Hari Selasa,
Pekan Biasa XVI
Kel 14:21-31
Mzm (Kel)
15:8-12.17
Mat 12:46-50
Belajar menjadi Saudara
Yesus
Dalam suatu perayaan ekaristi bersama anak-anak Sekolah
Dasar, pada saat homili saya bertanya kepada seorang anak: “Apakah hobimu?” “Menyanyi,” Jawabnya. Saya
bertanya: “Apa lagu favoritmu?” “Dalam Yesus kita bersaudara” Jawabnya. Saya
bertanya, “Mengapa menyukai lagu tersebut?” “Karena saya mau menjadi saudara
bagi Yesus dan teman-teman di sini” Jawabnya dengan yakin. Saya melanjutkan
misa di sekolah itu dengan hati yang penuh sukacita karena menemukan seorang
anak yang di usia dini sudah mau menjadi saudara Yesus dan teman-temannya di
sekolah. Ini adalah prinsip dasar untuk menjadi orang kudus. Banyak orang mungkin mau menjadi
saudara Yesus, hanya belum tahu kiat bagaimana menjadi saudara Yesus yang
sebenarnya. Menjadi saudara itu seumpama jari-jari di tangan dimana kita tidak
dapat memilih mana yang paling kita suka dan tidak suka. Semuanya jari
sama-sama berguna bagi kita. Andaikan satu tangan kekurangan satu jari tentu mengganggu pekerjaan
kita setiap hari. Hidup kita akan menjadi indah kalau kita mampu menjadi
saudara yang baik bagi semua orang.
Penginjil Matius hari ini mengisahkan tentang Yesus yang
sedang mengajar banyak orang di dalam sebuah rumah. Pada kesempatan itu Bunda
Maria dan para saudara sepupuhnya berada di luar rumah dan mau bertemu
denganNya. Maka ada seorang pendengar yang berkata kepadaNya: “Lihatlah, ibuMu dan saudara-saudaraMu ada
di luar dan berusaha menemui Engkau”. Mendengar perkataan orang itu, Yesus bertanya: “Siapakah ibuKu? Dan siapa
saudara-saudaraKu?” Ia menunjuk kepada para muridNya dan berkata: “Ini ibuKu dan saudara-saudaraKu. Sebab siapa pun yang
melakukan kehendak BapaKu di sorga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah
saudaraKu perempuan, dialah ibuKu”.
Dalam pandangan manusiawi kita pasti merasa heran, mengapa
Yesus dapat mengatakan hal demikian kepada ibu dan saudara-saudaraNya.
Seolah-olah Yesus tidak menghormati Bunda Maria yang sudah melahirkan dan
membesarkanNya di Nazareth. Ya, Yesus memandang Bunda Maria sebagai ibuNya
tetapi Ia tetaplah Putra Allah yang mahatinggi. Bunda Maria tetaplah seorang
manusia biasa, sedangkan Yesus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh
manusia. Dengan demikian relasi pribadi dengan Tuhan Yesu tidak hanya didasarkan pada hubungan
darah, tetapi makin luas, terutama keakraban dengan Tuhan. Bunda Maria sendiri tidak pernah membiarkan Yesus
seorang diri. Sebagai seorang ibu, Maria juga memiliki waktu untuk mendengar
Yesus PuteraNya karena pada kesempatan yang sama Maria juga melakukan sebuah
perjalanan iman. Ia selalu berbicara dengan Yesus dan Sabda Yesus sendiri akan
membantunya untuk menjadi muridNya yang tulen. Memang Bunda Maria tidak hanya sebagai ibu tetapi
juga sebagai murid Yesus yang pertama.
Pada hari ini pikiran kita dibuka untuk melihat hubungan
antar pribadi kita bukan sempit dalam arti hanya sebatas hubungan darah: dari satu ayah
dan ibu. Sebagai pengikut Kristus, hubungan persaudaraan kita
semakin luas
dan menjangkau semua orang. Sebagai saudara berarti semua orang dipanggil untuk menjadi
manusia baru di dalam Kristus. Tuhan Yesus sendiri telah datang untuk
menyelamatkan semua orang dari pelbagai suku dan bahasa. Santo Paulus pernah
berkata: "Tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang
bersunat atau tidak bersunat, orang barbar atau orang skit, budak atau orang
merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan dalam segala sesuatu" (Kol 3:11). Sikap kristiani yang
harus dibangun bukanlah memandang perbedaan di antara kita. Sebagai saudara dalam
Kristus kita harus mewujudkan persaudaraan sejati di dalam hal-hal ini: belas
kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran (Kol 3:12).
