Friday, November 4, 2011

Sakramen Perkawinan


SAKRAMEN PERKAWINAN SEBAGAI PANGGILAN UNTUK BERBAGI



I.                   PERKAWINAN SEBAGAI PANGGILAN


Rumah harus dibersihkan. Anak-anak harus mendaftar ulang di sekolah. Latihan koor di lingkungan malam ini. Membayar tagihan PLN dan PAM pada akhir bulan. Item-item ini merupakan gambaran kecil dari semua kesibukan yang ada di dalam suatu keluarga. Dengan demikian, banyak di antara kalian sedemikian sibuk menjalani hidup perkawinan sampai-sampai tidak menyadari bahwa Allah memiliki suatu panggilan istimewa bagimu dan tidak menyadari rahmat yang diberikan Allah untuk menjalani panggilan itu.


1.      Mendengar panggilan Tuhan: sudah...belum...

Panggilan adalah undangan penuh rahmat dari Allah untuk menempuh jalan hidup tertentu. Suatu undangan yang menantikan tanggapan. Di dalam Kitab Suci, undangan selalu diikuti oleh tanggapan atas undangan tersebut. Panggilan bisa saja ditujukkan kepada pribadi tertentu. Misalnya Abraham dan Musa merupakan contoh figur yang dipanggilan Yahwe dan mereka mencoba untuk menanggapinya. Panggilan juga bisa ditujukkan kepada suatu bangsa tertentu. Misalnya sepuluh perintah Allah diberikan oleh Yahwe kepada Bangsa Israel melalui Musa di gunung Sinai. Atau para nabi di dalam Kitab Perjanjian Lama menyampaikan Firman Allah kepada putera dan puteri Israel.

Di dalam Kitab Perjanjian Baru, panggilan Allah disampaikan oleh Sang Sabda (Logos) yang menjelma menjadi manusia yakni Yesus, yang memanggil laki-laki dan perempuan yang berdosa untuk menjadi murid-muridNya (Mrk 2:17). Ia memanggil mereka untuk berpartisipasi dalam perjamuan kawin yang telah Ia siapkan (Mat 22:3). Santu Paulus juga menekankan tema panggilan Kristus dan tanggapan manusia (Rm 9:25; 11: 29 dan  2Tes 1:11). Hubungan yang muncul dari tanggapan menusia terhadap panggilan Kristus merupakan dasar dari kehidupan baru yang mengungkapkan kerahiman Allah.

Kepada jemaat di Korintus, Paulus menulis: Saudara-saudara, ingatlah bagaimana keadaanmu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia dipilih oleh Allah untuk mempermalukan orang-orang yang berhikmat. Dan apa yang lemah bagi dunia dipilih oleh Allah untuk mempermalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, bahkan tidak berarti, dipilih oleh Allah untuk meniadakan apa yang berarti (1Kor 1:26-28).  

Petrus sang batu karang Gereja menegaskan bahwa Allah telah “memanggil kita karena kuasaNya yang mulia dan ajaib” (2 Ptr 1:3). Ini adalah panggilan umum yang disampaikann kepada semua orang, tetapi panggillan ini menuntut tanggapan personal dari setiap orang. Dan panggilan itu bukan sekadar keputusan satu kali sepanjang kurun hidup. Panggilan ini berhubungan dengan komiten yang terus menerus: “Berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu semakin teguh (2Ptr 1:10).


2.      Sabda Allah meneguhkan panggilan

Tanggapan atas panggilan Allah memiliki banyak penerapan praktis bagaimana kehidupan harus dijalani. Tentu saja ini termasuk hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam perkawinan (Luk 16:18; 1 Kor 7: 1-7; Ef 5: 21-32;1 Tes 4:3-4 dan 1 Tim 4:3-4). Sejak awal penciptaan, Allah telah memanggil laki-laki dan perempuan untuk hidup dalam kesatuan. Di dalam kesatuan pria dan wanita ditemukan gambar Allah (Kej 1:27). Kepada pasturi pertama Allah berfirman: “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi dan taklukanlah; berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28). Panggilan ini adalah berkat dan sekaligus tanggungjawab.

