Friday, November 4, 2011

Filsafat Ilmu


FILSAFAT ILMU



I. Lakukan analisis atas jenis-jenis pengetahuan di bawah ini dan cantumkan sumber dan contoh-contoh kalimat, pernyataan, perbincangan atau teorinya:



1.   Pengetahuan sehari-hari

a.   Pengertian

Apa itu pengetahuan masih menjadi perdebatan serius di kalangan para filsuf dalam cabang filsafat epistemologi. Definisi klasik apa itu pengetahuan dikemukakan Plato yang mengatakan bahwa sebuah pernyataan hanya dapat dipandang sebagai pengetahuan jika memenuhi 3 kriteria utama, yakni harus bisa dibuktikan (justified), harus benar, dan layak menjadi keyakinan. Pendapat ini oleh kebanyakan filsuf sekarang tidak dipandang sebagai kriteria yang memadai mengenai apa itu pengetahuan. Robert Nozick, seorang filsuf ilmu abad ini, misalnya, mengatakan bahwa sebuah proposisi hanya bisa diterima sebagai pengetahuan jika mengandung 4 kriteria utama: (1) sebuah pernyataan adalah pengetahuan jika pernyataan itu benar; (2) jika seseorang atau sebuah komunitas percaya bahwa pernyataan itu memang benar; (3) kalau jika pernyataan itu salah (jadi bukan sebuah pengetahuan), maka subjek atau komunitas juga harus menerimanya sebagai salah; dan (4) sebuah proposisi adalah benar (bukan kondisional lagi seperti syarat pertama tetapi faktual), maka subjek atau komunitas harus menerima kebenaran itu sebagai kebenaran yang bisa diandalkan.

Kondisi pengetahuan semacam ini pasti berbeda dengan keyakinan kaum positivis mengenai pengetahuan. Filsuf seperti Ludwig Wittgenstein berpegang teguh pada keyakinannya bahwa what can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence.” Artinya, di luar dari apa yang bisa dikatakan mengenainya maka pikiran tidak bisa mendefinisikan atau mengatakan mengenai sesuatu itu. Klaim kebenaran semacam ini sekaligus mengeluarkan hal-hal yang sifatnya mistik—apa yang dalam filsafat tradisional dianggap sebagai salah satu kajian filsafat—sebagai sumber pengetahuan. Sebuah pernyataan hanya bisa diterima sebagai pengetahuan jika bisa diverifikasi secara empiris.

Perdebatan mengenai penegtahuan tentu tidak akan pernah selesai. Para filsuf idealis atau konseptualis seperti Plato atau Rene Descartes akan mengidolakan pengetahuan yang justifikasi kebenarannya tidak didasarkan pada referensinya pada kenyataan real atau faktual tertentu. Sementara kaum positivis seperti Wittgenstein atau Rudolf Carnap akan sangat menekankan justifikasi empiris sebagai basis dan sumber pengetahuan.

Pengetahuan sebagaimana diperdebatkan di atas sangat berbeda mengenai pengetahuan sehari-hari (everyday knowledge). Pengetahuan sehari-hari dibangun bukan berdasarkan refleksi kritis dan pengambilan jarak terhadap realitas. Pengetahuan sehari-hari lebih mendasarkan diri pada kerja akal sehat (common sense). Sifatnya sangat praktis dan mengarahkan hidup manusia. Pengetahuan sehari-hari yang praktis tersebut pertama-tama dimaksudkan untuk memecahkan persoalan-persoalan keseharian yang dihadapi masyarakat, dan sama sekali tidak dimaksud untuk dikembangkan lebih lanjut atau direfleksikan secara mendalam demi tujuan pada dirinya sendiri. Meskipun demikian, pengetahuan sehari-hari justru menjadi dasar dan titik tolak pengetahuan reflektif manusia. Tanpa pengetahuan sehari-hari kita tidak mungkin berefleksi secara filosofis. Pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pun dibangun di atas basis pengetahuan sehari-hari ini.

b.         Contoh

Masyarakat desa tertentu melarang penebangan hutan di desa mereka. Bagi mereka, menebang hutan berarti menelanjangi para penjaga hutan atau melecehkan roh nenek moyang. Larangan semacam ini sebenarnya bisa dijelaskan secara saintifik, bahwa menebang hutan berlebihan itu tidak baik karena merugikan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Inilah local wisdom yang bisa dikembangkan ke arah refleksi filosofis dan ilmiah.

c.   Rujukan


2.   Pengetahuan filsafat

a.   Pengertian

Filsafat bertujuan merefleksikan realitas secara mendalam untuk menemukan jawaban-jawaban final mengenainya. Filsafat mempertanyakan dan merefleksikan realitas, termasuk kesadaran manusia sendiri yang merefleksikan realitas tersebut. Pengetahuan yang dihasilkan dari refleksi yang radikal, kritis, dan mendalam terhadap realitas, termasuk kesadaran subjek berpikir itu sendiri disebut pengetahuan filosofis.

