yang membawa pelita tanpa minyak, lima yang lain membawa pelita dengan minyak. Pada akhirnya mereka yang membawa pelita dan minyak dengan label gadis bijaksana itu bergembira dalam pesta bersama sang pengantin. Gadis-gadis bodoh tidak dikenal oleh pengantin yang sudah menutup pintunya. Kisah Injil ini adalah kisah hidup kita. Mungkin ada orang yang memiliki banyak uang tetapi ketika dia lupa dompet, ATM, Kartu Kredit, HP, paket data dan wifi maka sia-sia saja uang itu. Dia tidak akan makan, minum dan membayar aneka keperluan lannya. 

Kita bersyukur karena Tuhan selalu menguatkan kita semua untuk melakukan transformasi dalam hidup kita. Mari kita berubah dari kelemahan, kebodohan menjadi hidup berhikmat dan kudus. St. Agustinus, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB

Thursday, August 27, 2020

Food For Thought: Keluarga dan Salib

Keluarga dan Salib

Selama beberapa hari terakhir ini saya membaca sebuah buku berjudul ‘The Storm-Tossed Family", karangan Russel More dan diterbitkan tahun 2018 yang lalu. Russel More adalah seorang Luteran maka gaya penulisan dan pendekatannya banyak mengutip pokok-pokok pemikiran Marthin Luther, tokoh reformasi Protestan. Dari bagian awal buku ini sang penulis mulai dengan membahas ‘Keluarga di tengah badai’. Bagian awal ini kiranya menjadi judul buku ‘The Storm-Tossed Family’. Beliau menulis: “Keluarga adalah sumber dari berkat yang memberi hidup dan juga kengerian yang besar yang terjadi pada saat yang bersamaan. Ketika memandang Salib, kita juga menemukan hal yang sama. Pada salib kita melihat kutuk dosa yang mengerikan, penghakiman Allah dan berkat Allah untuk menyelamatkan dunia. Keluarga kita bisa penuh dengan sukacita, tetapi akan membuat kita rentan dengan penderitaan. Sukacita dan dan penderitaan ini menunjukkan kepada kita tempat yang sama yaitu salib.”

Pada malam hari ini saya memberi pengajaran Injil Hari Minggu Biasa ke-XXII/A yang bisa dilihat di link Youtubeku ini: https://youtu.be/0LrTAYmutLI Tuhan Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Anak Manusia yang harus menderita, dibunuh dan pada hari ketiga akan bangkit dan masuk dalam kemuliaan Allah. Tuhan Yesus sendiri sudah tahu bahwa Ia akan mengalami penderitaan namun Ia tetap setia menerima dan mengalami salib. Kita tentu sangat berbeda dengan Tuhan Yesus. Kita berusaha untuk mengelak penderitaan, tidak siap untuk memikul salib sambil mengikuti Yesus. Padahal Tuhan Yesus menghendaki agar kita menyangkal diri dan mengikut Dia dari dekat.

Setiap keluarga memiliki salib. Ada kebahagiaan yang menjadi tujuan utama berkeluarga namun keluarga sendiri harus siap untuk mengalami salib. Ada berkat yang memberi hidup tetapi juga kengerian salib. Para suami dan isteri lebih mengalaminya. Ketika tinggal bersama sebagai pasangah hidup baru merasakan jatuh cinta yang benar. Keaslian masing-masing pribadi akan nampak dengan jelas. Kadang mengecewakan, tidak sesuai harapan tetapi itu adalah panggilan dan pilihan maka jalanilah dengan sukacita. Ada keluarga, ada salib! Dia yang tersalib itu tetap mencintai keluarga meskipun pasutri berada di tengah badai. 

Santa Monika selalu menjadi inspirator setiap keluarga untuk coba bertahan lagi, mulai menata kembali keluarga yang berada di tengah badai. Percayalah bahwa badai pasti dapat diteduhkan. Demikian Tuhan juga akan melakukan yang sama dalam keluarga yang berusaha untuk bertahan dan mempercayakan diri kepada Tuhan. Santa Monika membuktikannya. Pada akhir hidupnya ia hanya berkata: “Tak ada suatu apapun yang menarik hatiku sebab aku sudah mencapainya dengan sempurna.” Pencapaiannya adalah berkat air matanya Agustinus bertobat dan Patrisius juga berubah secara radikal. Ada keluarga, ada salib.

Tuhan memberkati keluargamu.

PJ-SDB

Homili 27 Agustus 2020

Hari Kamis,Pekan Biasa ke-XXI
Peringatan St. Monika
1Kor. 1:1-9
Mzm. 145:2-3,4-5,6-7
Mat. 24:42-51

Masih ada Monika zaman now

Pada hari ini kita mengenang kembali St. Monika. Beliau adalah sosok wanita kudus yang hebat. Darinya kita belajar makna pengorbanan diri sebagai seorang ibu dalam keluarga. Darinya kita belajar bahwa doa itu mengubah segala sesuatu. Darinya kita belajar bahwa untuk menjadi kudus itu butuh pengorbanan diri dan kesabaran yang besar. Memang dia berdoa tiada hentinya, dan dengan bercucuran air mata, turut membuka pintu surga bagi pertobatan anaknya St. Agustinus. Semua doa dan pengurbanan juga sebuah penantian yang panjang selama sekitar sepuluh tahun akhirnya membuahkan hasil, yakni Tuhan mengabulkan doa permohonannya. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia masih berucap kepada Agustinus:  “Anakku, bagiku ini tidak ada lagi yang dapat memukauku dalam kehidupan ini. Apa lagi yang dapat kuperbuat di dunia ini? Untuk apa aku di sini? Entahlah, tak ada lagi yang kuharapkan dari dunia ini. Ada satu hal saja yang tadinya masih membuat aku ingin tinggal cukup lama dalam kehidupan ini, yaitu melihat engkau menjadi Kristen Katolik sebelum aku mati. Keinginanku sudah terkabulkan berlebihan dalam apa yang telah diberikan Allah kepadaku: kulihat kau sudah sampai meremehkan kebahagiaan dunia ini dan menjadi hamba-Nya. Apa yang kuperbuat lagi di sini?”

