Hari Minggu Biasa XXX
Sir
35:12-14.16-18
Mzm 34:2-3.17-18.19.23
2Tim 4:6-8.16-18
Luk 18:9-14
Di hadiratMu ya Tuhan, Aku Berdoa
Selama
beberapa hari Minggu terakhir ini Tuhan Yesus mengarahkan kita melalui SabdaNya di dalam Injil untuk bersatu dalam Doa. Ia mengajar doa Bapa Kami dan mengingatkan para
muridNya untuk berdoa tanpa henti, berdoa tanpa merasa malu dengan Tuhan karena
Tuhan akan memperhatikan semua yang dibutuhkan oleh manusia. Berdoa adalah mengarahkan hati dan pikiran kita kepada
Tuhan. Kita tidak hanya sekedar berkomunikasi dengan mulut tetapi totalitas
kehidupan kita terarah hanya kepada Tuhan. Tentu saja konsekuensi keterarahan
kepada Tuhan adalah kita juga semakin bersatu dengan sesama. Mengarahkan
hati dan pikiran kepada Tuhan membawa dampak di dalam kehidupan pribadi untuk
selalu berdialog kepada Tuhan, bersama Tuhan dan selamanya adalah kasih.
Banyak orang
mengatakan bahwa berdoa berarti berbicara atau berdialog kepada Tuhan. Kesan
berdoa kepada Tuhan adalah Tuhan begitu jauh sehingga kita masih berdoa
kepadaNya. Bukankah Tuhan kita adalah Emanuel? Bukankah Tuhan selalu
menyertai seluruh hidup kita. Dia ada di tengah-tengah kita dan selalu beserta
kita. Dengan kesadaran bahwa Tuhan beserta kita maka doa kita hendaknya
memiliki makna berdoa berarti berbicara atau berdialog bersama Tuhan.
Masing-masing kita memiliki keakraban tertentu dengan Tuhan. Ia dekat bukan
jauh dari kita. Dia telah berinkarnasi dan tinggal bersama kita. Ketika orang
menyadari bahwa berdoa berarti berbicara bersama Tuhan maka diharapkan bahwa
pada suatu saat kita mencapai pemahaman yang lebih tinggi yakni berdoa berarti
mengasihi. Allah adalah kasih maka berdoa berarti merasakan kasih Allah dan
dengan demikian kita juga bersatu denganNya, mengasihiNya dan mengasihi sesama
sampai tuntas. Doa mengubah orang untuk rela mengosongkan diri supaya dapat
bersatu dengan Tuhan dan sesama manusia.
Tentu saja
ini merupakan tantangan yang besar bagi kita semua. Apakah di dalam pengalaman
doa pribadi dan doa komunitas, kita masih berdoa kepada Tuhan atau berdoa
bersama Tuhan atau sudah bersatu dengan Tuhan dalam kasih? Mungkin saja kita
masih tetap berada pada tahap berdoa kepada Tuhan karena kita belum akrab dan
bersahabat denganNya. Relasi pribadi kita dengan Tuhan masih sangat dangkal
karena kita tidak memiliki banyak waktu untuk berbicara denganNya, mendengar SabdaNya dan menjadi pelaku-pelaku SabdaNya. Mungkin ada di antara kita yang
sudah mulai mengalami pergeseran dari berdoa kepada Tuhan menjadi berdoa bersama
Tuhan. Ada kerinduan yang mendalam untuk bersatu dengan Tuhan. Ada yang
memiliki komiten untuk selalu bersama dengan Tuhan, siang dan malam mendengar,
merenungkan dan melakukan SabdaNya. Mungkin ada juga yang sudah merasakan doa
sebagai kasih. Ada pesatuan yang utuh dengan Tuhan. Ada kebahagiaan dan sukacita
selamanya dengan Tuhan.
Pada hari ini
kita mendengar Yesus memberi perumpamaan tentang dua orang yang pergi ke Bait
Allah untuk berdoa. Kedua orang ini sama-sama orang Yahudi dan sama-sama
percaya kepada Allah yang sama. Mereka hanya berbeda dalam profesi. Mereka hanya
berbeda dalam hidup sosialnya, dalam hal ini ada seorang merupakan kaum Farisi dan orang yang lainnya
adalah seorang pemungut cukai. Orang-orang Farisi terkenal sebagai pemegang dan
penegak hukum Taurat. Bagi mereka, orang Yahudi yang baik adalah dia yang melakukan perintah-perintah Tuhan dengan
murni. Misalnya dalam hal berpuasa, den memberi persepuluhan dari
penghasilannya. Orang kedua adalah pemungut cukai. Para pemungut cukai adalah
orang-orang Yahudi yang bekerja untuk Kerajaan Romawi. Ketika memungut cukai,
kadang-kadang mereka tidak jujur sehingga mereka disamakan dengan kaum pendosa.
