Peringatan St. Marta
Hari Senin,
Pekan Biasa XVII
Kel
32:15-24.30-34
Mzm
106:19-20.21-22.23
Mat
13:31-35
Tuhan, Jadikanlah Aku
Pembawa Damai!
Ada seorang Misionaris yang melayani suatu
daerah di Timor Leste selama lebih kurang 40 tahun. Ia meninggalkan negaranya di Eropa, datang
ke pedalaman Timor Leste saat usianya masih muda dan tak kenal lelah melayani
jemaat di daerah tersebut. Banyak kali ia terhibur, merasa bahagia karena kelihatan
pelayanan dan karya misionernya berhasil. Semua orang juga segan dan memberi
rasa hormat kepada pelayanannya. Akan tetapi pada suatu hari ia jatuh dalam
penyesalan dan kekecewaan yang luar biasa. Ia hendak melakukan perjalanan ke
Dili. Di pertengahan jalan ia harus kembali karena mengalami gangguan
kesehatan. Dia merasa heran karena orang-orang di kampung tersebut sedang
berjalan menuju ke gunung sambil membawa sesajian. Ia bertanya kepada mereka
apa yang hendak mereka lakukan. Orang-orang itu berkata, “Ini adalah upacara adat kami. Sekarang kita sudah
mengalami kemerdekaan maka sepatutnya kami juga mau mengucap syukur kepada
nenek moyang kami di gunung”. Pastor itu berkata, “Tetapi itu berarti kalian
menyembah berhala”. Mereka menjawab, “Menyembah berhala itu menurut pastor, bukan menurut kami”.
Pastor Misionaris itu kembali ke pastoran dan merenungkan semua pengalaman yang
barusan terjadi. Ternyata umat masih mengalami dualisme dalam imannya. Pada Hari
Minggu mereka ke Gereja, pada hari yang lain mereka menyembah nenek moyang dan para leluhur di gunung.
Pada hari ini kita mendengar kisah yang
menarik dalam bacaan pertama. Cukup lama Musa dan Yosua menghadap Allah di gunung. Mereka turun dengan membawa dua loh batu
bertuliskan semua hukum Allah. Itu adalah tulisan tangan Allah sendiri di atas loh
batu. Ketika mereka sudah mendekat daerah perkemahan Israel, kedengaran oleh
mereka nyanyian bersahut-sahutan dan berbalas-balasan. Ternyata orang-orang
Israel sedang menyembah patung lembuh buatan tangan mereka. Apa reaksi dari
Musa sebagai leader mereka? Ia menghancurkan dua loh batu di kaki gunung Sinai, mengambil
patung anak lembu buatan tangan mereka, membakarnya, menggilingnya, menaburkan
di dalam air dan memberi semua orang Israel meminum air tersebut. Musa juga
merasa kesal dengan Harun karena kurang bertanggung jawab terhadap orang Israel
sehingga membuat dosa besar melawan Tuhan. Harun membela diri di hadapan Musa,
namun dosa sudah terjadi.
Dalam situasi yang kacau balau ini, Musa
berkata kepada bangsa Israel: “Kalian telah berbuat dosa besar, tetapi sekarang
aku akan naik menghadap Tuhan, mungkin aku dapat mengadakan pendamaian karena
dosa-dosamu itu”. Di hadirat Tuhan Musa berkata: “Ah, bangsa ini telah berbuat
dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. Tetapi sekarang
kiranya Engkau menghapus dosa mereka. Dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku
dari dalam Kitab yang telah Kautulis”. Tuhan menjawab Musa, “Barangsiapa
berdosa terhadapKu, nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam KitabKu.
Tetapi pergilah sekarang, tuntunlah bangsa itu ke tempat yang telah Kusebutkan
kepadaMu. Tetapi pada hari pembalasanKu, Aku akan membalaskan dosa mereka
kepada mereka”.
Relasi Musa dengan Yahwe sangat akrab. Mereka
sangat bersahabat satu sama lain. Perjalanan Bangsa Israel di padang gurun
selalu ditandai dengan jatuh dan bangun. Mereka menggerutu soal makan dan minum
bahkan membuat patung anak lembu dari emas dan menyembahnya. Kehadiran Musa
memang sangat penting. Ia berbicara dengan Tuhan supaya ada pendamaian dan pengampunan.
