Hari Selasa, Pekan Paskah III
Kis. 7:51 - 8:1a
Mzm. 31:3cd-4,6ab,7b,8a,17,21ab
Yoh. 6:30-35
Akrab dengan sang
Roti Hidup
Saya selalu mengingat sebuah
himne yang ditulis santu Thomas Aquinas dengan judul “Adoro Te”. Saya mengutip
beberapa ayat untuk kita renungkan bersama: “Allah yang tersamar, Dikau
kusembah, sungguh tersembunyi, roti wujudnya. S’luruh hati hamba tunduk
berserah, ‘Ku memandang Dikau, hampa lainnya. Pandang, raba, rasa, tidaklah
benar, ‘ku percaya hanya yang t’lah kudengar. S’luruh sabda dari Putera Allah, sungguh
tak bertara kebenarannya. Di salib tersamar keallahan-Mu, di sini tersamar
keinsanan-Mu. Aku mengimani dua-duanya. Yang penyamun minta, ‘ku memintanya.”
Himne ini selalu kita nyanyikan pada saat adorasi suci sakramen Mahakudus. Pada
saat Ekaristi atau saat mengikuti adorasi suci, kita tidak memandang hosti
tetapi kita memandang Allah yang tersamar dan menyembah-Nya. Di hadirat Tuhan
ini kita menyembah, tunduk berserah kepada-Nya. Ketika kita memandang salib,
kita memandang keallahan-Nya dan dalam sakramen Mahakudus tersamar
keinsanan-Nya. Saat berekaristi, kita berjumpa dengan Allah yang tersamar dalam
diri Yesus Ekaristis. Sebab itu rasa syukur yang mendalam harus tetap kita
tanamkan dalam-dalam di hati kita.
Pada hari ini kita mendengar kelanjutan
kisah Yesus dalam Injil Yohanes tentang pengajaran Roti Hidup di dalam rumah ibadat
di Kapernaum. Orang banyak mencari, menemukan dan mengkuti Yesus dengan banyak
motivasi yang berbeda-beda. Yesus sebelumnya mengingatkan banyak di antara
mereka yang ingin mengikuti Yesus karena mau makan dan minum gratis. Maka Yesus
mengatakan: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan
untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan
Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan
meterai-Nya." (Yoh 6:27). Selanjutnya, orang-orang meminta Yesus untuk
menunjukan sebuah tanda yang dapat meyakinkan mereka semua. Mereka juga mempertanyakan
pekerjaan apa yang sudah sedang dilakukan Yesus supaya lebih meyakinkan mereka.
Mengapa mereka berperilaku demikian? Sebab mereka mendasarkan diri pada
pengalaman masa lalu di mana nenek moyang mereka telah makan mana di padang
gurun. Bagi mereka ini adalah makanan yang berasal dari surga.
Tuhan Yesus menggunakan kesempatan
untuk mengajar mereka tentang diri-Nya sebagai Roti hidup yang turun dari surga.
Ia mengatakan kepada mereka bahwa mana yang di padang gurun itu bukan diberikan
Musa melainkan diberikan oleh Bapa surgawi. Dialah yang memberi roti yang benar
sebab roti itu turun dari surga dan memberi hidup kepada dunia. Sebenarnya
dengan mengatakan roti yang diberikan Allah itu turun dari surga, mereka bisa
mengerti bahwa roti yang dimaksud itu bukan roti sebagaimana adanya melainkan
seorang yang telah turun dari surga. Yesus tidak mengatakan roti yang jatuh
dari surga tetapi turun dari surga, bukan juga diturunkan dari surga. Perkataan
Yesus ini menggoda orang-orang di dalam sinagoga sehingga mereka langsung memintanya.
Yesus dengan tegas mengatakan: "Akulah roti hidup; barangsiapa datang
kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia
tidak akan haus lagi.” (Yoh 6:35).