Apa yang
terjadi ketika mereka berdua berdoa? Ternyata kesombongan rohani orang Farisi muncul.
Ia dengan angkuhnya mengangkat kepalanya di hadapan Tuhan,
mengucapkan puji dan syukur karena dirinya bukan perampok, orang lalim, pezinah
dan pemungut cukai. Dia terang-terangan menyombongkan dirinya di hadirat Tuhan
dan berpikir bahwa Dialah yang paling sempurna. Orang ini boleh merasa diri dekat dengan Tuhan tetapi sebenarnya jauh dari Tuhan. Orang ini adalah simbol
orang yang mengalami kedangkalan rohani. Lain halnya dengan pemungut cukai. Ketika berdoa, dia
mengetahui siapakah dirinya maka ia menundukkan kepala, menepuk dada dan memukul
dirinya sambil memohon belas kasih Tuhan: “Allah kasihanilah aku orang berdosa
ini”. Orang ini kembali ke rumah dengan sukacita karena Tuhan menyertainya.
Dua tipe
manusia yang diumpamakan Yesus di dalam Injil adalah gambaran diri kita
masing-masing di hadirat Tuhan. Ketika
kita pergi ke Gereja untuk berdoa, banyak kali kita adalah orang Farisi modern
yang membuat perhitungan dengan Tuhan. Kita menghitung segala kebaikan yang kita
lakukan dan merasa diri puas dan dekat dengan Tuhan sambil membandingkan dan
menganggap orang lain sebagai pribadi yang tidak layak untuk Tuhan. Sebenarnya
kita jauh dari Tuhan! Mungkin lebih baik ketika kita mengenal diri kita,
merendahkan diri kita supaya dapat merasakan kerahiman Tuhan. Dengan legowo kita pun dapat berkata
kepada Tuhan: “Allah kasihanilah aku orang berdosa ini”. Tuhan membenarkan
orang yang rendah hati di hadiratNya dan mencampakkan orang yang congkak
hatinya. Orang yang tinggi akan direndahkan dan yang rendah akan ditinggikan.
Tuhan
berkenan kepada orang kecil yang tulus kepadaNya. Kitab Putra Sirak dalam
bacaan pertama mengatakan bahwa Tuhan adalah hakim yang adil. Ia tidak memihak
dalam perkara orang miskin tetapi mengindahkan doa orang yang terjepit. Jeritan
para yatim piatu dan janda didengarkanNya. Tuhan berkenan kepada siapa saja yang
dengan sebulat hati berbakti kepadaNya dan doanya naik sampai ke awan. Doa
orang miskin menembusi awan dan Tuhan memandang serta menerimanya. Sekali lagi
sikap rendah hati dan pasrah kepada Tuhan merupakan hal yang luhur di
hadiratNya. Sikap rendah hati menunjukkan bahwa orang itu membutuhkan Tuhan di
dalam hidupNya. Hanya orang sombong yang merasa diri dekat dengan Tuhan tetapi
sebenarnya sangat jauh dari Tuhan.
Apa yang
harus kita lakukan? St. Paulus di dalam bacaan kedua menunjukkan teladan
kerendahan hatinya. Ia banyak mengalami penderitaan dan penolakan karena
cintanya kepada Kristus. Oleh karena itu ia mengatakan syukurnya karena telah
mengakhiri pertandingan dengan baik, mencapai garis finis dan memelihara iman.
Oleh karena itu ia dengan berani mempersembahkan dirinya secara utuh kepada
Tuhan. Pemberian diri secara total kepada Tuhan adalah buah doa yang sangat
berarti. Apakah kita bisa menyerupai St. Paulus? Berdoalah senantiasa dan
serahkanlah dirimu kepada Tuhan. Dialah yang menyempurnakanmu.
Doa: Tuhan
kami bersyukur dan berterima kasih kepadaMu karena Engkau sudah menyadarkan
kami untuk bersatu denganMu dalam doa. Bantulah kami untuk selalu rendah hati
sehingga layak mengucap puji dan syukur kami kepadaMu. Amen
PJSDB
No comments:
Post a Comment