Pada saat ini masih banyak Monika yang berada di sekitar kita. Ada banyak ibu rumah tangga yang sedang mengalami kesulitan dalam membangun relasi dengan pasangan hidupnya. Mungkin sebagai ibu rumah tangga, ada yang belum mendapat ‘bulanan’ dari suami. Dalam masa covid ini mungkin juga ‘bulanan’ semakin menurun. Ada ibu yang tidak dihargai suami dan anak-anaknya. Hal ini tentu membuatnya tidak betah tetapi dia tetap berjuang untuk mempertahankan keluarga. Ada ibu yang dilecehkan secara verbal dan fisik tetapi dia memilih diam dan menyimpannya di dalam hati. Ada ibu yang dilarang suami supaya aktif dalam menggereja. Ada ibu yang mengalami penganiayaan oleh suami (KDRT). Pengalaman-pengalaman yang kiranya mirip dengan pengalaman santa Monika sendiri. 

Sosok Monika benar-benar menginspirasi banyak orang. Saya sebagai seorang imam juga merasa bahwa ada keluarga dan kerabatku yang mengalami hidup seperti santa Monika saat ini. Mungkin saja mereka mengalami kekerasan fisik dan verbal, ketika dikaitkan dengan belis berupa gading atau jumlah hewan dan kain adat yang diberikan kepada keluarganya. Banyak kali sebagai seorang imam dan biarawan bisa lupa dengan keadaan keluarga. Pengalaman-pengalaman nyata dalam keluarga sebenarnya memiliki nilai edukasi yang tinggi. Ketabahan, kesetiaan, tahan banting, ketekunan dalam doa meski disertai air mata merupakan pengalaman yang sangat mendidik kita. Di sinilah wujud nyata kekudusan dalam hidup ini.

Kehidupan Santa Monika dan sabda Tuhan pada hari ini memang sangat inspiratif bagi kehidupan rohani kita. St. Paulus dalam tulisannya kepada jemaat di Korintus mengatakan bahwa kita dipanggil untuk menjadi kudus. Bagi Paulus: “Kita semua dipanggil untuk dikuduskan dalam Kristus Yesus dan mereka yang dipanggil untuk menjadi kudus.” Artinya bahwa kekudusan itu sifatnya universal dan bukan monopoli kelompok tertentu. Kekudusan itu merupakan kasih karunia dari Tuhan yang oleh Paulus dikatakan ‘menyertai’ kita semua. Sebagai seorang pemimpin, Paulus juga tetap mendukung panggilan kekudusan jemaat. Ia berkata: “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus. Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu.” (1Kor 1:4-6).

Dari perkataan Paulus ini, kita boleh bertanya dalam hati: apakah kita merasakan panggilan Tuhan untuk menjadi kudus? Untuk menjadi kudus tidak lah mudah, pintu sempit selalu menunggu. St. Monika mengalami pintu yang sempit dan dia berhasil melewatinya. Ia bercucuran air mata, mengalami tekanan bathin karena perilaku suami dan anaknya. Namun pintu sempit berubah menjadi pintu yang terbuka lebar bagi kekudusan. Patrisius suaminya dan Agustinus anaknya dibaptis. Sepuluh tahun berjuang dan membuakan kesuksesan. St. Paulus dalam perikop kita hari ini juga berkata: “Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus. Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia.” (1Kor 1:8-9). Tuhan itu setia menguduskan kita. Kesetiaan Tuhan terlaksana hingga keabadian.

Apa yang dapat kita lakukan? 

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memberikan warning kepada kita supaya berjaga-jaga dalam menantikan kedatangan Tuhan. Diumpamakan dengan tuan rumah yang bijak akan selalu siap menjaga rumahnya dari gangguan para pencuri. Demikian juga anak-anak Tuhan akan selalu siap menantikan kedatangan Tuhan dalam hidupnya. Setiap orang harus selalu berpikir bahwa ini adalah hari terakhir dalam hidupnya makai a harus selalu siap. Selain sikap berjaga-jaga, kita juga diingatkan supaya menjadi hamba yang tekun dalam hidup dan selalu berbuat baik bukan jahat. Sikap berjaga-jaga menjadi salah satu kekuatan kita berjalan dalam jalan kekudusan.

Kita bersyukur karena Tuhan memberikan kepada kita sosok orang kudus yang menginsprasi hidup kita. Baiklah kita mendoakan para ibu dan saudari kita supaya tetap hidup dalam rahmat dan dikuatkan oleh teladan kekudusan santa Monika. 

PJ-SDB

Wednesday, August 26, 2020

Homili 26 Agustus 2020

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXI
2Tes. 3:6-10,16-18
Mzm. 128:1-2,4-5
Mat. 23:27-32.

Menjadi Panutan dalam Bekerja

Saya pernah memperhatikan seorang ayah yang selalu pergi bersama puteranya ke kebun. Di sana mereka bekerja bersama-sama. Apa yang terjadi saat itu: Ayahnya bekerja, misalnya mulai dengan memegang cangkul dan mulai mencangkul tanah di sekitarnya. Puteranya berdiri sambil melihat dengan saksama dan perlahan-lahan mulai mengikutinya. Lama kelamaan, sang ayah dan anak mengadakan lomba mencangkul tanah hingga ke tempat tertentu atau membersihkan kebun jagung hingga tempat tertentu di dalam kebun mereka. Ini benar-benar menjadi sebuah pemandangan yang indah. Seorang ayah menurunkan karakter kerja kepada anaknya. Hidup bermakna dalam pekerjaan-pekerjaan kita. Ayah itu telah menunjukkan niliai-nilai luhur dari suatu pekerjaan. Saya merasa yakin bawah anak itu akan memiliki mental kerja di masa depan. Dia akan hidup dari keingatnya sendiri bukan tertawa di atas keringat orang lain. Sosok ayah sebagai pekerja tulen menjadi panutan anak sepanjangan masa.