Pengetahuan filosofis memiliki beberapa karakteristik penting. (1) Pengetahuan filosofis mengakomodasi berbagai pendapat atau perbedaan mengenai kebenaran. Pengetahuan tentang kebenaran (truth) tidak pernah dirumuskan sekali untuk selamanya. (2) Pengetahuan filosofis berusaha mensintesa berbagai klaim pengetahuan dan kebenaran. Daripada menjadi dogmatis dan mempertahankan jenis pengetahuan atau kebenaran tertentu (pengetahuan empiris, naturalis, idealis, konstruktivis, dan sebagainya), pengetahuan filosofis membuka ruang seluas-luasnya bagi perdebatan aneka klaim pengetahuan dan kebenaran. Itulah sebabnya mengapa pengetahuan dalam filsafat tidak pernah bisa disepakati. (3) Pengetahuan filosofis bersifat rasional karena mendasarkan diri pada prinsip-prinsip logika tertentu. Pengetahuan logis dibangun berdasarkan refleksi logis atas kenyataan. (4) Pengetahuan filosofis bersifat universal dalam arti bisa diterima, diperdebatkan, atau diteguhkan oleh siapapun juga persis ketika sifatnya yang rasional tersebut.

b.         Contoh-contohnya

“Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dihidupi” (Aristoteles)

Pengetahuan adalah hasil dari justifikasi terhadap keyakinan yang benar” (Plato)

“Kota tidak akan pernah mencapai keadaan damai sebelum para filsuf-raja menduduki kursi kekuasaan atau ketika mereka yang berkuasa sekarang melakukan perenungan-perenungan filosofis, atau ketika kekuasaan politik dan filsafat bersua”  (Plato dalam Republic 473c-d)

c.   Rujukan


3.  Pengetahuan teologis

a.  Pengertian

Dalam konteks kekristenan, pengetahuan teologis dipahami sebagai jenis pengetahuan yang dihasilkan pikiran manusia karena kerja atau kuasa Roh Kudus. Jenis pengetahuan ini bersumber pada Tuhan sang maha tahu yang mewahyukan dirinya kepada manusia, ”menunjukkan” diri melalui pikiran (nous) dan mengundang manusia berpartisipasi dalam pikiran Tuhan.

Dalam islam, pengetahuan (Bahasa Arabic: علم : ilm) menunjukkan bahwa Allah Sang Maha Mengetahui adalah salah satu sifat Allah dari 99 nama Allah yang disembah. Pengetahuan dalam Islam selalu dipandang sebagai yang bersumber dan datang dari Allah SWT (2:239). Dalam Haditz Nabi pun dikisahkan bahwa Nabi Muhammad mengatakan kepada umatnya untuk selalu mencari dan mengusahakan pengetahuan. ”Carilah pengetahuan sejak dari dalam kandungan hinggah ke liang kubur”. Orang pintar dalam Islam disebut sebagai “alim”, sebutan yang menunjukkan penghargaan agama ini pada pengetahuan.

Pengetahuan teologis tentu tidak bisa diverifikasi secara saintifik seperti ilmu alam. Jenis pengetahuan ini mengandaikan penerimaan mutlak manusia atasnya persis ketika dia bersumber dari Tuhan sendiri sebagai sang maha mengetahui.

b.  Contoh-contohnya

Surga disediakan bagi mereka yang percaya dan setia menjalankan perintah Tuhan.

Allah akan membalas segala kebaikanmu dan menghukum engkau karena kelalaianmu.

c.  Rujukan

·         http://en.wikipedia.org/wiki/Knowledge (Last Accessed: March 3, 2010, 14:50 PM)


