Monday, August 17, 2020

Homili Hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 - 2020

HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Sir 10:1-8
Mzm 101:1a.2ac-3a.6-7
1Ptr 2:13-17
Mat 22:15-21

Orang merdeka sejati!

Setiap tahun kita merayakan HUT kemerdekaan Republik Indonesia. Di mana-mana ada warna merah putih dan lagu-lagu patriotism menegaskan rasa nasionalisme kita. Saya mengingat suatu kesempatan ketika menyaksikan pertandingan sepak bola antara kesebelasan Indonesia melawan Malaysia di Gelora Bung Karno. Sebelum memulai pertandingan dinyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Saya memperhatikan semua penonton meletakkan tangan di dada sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia dengan semangat yang membara. Saat itu saya merasa benar-benar orang Indonesia di negeri sendiri. Teman saya di samping berbisik, “Wah kita sungguh berada di Indonesia, darah kita seakan mendidih ketika mendengar nama Indonesia”. Ini adalah sebuah pengalaman yang selalu saya kenang sebagai orang Indonesia. Kini kita memasuki usia kemerdekaan yang ke-75, sebuah usia yang sudah disapa opa dan oma, meskipun masih tetap berkembang dengan segala dinamika sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya.

Saya mengingat Bung Karno, ketika berkata begini: "Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!” Perkataan ini kiranya seperti sebuah vision atau penglihatan yang terang benderang karena melihat kemajemukan yang dimiliki negara ini. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Indonesia tercatat memiliki 17.504 pulau yang di mana 16.056 pulau telah memiliki nama baku di PBB. Ini baru jumlah pulau, belum suku, bangsa, Bahasa dan agama. Namun tepat seperti dikatakan Bung Karno bahwa negara Indonesia bukan milik satu golongan, agama, suku dan adat istiadat tetapi milik bersama dari Sabang sampai Merauke.

Perkataan mulia Bung Karno ini sebenarnya tidak banyak dipahami oleh orang-orang tertentu yang berpikiran sempit sehingga merasa lebih Indonesia dari orang lain, lebih beragama dari pada orang lain sehingga menimbulkan kegaduhan publik di mana-mana. Pikirkan fenomena sosial belakangan ini. Lagu naik-naik ke puncak gunung merupakan lagu yang menyuarakan kristenisasi, lagu balonku yang seolah-olah menyepelehkan agama tertentu, dan simbol 75 tahun kemerdekaan Indonesia yang diklaim berbentuk salib. Memang aneh tapi nyata karena masih banyak orang yang belum meredeka dalam pikiran sehingga masih seperti katak di bawah tempurung. Ada juga Gerakan radikalisme agama yang didengungkan di mana-mana dan merong-rong pemerintah. Semuanya ini sebenarnya membuat orang tetap berada dalam kungkungan dan belum merupakan sebuah kemerdekaan yang benar.

Presiden Joko Widodo dalam sambutan menyongsong HUT kemerdekaan RI ke-75 mengatakan bahwa bahwa demokrasi memang menjamin kebebasan, namun kebebasan yang menghargai hak orang lain. Lebih jelas ia berkata: "Jangan ada yang merasa paling benar sendiri, dan yang lain dipersalahkan. Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri. Semua yang merasa paling benar dan memaksakan kehendak, itu hal yang biasanya tidak benar." Atau ketika memberi bintang jasa kepada duo F yakni Fahri Hamzah dan Fadli Zon, beliau berkata: "Bahwa misalnya ada pertanyaan mengenai Pak Fahri Hamzah kemudian Pak Fadli Zon ya, ya berlawanan dalam politik kemudian berbeda dalam politik ini bukan berarti kita ini bermusuhan dalam berbangsa dan bernegara. Inilah yang namanya negara demokrasi." 

Bagi saya sosok pemimpin negara yang bijaksana seperti ini sangatlah dibutuhkan untuk memberikan kesejahteraan, keamanan dan hidup berdampingan sebagai saudara. Dan Joko Widodo benar-benar mengungkap dirinya sebagai orang merdeka sejati. Seorang leader yang menomorsatukan kepentingan bangsa dan negara. Nilai-nilai yang ditunjukkan oleh para pemimpin negara seperti yang dilakukan Presiden Jokowi sangatlah Kristiani. Ajaran-ajaran Yesus tentang kasih, pengampunan, membangun perdamaian ada dalam cara dia merangkul semua lawan politik untuk bersatu padu membangun negara Indonesia.

Sosok pempimpin negara kita saat ini sangat menginspirasi kita untuk memahami rencana Tuhan melalui bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini. Kitab Putra Sirakh dengan tegas meminta kepada para pemimpin untuk tetap bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin itu tidak membenci tetapi menyatukan. Perhatikan perkataan ini: “Hendaklah engkau tidak pernah menaruh benci kepada sesamamu apapun juga kesalahannya, dan jangan berbuat apa-apa terpengaruh oleh nafsu.” (Sir 10:6). Pemimpin memang harus tahan banting kalau di kritik, tetapi tetap tegar untuk mengusahakan kesejahteraan rakyat. Ini benar-benar pemimpin yang merdeka. 

St. Petrus dalam bacaan kedua mengatakan bahwa sebagai rakyat, kita harus tunduk kepada semua Lembaga manusia. Inilah perkataan Petrus: “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik.” (1Ptr 2:13-14). Dengan kepatuhan ini kita sungguh menunjukkan karakter sebagai orang merdeka. Bagi Petrus, “Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah. Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!” (1Ptr 2:16-17). Petrus mengoreksi cara hidup para pemimpin hyang mudah lupa akan tugas dan tanggung jawabnya, dan rakyat yang hanya menuntut haknya tetapi tidak mentaati pemimpinnya.

Tuhan Yesus dalam bacaan ini melengkapi semua permenungan kita di hari kemerdekaan ini dengan mengatakan supaya sebagai warga negara yang baik kita sadar diri untuk memberikan segala yang menjadi haknya negara dan pemerintah dan kepada Tuhan semua yang menjadi haknya Tuhan. Tuhan sendiri menciptakan kita sesuai dengan citra-Nya maka kita menyadari pangilan kekudusan kita. Kita adalah orang merdeka yang mau menjadi kudus. Kita juga sebagai warga negara yang memiliki tanggung jawab untuk mengabdi dan patuh kepada para pemimpin. Banyak kali kita hanya meminta hak sebagai warga negara dan lupa memberi diri untuk kebaikan negara. 

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip John Fitzgerald Kennedy. Beliau adalah Presiden Amerika Serikat yang menjabat sejak Januari 1961 sampai dibunuh bulan November 1963. Inilah perkataan inspiratifnya: “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!” Mari kita bergandengan tangan, sebagai orang beriman membangun bangsa dan negara yang sedang dilanda covid-19. Berempatilah sebagai saudara. Mari kita menangkal radikalisme yang membawa perpecahan kita sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Jayalah Indonesiaku di usiamu yang ke-75.

PJ-SDB

No comments:

Post a Comment