Saya teringat pada Khalil Gibran yang mengatakan: “Jika kamu tidak bekerja dengan cinta, tetapi hanya dengan kebencian, lebih baik tinggalkan pekerjaanmu.” Saya sepakat dengan Gibran sebab bekerja merupakan sebuah aktivitas yang menunjukkan bahwa kita benar-benar manusia. Bekerja bukan hanya sekedar sebuah aktivitas belaka tetapi bekerja itu sebuah ekspresi dan bukti bahwa kita adalah manusia berakal budi yang ikut terlibat dalam diri Allah sang Pencipta. Tuhan Yesus sendiri berkata: "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.” (Yoh 5:17). Dan benar! Tuhan senantiasa mencipta sampai saat ini. Dia mencipta karena cinta. Dia cinta karena Dialah cinta itu sendiri (1Yoh 4:8.16). Dari situ bekerjalah dengan tekun untuk mengkespresikan diri sebagai manusia. 

Pada hari ini saya merasa benar-benar disapa oleh perkataaan St. Paulus yang disampaikannya kepaa jemaat di Tesalonika. Ia mengatakan begini: “Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun di antara kamu. Bukan karena kami tidak berhak untuk itu, melainkan karena kami mau menjadikan diri kami teladan bagi kamu, supaya kamu ikuti. Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2Tes 3:7-10). Paulus menunjukkan diri sebagai panutan bagi jemaat. Dia bersama teman-temannya tidak lalai bekerja dan tidak makan roti orang dengan percuma. Dia menjadi panutan sebab dia bekerja keras, berjerih payah siang dan malam sehingga tidak membebankan jemaat. Keteladanan ini memang penting dan harus kita miliki juga dalam hidup setiap hari. 

Saya mengalami sendiri di dalam keluarga saya tentang keluhuran dalam bekerja. Ayah saya mungkin pernah membaca surat Paulus ini sehingga dia menasihati kami anak-anaknya dari kecil: “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2Tes 3:10). Ketika kembali dari sekolah kami harus bekerja di kebun, memperhatikan ternak berkaki dua dan empat, mencari kayu api, mengambil air, membersihkan rumah dan belajar. Kalau kami lalai melakukannya maka meskipun ibu menyiapkan makanan dan meletakannya di atas meja, kami tidak akan menyentuh makanan itu karena kami tidak bekerja. Filosofi ini membuat kami bertumbuh dengan mental kerja dan jujur. Kami menjadi kuat dan belajar untuk hidup dari pekerjaan kami sendiri. Saya senang memiliki sosok seorang ayah yang selalu bekerja. Ia pernah berkata kepada saya: “Saya bekerja untumu, di saatnya nanti berikan kepadaku doa dan lilin putih”.  Ini adalah sebuah pengalaman yang indah bersama seorang ayahku yang bekerja dengan sukacita.

Dalam bacaan Injil kita mendengar Tuhan Yesus melanjutkan kecaman-Nya kepada Para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Kali ini ia mengaatakan bahwa mereka munafik sebab mereka itu seperti kubur yang di luarnya dilabur putih tetapi di dalamnya penuh dengan tulang belulang dan kotoran. Orang-orang Yahudi memang memiliki kebiasaan membuat kuburnya seindah mungkin. Di luarnya indah tetapi di dalamnya kotor dan bau. Pada saat ini kita juga memiliki memorial park, atau orang menyebut rumah duka sebagai ‘heaven’. Di sana ada kefanaan tubuh manusia yang menjadi debu di memorial park. Tuhan Yesus menyebut contoh kuburan ini dengan sosok hidup manusia yang di luarnya seolah-olah orang benar tetapi di dalamnya penuh kemunafikan dan kedurjanaan.

Banyak kelompok kategorial di paroki-paroki yang menjadi sorotan banyak umat. Ketika mereka tergabung dalam suatu kelompok kategorial, mereka cepat lupa bahwa mereka masih berada di dunia bukan di surga, dan belum tentu di surga juga. Tetapi apa yang terjadi? Mereka berpikir bahwa orang-orang diluar komunitasnya itu bukanlah orang yang sempurna sepertinya. Padahal belum tentu juga? Di dalam kelompok-kelompok kategorial juga terselubung dosa: penipuan antar anggota komunitas kalau berhubungan dengan uang, korupsi, perselingkuhan, kekerasan verbal dan kekerasan fisik. Hal-hal ini terjadi dalam kelompok-kelompok kategorial kita. Maka tampak luar sebagai kelompok kategorial memang hebat, bersih tetapi di dalamnya hanya Tuhan dan mereka yang tahu. 

Masih dalam kelompok kategorial dan territorial di dalam gereja katolik. Dalam semangat bekerja sama kelihatan memang baik. Tetapi menjadi panutan seperti yang dikatakan santu Paulus benar-benar masih dalam taraf perjuangan. Paulus berkata: “Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun di antara kamu.” (2Tes 3:8). Para pengurus memang sedikit mengikuti perkataan Paulus ini, tetapi para anggota kadang sangat mengecewakan karena mereka tidak bekerja, tidak aktif sebagai anggota. Tetapi kalau ada sesuatu yang menyenangkan maka mereka selalu di depan untuk groufie atau wefie setelah itu menghilang lagi. Kalau Paulus masih ada maka dia akan mengulangi perkataan Yesus dalam Injil hari ini: “Dasar munafik!” atau lebih keras lagi “Celakalah!”

Pertanyaan-pertanyaan bagi kita: Apakah hari ini anda juga bekerja? Apakah anda seorang pekerja yang hebat di tempat kerjamu? Bagaimana anda membangun hubungan dengan sesama atau rekan-rekan kerjamu? Apakah anda berlaku adil, penuh belas kasih dan setia di tempat kerjamu? Satu hal yang penting: “Jangan membangun relasi antar pribadi berdasarkan berapa gaji yang diterima, tetapi bahwa dia adalah manusia maka hargailah nilai hidupnya.” Kita bekerja karena kita beriman. Bekerja berarti kita mengungkapkan iman kita pada tempat yang benar.