Dalam negosiasi itu Tuhan tetap menaruh kasih sayangNya kepada Musa tetapi akan
memberi balasan setimpal kepada bangsa Israel yang berdosa. Musa bertindak
tegas untuk mengoreksi hati orang Israel yang membatu. Ia juga membawa memohon
damai Tuhan atas Israel. Apakah kita juga dapat memiliki sikap seperti Musa
yang membawa damai?
Sikap Musa ini patut kita ikuti di dalam hidup
setiap hari. Musa berani memberi koreksi ketika melihat orang Israel berbuat
salah. Ia tidak tinggal diam. Musa juga berani untuk menghadap Tuhan dan
memohon pendamaian dari Tuhan kepada Israel. Ia tentu punya harapan supaya
tidak ada hukuman apa pun terhadap Israel, sebagai umat kesayanganNya. Banyak
kali orang bersikap masa bodoh, tidak berani memberi koreksi dan membiarkan
dosa bertumbuh subur. Banyak kali orang juga memiliki sikap menyalahgunakan
kebaikan orang lain dengan dosa. Sikap-sikap ini ada di dalam masyarakat dan
kalau tidak ada orang yang berani mengoreksi akan tetap ada selamanya.
Kerajaan Surga yang diwartakan oleh Tuhan
adalah Kerajaan damai. Tuhan menghendaki agar pemerintahanNya berlangsung damai
di dalam hati segenap umat manusia. Di samping damai, Kerajaan Surga juga
merupakan suasana sukacita kekal yang dialami di dalam hidup setiap hari. Di dalam bacaan Injil hari ini, Tuhan Yesus
mengumpamakan Kerajaan Surga dengan biji sesawi. Biji sesawi memang kecil
tetapi akan bertumbuh menjadi pohon besar, hingga burung-burung dapat bersarang
di atasnya. Kerajaan surga juga seumpama ragi yang diambil seorang wanita dan
diadukan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai seluruhnya beragi. Perumpamaan
ini memang sederhana dan titik fokalnya adalah pada keadaan awal dan akhir.
Biji sesawi itu kecil akan menjadi besar. Ragi sedikit akan membuat adonan
menjadi besar.
Perumpamaan ini mau mengatakan tentang
pewartaan yang sedang dilakukan Yesus dan yang menjadi saksi hanya 12 RasulNya.
Namun kedua belas rasul ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi pertumbuhan
Gereja. Hal ini menjadi nyata hingga saat ini. Gereja berkembang dalam
komunitas-komunitas kecil, mengalami penganiayaan sehingga seolah-olah menjadi
kerdil tetapi tetap bertumbuh menjadi besar. Biji sesawi menjadi pohon sayuran
merupakan bahasa simbolis bagi komuntas Mesianik yang mendengar dan merasakan
kehadiran Yesus (Yeh 17: 22-23; 31:6; da 4:9.18).
Rencana Tuhan untuk menghadirkan Kerajaan Surga di dalam diri Yesus berkembang hingga saat ini. Tuhan yang memulai, Tuhan juga yang menggenapi. Sekecil apapun biji sesawi akan menjadi pohon, demikian juga ragi akan menjadi adonan besar. Maka Sabda Tuhan, meskipun sangat sederhana tetapi memiliki power yang luar biasa untuk mengubah hidup manusia secara pribadi dan jemaat. Bangsa Israel sudah mengalaminya. Mereka berubah dengan teguran dari Tuhan melalui Musa. Apakah kita secara pribadi merasakan bertumbuhnya Kerajaan Surga di dalam hidup pribadi?
Rencana Tuhan untuk menghadirkan Kerajaan Surga di dalam diri Yesus berkembang hingga saat ini. Tuhan yang memulai, Tuhan juga yang menggenapi. Sekecil apapun biji sesawi akan menjadi pohon, demikian juga ragi akan menjadi adonan besar. Maka Sabda Tuhan, meskipun sangat sederhana tetapi memiliki power yang luar biasa untuk mengubah hidup manusia secara pribadi dan jemaat. Bangsa Israel sudah mengalaminya. Mereka berubah dengan teguran dari Tuhan melalui Musa. Apakah kita secara pribadi merasakan bertumbuhnya Kerajaan Surga di dalam hidup pribadi?
Doa: Tuhan, kami bersyukur kepadaMu karena
Engkau mengingatkan kami untuk tetapi setia kepadaMu. Bantulah kami semua untuk
tetap mendengar SabdaMu dan setia melakukannya di dalam hidup setiap hari. Amen
PJSDB
No comments:
Post a Comment