4.   Pengetahuan mistik

a.   Pengertian

Mistisisme dalam artinya yang luas dapat dikatakan sebagai hasil akhir dan final dari hasrat manusia mencari pengetahuan. Sebenarnya ini merupakan fenomena biasa dan umum dalam makhluk hidup, terutama manusia. Pengetahuan mistik bisa ditelusuri dalam fenomena pengetahuan manusia bahkan menyertai seluruh hasrat manusia dalam mengetahui. Misalnya, keinginantahu atau kekaguman akan sesuatu mendorong pikiran manusia menanyakan dan menemukan jawaban mengenai sesuatu itu. Filsafat pengetahuan menegaskan bahwa meskipun pengetahuan akan sesuatu harus bisa dijustifikasi sebagai benar atau salah (pembuktian sangat tergantung pada aliran epistemologi: empirisme versus idealisme, objektivisme versus subjektivisme, dan sebagainya), pengetahuan tersebut tidak pernah bersifat mutlak dan absolut. Karena itu, pengetahuan akan sesuatu yang menampakkan diri kepada kesadaran selalu tidak pernah bisa menjelaskan hakikat atau esensi dari sesuatu.

Padahal nalar (nous) manusia diarahkan atau terbuka kepada realitas ultim (the ultimate reality) persis ketika manusia merasa tidak puas dengan jawaban-jawaban yang bersifat sementara atas pertanyaan-pertanyaan filosofisnya. Nalar manusia terarah kepada esensi atau realitas ultim tertentu yang menjadi dasar atau penjelasan akhir bagi berbagai ihwal yang dihadapinya. Di sinilah nalar memiliki kemampuan menangkap dan memahami realitas ultim tertentu yang keberadaannya tidak dipasung atau dibatasi oleh ruang dan waktu. Itulah realitas mutlak, realitas abadi, realitas yang tidak berubah di hadapan realitas yang senantiasa berubah, realitas yang menjadi alasan keberadaan realitas lain. Kemampuan nalar manusia dalam menangkap esensi atau realitas ultim yang menjadi alasan keberadaan data atau fakta akan menghasilkan gagasan atau idea mengenai esensi itu sendiri. Pengetahuan mengenai esensi inilah yang disebut pengetahuan mistik.

Bagi orang beragama, pengetahuan tentang esensi atau pengetahuan mistik ini dihayati sebagai momen ”perjumpaan” Tuhan sang Pencipta dengan manusia selaku ciptaan. Pengetahuan mistik adalah pengalaman kesadaran di mana pengetahuan yang sifatnya terbatas dalam kungkungan ruang dan waktu mampu membawa kesadaran manusia kepada keabadiaan, kepada realitas ultim nan agung. Inilah pengetahuan di mana Tuhan menyatakan diri dalam pikiran manusia dan mengundang penyerahan diri total dari pihak manusia yang mengalami pengetahuan mistik tersebut.



b.   Contoh-contohnya

·         Kesadaran akan makna hidup di hadapan berbagai penderitaan yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan mengandalkan empirisme atau naturalisme.

·         Kesadaran akan kebesaran yang maha kuasa melalui renungan atas keteraturan alam semesta.

c.   Rujukan

·         B. Sharpe, Mysticism: Its True Nature and Value, London, Sands & Company, 2003.

·         Robert K. C. Forman, Mystical Knowledge: Knowledge by Identity. Dalam: Journal of the American Academy of Religion, Vol. 61, No. 4 (Winter, 1993), pp. 705-738.



5.   Pengetahuan jurnalistik

a.   Pengertian

Pengetahuan jurnalistik dimaksudkan sebagai pengetahuan yang bersumber dari media massa. Media massa sendiri sebenarnya adalah seni mengemas berita, seni mendeskripsikan materi dan opini dalam bahasa yang populer sehingga mudah dipahami masyarakat. Media massa sebagai sumber pengetahuan meliputi surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, bahkan handphone.

Dalam pengertiannya yang ketat, pengetahuan jurnalistik tidak bisa dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah. Pengetahuan jurnalistik hanya berurusan dengan bagaimana suatu peristiwa atau kejadian dideskripsikan oleh jurnalis. Wartawan atau jurnalis berusaha menyajikan peristiwa apa adanya seraya memperhatikan kaidah-kaidah penulisan jurnalistik atau etika jurnalistik. Meskipun sangat deskriptif, sulit memastikan apakah pengetahuan jurnalistik benar-benar objektif persis ketika kita kesulitan membedakan karakteristik deskriptif sebuah pemberitaan dengan sudut pandang (angle) sang wartawan, kebijakan redaksi, atau bahkan kepentingan pemilik modal.