P. John Laba, SDB

Tuesday, August 25, 2020

Food For Thought: Dasar Munafik!

Dasar munafik!

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata munafik seperti ini: “Berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya.” Munafik juga bisa berarti bermuka dua. Saya teringat pada Tennessee Williams (1911-1983). Beliau adalah seorang dramawan dan penulis berkebangsaan Amerika Serikat, pernah berkata: “Satu-satunya hal yang lebih buruk dari pada seorang pembohong adalah pembohong yang juga munafik!” Orang munafik atau bermuka dua selalu ada di di mana-mana dan ada di dalam diri kita juga.

Mengakhiri hari ini, saya teringat kembali pada perkataan yang keras dari Tuhan Yesus kepada para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi bahwa mereka itu orang munafik dan buta bahkan mengecam mereka dengan perkataan: “Celakalah!”. Mungkin kita cepat-cepat menilai Yesus bahwa Dia tidak menyukai para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Tuhan Yesus sebenarnya menhendaki mereka supaya bertobat dan percaya kepada semua perkataan dan ajaran-ajaran-Nya. Bahwa mereka itu orang munafik dan buta, ya! Mereka bermuka dua sebab di hadapan sesama, mereka seperti orang kudus tetapi tetap saja berbuat jahat kepada yang lemah dan tak berdaya. Mereka selalu berpikir bahwa mereka lebih kudus dan masuk surga lebih cepat. Padahal sikap seperti itu hanya menunjukkan kemunafikan.

Tuhan Yesus masih tetap menegur kita semua yang suka munafik dan buta dalam hidup kita. Tuhan Yesus mungkin dengan tegas mengatakan: “Dasar munafik!” Apakah kita harus marah kepada Yesus? Saya rasa tidak, sebab kita memiliki bibit-bibit untuk menjadi orang munafik. Pikirkanlah sepanjang hari ini: apakah kita sudah munafik? Saya yakin semua akan mengatakan ya. Mengapa? Sepanjang hari ini ada yang pura-pura baik padahal aslinya bukan begitu. Ada yang pura-pura bermulut manis di depan sesamanya padahal di belakang penuh dengan perkataan cacian dan gossip. Ada yang di depan sesamanya kelihatan begitu tulus tetapi dibelakangnya seperti benak kusut. Inilah anda, saya dan kita di hadapan Tuhan dan sesama. Relasi kita dengan sesama dan Tuhan selalu di warnai kemunafikan. Sungguh menyedihkan!

Apa yang harus kita lakukan supaya menjadi orang yang tidak munafik? Tuhan Yesus mengatakan: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat 5:37). Kita perlu sadar sebagaimana dikatakan Ayub: “Bukankah Allah yang mengamat-amati jalanku dan menghitung segala langkahku?” (Ayb 31:4). Tuhan selalu melihat kita, mengapa harus munafik? Mari kita berusaha untuk menghilangkan label keras ini: “Jangan munafik!” dan belajar untuk tidak mengatakan: “Dasar kau munafik!” Terlalu keras didengar dan menyakitkan tetapi menjadi obat untuk menyembuhkan orang yang setiap hari bersikap demikian.

Tuhan memberkat.

PJ-SDB

Homili 25 Agustus 2020

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXI
2Tes. 2:1-3a,13b-17
Mzm. 96:10,11-12a,12b-13
Mat. 23:23-26

Yang Tuhan Yesus inginkan dari anda

Saya pernah mengikuti sebuah ibadat Oikumene. Saya diminta untuk membawakan doa safaat, sedangkan firman Tuhan dibawakan oleh seorang pendeta muda. Ia memulai kotbahnya dengan aneka pertanyaan yang menarik karena membantu jemaat untuk berpikir dan merenung bersama. Salah satu pertanyaan yang hingga saat ini saya ingat adalah: “Apa yang Tuhan Yesus inginkan darimu?” Jemaat tertentu mengangkat tangan dan memberi jawabannya. Ada yang menjawab bahwa Tuhan Yesus menghendaki kebahagiaan, sukacita, pertobatan, hidup kekal dan masih banyak lagi. Pendeta mud aitu mengatakan kepada jemaat yang menjawab pertanyaan bahwa Tuhan Yesus sungguh hadir dalam ibadat bersama dan Ia pasti mendengar dan mengabulkan doa dan harapan mereka. Saya kembali ke rumah dengan hati yang penuh sukacita karena merasa yakin bahwa Tuhan sungguh hadir dan membarui hati umat-Nya dalam ibadah Oikumene saat itu.

Pada hari ini kita mendengar Tuhan Yesus mengecam para ahli Taurat dan kaum Farisi. Ada dua kecaman bagi mereka: 

Pertama, Ia mengecam mereka  dan menganggap mereka sebagai orang-orang munafik sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. Tuhan Yesus mengatakan dengan suara yang keras tentang persepuluhan dari hasil-hasil pertanian merupakan kewajiban dari jemaat. Persepuluhan atau perpuluhan adalah kebiasaan dari dunia Perjanjian Lama dengan memberikan 10% dari penghasilan kepada imam atau pemimpin. Pada saat ini persepuluhan dilakukan dengan sukarela. Persepuluhan dapat dibayar dengan uang, cek, atau saham. Berbeda dengan dahulu di mana persepuluhan dibayar dalam bentuk produk pertanian atau sejenisnya seperti selasihadas manis dan jintan. Kaum Yahudi Ortodoks masih aktif melaksanakan ma'aser kesafim, yakni memberikan 10% dari penghasilan bulanannya untuk amal kasih. Orang-orang Yahudi modern yang menghuni kibbutz masih tetap mengikuti hukum persepuluhan pertanian, seperti ma'aser rishon, terumat ma'aser, dan ma'aser sheni, tetapi tidak melaksanakan persepuluhan hewan karena tidak ada Bait Allah yang berdiri.

