Tuesday, July 23, 2013

Renungan 23 Juli 2013

Hari Selasa, Pekan Biasa XVI
Kel 14:21-31
Mzm (Kel) 15:8-12.17
Mat 12:46-50

Belajar menjadi Saudara Yesus

Dalam suatu perayaan ekaristi bersama anak-anak Sekolah Dasar, pada saat homili saya bertanya kepada seorang anak: “Apakah hobimu?” “Menyanyi,” Jawabnya. Saya bertanya: “Apa lagu favoritmu?” “Dalam Yesus kita bersaudara” Jawabnya. Saya bertanya, “Mengapa menyukai lagu tersebut?” “Karena saya mau menjadi saudara bagi Yesus dan teman-teman di sini” Jawabnya dengan yakin. Saya melanjutkan misa di sekolah itu dengan hati yang penuh sukacita karena menemukan seorang anak yang di usia dini sudah mau menjadi saudara Yesus dan teman-temannya di sekolah. Ini adalah prinsip dasar untuk menjadi orang kudus. Banyak orang mungkin mau menjadi saudara Yesus, hanya belum tahu kiat bagaimana menjadi saudara Yesus yang sebenarnya. Menjadi saudara itu seumpama jari-jari di tangan dimana kita tidak dapat memilih mana yang paling kita suka dan tidak suka. Semuanya jari sama-sama berguna bagi kita. Andaikan satu tangan kekurangan satu jari tentu mengganggu pekerjaan kita setiap hari. Hidup kita akan menjadi indah kalau kita mampu menjadi saudara yang baik bagi semua orang.

Penginjil Matius hari ini mengisahkan tentang Yesus yang sedang mengajar banyak orang di dalam sebuah rumah. Pada kesempatan itu Bunda Maria dan para saudara sepupuhnya berada di luar rumah dan mau bertemu denganNya. Maka ada seorang pendengar yang berkata kepadaNya: “Lihatlah, ibuMu dan saudara-saudaraMu ada di luar dan berusaha menemui Engkau”. Mendengar perkataan orang itu, Yesus bertanya: “Siapakah ibuKu? Dan siapa saudara-saudaraKu?” Ia menunjuk kepada para muridNya dan berkata: “Ini ibuKu dan  saudara-saudaraKu. Sebab siapa pun yang melakukan kehendak BapaKu di sorga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu”.

Dalam pandangan manusiawi kita pasti merasa heran, mengapa Yesus dapat mengatakan hal demikian kepada ibu dan saudara-saudaraNya. Seolah-olah Yesus tidak menghormati Bunda Maria yang sudah melahirkan dan membesarkanNya di Nazareth. Ya, Yesus memandang Bunda Maria sebagai ibuNya tetapi Ia tetaplah Putra Allah yang mahatinggi. Bunda Maria tetaplah seorang manusia biasa, sedangkan Yesus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Dengan demikian relasi pribadi dengan Tuhan Yesu tidak hanya didasarkan pada hubungan darah, tetapi makin luas, terutama keakraban dengan Tuhan. Bunda Maria sendiri tidak pernah membiarkan Yesus seorang diri. Sebagai seorang ibu, Maria juga memiliki waktu untuk mendengar Yesus PuteraNya karena pada kesempatan yang sama Maria juga melakukan sebuah perjalanan iman. Ia selalu berbicara dengan Yesus dan Sabda Yesus sendiri akan membantunya untuk menjadi muridNya yang tulen. Memang Bunda Maria tidak hanya sebagai ibu tetapi juga sebagai murid Yesus yang pertama.

Pada hari ini pikiran kita dibuka untuk melihat hubungan antar pribadi kita bukan sempit dalam arti  hanya sebatas hubungan darah: dari satu ayah dan ibu. Sebagai pengikut Kristus, hubungan persaudaraan kita semakin luas dan menjangkau semua orang. Sebagai saudara berarti semua orang dipanggil untuk menjadi manusia baru di dalam Kristus. Tuhan Yesus sendiri telah datang untuk menyelamatkan semua orang dari pelbagai suku dan bahasa. Santo Paulus pernah berkata: "Tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau tidak bersunat, orang barbar atau orang skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan dalam segala sesuatu" (Kol 3:11). Sikap kristiani yang harus dibangun bukanlah memandang perbedaan di antara kita. Sebagai saudara dalam Kristus kita harus mewujudkan persaudaraan sejati di dalam hal-hal ini: belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran (Kol 3:12). Kebajikan lain yang kiranya dimiliki setiap pribadi adalah kesabaran, kerelaan untuk mengampuni dan saling mengasihi sebagai saudara.