Pengajaran yang diberikan Yesus
ini masih sangat actual bagi kita semua. Kita mengakui diri dengan bangga
sebagai pengikut Kristus, orang katolik, namun apakah kita memang
sungguh-sungguh katolik sesuai pikiran dan harapan Yesus Kristus. Banyak kali
kita justru seperti orang-orang zaman Yesus yang meminta tanda, atau pura-pura
tidak mengenal Yesus. Kita mungkin lebih enak dengan hidup lama dana susah
untuk membuka diri bagi hal-hal baru yang merupakan rencana Tuhan sendiri.
Orang-orang di dalam Sinagoga menunjukkan sikap ini di hadapan Yesus. Mereka
masih menyukai hidup lama sehingga di depan Yesus sekalipun mereka tetap
mengingat hidup lama. Sikap hidup seperti ini menunjukkan ‘kita pakai bangetz’.
Seharusnya kita berusaha untuk mengerti rencana dan kehendak Yesus di dalam
hidup kita. Dia adalah roti hidup, makanan rohani yang selalu kita kenang di
dalam Ekaristi.
Sangatah sulit Gereja masa kini
untuk menghayati Ekaristi dengan baik. Ekaristi adalah syukur dari pihak kita
kepada Tuhan Yesus sebab Ia mengurbankan hidup-Nya untuk penebusan berlimpah
kita. Hanya saja usaha untuk menghayati ekaristi semakin jauh dan suram.
Pikirkanlah saat-saat kita berada di dalam Gereja untuk beribadah. Banyak orang
yang senang bermain HP, gadget, ngobrol, berpikiran negatif dan kotor terhadap
orang lain di depan “Allah yang tersamar”. Hal-hal seperti ini membuat Ekaristi
kita menjadi tidak bermakna karena kita tidak memiliki hati yang bersyukur.
Apa yang harus kita lakukan?
Kita memiliki sosok inspiratif
hari ini yakni santu Stefanus. Santu Stefanus adalah salah seorang Diakonos
dari ketujuh diakon terpilih di Yerusalem saat itu. Ketika itu Simon Petrus dan
teman-temannya berniat untuk mengingatkan komunitas untuk memprioritaskan
pelayanan Sabda sesuai kehendak Tuhan Yesus. Sebab itu Simon Petrus meminta
mereka untuk memilih tujuh orang yang penuh dengan Roh Kudus supaya mengambil
alih tugas melayani komunitas, terutama orang-orang miskin, sedangkan para
rasul lebih fokus kepada pelayanan kepada Sabda Tuhan. Stefanus adalah salah
seorang diakon terpilih yang menjadi martir pertama di dalam komunitas karena memberi
kesaksian tentang kebangkitan Kristus.
Stefanus wafat sebagai martir
pertama karena bersaksi tentang Yesus sang Roti Hidup. Dia penuh dengan Roh
Kudus dan melihat kemuliaan Allah, Tuhan Yesus yang berdiri di sebelah kanan
Allah. Orang-orang melempari Stefanus sampai wafat. Ada tiga hal yang
ditunjukkan Stefanus dalam kemartirannya: Pertama, Stefanus wafat sebagai
martir cinta kasih. Ia mampu mengasihi Tuhan, mengasihi komunitas bahkan
mengasihi musuh-musuh yang melemparinya dengan batu. Kedua, Stefanus bisa
mengampuni. Ia dimusuhi, dilempari dengan batu tetapi ia tetap mau mengampuni.
Ia berkata: “Tuhan janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka.” Ketiga,
Stefanus berdoa. Dalam situasi yang sulit ini Stefanus masih berdoa. Ia berdoa:
“Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku”.
Stefanus menginspirasikan kita
supaya menjadi saksi tentang Yesus sebagai Roti hidup dalam hal mengasihi, mengampuni
dan mendoakan bahkan musuh sekalipun. Pikirkanlah ketika kita berada dalam
situasi yang sulit, apakah kita masih sempat mengasihi, mengampuni dan berdoa?
Mudah sekali kita berpikir tentang mengasihi, mengampuni dan mendoakan atau
berdoa tetapi sangatlah sulit untuk melakukannya. Kita butuh Yesus untuk
mengubah hidup kita. Hanya Yesus saja yang dapat melakukan semua ini di dalam hidup
kita.
No comments:
Post a Comment