Tuhan Yesus mengatakan bahwa yang satu harus di lakukan tetapi yang lain jangan diabaikan. Adalah kewajiban untuk melaksanakan persepuluhan sebab ada dalam hukum Taurat. Namun yang paling penting dalam hukum Taurat adalah keadilan, belas kasih dan kesetiaan. Tiga hal ini merupakan ajaran Yesus dan karakter Tuhan sendiri. Tuhan itu adil bagi manusia, ketika manusia tidak berlaku adil. Tuhan itu berbelas kasih atau Maharahim, ketika manusia kehilangan rasa belaskasih dan empati kepada sesamanya. Tuhan itu kekal abadi kasih setia-Nya ketika manusia tidak setia kepada Tuhan dan sesamanya. Ketiga hal ini haruslah diutamakan bukan tuntutan untuk membayar persepuluhan. Tuhan Yesus tahu bahwa ada orang yang suka menuntut orang lain supaya melakukan kewajibannya tetapi dia sendiri tidak melakukannya dalam hidup. 

Kedua, Tuhan Yesus juga mengecam para Ahli Taurat dan Kaum Farisi dan melabel mereka sebagai orang-orang munafik. Alasannya adalah: “Cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.” (Mat 23:25-26). Kecaman Tuhan Yesus ini memang merupakan hal yang lumrah dalam diri setiap orang. Lebih mudah melihat cashing atau tampilan luar orang dan lupa bahwa yang terpenting adalah bagian dalamnya. Kita mengingat peringatan Tuhan kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati." (1Raj 16:7). Hal terpenting adalah kesucian interior, kesucian dalam hati manusia. Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.” (Mat 5:8).

Apakah Tuhan Yesus membenci para ahli Taurat? Tentu saja tidak!. Tuhan Yesus justru menghendaki agar mereka bertobat. Mereka harus membarui diri dari dalam hatinya. Pertobatan adalah pembaruan diri dari dalam bukan hanya sekedari niat baik saja. Kalau sekiranya mereka bertobat maka mereka akan mengusahakan keadilan, belas kasih dan kesetiaan. Ketiga hal ini adalah gambaran manusia baru yang Tuhan Yesus harapkan dari para ahli Taurat dan kita yang membaca dan merenungkan Injil saat ini.

Apa yang harus kita buat?

St. Paulus dalam bacaan pertama mengingatkan kita supaya janganlah disesatkan oleh orang. Dia tidak hanya menasihati orang-orang di Tesalonika, tetapi bagi kita saat ini juga yang mudah disesatkan oleh pribadi-pribadi tertentu atau oleh barang-barang duniawi. Hedonisme, konsumerisme dan sejenisnya sedang menguasai dunia dan membuat banyak orang mudah disesatkan dan menyesatkan diri. Pikiran yang benar bagi seorang pengikut Kristus adalah pada keselamatan sebab bagi Paulus, Allah sendiri yang dari semula memilih kita untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kita dan dalam kebenaran yang kita percaya. Maka hal konkret yang dapat dilakukan adalah berdiri dengan teguh dan berpegang pada ajaran-ajaran para Rasul.

Kita bersyukur kepada Tuhan karena kasih dan penyertaan-Nya hari demi hari. Mari kita wujudkan hidup kita dengan memperjuangkan keadilan, belas kasih dan kesetiaan. Ketiga hal ini sungguh menjadikan kita menjadi sesama bagi orang lain.

PJ-SDB

Monday, August 24, 2020

Food For Thought: Mengikuti Yesus dari dekat

Mengenal dan mengikuti Tuhan

Apakah anda mengenal Tuhan Allah? Anda sebagai pengikut Kristus, siapakah Yesus Kristus bagimu? Banyak kali kita berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar iman dan relasi dengan Tuhan. Memang kita sudah dibaptis tetapi ketika berjumpa dengan pertanyaan-pertanyaan ini kita menjadi kikuk dan sulit untuk mempertanggung jawabkan iman kita. Mudah sekali kita membenarkan diri kita: “Tanya saja ke Romo ya?” Ini jalan pintas yang paling mudah. 

Kita tidak sendirian. Para murid Yesus itu sudah sedang berjalan bersama Yesus. Tuhan Yesus sempat mengutus mereka pergi ke kampung-kampung, dan ketika kembali ke Kapernaum, Yesus mengumpulkan mereka dan berjalan bersama ke Kaisarea Filipe. Di sana Yesus bertanya kepada mereka: “Kata orang di kampung-kampung itu, siapakah sosok Aanak Manusia sebenarnya?” Karena ini kata orang maka mereka cepat-cepat mengatakan nama tiga tokoh penting dalam Kitab Suci. Pertama, Yohanes Pembaptis. Dia selalu dikenang karena seruan tobat dan baptisan untuk pertobatan manusia dalam menyambut kedatangan sang Mesias. Kedua, Nabi Elia adalah sosok yang penting dalam alam pikir orang Yahudi. Ia diangkat ke surga dalam angin puting beliung, dan banyak orang Yahudi masih percaya bahwa Tuhan Allah akan mengutus nabi Elia untuk datang ke dunia sebagai Mesias. Ketiga, Nabi Yeremia adalah sosok nabi yang memiliki kemiripan dengan hidup Yesus. Ia akan menderita seperti Yesus sendiri menderita dan mengalami penolakan oleh saudara-saudara dekatnya.  

Pertanyaan menjadi lebih sulit bagi para murid ketika Yesus bertanya kepada mereka siapakah dirinya menurut para pilihan-Nya ini? Petrus sebagai juru bicara mengakui bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, tetapi ungkapan ini pun berasal dari Bapa bukan dari diri Yesus sendiri. Kita secara pribadi mengalami kesulitan untuk mengekspresikan pengenalan kita tentang Yesus Kristus. Kita tetap mebutuhkan-Nya untuk membuka pikiran kita supaya mengenal-Nya lebih dalam lagi. 