Salah satu mujizat yang dilakukan Tuhan ketika membebaskan bani Israel dari Mesir adalah mempersatukan semua bani Israel menjadi saudara. Selama 430 tahun mengalami perbudakan di Mesir, persaudaraan sejati tidak pernah dipikirkan oleh mereka. Masing-masing pribadi mengurus dirinya sendiri. Tuhan memilih Musa hambaNya untuk mempersatukan semua bani Israel. Hubungan persaudaraan ini mereka rasakan dalam perjalanan di padang gurun dan masuk ke laut merah karena di kejar Firaun dan pasukannya. Dalam kejaran Firaun dan pasukannya, Tuhan menunjukkan kuasaNya bagi bani Israel. Tuhan memerintahkan Musa untuk mengulurkan tangannya ke atas air laut, dan semalam-malaman itu Tuhan menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, membuat laut itu menjadi tanah kering, maka terbelalah air itu dan orang Israel dapat berjalan di tanah yang kering sedang di pinggirnya berdindingkan air. Orang Mesir tetap mengejar bani Israel, maka Tuhan memerintahkan Musa untuk mengulurkan tangannya ke atas air dan terjadilah, tanah kering menjadi lautan sehingga menghanyutkan Firaun dan pasukannya. Bani Israel mengalami keselamatan dari tangan Tuhan yang perkasa. Mereka menjadi percaya pada Tuhan dan hambaNya Musa. Mereka sama-sama bersyukur kepada Tuhan atas keajaiban yang dilakukan Tuhan bagi mereka.

Tuhan menunjukkan kuasaNya dalam wujud angin timur yang keras sehingga laut saja dapat terbelah dan muncul tanah kering. Memang menakutkan apabila kita merenungkan kata-kata ini. Angin sangat kencang, seperti angin puting beliung. Hanya di dalam Tuhan sendiri ada kedamaian. St. Paulus mengatakan: "Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranMu di dalam Kristus" (Flp 4:7). Bani Israel sungguh-sungguh merasakan mukjizat Tuhan pada saat mereka sedang mengalami situasi baru yang belum jelas yakni keluar dari kuasa Mesir. Mereka barusan keluar dari tanah Mesir, berjalan di padang gurun, sedang dikejar Firaun dan pasukannya, masuk ke dalam laut merah. Di saat-saat yang seperti ini Tuhan datang menolong tepat pada waktunya. Keselamatan pun dirasakan dan disyukuri bersama.

Kisah ini memang menarik perhatian kita semua sebagai pengikut Kristus dalam konteks menghayati sakramen pembaptisan. Hidup lama ditandai dengan kegelapan berupa dosa yang menguasai diri kita. Firaun dan pasukannya itu ibarat iblis yang mencari manusia dan menghancurkan. St. Petrus menyebut iblis laksana singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (1Pt 5:8). Dengan sakramen pembaptisan kita semua dapat berjalan di tanah yang kering, tanah keselamatan karena Tuhan berpihak pada kita. Artinya Tuhan selalu mau menyelamatkan kita semua. Apa yang harus kita lakukan? Hiduplah di dalam rahmat Tuhan. Bertobatlah. Mintalah angin timur yang kuat, yakni Roh Kudus untuk membebaskanmu dan masuklah dalam rencana dan kehendak Tuhan (Kis 2:2). Biarlah Roh Allah itu bergerak seperti angin bergerak sesuai kehendaknya (Yoh 3:8) dan taatilah! Kita sebagai Gereja memerlukan pentekosta baru. Mari kita berusaha menjadi saudara yang taat pada Roh Kudus, yang mendengar Sabda dan yang melakukan kehendak Allah Bapa di dalam hidup setiap hari.

Doa: Tuhan Yesus Kristus, kami bersyukur karena Engkau juga mau menjadikan kami ibu dan saudara-saudaraMu karena melakukan kehendak Allah Bapa di Surga. Bantulah kami dengan RohMu yang kudus untuk tetap merasakan penyertaanMu. Amen


PJSDB

No comments:

Post a Comment