Tuesday, October 29, 2019

Homili 29 Oktober 2019


Hari Selasa Pekan Biasa ke-XXX
Rm. 8:18-25
Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6
Luk. 13:18-21

Selalu memiliki harapan

Ada seorang pewarta dalam sebuah persekutuan doa pernah berkata: “Hidup kita bermakna ketika kita memaknainya dengan sebuah harapan yang pasti”. Saya tertarik dengan kata-kata sederhana ini. Kita harus mengakui bahwa  sangatlah mudah kita kehilangan harapan daripada hidup dalam harapan. Ketika seseorang kehilangan harapan dalam hidupnya ia akan bersikap seperti ini: menjauh dari Tuhan, bersungut-sungut melawan Tuhan, tidak mendekatkan dirinya kepada sesama. Saya mengingat penyair Inggris bernama Alexander Pope. Ia pernah berkata: “Pandanglah hari ini. Kemarin sudah menjadi mimpi. Dan esok hari hanyalah sebuah visi. Tetapi, hari ini yang sungguh nyata, menjadikan kemarin sebagai mimpi kebahagiaan, dan setiap hari esok sebagai visi harapan.” Setiap pribadi selalu memiliki harapan di dalam hidupnya.

St. Paulus dalam bacaan pertama membagikan pengalamannya tentang sebuah harapan yang pasti dalam hidup setiap pribadi. Ia memiliki keyakinan akan sebuah harapan seperti ini: “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan.” (Rm 8:18-19). Apakah anda mengalami penderitaan tertentu? Kalau pertanyaan ini ditujukan kepada kita secara pribadi maka dengan sangat jujur kita akan mengatakan selalu ada pengalaman penderitaan. Ada yang menderita dalam membangun sebuah relasi antar pribadi, ada yang menderita dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Orang tidak boleh berhenti dalam pengalaman penderitaannya. Ia harus berusaha supaya melihat penderitaan sebagai jalan masuk kepada kebahagiaan abadi. Kita mengalami penderitaan namun Tuhan membukan jalan masuk untuk mengalami kebahagiaan di saat Tuhan Yesus, sang Anak Allah menyatakan diri-Nya kepada kita secara pribadi. Kita akan melihatnya dengan mata kita sendiri.

Kita perlu memiliki harapan akan sesuatu yang terbaik di dalam hidup kita. Orang yang menderita sekalipun, kalau ia menaruh karapannya kepada Tuhan maka ia akan mengalami kebahagiaan abadi. Santu Paulus berkata: “Tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.” Harapan membuka jalan kepada keselamatan karena setiap pribadi bersatu dengan Tuhan. Ia menjadi pribadi yang merdeka dari dosa dan salah sehingga benar-benar menjadi anak Allah. Harapan ini memang sangatlah penting bagi kita sebagai orang beriman. Santu Paulus lebih lanjut mengatakan: “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.” (Rm 8:24-25). Dasar pengharapan kristiani adalah ketika kita siap untuk menderita bersama Kristus dan turut mati bersama Dia. Persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus ini menjadi harapan untuk mengalami kemuliaan Bersama Tuhan.

Lalu apa harapanmu selagi masih berada di dunia ini? Ini juga menjadi sebuah pertanyaan bagi kita semua. Saya merasa yakin bahwa banyak orang berharap untuk hidup bahagia sekarang dan nanti. Kebahagiaan sekarang terwujud misalnya kebutuhan-kebutuhan hidup jasmani dan rohani yang cukup. Kebahagiaan nanti adalah harapan akan hidup abadi di dalam Kerajaan Allah. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini memberi perumpamaan yang kontekstual tentang Kerajaan Allah. Pertama, Kerajaan Allah seumpama biji sesawi. Biji sesawi memang kecil namun akan menjadi sebuah pohon besar di mana burung-burung dapat bersarang di rantingnya. Kedua, Kerajaan Allah diumpamakan dengan ragi. Ragi itu sedikit jumlahnya namun dapat mengembang ketika diaduk sampai rata dalam tepung terigu untuk membuat roti. Bagi Yesus, Kerajaan Allah memang mulai dari yang kecil namun akan menjadi besar. Mulanya hanya Yesus dan para rasul pilihan-Nya, namun Kerajaan akan menjadi besar sampai ke ujung dunia. Kita menyaksikan kenyataan saat ini bahwa Gereja berkembang di seluruh jagat raya. Kata-kata Tuhan Yesus benar-benar menjadi nyata.

Paus Benediktus XVI mengajarkan tiga hal penting tentang Kerajaan Allah. Pertama, Yesus sendiri adalah Kerajaan Allah yang menjelman menjadi manusia. Kedua, Kerajaan Allah ada di dalam hati manusia yang senantiasa berdoa untuk memohon datangnya Kerajaan Allah. Ketiga, Gereja merupakan wujud nyata Kerajaan Allah di dalam sejarah manusia (Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, Double Day, New York, USA, 2007), hal. 49-50. Pengajaran paus emeritus ini memberikan harapan dan optimisme kepada kita bahwa Kerajaan Allah adalah saya secara pribadi sebagai Gereja yang hidup. Untuk itu kita harus selalu memiliki harapan, apapun pengalaman hidup kita.

Mari kita membangun harapan yang pasti dalam diri kita masing-masing. Tentu saja bukan sekedar harapan, namun harapan sejati ada di dalam Tuhan. Dialah yang menganugerahkan iman, harapan dan kasih (1Kor 13:13) kepada kita semua. Dialah kasih sejati maka yang paling besar adalah kasih. Kerajaan Allah adalah Kerajaan kasih di mana Allah adalah kasih mengasihi kita sampai tuntas.

PJ-SDB

No comments:

Post a Comment