Pengetahuan jurnalistik, dengan demikian, bersifat deskriptif, sesaat, dan sementara. Pengetahuan tersebut dapat memicu penyelidikan lebih lanjut, menggugah keinginan tahu, dan membuka perspektif diskusi dan penjelasan lebih mendalam. Itu artinya mengandalkan hanya pengetahuan jurnalistik dalam memecahkan suatu persoalan tentu tidaklah memadai.

b.   Contoh-contohya

Tanggal 3 Maret 2010, ribuan mahasiswa berdemonstrasi di gedung DPR-RI. Mereka meminta DPR memutuskan secara objektif hasil temuan Pansus Bank Century, apakah kebijakan dan implementasi bailed-out Bank Century melanggar hukum atau tidak. Karena demonstrasi itu, ada lima mahasiswa yang ditangkap polisi.

Karena penangkapan ini Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ton Abdillah Has, Kamis (4/3) di Jakarta meminta Kapolri agar membebaskan rekan mereka. Para mahasiswa itu yakin bahwa teman mereka tidak melakukan kesalahan.



Komentar:

Karena sifatnya yang deskriptif dan sesaat, objektivitas pengetahuan jurnalistik semacam ini bernilai rendah. Belum bisa dipastikan apakah mahasiswa yang ditangkap polisi itu memang tidak bersalah. Sama halnya dengan persoalan apakah tindakan polisi menangkap mahasiswa dapat dikategorikan sebagai tindakan profesional atau kesembronoan.

c.   Rujukan

·         http://en.wikipedia.org/wiki/Journalism (last accessed: March 5, 2010, 13:05 PM)

·         Eduardo Meditsch, Journalism as a way of knowledge: a Brazilian pedagogical experience. Dalam: http://www.bocc.ubi.pt/pag/meditsch-eduardo-journalism-knowledge.html ((last accessed: March 5, 2010, 13:10 PM).



6.   Pengetahuan ilmiah

a.   Pengertian

Pengetahuan dihasilkan dari refleksi rasional, kritis, dan sistematis pikiran manusia atas realitas. Refleksi itu pada gilirannya menghasilkan penjelasan-penjelasan tertentu terhadap realitas tersebut. Pada level yang paling rendah, pengetahuan mengenai realitas bersifat umum (general knowledge). Pengetahuan ini menghasilkan prinsip-prinsip penjelas tertentu yang umumnya bersifat pragmatis, karena mampu menjawab atau memecahkan masalah konkret tertentu yang dihadapi manusia. Pengetahuan umum memiliki karakteristik tertentu yang dibutuhkan bagi perkembangannya ke arah pengetahuan ilmiah. Misalnya, pengetahuan umum dihasilkan dari kerja akal budi berdasarkan metodologi tertentu. Pengetahuan umum juga memiliki karakteristik abstrak ketika prinsip penjelas realitas (gagasan, asumsi, hipotesa) bersifat abstrak (kemampuan untuk dapat dibuktikan tanpa harus mengacu kepada data faktual tertentu). Pengetahuan umum juga mulai memperhatikan aspek objektivitas pengetahuan ketika pengetahuan dihasilkan bukan semata-mata sebagai konstruksi pikiran si penahu, tetapi sebagai semacam perjumpaan fenomenologis antara objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui.

Pengetahuan ilmiah lahir ketika pengetahuan umum mulai disistematisasi dan dibakukan secara sistematis. Itulah sebabnya mengapa pengetahuan ilmiah tidak hanya memiliki metodologi keilmuan yang ketat, tetapi juga teknik pembuktian yang sangat bisa dipertanggungjawabkan. Pengetahuan ilmiah bekerja berdasarkan metode-metode tertentu untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat. Penjelasan-penjelasan pengetahuan ilmiah bersifat ilmiah karena teruji berdasarkan kadar empirisnya dan prinsip universalitas penjelasannya. Meskipun bersifat sementara, pengetahuan ilmiah dapat diandalkan sebagai penjelasan terhadap berbagai fenomena yang kurang lebih sama dalam kehidupan sehari-hari.

b.   Contoh-contohnya

”Aspirin merupakan obat yang telah lama dikenal memiliki efek antitrombotik. Penelitian Women’s Health Study (WHS) menunjukkan bahwa pemberian aspirin 100 mg pada wanita sehat berusia 45 tahun ke atas selama 10 tahun menyebabkan penurunan risiko stroke pada pada kelompok aspirin, namun tidak menyebabkan risiko miokard infark. Berdasarkan hasil studi ini, maka penggunaan aspirin sebagai prevensi terhadap tromboembolisme vena pada wanita pasca menopause yang menggunakan HRT merupakan hal yang menjanjikan namun masih harus diuji efikasinya” (dikutip dari Majalah Kedokteran Damianus, Vol 8. No. 3 September 2009, hlm. 132).

c.   Rujukan

Verhaak, C & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Keraf, A. Sony & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan. Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta, Kanisius, 2001.



