Mrk 11: 1-10
Yes 50:4-7
Flp 2:6-11
Mrk 15:1-39
“Sungguh orang ini adalah Anak Allah!”
Seorang petani merasa sangat bahagia karena memiliki sebidang tanah yang ditanami dengan serumpun bambu. Setiap kali kalau melewati bambu-bambu itu selalu saja ada pengalaman yang bagus yakni dengan bantuan angin, seolah-olah bambu-bambu itu tunduk dan menghormati tuannya.
Pada
suatu hari tuan bambu itu berkata kepada bambu: “Aku ingin memangkasmu supaya
cahaya matahari dapat menerangi tanaman bunga dan sayur-sayuran di kebun.”
Bambu dengan sedih berkata kepada tuannya, “Kalau saya dipangkas berarti akan
sulit untuk tunduk dan menghormatimu.” Kata tuannya, “Tidak apa-apa” lalu bambu
itu pun dipangkas.
Pada
hari yang lain datanglah tuan itu dan berkata kepada bambu, “Saya memerlukan
bantuanmu. Saya ingin memakai kulitmu sebagai saluran air untuk mengairi
tanaman bunga dan sayuran di kebun”. Kata bambu kepada tuannya, “Hmm berarti
saya harus dilukai lagi. Tetapi saya bersedia memberikannya kepadamu”. Dan pada
suatu hari yang lain, datanglah tuan bambu itu dan berkata kepada bambu, “Saya
memerlukanmu sebagai penyanggah bagi tanaman sayuran di kebun.” “Maksudmu?”
Tanya bambu. Tuannya menjawab, “Saya akan memotongmu menjadi lebih pendek dan
bagian yang saya potong akan saya pakai untuk menjadi tiang penyanggah.” Dengan
sedih bambu itu memahami dan menerima permintaan tuannya.
Setelah
beberapa minggu, tuan bambu itu berkata, “Untung semua permintaanku dikabulkan.
Lihatlah tanaman bunga dan sayuran bertumbuh subur karena kamu sudah bersedia
untuk dipangkas, dibelah sebagai pipa air sementara dan menjadi penyanggah. Itu
adalah tanda hormatmu yang benar kepadaku. Dan ternyata kamu terus menerus mau
membantu sehingga tunas-tunasmu yang muda juga tetap bertumbuh.”
Kisah
bambu ini menginspirasikan kita untuk memahami makna pengurbanan diri bagi
kebaikan sesama. Kalau sekiranya bambu tidak mengorbankan dirinya maka tentu
tanaman bunga dan sayuran tidak akan hidup dengan baik dan tidak berguna bagi
tuan kebunnya.
Fokus
perhatian kita selama pekan suci ini adalah Tuhan Yesus Kristus. Dia laksana
hamba menderita yang memberi dirinya sebagai korban demi keselamatan umat
manusia. Yesus memberi diriNya karena Dia taat kepada kehendak Bapa di Surga.
Dalam Kitab nabi Yesaya kita mendengar kisah tentang ketaatan hamba Tuhan yang
menderita penganiayaan. Hamba Tuhan itu berkata, “Tuhan Allah telah memberikan
kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataanku aku dapat memberikan
semangat baru kepada orang yang letih lesu.” Ketaatan hamba Tuhan terletak pada
kemampuannya untuk selalu mendengar seperti seorang murid karena Tuhan
mempertajam pendengarannya setiap pagi. Hamba Tuhan menderita karena aneka
siksaan: dipukuli, janggutnya dicabut, dinodai dan diludahi. Tetapi Tuhan Allah
tetap menolongnya.
Santu
Paulus memahami penderitaan hamba yang menderita dengan menghubungkannya dengan
pengalaman Yesus sendiri. Bahwa Yesus tidak berbangga sebagai Anak Allah, Dia
justru mengosongkan diriNya (kenosis) sendiri, mengambil rupa seorang hamba dan
menjadi sama dengan manusia. Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib. Itu sebabnya segala makhluk bertekuk lutut di
hadapanNya dan mengakuiNya: “Yesus Kristus adalah Tuhan”.
Hamba
yang menderita adalah hamba yang mengosongkan diri, merendahkan diri dan wafat
di kayu salib. Dialah Yesus yang diakui umat manusia dan segala makhluk di atas
dan di bawah bumi bahwa Dialah Tuhan. Kerendahan hati Yesus sebagai Raja
semesta alam yang masuk ke Yerusalem dengan kendaraan paling sederhana yakni
keledai. Keledai adalah hewan yang sebenarnya sangat dungu tetapi Tuhan
menggunakannya sebagai kendaraan dan melewati kumpulan orang-orang berdosa. Penginjil
Markus bersaksi bahwa semua orang itu bersorak gembira menyambut Raja yang
sederhana: “Hosana! Diberkatilah Dia yang
datang dalam nama Tuhan! Diberkatilah Kerajaan yang akan datang. Kerajaan Bapa
kita Daud! Hosana di tempat yang mahatinggi!”
Penginjil
Markus juga mengisahkan sengsara Yesus dengan menekankan bahwa Yesus adalah
korban dari sebuah kejahatan terstruktur. Dia tidak bersalah apa-apa tetapi
dianggap bersalah dan diadili. Tetapi Yesus taat pada kehendak Bapa di Surga
dan menerima segala penderitaan. Salib yang Dia pikul itu bertujuan untuk
menyelamatkan manusia. Tentu saja lukisan Markus ini membuat kita terpancing
secara emosional dan cepat merasa iba terhadap penderitaan Yesus. Tetapi
sebenarNya Markus berniat untuk mengatakan kepada kita supaya bertumbuh dalam
iman dan mengakui Yesus yang menderita sebagai Anak Allah. Sama seperti seorang
Algojo yang mengakui di bawah kaki salib: “Sungguh, orang ini adalah Anak
Allah” atau Paulus dalam suratnya: “Yesus Kristus adalah Tuhan”.
Merayakan
Hari Minggu Palma membawa kita pada refleksi kehidupan yang praktis. Pertama,
kita bersyukur kepada Tuhan karena semua anugerah berlimpah yang Dia berikan
kepada kita. Anugerah itu adalah Yesus, Anak Allah yang rela menderita untuk
kita semua. Tidak ada kasih yang paling agung selain kasih seorang yang
menyerahkan diriNya untuk para sahabatNya. Kasih sungguh-sungguh dilakukan oleh
Tuhan.
Kedua,
Penderitaan atau kesengsaraan Yesus membuat kita bertumbuh dalam iman. Dia
adalah hamba Tuhan yang menderita. Dia menjadi Putera yang mengosongkan diri,
merendahkan diri dan wafat di kayu salib untuk kita. Penderitaan Kristus
mendorong kita untuk bertumbuh secara rohani.
Ketiga,
seruan damai. Daun palma melambangkan damai. Tuhan Yesus berkata: “DamaiKu
Kutinggalkan bagimu, dan damai yang kuberikan itu tidak sama dengan yang dunia
berikan kepadamu” (Yoh 14:27). Dan Ia juga berseru: “Berbahagialah orang yang
membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Apakah
anda sudah berdamai dengan dirimu? Apakah anda sudah berdamai dengan sesama dan
lingkungan? Kristus adalah damai kita. Mari kita membangun dunia kita menjadi
dunia yang penuh dengan kedamaian.
PJSDB
No comments:
Post a Comment