Kebajikan lain yang kiranya dimiliki setiap pribadi adalah kesabaran, kerelaan
untuk mengampuni dan saling mengasihi sebagai saudara.
Salah satu mujizat yang dilakukan Tuhan ketika membebaskan
bani Israel dari Mesir adalah mempersatukan semua bani Israel menjadi saudara.
Selama 430 tahun mengalami perbudakan di Mesir, persaudaraan sejati tidak
pernah dipikirkan oleh mereka. Masing-masing pribadi mengurus dirinya sendiri.
Tuhan memilih Musa hambaNya untuk mempersatukan semua bani Israel. Hubungan
persaudaraan ini mereka rasakan dalam perjalanan di padang gurun dan masuk ke
laut merah karena di kejar Firaun dan pasukannya. Dalam kejaran Firaun dan
pasukannya, Tuhan menunjukkan kuasaNya bagi bani Israel. Tuhan memerintahkan
Musa untuk mengulurkan tangannya ke atas air laut, dan semalam-malaman itu
Tuhan menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, membuat
laut itu menjadi tanah kering, maka terbelalah air itu dan orang Israel dapat
berjalan di tanah yang kering sedang di pinggirnya berdindingkan air. Orang
Mesir tetap mengejar bani Israel, maka Tuhan memerintahkan Musa untuk
mengulurkan tangannya ke atas air dan terjadilah, tanah kering menjadi lautan
sehingga menghanyutkan Firaun dan pasukannya. Bani Israel mengalami keselamatan
dari tangan Tuhan yang perkasa. Mereka menjadi percaya pada Tuhan dan hambaNya
Musa. Mereka sama-sama bersyukur kepada Tuhan atas keajaiban yang dilakukan
Tuhan bagi mereka.
Tuhan menunjukkan kuasaNya dalam wujud angin timur yang keras
sehingga laut saja dapat terbelah dan muncul tanah kering. Memang menakutkan apabila kita
merenungkan kata-kata ini. Angin sangat kencang, seperti angin puting beliung. Hanya
di dalam Tuhan sendiri
ada kedamaian. St. Paulus mengatakan: "Damai
sejahtera Allah yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranMu
di dalam Kristus" (Flp 4:7). Bani Israel sungguh-sungguh merasakan
mukjizat Tuhan pada saat mereka sedang mengalami situasi baru yang belum jelas
yakni keluar dari kuasa Mesir. Mereka barusan keluar dari tanah Mesir, berjalan di padang gurun,
sedang dikejar Firaun dan pasukannya, masuk ke dalam laut merah. Di saat-saat
yang seperti ini Tuhan datang menolong tepat pada waktunya. Keselamatan pun
dirasakan dan disyukuri bersama.
Kisah ini memang menarik perhatian kita semua sebagai
pengikut Kristus dalam konteks menghayati sakramen pembaptisan. Hidup lama
ditandai dengan kegelapan berupa dosa yang menguasai diri kita. Firaun dan
pasukannya itu ibarat iblis yang mencari manusia dan menghancurkan. St. Petrus
menyebut iblis laksana singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat
ditelannya (1Pt 5:8). Dengan sakramen pembaptisan kita semua dapat berjalan di
tanah yang kering, tanah keselamatan karena Tuhan berpihak pada kita. Artinya
Tuhan selalu
mau menyelamatkan kita
semua. Apa yang harus
kita lakukan? Hiduplah di dalam rahmat Tuhan. Bertobatlah. Mintalah angin timur
yang kuat, yakni Roh Kudus untuk membebaskanmu dan masuklah dalam rencana dan kehendak
Tuhan (Kis 2:2). Biarlah Roh Allah itu bergerak seperti angin bergerak sesuai
kehendaknya (Yoh 3:8) dan taatilah! Kita sebagai
Gereja memerlukan
pentekosta baru. Mari kita berusaha menjadi saudara yang taat
pada Roh Kudus, yang mendengar Sabda dan yang melakukan kehendak Allah Bapa di
dalam hidup setiap hari.
Doa: Tuhan Yesus Kristus, kami bersyukur karena Engkau juga
mau menjadikan kami ibu dan saudara-saudaraMu karena melakukan kehendak Allah
Bapa di Surga. Bantulah kami dengan RohMu yang kudus untuk tetap merasakan
penyertaanMu. Amen
PJSDB
No comments:
Post a Comment