Dalam Kitab Suci, ada sejumlah contoh pasangan suami isteri yang gagal menanggapi panggilan Allah mulai dari pasangan Adam dan Hawa dan pasangan-pasangan lainnya (Misalnya: Izebel dan Ahab dalam 1 Raj 16-21; Ananias dan Safira dalam Kis 5: 1-11). Tetapi ada juga contoh-contoh ulung pasangan suami isteri yang mendengar panggilan Allah dan menanggapinya. Di dalam Kitab Perjanjian Baru terdapat pujian atas iman, ketaatan serta keramahan Abraham dan Sara (1 Ptr 3:5; Ibr 11: 8-17), Tobit dan Hana menunjukkan kebajikan-kebajikan seperti memberi makan kepada orang-orang miskin, menguburkan jenazah orang-orang yang mati terlantar, memberi pakaian kepada orang-orang yang telanjang, memberi derma, berdoa dan berpuasa. Tobia dan Sara menunjukkan bahwa Allah berkarya di dalam perkawinan mereka sehingga mereka berdoa sebelum menyempurnakan kesatuan mereka. Tobia berkata: “Tuhan, bukan karena nafsu birahi kuambil saudariku ini, melainkan dengan hati yang benar. Sudilah kiranya mengasihani aku dan dia dan buatlah kami menjadi tua bersama” (Tb 8:7).

Pasangan suami isteri Akwila dan Priskila disebut empat kali dalam Perjanjian Baru (Kis 18:1; Rm 16:3; 1 Kor 16:19 dan 2 Tim 4:19). Pasutri ini mendukung usaha-usaha evangelisasi Santo Paulus. Mereka terkenal karena keramahan mereka, jemaat berkumpul di rumah mereka (Kis16:19). Bahkan mereka sering “membahayakan hidup mereka demi keselamatan Paulus”. Sungguh Paulus menegaskan: “Kepada mereka bukan saja aku yang berterima kasih, tetapi juga semua jemaat bukan Yahudi” ( Rm 16:4).

Namun demikian kesaksian terbesar adalah keluarga kudus di Nazaret. Maria, Yusuf dan Yesus memberi teladan kekudusan bagi setiap keluarga Kristiani. Maria dan Yusuf menjawabi panggilan Allah. Maria melahirkan Yesus, sang Mesias.


 
3.      Suami-Isteri: dua menjadi satu

Semenjak kelahiran Kristus, keluarga Kristiani, yang menanggapi panggilan Tuhan, telah menunjukkan kepedulian terhadap orang-orang miskin dan sakit, kasih kepada sesama dan keramahan kepada orang-orang asing. Ketika agama kristiani berkembang dalam lingkup kerajaan romawi terdapat pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat kerejaann Romawi. Di dalam kerajaan romawi, rasa hormat terhadap kesucian perkawinan nyaris tidak ada. Orang-orang romawi melakukan kontrasepsi, aborsi dan pembunuhan janin dan mereka memiliki sedikit anak. Orang-orang lanjut usia dan jompo seringkali ditinggalkan dan dibiarkan mati. Isteri diperlakukan sebagai piaraan. Keluarga kristiani sebaliknya: monogami, dan kesetiaan menjadi kaidah hidup perkawinan. Anak-anak disambut sebagai berkat dari Tuhan. Di dalam budaya kristiani kaum perempuan menikmati status yang jauh lebih tinggi daripada kaum perempuan dalam masyarakat yunani-romawi pada umumnya. Tentu saja cara hidup seperti ini dihayati sebagai tanggapan bebas terhadap panggilan kepada kasih akan Allah dan kasih terhadap sesama. Dan hal itu hanya dapat diwujudkan karena di dasarkan pada kerjasama dengan rahmat yang diberikan Allah kepada mereka yang ingin mengikuti Dia.