Di samping usaha untuk mengenal Allah yang selalu mengenal kita, patutlah kita berusaha untuk mengenal dan mengikuti Yesus dari dekat. Dia sudah menguduskan kita melalui Sakramen pembaptisan, dan tugas kita selanjutnya adalah bermisi. Kita diingatkan untuk saling mengantar kepada Tuhan Allah. Tantangan bagi kita adalah bagaimana memanagemen waktu pribadi dengan baik sehingga ada kesempatan bagi kita untuk melayani. Juga ada kesediaan untuk menjadi orang Kristen yang berkualitas. Kebajikan-kebaijiakan yang berikan oleh St. Bartolomeus adalah kejujuran, kesetiaan, ketekunan dalam hidup. Sosok Bartolomeus masih sangat inspiratif bagi kita untuk mengikuti Tuhan dari dekat. St. Bartolomeus dengarlah doa-doa kita.

P. John Laba, SDB  

Homili Pesta St. Bartolomeus, Rasul - 2020

Pesta St. Bartolomeus Rasul
Why. 21:9b-14
Mzm. 145:10-11,12-13ab,17-18
Yoh. 1:45-51

Engkau selalu mengenal aku

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kunjungan dari kawan lama. Ia sudah lama mendengar bahwa saya pindah tugas dari Don Bosco Dili, Timor Leste ke Don Bosco Tigaraksa. Ketika berjumpa, ia mulai menyebut litani pengenalannya akan diriku: “Romo John kelihatan tidak berubah sejak pertemuan kita beberapa tahun yang lalu, tidak menjadi tua, mulai kurusan dan brewokan. Tapi umumnya tetap sama.” Saya hanya tersenyum sambil mengatakan dalam hati apakah kawan lama ini serius atau basa-basi. Namun saya menyadari bahwa banyak kali orang-orang di luar diri kita memberi penilaian yang lebih objektif. Seseorang yang berat badannya 100kg selalu mengidentifikasi sebagai orang bertubuh slim, padahal orang selalu menyapanya ‘gendut’. Mungkin butuh mengenal diri lebih dalam lagi dan membiarkan orang lain mengungkapkan apa yang mereka kenal dari diri kita sendiri.

Pada hari ini kita mengenang St. Bartolomeus. Nama Bartholomeus (bahasa Yunani: Βαρθολομαίος) berasal dari bahasa Aram bar-Tôlmay (תולמי-בר), berarti putra Tolmay. Penginjil Yohanes menyebutnya Nathanael yang berarti Pemberian Allah. Beliau adlah sahabat akrab dari Filipus yang datang untuk mengikuti Yesus (Yoh 1:45-51). Banyak sejarahwan dan ahli Kitab Suci menyamakan Bartolomeus dan Natanael sebagai satu sosok yang sama. Ada kemungkinan besar bahwa Bartolomeus adalah sahabat akrab Yohanes. Kitab Suci Perjanjian Baru memperkenalkan sosok Bartolomeus, khususnya di dalam Injil-Injil Sinoptik sebagai salah satu dari para murid Yesus, misalnya Matius 10:3, Markus 3:18 dan Lukas 6:14, dan di dalam Kisah Para Rasul 1:13. Dari sini kita mendapat informasi bahwa Bartolomeus bukanlah seorang nelayan seperti Andreas, Yohanes, Simon dan Filipus, yang berasal dari Betsaida. Bartolomeus adalah seorang petani, dari daerah Kana. Namanya kiranya berkaitan dengan nama ayahnya ‘Tolmai’ yang berarti ‘petani’. 

Penginjil Yohanes menggambarkan sosok Bartolomeus sebagai seorang yang jujur dan tulus. Tuhan Yesus menyebutnya sebagai ‘Orang Israel sejati dan tidak ada kepalsuan baginya.’ Karena sikapnya ini maka Tuhan Yesus memilihnya sebagai murid dan menunjukkan kesetiaan yang besar kepada Yesus sendiri. Yohanes juga bersaksi bahwa Natanael hadir dalam kisah penampakan Yesus kepada ketujuh rasul-Nya di Danau Tiberias. Setelah Pentekosta, Bartolomeus mendapat keberanian untuk mewartakan Injil ke daerah Hierapolis, Asia Kecil. Di sana Bartolomeus berkarya bersama–sama dengan Filipus. Sepeninggal Filipus dan pembebasannya dari penjara, Bartolomeus mewartakan Injil di provinsi Likaonia, Asia Kecil. Beliau wafat sebagai martir Kristus di Albanopolis, tepi Laut Kaspia, pada masa pemerintahan Astyages, Raja Armenia. Selain berkarya diantara orang–orang Armenia, Bartolomeus juga berkarya di Mesopotamia, Mosul (Kurdi, Irak), Babilonia, Kaldea, Arab dan Persia.

Perjumpaan Bartolomeus dengan Yesus pada saat pertama memang mengubah seluruh hidupnya. Sebelumnya Filipus menjumpainya dan mengatakan kepadanya tentang perjumpaan mereka dengan Yesus. Filipus berkata: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret." (Yoh 1:45). Mendengar nama tempat Nazaret, Natanael merasa heran. Sebagai orang Galilea mungkin mereka selalu menganggap orang-orang Nazaret sebagai ‘orang belakang gunung’.  Sebab itu ia berkata: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" (Yoh 1:46). Filipus yang sudah lebih dahulu berjumpa dengan Yesus memberi kesaksian dengan mengatakan “Mari dan lihatlah”. Agaknya Natanael masih ragu-ragu tetapi Tuhan Yesus yang sudah melihatnya duduk di bawah pohon ara sudah menggerakan hatinya untuk siap mengikuti Yesus sampai tuntas. 

