Sunday, April 1, 2012

Homili Hari Minggu Palma/B

Hari Minggu Palma
Mrk 11: 1-10
Yes 50:4-7
Flp 2:6-11
Mrk 15:1-39

“Sungguh orang ini adalah Anak Allah!”



Seorang petani merasa sangat bahagia karena memiliki sebidang tanah yang ditanami dengan serumpun bambu. Setiap kali kalau melewati bambu-bambu itu selalu saja ada pengalaman yang bagus yakni dengan bantuan angin, seolah-olah bambu-bambu itu tunduk dan menghormati tuannya.

Pada suatu hari tuan bambu itu berkata kepada bambu: “Aku ingin memangkasmu supaya cahaya matahari dapat menerangi tanaman bunga dan sayur-sayuran di kebun.” Bambu dengan sedih berkata kepada tuannya, “Kalau saya dipangkas berarti akan sulit untuk tunduk dan menghormatimu.” Kata tuannya, “Tidak apa-apa” lalu bambu itu pun dipangkas.

Pada hari yang lain datanglah tuan itu dan berkata kepada bambu, “Saya memerlukan bantuanmu. Saya ingin memakai kulitmu sebagai saluran air untuk mengairi tanaman bunga dan sayuran di kebun”. Kata bambu kepada tuannya, “Hmm berarti saya harus dilukai lagi. Tetapi saya bersedia memberikannya kepadamu”. Dan pada suatu hari yang lain, datanglah tuan bambu itu dan berkata kepada bambu, “Saya memerlukanmu sebagai penyanggah bagi tanaman sayuran di kebun.” “Maksudmu?” Tanya bambu. Tuannya menjawab, “Saya akan memotongmu menjadi lebih pendek dan bagian yang saya potong akan saya pakai untuk menjadi tiang penyanggah.” Dengan sedih bambu itu memahami dan menerima permintaan tuannya.

Setelah beberapa minggu, tuan bambu itu berkata, “Untung semua permintaanku dikabulkan. Lihatlah tanaman bunga dan sayuran bertumbuh subur karena kamu sudah bersedia untuk dipangkas, dibelah sebagai pipa air sementara dan menjadi penyanggah. Itu adalah tanda hormatmu yang benar kepadaku. Dan ternyata kamu terus menerus mau membantu sehingga tunas-tunasmu yang muda juga tetap bertumbuh.”

Kisah bambu ini menginspirasikan kita untuk memahami makna pengurbanan diri bagi kebaikan sesama. Kalau sekiranya bambu tidak mengorbankan dirinya maka tentu tanaman bunga dan sayuran tidak akan hidup dengan baik dan tidak berguna bagi tuan kebunnya.

Fokus perhatian kita selama pekan suci ini adalah Tuhan Yesus Kristus. Dia laksana hamba menderita yang memberi dirinya sebagai korban demi keselamatan umat manusia. Yesus memberi diriNya karena Dia taat kepada kehendak Bapa di Surga. Dalam Kitab nabi Yesaya kita mendengar kisah tentang ketaatan hamba Tuhan yang menderita penganiayaan. Hamba Tuhan itu berkata, “Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataanku aku dapat memberikan semangat baru kepada orang yang letih lesu.” Ketaatan hamba Tuhan terletak pada kemampuannya untuk selalu mendengar seperti seorang murid karena Tuhan mempertajam pendengarannya setiap pagi. Hamba Tuhan menderita karena aneka siksaan: dipukuli, janggutnya dicabut, dinodai dan diludahi. Tetapi Tuhan Allah tetap menolongnya.

Santu Paulus memahami penderitaan hamba yang menderita dengan menghubungkannya dengan pengalaman Yesus sendiri. Bahwa Yesus tidak berbangga sebagai Anak Allah, Dia justru mengosongkan diriNya (kenosis) sendiri, mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itu sebabnya segala makhluk bertekuk lutut di hadapanNya dan mengakuiNya: “Yesus Kristus adalah Tuhan”.

Hamba yang menderita adalah hamba yang mengosongkan diri, merendahkan diri dan wafat di kayu salib. Dialah Yesus yang diakui umat manusia dan segala makhluk di atas dan di bawah bumi bahwa Dialah Tuhan. Kerendahan hati Yesus sebagai Raja semesta alam yang masuk ke Yerusalem dengan kendaraan paling sederhana yakni keledai. Keledai adalah hewan yang sebenarnya sangat dungu tetapi Tuhan menggunakannya sebagai kendaraan dan melewati kumpulan orang-orang berdosa. Penginjil Markus bersaksi bahwa semua orang itu bersorak gembira menyambut Raja yang sederhana: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan! Diberkatilah Kerajaan yang akan datang. Kerajaan Bapa kita Daud! Hosana di tempat yang mahatinggi!”

Penginjil Markus juga mengisahkan sengsara Yesus dengan menekankan bahwa Yesus adalah korban dari sebuah kejahatan terstruktur. Dia tidak bersalah apa-apa tetapi dianggap bersalah dan diadili. Tetapi Yesus taat pada kehendak Bapa di Surga dan menerima segala penderitaan. Salib yang Dia pikul itu bertujuan untuk menyelamatkan manusia. Tentu saja lukisan Markus ini membuat kita terpancing secara emosional dan cepat merasa iba terhadap penderitaan Yesus. Tetapi sebenarNya Markus berniat untuk mengatakan kepada kita supaya bertumbuh dalam iman dan mengakui Yesus yang menderita sebagai Anak Allah. Sama seperti seorang Algojo yang mengakui di bawah kaki salib: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah” atau Paulus dalam suratnya: “Yesus Kristus adalah Tuhan”.

Merayakan Hari Minggu Palma membawa kita pada refleksi kehidupan yang praktis. Pertama, kita bersyukur kepada Tuhan karena semua anugerah berlimpah yang Dia berikan kepada kita. Anugerah itu adalah Yesus, Anak Allah yang rela menderita untuk kita semua. Tidak ada kasih yang paling agung selain kasih seorang yang menyerahkan diriNya untuk para sahabatNya. Kasih sungguh-sungguh dilakukan oleh Tuhan.

Kedua, Penderitaan atau kesengsaraan Yesus membuat kita bertumbuh dalam iman. Dia adalah hamba Tuhan yang menderita. Dia menjadi Putera yang mengosongkan diri, merendahkan diri dan wafat di kayu salib untuk kita. Penderitaan Kristus mendorong kita untuk bertumbuh secara rohani.

Ketiga, seruan damai. Daun palma melambangkan damai. Tuhan Yesus berkata: “DamaiKu Kutinggalkan bagimu, dan damai yang kuberikan itu tidak sama dengan yang dunia berikan kepadamu” (Yoh 14:27). Dan Ia juga berseru: “Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Apakah anda sudah berdamai dengan dirimu? Apakah anda sudah berdamai dengan sesama dan lingkungan? Kristus adalah damai kita. Mari kita membangun dunia kita menjadi dunia yang penuh dengan kedamaian.

PJSDB 

No comments:

Post a Comment