 
4.      Panggilan universal

Konsili Vatikan II mendorong orang-orang katolik menghayati  suatu kehidupan dan perutusan yang tidak kurang revolusioner di bandingkan dengan kehidupan dan perutusan yang dihayati oleh individu, keluarga, dan jemaat kristiani purba. Para Bapak Konsili menandaskan perlunya suatu cara hidup katolik yang berlawanan dengan budaya masyarakat pada umumnya, yang diresapi oleh banyaknya kejahatan yang sama dengan kejahatan yang sama dengan kejahatan yang melanda masyarakat Romawi kuno. “Di dalam Gereja, semua orang...dipanggil kepada kekudusan, sesuai dengan ucapan Rasul Paulus: Sebab inilah yang dikehendaki Allah, yakni kekudusanmu” (Lumen Gentium no 39).

Panggilan kepada kekudusan juga memiliki unsur injili. Tujuannnya bukan hanya kekudusan individual, tetapi juga  cara hidup yang akan mempengaruhi seluruh umat manusia. Lewat kekudusan pribadi umat Allah “akan menunjukkan kepada semua orang kasih Allah kepada dunia” (LG, no 41).  Dalam kerangka panggilan yang sangat penting kepada kekudusan ini ditemukan landasan hidup perkawinan sebagai suatu pangilan. Dalam perkawinan pasangan suami dan isteri dipangil kepada kekudusan dan kepada suatu kerasulan yang memancar dari pengalaman pelayanan kepada Allah dan kepada sesama.

“Seturut cara hidup mereka, dan dengan cinta setia seumur hidup, para suami isteri dan orang tua kristiani wajib saling mendukung dalam rahmat, dan meresapkan ajaran Kristiani maupun keutamaan-keutamaan injil ke dalam hati anak-anak yang dengan penuh kasih mereka terima dari Allah. Sebab dengan demikian mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang,memberi contoh tentang persaudaraan kasih, dan menjadi saksi serta penopang kesuburan Bunda Gereja. Mereka menjadi tanda dan sekaligus ikut serta dalam cinta kasih Kristus terhadap mempelaiNya, sampai Ia menyerahkan diri untuknya”. (LG 41)

Dalam Dekrit tentang Kerasulan awam, menampilkan banyak segi dari panggilan suami dan isteri. Suami dian isteri dipanggil untuk bekerja sama dengan rahmat Allah untuk saling mendorong, saling mendukung, serta saling memberikan kesaksian mengenai kasih Allah satu kepada orang yang lain. Sebagai pasangan, mereka menyalurkan iman kepada anak-anak mereka dan mendidik mereka dengan kata-kata dan teladan. Mereka juga harus menghasilkan buah yang melimpah dalam lingkungan hidup mereka. Artinya keluarga-keluarga katolik dipanggil untuk memberikan kesaksian yang efektif tentang Kristus di hadapan dunia.


 
5.      Rahmat Sakramen perkawinan

Panggilan perkawinan kristiani merupakan kehidupan yang amat berat khususnya dalam kebudayaan yang secara terang-terangan memusuhinya. Dalam Katekismus Gereja Katolik  dikatakan bahwa pencipta perkawinan adalah Allah, dan “dari tangan sang Pencipta (KGK, 1603). Pria dan wanita menerima anugerah ini. Melalui Kristus dan GerejaNya, kesatuan suami isteri yang sudah diberkati oleh Allah, diangkat ke martabat Sakramen (KGK, 1601).

Sebagai seorang Bapa yang penuh kasih, Allah memberikan kepada manusia apa yang dibutuhkan manusia untuk menanggapi panggilan Allah. Apabila Allah memanggil laki-laki dan seorang perempuan  untuk mengikrarkan suatu perkawinan sakramental, Ia memberikan rahmat yang dibutuhkan untuk menjalani perkawinan itu. Semua sakramen memberikan rahmat dan berdaya guna apabila kita menerima dan menaggapinya. Ada rahmat yang khas untuk sakramen perkawinan. Rahmat khas untuk sakramen perkawinan bertujuan untuk menyempurnakan kasih pasangan suami isteri dan untuk mengokohkan kesatuan mereka yang tak terceraikan. Dengan rahmat ini mereka saling menolong untuk memperoleh kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka dan untuk menyambut serta mendidik anak-anak mereka (KGK 1641). Rahmat ini disediakan secara berlimpah rua karena Kristuslah sumber rahmat ini.