II. Perbandingan pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lainnya

            Pada dasarnya semua jenis pengetahuan yang telah diuraikan di atas memiliki dasar atau sumber tertentu yang sama yakni berasal dari pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa dan kebutuhan hidup manusia. Tentu saja tidak semua jenis pengetahuan di atas memerlukan metode-metode ilmiah tertentu. Pengetahuan sehari-hari misalnya, lebih mengandaikan pengalaman konkret dari subjek atau bisa saja tergantung pada ingatan dan kesaksian yang dia alami.Namun demikian bukan berarti pengetahuan non ilmiah meniadakan metode ilmiah karena sumber-sumber yang disebutkan pun perlu dibuktikan sehingga memiliki validitas tertentu.

            Pengetahuan ilmiah merupakan jenis pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah  dengan menerapkan metode ilmiah. Sebagaimana di sebutkan di atas bahwa pengetahuan umum yang dialami manusia yang dihasilkan oleh  kerja akal budi berdasarkan metodologi tertentu, sifatnya pun masih abstrak ketika prinsip penjelas realitas (gagasan, asumsi, hipotesa) bersifat abstrak (kemampuan untuk dapat dibuktikan tanpa harus mengacu kepada data faktual tertentu). Pengetahuan umum ini dapat menjadi pengetahuan ilmiah ketika disistemasi dengan metode imiah dan dapat di buktikan atau dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dengan demikian kita melihat bahwa antara pengetahuan umum dan pengetahuan ilmiah memiliki keterkaitan satu sama lain. Bedanya terletak pada metodologi dan sistemasi pembuktiannya.



III.Apakah bisa dikatakan bahwa Ilmu pengetahuan lebih unggul dari jenis-jenis pengetahuan lainya atau tidak dapat dikatakan demikian karena masing-masing memiliki keunggulan sendiri?



Pada prinsipnya semua pengetahuan mengarahkan kita kepada apa yang diungkapkan oleh Plato yakni harus bisa dibuktikan (justified), harus benar, dan layak menjadi keyakinan. Dikatakan juga di atas bahwa semua pengetahuan baik pengetahuan umum atau pengetahuan non ilmiah dan pengetahuan ilmiah bersumber pada unsur-unsur atau sumber yang mirip seperti pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa dan kebutuhan hidup manusia. Hal yang membedakan justru pada sistematiasi dan metodologi untuk menjadikan pengetahuan itu menjadi ilmiah. Oleh karena itu pada hemat saya, Ilmu pengetahuan memiliki keunggulan pada bagian metodologi penelitiannya yang hasilnya disistematisasi secara logis, kritis sebagai dibukti dan meyakinkan orang. Pengetahuan-pengetahuan lain pun memiliki keunggulan tertentu yang dapat berkembang dan mendukung pengetahuan ilmiah.




DAFTAR PUSTAKA



B. Sharpe, Mysticism: Its True Nature and Value, London, Sands & Company, 2003.

Chisholm, Roderick. 1989. Theory of Knowledge, 3rd. ed., Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Eduardo Meditsch, Journalism as a way of knowledge: a Brazilian pedagogical experience. Dalam: http://www.bocc.ubi.pt/pag/meditsch-eduardo-journalism-knowledge.html ((last accessed: March 5, 2010, 13:10 PM).

Greco, J. & Sosa, E. 1999. Blackwell Guide to Epistemology, Blackwell Publishing.

http://en.wikipedia.org/wiki/Knowledge (last accessed: March 3, 2010, 02:25 PM)

http://en.wikipedia.org/wiki/Knowledge (Last Accessed: March 3, 2010, 14:50 PM)

http://en.wikipedia.org/wiki/Journalism (last accessed: March 5, 2010, 13:05 PM)

http://www.philosophyonline.co.uk/tok/tokhome.htm (last accessed: March 3, 2010, 02:30 PM)

http://philrsss.anu.edu.au/~mdavies/papers/implicit.pdf (last accessed: March 3, 2010, 03:40 PM)

Keraf, A.S & Mikhael D. 2001. Ilmu Pengetahuan. Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta, Kanisius.

Robert K. C. Forman, Mystical Knowledge: Knowledge by Identity. Dalam: Journal of the American Academy of Religion, Vol. 61, No. 4 (Winter, 1993), pp. 705-738.

Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar. Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogjakarta: Kanisius

Verhaak, C & R. Haryono Imam. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment