Kis. 18:9-18
Mzm. 47:2-3,4-5,6-7
Yoh. 16:20-23a
Jangan takut!
Pada pagi hari ini saya mengingat
sebuah perkataan dari Aristoteles. Inilah perkataan sang Filsuf: “Manusia
pemberani bukanlah seseorang yang tak pernah merasa takut, tetapi seseorang
yang takut pada hal-hal yang seharusnya, pada waktu yang tepat, dengan cara
yang benar.” Kita semua pernah merasa takut. Ketika masih kecil banyak di
antara kita takut dengan suasana gelap, akibatnya kalau tidur harus ditemani
atau lampu kamar dibiarkan menyala. Ada yang takut dengan hewan tertentu, ulat,
ular, kecoa, cecak dan lain sebagainya. Ada anak-anak kecil yang takut dengan lawan
jenisnya maka kalau digoda dengan lawan jenisnya ia akan menangis. Rasa takut
menjadi bagian dari hidup kita. perasaan takut membuat orang menderita, menangis,
merasa kehilangan dan aneka pengalaman batin lainnya. Kata-kata penghiburan
yang selalu kita dengar dari sesama adalah jangan takut, masih ada kesempatan,
orang sehebat anda masih takut ya… dan lain sebagainya. Rasa takut menjadi
bagian dari hidup kita bukan karena kita tidak berani melainkan karena kita takut
pada hal-hal yang seharusnya, pada waktu yang tepat dan dengan cara yang benar.
Bacaan-bacaan liturgi pada hari
ini menggambarkan hidup kita yang nyata di hadapan Tuhan dan sesama. Penginjil
Yohanes melanjutkan laporannya tentang amanat perpisahan yang dilakukan Yesus
kepada para murid-Nya pada malam perjamuan terakhir. Ketika itu Yesus
mengungkapkan aspek-aspek manusiawi dari kita semua yakni menangis, meratap, dukacita
dan sukacita. Yesus tahu bahwa para murid akan merasa kehilangan karena Dia
pergi kepada Bapa. Itu sebabnya Ia berkata: “Sesungguhnya kamu akan menangis
dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi
dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.” (Yoh 16:20). Kita sudah sedang
mengalami semua ini, di saat covid-19 masih membunuh begitu banyak saudara dan
saudari kita. Banyak yang menangis dan meratap serta berduka. Ini sebuah
kenyataan hidup saat ini. Namun semua ini tidaklah menjadi keabadian. Yesus
sendiri mengatakan dukacita kita akan berubah menjadi sukacita. Ketika kita masih
beriman dan berharap kepada Tuhan maka Ia akan mengeluarkan kita dari tangisan,
ratapan dan dukacita manusiawi.
Tuhan Yesus mengambil salah satu
contoh konkret. Seorang perempuan akan merasakan dukacita, dan rasa sakit pada
saat bersalin. Ada yang melahirkan secara normal, ada yang melalui operasi
sesar. Ini tentu bukanlah hal yang mudah karena penuh dengan resiko yaitu
kematian sebagai ibu atau kematian bayi atau kematian kedua-duanya. Menakutkan!
Namun setelah melahirkan anaknya, ia akan melupakan rasa sakitnya karena
melihat anaknya yang berbaring di sisinya. Ini merupakan kelebihan dan
kehebatan seorang ibu yang menjadi pelajaran bagi semua orang untuk menerima
dan bertahan dalam penderitaannya. Dengan contoh ini Yesus juga mengingatkan
para murid dan kita semua bahwa dukacita adalah bagian dari pengalaman hidup manusia,
“tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada
seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu.” (Yoh 16: 22). Duka
cita selalu mendahului sukacita. Dengan Roh Kebenaran, sukacita di dalam diri
kita akan menjadi abadi dan sempurna.
Perkataan Tuhan Yesus ini pernah dialami
oleh Paulus dalam perjalanan misionernya. Ia pernah dilempari dengan batu di
Listra (Kis 14:19 dst) dan nyaris tewas namun ia tetap melanjutkan tugas misionernya. Ia pernah dipenjara dan
dipukul hingga babak belur di Filipi namun dibebaskan secara luar biasa.
Sebagai misionaris Paulus mengalami dukacita, banyak penderitaan dan penolakan sebagaimana
dicontohkan di atas. Itulah sebabnya ketika Paulus tiba di Korintus, Tuhan
mengingatkannya: "Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan
diam! Sebab Aku menyertai engkau dan tidak ada seorangpun yang akan menjamah
dan menganiaya engkau, sebab banyak umat-Ku di kota ini." (Kis 18:9-10). Perkataan
Tuhan Yesus ini berkaitan dengan pengalaman penderitaan Paulus di Filipi dan
penolakannya di Athena. Secara manusiawi Paulus pasti takut, apalagi
penderitaan yang datang bertubi-tubi. Namun cintanya kepada Tuhan Yesus sangatlah
kuat. Ia berkata: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah
keuntungan”. (Flp 1:21). Ia bertahan dalam penderitaan dan melayani Tuhan Yesus
sampai tuntas.
Pengalaman dukacita, tangisan
derita kembali dialami Paulus di Korintus selama ia tinggal di sana selama satu
setengah tahun. Ketika itu Galio menjadi gubernur Akhaya, orang-orang Yahudi
bangkit melawan Paulus, menghadapkannya ke pengadilan dengan tuduhan yang tidak
benar. Ini adalah tuduhannya: "Ia ini berusaha meyakinkan orang untuk
beribadah kepada Allah dengan jalan yang bertentangan dengan hukum
Taurat." (Kis 18:13). Untunglah Galio menunjukkan kebijaksanaannya dengan
mengusir orang-orang Yahudi karena tuntutan mereka tidak dikabulkan dan tidak
berdasar. Galio berkata: "Hai orang-orang Yahudi, jika sekiranya dakwaanmu
mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan, sudahlah sepatutnya aku menerima
perkaramu, tetapi kalau hal itu adalah perselisihan tentang perkataan atau nama
atau hukum yang berlaku di antara kamu, maka hendaklah kamu sendiri
mengurusnya; aku tidak rela menjadi hakim atas perkara yang demikian."
(Kis 18:14-15). Paulus akhirnya meninggalkan Korintus menuju ke Siria.
Hidup kita bermakna ketika
pengalaman penderitaan berubah menjadi sukacita. Kita tidak harus berhenti pada
pengalaman penderitaan semata karena masih ada Tuhan yang melihat dan mendengar
rintihan kita. St. Paulus mengatakan, tidak ada satu apapun yang dapat memisahkan
kita dari kasih Kristus. Sebab itu jangan takut. Tuhan selalu memiliki rencana
yang indah bagi kita semua.
PJ-SDB
No comments:
Post a Comment