Perjumpaan Natanael dan Yesus benar-benar sebuah pertemuan yang transformatif. Natanael sungguh beruhah di hadapan Yesus. Yesus melihatnya untuk pertama kali dan berkata: "Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!" (Yoh 1:47). Ini adalah karakter Natanael. Dia adalah sosok sejati bukan bermuka dua, atau tukang basa-basi. Karakter dan kepribadian ini yang disenangi Yesus. Tuhan Yesus membuka pikirannya sehingga ia menyatakan imannya: "Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!" (Yoh 1:49). Dengan membuka hatinya kepada Yesus maka ia mendapat berkat istimewa. Tuhan Yesus memberinya kekuatan untuk melihat segala sesuatu dalam diri-Nya sebagai Tuhan: "Karena Aku berkata kepadamu: Aku melihat engkau di bawah pohon ara, maka engkau percaya? Engkau akan melihat hal-hal yang lebih besar dari pada itu." Lalu kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia." (Yoh 1:50-51).

Kisah hidup St. Bartolomeus atau St. Natanael mengatakan kepada kita beberapa hal penting: Pertama,kita perlu sikap-sikap positif sebagai murid-murid Tuhan yakni keterbukaan, kejujuran dan ketaatan kepada Tuhan. Sikap-sikap ini membantu kita untuk bertumbuh sebagai murid Kristus. Kedua, Kita membiarkan Tuhan untuk mengenal diri kita. Hanya dengan sikap batin semacam ini, kita pun akan dibantu oleh Tuhan untuk mengenal diri kita secara pribadi lebih dalam lagi. Banyak kali kita mengenal diri kita. Kita belum mampu berefleksi tentang diri kita secara pribadi. Ketiga, Bartomoleus menunjukkan kesetiaannya kepada Kristus sampai tuntas. Mari kita setia kepada Tuhan, setia dalam panggilan, setia terhadap pasangan hidup. Apakah anda setia? Anda setia kalau anda dapat mengenal diri dengan baik. St. Bartolomeus, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB

Sunday, August 23, 2020

Homili Hari Minggu Biasa ke-XXIA - 2020

Hari Minggu Biasa XXI/A
Yes. 22:19-23
Mzm. 138:1-2a,2bc-3,6,8bc
Rm. 11:33-36
Mat. 16:13-20

Transformasi kehidupan rohani

Kita memasuki Hari Minggu Biasa ke-XXI/A. Ada sebuah pertanyaan yang menarik bagi kita semua yang sudah dibaptis pada Hari Minggu ini: “Siapakah Yesus Kristus bagi kita secara pribadi?” Para murid Yesus yang sudah berjalan bersama-Nya selama lebih kurang tiga tahun, dan setelah mengalami perutusan ke kampung-kampung kembali dengan sukacita. Tuhan Yesus tetap berjalan bersama mereka dan kali ini mereka melakukan perjalanan yang cukup jauh yaitu dari Kapernaun menuju ke Kaisarea Filipi (pada saat ini disebut Banias). Jarak dari Kapernaum ke Kaisarea Filipi adalah sekitar 45 Km. Di tempat ini Yesus bertanya kepada para murid-Nya: "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" (Mat 16:13). Pertanyaan seperti ini tentu akan lebih mudah dijawab karena pertanyaan menyangkut kata orang. Maka dengan cepat mereka menjawab: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi." (Mat 16:14). Mungkin ada di antara kita yang bertanya, mengapa Yohanes Pembaptis yang disebut namanya? Karena Yohaneslah yang menyiapkan kedatangan Tuhan dengan seruan tobat dan membaptis di sungai Yordan. Mereka menyebut nama Elia karena bagi mereka Elia yang sudah diangkat ke surga akan kembali sebagai Mesias. Mereka menyebut nama Yeremia karena kehidupan pribadinya mirip dengan Yesus yang menderita karena orang-orang dekatnya.

Tuhan Yesus mau membuat transformasi radikal dalam hidup para murid-Nya. Maka ia bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" (Mat 16:15). Pertanyaan ini memang singkat tetap berat karena harus dijawab secara pribadi, karena menggambarkan relasi pribadi dengan Tuhan Yesus sendiri. Petrus sebagai juru bicara para murid menjawab pertanyaan Yesus dengan berkata: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Mat 16:16). Pengakuan sang juru bicara ini ternyata bukan hasil refleksi atau ucapan spontan Simon. Sebab itu Tuhan Yesus mengatakan: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 16:17). Allah Bapa sendiri yang menyatakan diri atau mewahyukan diri-Nya kepada Simon supaya bersaksi yang benar. Jawaban sekaligus pengakuan iman Simon menandakan awal baru bagi hidup, tugas dan perutusannya sampai tuntas sebagai murid dan mengikuti sang maestro sebagai martir. 

Tuhan Yesus memandang Petrus dengan penuh kasih. Ia mengatakan kepadanya: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." (Mat 16:18-19). Simon mengalami sebuah transformasi hidup yang radikal. Ia berubah dari Simon menjadi Khefas atau Petrus. Di atas wadas yang kokoh ini Tuhan Yesus berjanji untuk mendirikan Jemaat-Nya. Alam maut atau bahaya apapun tidak akan menghancurkan jemaat sebab dibangun di atas wadas yang kokoh. Transformasi yang dialami Simon adalah berubah dari manusia lemah, menjadi kuat seperti wadas dan bahwa kekuatannya itu berasal dari Tuhan. 

Tuhan Yesus juga menjanjikan kunci kerajaan Surga. Kunci bukan dalam arti kunci sebagaimana adanya. Bayangkan kalau kunci yang diberikan Yesus benar-benar barang nyata maka tentu sudah ada duplikatnya di mana-mana. Kunci adalah kuasa yang diberikan Yesus kepada Simon Petrus dan para penerusnya. Dalam bacaan pertama (Yes 22:19-23) kita dibantu untuk memahami makna ‘kunci’. Ketika itu Sebna diambil kuasanya oleh Tuhan dan diberikan kepada Elyakin bin Hilkia. Tuhan berjanji untuk memberikan kepadanya jubah, ikat pinggang dan kekuasaan. Elyakim akan menjadi bapak bagi penduduk Yerusalem dan kaum Yehuda. Tuhan juga mengatakan bahwa kunci rumah Daud akan diletakkan di atas bahunya. Maka apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka. Kunci disini berkaitan dengan kekuasaan yang Tuhan berikan kepada Elyakim dalam Perjanjian Lama dan Petrus dalam Perjanjian Baru.

