Hari Minggu Biasa XXVII/C
Hab. 1:2-3; 2:2-4
Mzm. 95:1-2,6-7,8-9
2Tim. 1:6-8,13-14
Luk. 17:5-10
Jangan malu bersaksi
Saya pernah diundang oleh sebuah
keluarga untuk bersantap bersama di sebuah restoran yang terkenal dan sangat
ramai. Hidangan sudah dipesan sesuai menu kesukaan, para pelayan pun sudah menyiapkannya
di atas meja. Saya mengajak keluarga ini untuk berdoa sebelum makan, namun
seorang anggota keluarga yang duduk di samping saya berbisik: “Romo, biarlah
kita berdoa masing-masing saja sebab tempat ini ramai sekali. Saya malu membuat
tanda salib dan berdoa di depan umum” Saya menjawabnya: “Tuhan hadir di sini
maka biarlah kita menyapa-Nya sebelum santap bersama.” Kami semua berdoa
bersama sebelum dan sesudah makan. Wajah semua anggota keluarga ceriah, penuh
syukur dan tak ada lagi wajah penuh ketakutan. Saya kembali ke rumah dengan
membawa sebuah pengalaman yang sangat mendidik dan indah. Banyak kali kita malu
sehingga sulit untuk memberi kesaksian tentang Tuhan kepada sesama. Kita malu
untuk berdoa di tempat umum karena takut dianggap sok suci atau sengaja tidak
mau berdoa.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada
hari Minggu ini berbicara tentang situasi dan pengalaman hidup kita yang nyata.
Dalam bacaan pertama, Barukh menegaskan bahwa orang-orang benar hidup berkat
imannya kepada Tuhan. Meskipun demikian ada saja ujian iman yang mengundang
kita untuk bertanya dan berefleksi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang
suasana hidup manusia selalu muncul dari dahulu hingga sekarang. Perhatikan
pertanyaan-pertanyaan berikut ini: “Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak,
tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: "Penindasan!" tetapi
tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku
memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan
dan pertikaian terjadi.” (Bar 1: 2-3). Ini adalah pertanyaan dan penyataan
mendasar dalam diri manusia dari dahulu hingga sekarang ini. Pengalaman
kegelapan, penderitaan dan kemalangan yang datang bertubi-tubi membuat orang
bertanya-tanya kala Tuhan ada dan Mahabaik, mengapa semua ini harus terjadi di
dalam diri, keluarga dan masyarakat kita?
Tuhan tidak pernah tinggal diam.
Dia peka dan peduli serta mengerti kehidupan setiap pribadi di hadapan-Nya. Marilah
kita perhatikan bagaimana Tuhan berkata kepada Habakuk: "Tuliskanlah
penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat
membacanya.” (Hab 2:2). Tuhan mengingatkan Habakuk tentang pentingnya iman dan
kepercayaan dari pihak manusia kepada Tuhan. Masing-masing pribadi berjuang
untuk tetap memiliki iman yang teguh kepada Tuhan. Perkataan dari Pemazmur hari
ini sangat inspiratif bagi kita semua: “Singkirkanlah penghalang sabda-Mu,
cairkanlah hatiku yang beku dan bimbinglah kami di jalanmu” (Mzm 95:8). Semoga
Perkataan ini ikut membuka hati manusia untuk terus berjuang dan bersaksi sebagai
anak-anak Allah.
Santu Paulus dalam bacaan kedua
mengajak Timotius untuk berani bersaksi tentang Tuhan kita. Keberanian untuk
bersaksi merupakan wujud nyata karunia Allah di dalam hidupnya oleh karena
pencurahan Roh Kudus melalui pengurapan tangan Paulus. Roh bagi Paulus, adalah roh
yang menguatkan bukan roh yang menakutkan. Roh yang menguatkan ini
menginspirasikan manusia untuk berani bersaksi tentang Tuhan yang diimaninya.
Kesaksian menjadi sempurna ketika kita ikut mengalami penderitaan Kristus dan
Injil-Nya di dalam hidup kita. Roh Kudus yang satu dan sama memelihara iman
kita sebagai harta yang indah.
Hidup menggereja benar-benar
menjadi nyata dalam kesaksian hidup kita sebagai pengikut Kristus. Ada dua hal
yang kiranya membantu kita untuk bersaksi yakni iman dan karya pelayanan. Iman
adalah sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepada kita secara pribadi.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman itu pasti, lebih pasti dari
setiap pengertian manusiawi, karena ia berdasarkan Sabda Allah yang tidak dapat
menipu (KGK, 157). St. Yakobus mengatakan: “Jika
iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”
Karena iman itu begitu penting sehingga para murid Yesus berani meminta: “Tuhan,
tambahkanlah iman kami” (Luk 17:5). Para murid Yesus juga merupakan orang
biasa-biasa saja. Mereka tinggal bersama Yesus namun mereka belum mengimani
Yesus secara utuh. Mereka berani meminta Yesus untuk menambahkan iman mereka,
padahal setiap saat mereka ada bersama Yesus. Mungkin kita juga tidak berbeda
dengan para murid ini. Kita berani memohon supaya Tuhan menambahkan iman sebab kita
sesungguhnya belum benar-benar beriman kepada Yesus.
Hal kedua yang menarik perhatian
kita dalam bersaksi adalah kesediaan untuk melayani dan mengabdi. Dalam
struktur masyarakat kita, masih ada daerah tertentu yang memiliki hubungan tuan
dan hamba. Tuan akan selalu siap dilayani. Hamba akan selalu siap untuk
mengabdi tuannya. Sekalipun ia lelah bekerja namun ia tetap pada posisinya
untuk melayani samapai tuntas. Sebab itu seorang hamba harus selalu berprinsip:
“Kami hanya hamba-hamba yang tidak berguna. Kami melakukan apa yang kami lakukan”
Prinsip penghambaan ini sangatlah menarik. Kalau kita dapat melakukannya maka
kita akan menjadi serupa dengan Tuhan Yesus sendiri.
Pada hari pikiran kita dibuka
oleh Tuhan untuk beriman dengan radikal karena Dia sendiri yang menambahkannya
di dalam hidup kita. Kita juga belajar untuk berdoa dan mengucap syukur kepada
Tuhan Allah. Iman dan doa menjadi jalan yang benar bagi kita untuk bersatu
dengan Tuhan dan sesama kita. Maka satu hal yang penting adalah keberanian
untuk menjalankan pelayanan kami. Hidup dan bersaksi sebagai orang-orang benar
di hadapan Tuhan Allah kita.
PJ-SDB
No comments:
Post a Comment