Hari Minggu Biasa XXIII/C
Keb. 9:13-18
Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17
Flm. 9b-10,12-17
Luk. 14:25-33
Mewujudkan Pribadi
Berhikmat
Seorang guru Sekolah Dasar
membagikan pengalamannya. Ia pernah bertanya kepada para siswa di kelasnya
tentang cita-cita mereka di masa depan. Ada siswa yang mengatakan keinginannya
untuk menjadi petani, pedagang, guru, dokter, tentara, pilot dan presiden. Hanya
ada seorang siswa yang duduk, diam dan tenang. Guru itu kembali bertanya secara
khusus kepada siswa itu dan ia menjawab: “Saya ingin menjadi seorang pribadi
yang berhikmat”. Sejenak, guru ini kaget dengan jawaban yang begitu tenang dari
siswa ini, namun dengan cepat ia menyadari makna sebuah hikmat dalam diri
manusia. Selanjutnya, ia menjelaskan kepada para siswanya bahwa entah menjadi
petani, pedagang, guru, dokter, tentara, pilot dan presiden, pertama-tama ia
haruslah menjadi pribadi yang berhikmat. Hikmat berarti kebijakan atau kearifan
manusia sebagai pribadi dan merupakan rahmat dari Tuhan sang Pencipta. Tuhan
telah menciptakan manusia seturut citra-Nya maka Ia pun memberikan hikmat
kepada manusia sesuai kehendak-Nya sendiri.
Ada sebuah pertanyaan yang
membantu refleksi kita yakni apa persepsi umum tentang seorang manusia yang
berhikmat? Dalam pengalaman hidup setiap hari, kita selalu mendengar
kriteria-kriteria tertentu tentang pribadi yang hidup berhikmat. Ada orang yang
beranggapan bahwa pribadi yang berhikmat itu memiliki pendidikan yang tinggi.
Anggapan semacam ini tidak selamanya benar karena ternyata banyak orang boleh
berpendidikan tinggi namun masih memiliki perilaku yang tidak sepadan dengan
pendidikannya. Misalnya, tingkat kematangan berpikir dan menganalisis suatu
persoalan masih kekanak-kanakan. Anggapan lain dalam masyarakat bahwa orang
berhikmat adalah mereka yang memiliki banyak pengalaman hidup. Anggapan ini
tidak selamanya benar, sebab mereka yang sudah lama berkarya masih memiliki
perilaku dan tutur kata yang tidak sepadan dengan pengalaman kerja mereka.
Misalnya orang itu selalu bersungut-sungut, padahal sudah lama bekerja di
tempat itu. Anggapan yang sama berlaku bagi orang yang sudah memasuki usia
senja. Ada saja pikiran bahwa pengalaman masa muda dan di dalam dunia kerja
menjadikan kaum tua menjadi bijaksana, ternyata bukan demikian. Banyak orang
berusia tua menunjukkan dirinya sebagai orang yang tidak berhikmat. Misalnya
orang tua yang suka mengeritik dan membandingkan masa lalunya dengan masa kini.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada
hari ini membuka wawasan kita untuk bertumbuh sebagai pribadi yang berhikmat.
Bacaan pertama dari Kitab Kebijaksanaan membantu kita untuk bertumbuh sebagai
pribadi yang berhikmat, dewasa serta mampu menyelamatkan sesama manusia,
berdasar pada hikmat dari Tuhan sendiri. Ada sebuah pertanyaan awal yang
menarik perhatian kita: “Manusia manakah dapat mengenal rencana Allah, atau
siapakah dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan?” (Keb 9:13). Manusia tidak
mampu menyelami rencana dan kehenak Tuhan. Hanya Tuhan sendiri saja yang mampu
membuka pikiran manusia untuk memahami-Nya, meski Dia tetaplah sebuah Misteri.
Manusia hanya memiliki pikiran manusiawi yang fana, hina dan pertimbangannya
yang tidak tetap. Mengapa manusia berlaku demikian? Jawaban pastinya adalah
manusia memiliki jiwa yang masih dibebani oleh badan yang fana dan kemah dari
tanah memberatkan budi yang banyak berpikir.
Perlu kita ketahui juga bahwa
hikmat yang dimiliki manusia berasal dari Tuhan. Sebab itu manusia diharapkan
untuk tetap memohonkannya dari Tuhan. Manusia membuka dirinya kepada Tuhan dan
membiarkan Tuhan membentuknya menjadi pribadi yang berhikmat. Tuhan
menganugerahkan hikmat-Nya melalui Roh Kudus-Nya. Roh Tuhan mengajarkan manusia
untuk berkenan kepada Tuhan. Hikmat dalam hal ini Tuhan sendirilah yang
menyelamatkan manusia. Semua ekspresi ini sangat indah dari Kitab
Kebijaksanaan.
Tuhan menunjukkan hikmat-Nya
dengan memberikan pengampunan dan penebusan berlimpah kepada manusia. Seorang
pribadi yang berhikmat tentu akan membuka pikirannya untuk menerima dan
mengampuni setiap pribadi manusia yang telah bersalah sebagaimana Tuhan sendiri
sudah melakukannya di dalam diri manusia berhikmat. Kisah Onesimus sangat indah
untuk kita renungkan bersama sebagai pribadi yang berhikmat. Onesimus (artinya
berguna) adalah budak Filemon yang tinggal di Kolose. Ia melarikan diri dari
rumah Filemon, tuannya namun berhasil ditangkap dan dipenjarakan, satu sel
dengan Paulus. Onesimus kemudian meminta perlindungan kepada Paulus. Paulus
lalu mengirimkan surat kepada Filemon agar menerima kembali dan memperlakukan
Onesimus dengan baik. Memang saat itu ada peraturan bahwa orang yang
menyembunyikan para budak akan mendapat hukuman dari kekaisaran Romawi. Paulus
menunjukkan hikmatnya dengan mengembalikan Onesimus kepada Filemon, bukan lagi
sebagai hamba melainkan sebagai saudara. Ia menyatukan sebuah relasi antar
pribadi yang telah patah anatara Onesimus dan Filemon.
Banyak kali kita mengalami
masalah dan persoalan hidup. Tugas kita yang mulia adalah menunjukkan
kelembutan hati untuk menyatukan hubungan yang telah patah, menghindari
kekerasan verbal dan fisik. Ada pribadi-pribadi tertentu yang mengambil jalan
pintas dengan melakukan kekerasan dan tidak menghasilkan apa-apa. Relasi antar
pribadi menjadi dangkal dan mudah hancur. Orang tidak saling menerima sebagai
saudara. Itulah hidup kita yang nyata di hadapan Tuhan. Banyak Onesimus yang
menderita karena Filemon-Filemon zaman now. Sosok Paulus kita butuhkan sebagai
pribadi berhikmat untuk mendamaikan dan menyatukan.
Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus
mengajarkan kita untuk menjadi pribadi berhikmat dalam mengikuti-Nya dari
dekat. Bagaimana menjadi pribadi yang berhikmat di hadirat Yesus? Ia meminta
kita untuk berani melepaskan segala hal milik kita. Berani memiliki sikap lepas
bebas yang membuka jalan untuk bersatu dengan Tuhan. Yesus berkata: “Jikalau
seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya,
anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya
sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya
dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk 14:26-27). Mungkin
kita kaget dengan perkataan Tuhan Yesus yakni ‘membenci’. Kata ini bukanlah
bernuansa negatif dalam paham semitis. Tuhan Yesus hendak menegaskan tentang
sikap manusia yang berpegang teguh hanya kepada Tuhan, selalu berharap kepada
penyelenggaraan ilahi dari Tuhan bukan berharap kepada manusia. Tuhan haruslah
menjadi prioritas utama baru manusia.
Pribadi yang berhikmat akan
berusaha untuk membuat perencanaan yang matang tentang hidupnya. Dicontohkan
dengan orang yang hendak membangun Menara harus memiliki perencanaan yang bagus
sehingga bisa membanggunya sampai tuntas. Raja yang hendak berperang juga perlu
menyiapkan perencanaan pasukannya untuk melawan musuh. Nah di sini hikmat
manusia ditunjukkan dengan membentuk sebuah perencanaan yang matang dan
berusaha untuk melepaskan diri dari kepemilikannya sehingga ia hanya berfokus
kepada Tuhan.
Apakah anda seorang berhikmat?
Orang berhikmat akan mengandalkan kasih karunia dan penyelenggaraan ilahi dari
Tuhan dalam hidupnya. Orang berhikmat akan memperhatikan nilai-nilai luhur
hidup manusia dan menerimanya apa adanya bukan ada apanya. Orang berhikmat akan
berusaha melepaskan diri dari kepemilikannya supaya lebih leluasa menerima
Tuhan sebagai segalanya dalam hidupnya. Yesus berkata: “Di mana hartamu berada,
hatimu juga berada di sana” (Mat 6:21). Sikap lepas bebas adalah sebuah jalan
berhikmat untuk berbahagia bersama Tuhan dan sesama kita.
PJ-SDB
No comments:
Post a Comment