Tuhan Yesus pada akhir bacaan Injil, Tuhan Yesus melarang murid-murid-Nya memberitakan kepada siapa pun bahwa Dialah Mesias. Mengapa Tuhan melarang para murid-Nya demikian? Tuhan kelihatan tidak menghendaki agar para murid-Nya pergi dan menyampaikan secara langsung kepada semua orang bahwa Dia adalah Mesias. Dia menghendaki agar setiap orang secara pribadi datang kepada-Nya dan menemukan-Nya sebagai Mesias. Iman kepada Yesus selalu bersifat pribadi. Mengimani Yesus bukan hanya sekedar ikut ramai saja. Orang harus mengimani-Nya secara radikal dan sangat pribadi.

Mengapa kita harus mengimaninya secara pribadi? St. Paulus dalam bacaan kedua memberikan kepada kita sebuah pemahaman tentang rahasia Allah yang kita alami secara pribadi. St. Paulus berkata: “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm 11:32-36). Tuhan tetaplah rahasia atau misteri yang tidak dapat dipahami dengan akal budi kita. 

Bacaan Kitab Suci pada Hari Minggu ini membantu kita untuk melakukan transformasi iman yang luar biasa. Tuhan menghendaki kita supaya tidak ikut ramai dalam beriman. Kita beriman dengan radikal dan kritis dengan tidak mengabaikan Sabda, tradisi suci dan magisterium para gembala di dalam Gereja Katolik. Hanya dengan demikian kita dapat mengenal Tuhan Yesus lebih mendalam lagi.

PJ-SDB

Saturday, August 22, 2020

Food For Thought: Kuduskanlah tempat ini

Kuduskan tempat ini…

Pada sore hari ini saya dikirimi link lagu ini: https://youtu.be/JVcsfYxPMS4 dan saat membukanya saya mendengar lagu yang sudah bukan lagu baru lagi: “Kuduskan tempat ini, untuk kami berdoa. Kuduskan hati ini, untuk kami menyembah. Biar segala perkara, kuserahkan pada-Mu Yesus. Dan Roh Kudus bekerja, membimbing kami semua.” Lagu ini kalau diulang beberapa kali dan perlahan-lahan akan mengantar kita supaya berdoa lebih baik lagi. 

Sambil mendengar lagu yang indah ini, pikiran saya tertuju pada ‘tempat ini’. Kita memohon supaya Tuhan menguduskan tempat di mana kita berada supaya dapar berdoa lebih baik lagi. Saya teringat pada Musa ketika dia berada di padang gurun dekat dengan gunung Tuhan, dia melihat belukar menyala tetapi api tidak membakarnya. Dia mendekati tempat itu dan mendengar dari dalam belukar itu suara ini: "Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.” (Kel 3:5). Musa menyadari perkataan ini, sejak saat itu ia meninggalkan hidup lama dan siap menjadi utusan Tuhan untuk membebaskan bangsa Isarel. 

Nabi Yehezkiel juga membagi pengalaman rohaninya, tentang bagaimana Tuhan menjadikannya sebagai utusan untuk menyadarkan bangsa Israel yang dilabel kaum pemberontak di hadirat Tuhan. Ketika itu Tuhan membawanya ke pintu gerbang baik suci yang menghadap ke Timur. Ia melihat kemuliaan Tuhan Allah Israel datang dari Timur, terdengar seperti suara air terjun yang menderu dan bumi bersinar karena kemulian-Nya. Yehezkiel berlutut dan menyembah karena ia melihat Bait Suci penuh dengan kemuliaan Tuhan. Pada saat itu Tuhan berkata kepada Yehezkiel: "Hai anak manusia, inilah tempat takhta-Ku dan inilah tempat tapak kaki-Ku; di sinilah Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel untuk selama-lamanya dan kaum Israel tidak lagi akan menajiskan nama-Ku yang kudus, baik mereka maupun raja-raja mereka, dengan persundalan mereka atau dengan mayat raja-raja mereka yang sudah mati.” (Yeh 43:7). 

Pengalaman Yehezkiel ini sangat jelas mengatakan kepada kita bahwa Gereja saat ini adalah shekina atau tempat Tuhan beresemayam. Tuhan mengatakan tentang takhta dan tempat tapak kaki-Nya. Ini berarti Gereja adalah tempat yang kudus karena Tuhan sendiri bersemayam dan menjadikan tempat itu kudus. Kalau demikian mari kita berefleksi lebih jauh lagi. Gereja sebagai shekina atau tempat Tuhan bersemayam maka kita harus berani untuk menguduskannya bukan mengotorinya. Pikirkanlah cara orang katolik pergi ke Gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Ada yang belum bisa membedakan mana pakaian ke gereja, mana ke supermarket dan mana jalan pagi. Coba lihat saudara-saudara dari gereja sebelah atau saudara-saudara Muslim kalau ke masjid. Mereka ada kesadaran bahwa tempat ibadah itu kudus. Di dalam Gereja memang tempat kudus tetapi ada orang yang tidak malu untuk mencuri uang kolekte dalam kotak kolekte. Di dalam Gereja menjadi tempat orang tertentu ‘tidak nalu-malu’ untuk berselingkuh. Dan tindakan lain di dalam Gedung gereja yang sungguh mengotori gereja. 

Pada hari ini kita disadarkan kembali untuk menguduskan tempat ibadah kita, menguduskan rumah tangga dan komunitas, menguduskan tempat kerja masing-masing. Ingat, Tuhan melihat engkau!”

Tuhan memberkati kita semua,

PJ-SDB