Adalah maksud Allah untuk memberkati pasangan suami isteri sepanjang perkawinan mereka dengan mendampingi mereka yang telah mengundang Dia ke dalam hidup mereka. Katekismus Gereja Katolik (KGK) berbicara dengan anggun mengenai kehidupan perkawinan dengan Kristus sebagai pusat relasi mereka: “Sebagaimana di masa silam Allah menjumpai umatNya lewat perjanjian kasih dan kesetiaan, demikian juga kini sang Juruselamat, mempelai laki-laki Gereja, menjumpai pasangan-pasangan suami isteri kristiani lewat sakramen perkawinan. Kristus tinggal bersama mereka dan memberi kekuatan kepada mereka untuk memanggul salib mereka dan dengan demikian mengikuti Dia, untuk membangkitkan kembali sesudah mereka jatuh, untuk mengampuni satu sama lain, menanggung beban satu sama lain, untuk saling menghormati karena hormat mereka kepada Kristus, dan untuk saling mengasihi dengan kasih yang supra alami, mesra dan subur. Dalam suka cita karena kasih dan kehidupan keluarga mereka, di bumi ini Kristus memperkenankan mereka mencicipi pesta perkawinan Anak Domba” (KGK 1642).

Apabila suami isteri bekerja sama dengan Kristus maka buah panggilan mereka akan bermekaran. Apabila dengan rela mereka memanggul salib kehidupan mereka dan menggabungkannya dengan salib Kristus, kasih mereka akan menjadi tanda kasih Kristus kepada GerejaNya (KGK 1615). Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostoliknya Familiaris Consortio menyatakan bahwa Sakramen perkawinan memberikan kepada pasangan suami isteri “kekuatan untuk menjalani panggilan mereka”( FC 47)


 
6.      Pertimbangan yang matang

Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana kita tahu bahwa perkawinan itu merupakan suatu panggilan yang tepat bagi individu tertentu?

Sangatlah penting setiap pribadi menyadari bahwa ia mencari kehendak Allah untuk dirinya sendiri. Allah sendiri memiliki rencana yang indah untuk setiap pribadi yang kita sebut sebagai panggilan pribadi yang harus disadari, diterima dan dikembangkan oleh setiap orang. Maka keputusan apakah saya akan menikah dan dengan siapa saya akan menikah merupakan bahan utama untuk doa dan pertimbangan.

Bagaimana mencermati perkawinan sebagai suatu panggilan?

Pertama, orang yang mencari kehendak Allah untuk hidupnya harus menghampiri persoalan ini dengan penuh keyakinan. Allah menginginkan agar kehendakNya dapat dipahami oleh setiap pribadi. Maka ketakutan itu tidaklah tepat. Tuhan selalu melalui nabi Yeremia bersabda: “Aku mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikian firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera, dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. Apabila kamu berseru dan datang berdoa kepadaKu, Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan membuat kamu menemukan Aku, demikianlah firman Tuhan” (Yer 29: 11-14).

Kedua, kerinduan akan kekudusan pribadi. Ini mencakup suatu komitmen pribadi untuk menghayati kehidupan kristiani secara penuh dengan suatu kerelaan untuk melaksanakan apa saja yangdikehendaki Allah. Komunikasi sangat diperlukan untuk mendengarkan dan menanggapi panggilan. Di sini diperlukan doa yang tekun dan teratur. Sakramen ekaristi dan sakramen tobat merupakan sarana yang mempertajam dirinya untuk menjadi kudus.

Ketiga, relasi yang murni dan kudus dengan lawan jenis. Ungkapan-ungkapan afeksi lahiria haruslah singkat, bijaksana dan murni. Mencari kepuasan seksual bukan hanya salah tetapi juga menghancurkan diri sendiri karena membuat kita menyimpang dari jalur serta proses mencermati panggilan.

