Sikap kritis anak, bagaimana
menanggapinya?
Selama lima pekan terakhir (Minggu Biasa XVII-XXI), Bacaan
Injil dalam perayaan Ekaristi diambil dari Injil Yohanes 6:1-69. Yesus membuat
sebuah diskursus panjang tentang Roti Hidup. Yesus coba menjelaskan makna Roti hidup
dengan mengambil contoh Mana di padang gurun yang sudah dimakan nenek moyang orang Israel dan juga telah meninggal, tetapi Roti yang mau diberikan Yesus akan memberi
hidup yang kekal. Roti itu adalah daging TubuhNya dan darahNya memberi hidup
kekal. Semakin dalam menjelaskan diskursus ini, diharapkan murid-murid dapat
mengambil hikmah dan keputusan yang tepat untuk memilih mengimani Yesus atau
mengundurkan diri dari keanggotaan sebagai murid Yesus. Ternyata banyak yang merasa
bahwa kata-kata Yesus keras dan susah dipahami sehingga mereka memilih mundur,
sedangkan Petrus dan teman-temannya yang lain mengakui janji setia untuk tetap
mengikuti Dia karena Dialah Sabda hidup dan bahwa Dialah Mesias, Anak Allah
yang hidup.
Komunitas Yesus ini ibarat sebuah
keluarga yang nyata. Di pihak orang tua, banyak kali memberi nasihat dan
wejangan-wejangan dan diharapkan bahwa anak-anak akan menerima dan
mengikutinya. Terkadang orang tua berpikir bahwa anak-anak itu “seperti mereka
sebagai orang tua” maka dengan instan berharap bahwa sekali memberi wejangan,
anak langsung berubah sesuai selera orang tua. Ternyata tidaklah demikian.
Anak-anak tetaplah anak-anak! Kadang-kadang wejangan orang tua mungkin terlalu
keras sampai anak mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah. Orang tua menjadi
stress dan merasa tidak bernilai di hadapan anak-anak mereka. Akibatnya sumpah dan
kutukan tanpa sadar keluar dari mulut mereka sebagai orang tua.
Anak-anak adalah gambaran para murid
yang masih membutuhkan motivasi untuk menjadi anak yang baik. Sesuai
perkembangan, mereka bisa menjadi penurut tetapi banyak kali juga mengatakan
bahwa wejangan-wejangan orang tua terlalu keras dan memojokan, mematikan kreasi
mereka. Anak-anak juga mengalami Krisis Galilea.
Berhadapan dengan sikap kritis anak-anak, apa yang harus dilakukan para orang tua? Belajarlah dari Yesus. Sikap Yesus dari perikop Injil Yohanes ini adalah: Dia terbuka dan
memberi kemerdekaan kepada para muridNya. Ia bertanya, “Apakah kamu juga tidak mau pergi?” (Yoh 6:67). Kalau saja Yesus tidak sabar mungkin Dia langsung mengambil sikap ekstrim untuk meninggalkan semua muridNya. Ternyata Dia sabar, mendengar dan berkomunikasi baik dengan para muridNya.
Nah, andaikan orang tua memiliki kesabaran
seperti Yesus, mengontrol emosi, punya waktu untuk mendengar dan berbicara atau berkomunikasi dengan anak-anak seperti Yesus sendiri maka keluarga akan memiliki keindahan
yang luar biasa. Hai para orang tua, refleksikan dan berubahlah menjadi orang tua yang lebih baik lagi. Anda pasti bisa sebagai orang tua!
PJSDB
No comments:
Post a Comment