Dengan demikian bagi para calon pasangan, masa pacaran dapat menjadi waktu untuk mencermati kehenda Allah kalau Allah memang sedang menarik mereka kepada perkawinan satu sama lain. Dalam proses ini, kejujuran dan keterbukaan merupakan sikap yang amat penting. Sesudah perkawinan, pasangan suami isteri harus terus mencermati kehendak Allah. Semua keputusan hendaknya dibuat dalam konteks panggilan dan undangan Allah yang pemurah. Memang hidup orang katolik selalu di atur dalam iman, harap dan kasih dalam kerangka memenuhi panggilan Allah.

Tentu saja tak terhindarkan kehidupan perkawinan mengalami saat-saat sulit dan masa pencobaan. Pada masa-masa sulit ini hendaknya para pasutri mengingat bahwa Allah telah memanggil mereka kepada kehidupan perkawinan. Komitmen, kepercayaan kepada rahmat sakramen, dan kesetiaan mutlak diperlukan untuk menghayati suatu panggilan. Kepasrahan kepada Allah dan kasih satu sama lain dapat menagkis banyak badai. Pengharapan membuat kita mampu menerima hal-hal pahit yang tidak dapat diubah sebagai bagian dari rencana Allah.

Ketika mengalami badai pasutri hendaklah memandang Juru Selamat. Terlepas dari Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa, demikian kata Yesus sendiri (Yoh 15:5). Atau penulis surat kepada umat Ibrani: “Marilah kita melakukannya dengan mata tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan; dengan mengabaikan kehinaan, dengan tekun ia memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibr 12:2).


 
7.      Belajar dari Nazaret: keluarga kudus

Ketika berziarah ke Nazaret, Paus Paulus Vimencapai suatu permenungna pribadi yang mendalam sebagai berikut: “Nazaret adalah semacam sekolah... Betapa aku ingin kembali ke masa kanak-kanakku dan belajar di sekolah yang sederhana namun mendalam, yakni Nazaret!” Bagi Paus Paulus VI, ada 3 pelajaran utama dari keluarga kudus di Nazaret:

Pertama, Kita harus belajar dari keheningan yang ada dalam keluarga itu. Sikap bathin yang menganggunkan ini kita butuhkan untuk memerangi tekanan dan kebisingan dunia.

Kedua, Keluarga Nazaret merupakan contoh yang harus ditiru oleh setiap keluarga....suatu komunitas kasih dan sharing yang indah karena keragaman masalah yang dihadapinya dan karena ganjaran yang ia nikmati.Keluarga Nazaret merupakan setting yang sempurna untuk membesarkan anak-anak dan untuk ini tidak ada gantinya.

Ketiga, Di Nazaret, di dalam rumah anak tukang kayu itu, kita belajar tentang bekerja dan disiplin yang dituntutnya.



II. PARENTING SEBAGAI SAAT BERBAGI DALAM KELUARGA



Mendidik anak itu seperti mengasah sebuah pisau. Harus berhati-hati, tetapi terus menerus dilakukan untuk mencapai ketajamannya.

Haruslah diakui bahwa kesulitan terbesar dalam sebuah keluarga adalah masalah parenting atau mendidik anak karena merupakan masalah yang kompleks. Dikatakan masalah yang kompleks karena mendidik anak itu seperti menangani sebuah proses produksi yang penuh dengan hal-hal detail, memerlukan ketekunan dan kesabaran, namun kadang-kadang diperlukan sebuah ketegasan yang penuh dengan kedisiplinan. Lagi pula yang dihasilkan adalah buah pendidikan yang bukan sebuah mass production melainkan sebuah mahakarya yang penuh keunikan.

Ada beberapa hal penting dan mendasar yang perlu diketahui dan dikuasai secara mendalam agar bisa mendidik anak menjadi sukses dan bahagia:

1.      Mengenali diri sendiri dengan baik. Jika sebagai orang tua kita tidak mampu mengenali diri sendiri dengan baik bagaimana kita bisa mengerti dan memahami orang lain?

2.      Memiliki persepsi yang benar tentang mendidik dan mengasuh anak. Persepsi yang benar dapat dicapai jika kita mengerti cara berpikir yang benar dan mempunyai pengetahuan luas tentang anak-anak.

3.      Mengerti tentang mekanisme pikiran dan fungsi otak sehingga kita mampu mempertimbangkan setiap tindakan dan ucapan.

4.      Mengerti bagaimana pikiran memroses informasi dan pengalaman serta dampaknya di masa depan anak.

5.      Kemampuan berkomunikasi yang bagus sehingga mampu menyampaikan maksud baik kita kepada anak tanpa distorsi makna. Semua orang tua bermaksud baik terhadap anaknya tetapi seringkali anak memaknainya dengan salah karena cara komunikasi yang tidak tepat.

6.      Mengenali tipe kepribadian anak sehingga interaksi anak dan orangtua berjalan dengan baik.

7.      Mengenali tipe dan gaya belajar anak sehingga kita mampu mengarahkan anak mencapai prestasi optimal di bidang akademis.

8.      Mengerti setiap proses tumbuh kembang anak serta apa yang diperlukan di setiap proses.

9.      Kemampuan membantu anak mengatasi trauma sederhana

10.  Kemampuan membantu anak mengatasi masalah emosional dan membantunya memiliki kontrol diri yang baik.

11.  Kemampuan membantu anak mngembangkan disiplin  yang sehat tanpa tanpa merusak harga dirinya.

Kesebelas hal mendasar dalam parenting ini akan diuraikan dalam poin-poin sebagai berikut:



1.      Prinsip 5T dalam mendidik anak

Prinsip 5T merupakan prinsip sederhana yang dapat dipakai dalam parenting atau pendidikan anak. T yang dimaksudkan adalah time, telling, teaching, training, together.

a.       Time (waktu)

Anak-anak mendefinisikan cinta orang tua sebagai waktu yang berkualitas bersama. Oleh karena itu orang tua perlu memiliki waktu untuk anak-anaknya.

b.      Telling (memberitahu)

Tindakan memberitahu adalah salah satu cara orang tua mendidik anaknya. Dengan memberitahu akan ada komunikasi di mana keinginan orang tua di sampaikan untuk dipahami dan dilakukan anak-anak. Memberitahu bahwa mereka di kasihi, untuk membedakan mana yang baik dan tidak baik.

c.       Teaching (mengajar).

Kita tidak hanya memberi tahu tentang nilai-nilai hidup dan budi pekerti tetapi mengajarkan kepada mereka cara melakukannya. Ajarkan sampai mereka betul-betul mengerti tentang budi pekerti atau nilai-nilai hidup.

d.      Training (melatih)

Orang tua perlu melatih anak-anak. Banyak teknik atau metode yang dapat dilakukan untuk melatih anak-anak. Monitoring yang bisa dilakukan orang tua dalam training ini:

-       I do – you watch: saya kerjakan terlebih dahulu, kamu perhatikan dan belajar

-       I do – you help: Saya mengerjakannya dan kamu ikut membantu

-       You do – I help: kamu mengerjakannya, saya menolong.

-       You do – I watch: kamu mengerjakannya, saya mengamati dan mengevaluasi.

Melatih seorang anak biasanya berhubungan dengan reward dan punishment atau dengan appreciation dan discipline.

e.       Together (kebersamaan).

Pelatihan dan pengajaran perlu dinaungi dalam kebersamaan. Keluarga yang memiliki kebersamaan akan membangun jembatan komunikasi yang kuat sehingga dapat menghindari bahaya badai dalam bahtera keluarga. Kebersamaan juga mengandaikan keteladanan yang kuat dari orang tua.

Apa yang harus dilakukan supaya 5T ini dapat berhasil dilakukan?

Para orang tua memerlukan 4M yaitu:

-       Membaca

-       Merenungkan

-       Melatih diri dengan melakukan

-       Memperbaharui



2.      Mengenal diri sebagai orang tua: tipe-tipe orang tua

Di dalam masayarakat luas terdapat tiga tipe orang tua yang di kelompokan berdasarkan persepsi mereka terhadap masalah anak.

a.       Tipe pencegah masalah

Orang tua di hadapkan pada dua pilihan: mencegah anak terhadap hal-hal yang tidak baik (jahat) dan mencegah anak terhadap hal-hal yang baik.

b.      Tipe pencari solusi

Orang tua ini memiliki dua kekhasan: orang tua pencari solusi untuk mencegah timbulnya masalah negatif dan orang tua pencari solusi untuk mengatasi masalah negatif yang telah terjadi.

c.       Tipe tahu beres

Mereka menyerahkan anak mereka kepada guru, pastor atau psikolog dan psikiater tanpa perlu tindak lanjutnya. Risiko yang dapat dialami oleh orang tua tipe ini adalah: anak kehilangan figur dalam diri orang tua, rasa hormat berkurang, suka membantah dan ada bahaya laten yaitu ketika sudah mandiri maka nasihat orang tua  cenderung diabaikan.

Ada juga pengelompokan tipe orang tua yang lain yakni:

a.       Orang tua pendekat (attacher). 

Orang tua yang mencoba mendekatkan diri kepada anaknya. Mereka menjaga citra, berorientasi pada apa kata orang terhadap mereka. Kepribadian mereka mengacu pada  emosi, perasaan, citra dan penerimaan.

Sisi positif yang perlu ditingkatkan adalah orang tua yang percaya diri, memberi dukungan kepada anak-anak, memberi dengan tulus, mampu membangun hubungan, memiliki empati, suka mengasuh, mendukung potensi orang lain, penuh perhatian.

Sisi negatif yang perlu diperbaiki: selalu mencari dan menerima dari lingkungan, suka menyanjung anak, selalu ingin memiliki citra orang tua sempurna, mementingkan hasil dan kurang sabar dalam pelaksanaan, melankolis, emosi mudah meningkat, egosentris, suka menghindari hal-hal yang rutin.

b.      Orang tua penjaga jarak (detacher)

Adalah orang tua yang suka menjaga jarak. Mereka yang masuk tipe ini memiliki kepribadian yang mengacu kepada pikiran, konsep dan aktivitas mental. Orang tua yang suka menganalisis,  serta mengumpulkan gagasan, dan pengetahuan untuk bisa mengerti banyak hal. Andalannya adalah pikiran logis dalam berargumentasi.

Sisi positif yang perlu ditingkatkan adalah rasionalitas, tenang dan seimbang, objektif, mandiri, tidak menghakimi, bisa menahan diri, bertanggung jawab, tekun, berpikir jernih, serta mampu memecahkan masalah.

Sisi negatif yang perlu diperbaiki: menarik diri dari interaksi pribadi, menginginkan privasi, kurang spontan, tidak komunikatif, ketakutan, ragu-ragu, defensif,curiga, serta suka menunda-nunda.

c.       Orang tua bela diri (defender)

Orang tua yang suka membela dan membenarkan diri memiliki kepribadian yang mengacu pada fisik, naluri, dan penghargaan. Orang tua yang terlalu mengandalkan nalurinya, untuk merasa aman serta ingin di dengar dan dihargai anak-anaknya.

Sisi positif yang perlu ditingkatkan: terus terang, melindungi yang lemah, mampu berkonfrontasi,berorientasi pada detail, terus menerus memperbaiki diri, serta memiliki kemampuan menganalisa.

Sisi negatif yang perlu di perbaiki adalah otoriter, kaku, mengendalikan, menyalahkan orang lain, berfokus pada kesalahan, tidak fleksibel, sensitif atas kritik


 
Penutup

Anak-anak tetaplah subjek dalam parenting. Mendidik anak itu ibarat mengasah mata pisau. Harus di lakukan dengan hati-hati tetapi terus menerus sehingga pisau itu tetap tajam. Menjadi orang tua yang baik tidak tergantung pada siapakah kita sebagai orang tua tetapi apa yang dapat kita lakukan sebagai orang tua di dalam mendidik anak-anak.

PJSDB


Referensi:

Ariesandi. (2008). Rahasia Mendidik Anak  Agar Sukses dan Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bambang & Syumanjaya, H. (2010). Just for Parenting. Bacaan Wajib Untuk Orang Tua dan Pendidik. Jakarta: Gramedia

Han, S & Flaherty, R.J. (2007). Catholic for a Reason IV. Scripture and the Mystery of the Marriage and Family Life. Ohio: Emaus Road Publishing.

No comments:

Post a Comment