Tuesday, November 8, 2011

Renungan 8 Nopember 2011

Bacaan I: Kebijaksanaan 2: 23-3, 9
Mazmur:  34:2-3;16-17; 18-19
Injil: Lukas 17: 7-10

Hati sebagai hamba



Tony de Mello menceritakan sebuah dialog antara murid dan guru dalam bukunya Burung Berkicau. Perhatikanlah dialog ini: Seorang murid berkata kepada gurunya: “Aku datang untuk mengabdimu.” Sang Guru menjawab: “Seandainya engkau melepaskan si “aku” maka pengabdianmu akan terjadi dengan sendirinya.” Engkau dapat merelakan semua harta bendamu bagi kaum miskin dan bahkan merelakan dirimu dibakar, namun belum tentu engkau mempunyai cinta sama sekali. Simpanlah hartamu dan tinggalkanlah si “aku”. Jangan membakar tubuhmu, bakarlah “egomu!" Cinta akan muncul dengan sendirinya.

Contoh dialog sang murid dan guru ini dapat membantu kita semua untuk memahami pesan Tuhan dalam Injil hari ini. Kepada para muridNya ia mengambil contoh yang nyata dalam masyarakat zamanNya untuk mengoreksi kehidupan mereka. Fokus pengajaranNya adalah semangat menjadi hamba yang siap mengabdi atau melayani dengan tulus. Mengabdi kepada majikan tanpa memandang apakah majikan itu kejam atau baik, manusiawi atau tidak manusiawi.

Apabila kita membaca sepintas perumpamaan Yesus ini maka kita pasti kecewa dengan majikan yang terlampau menggunakan kuasanya. Majikan itu sifatnya egois, sinis, dan tidak peduli dengan para hambanya. Ketika hambanya barusan pulang dari ladang ia harus menunjukkan pengabdiannya meski diperlakukan secara kasar: “Sediakanlah makananku, ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai aku selesai makan dan minum. Setelah itu anda boleh makan dan minum.” Bahkan berterima kasih kepada hamba atas pelayanannya pun tidak. Situasi ini memang lazim dalam masayarakat zaman itu yang suka merendahkan orang-orang kecil. 

Semangat baru yang diajarkan Yesus terletak pada kehebatan hamba yang setia melayani majikannya. Hamba atau pelayan berani membakar egonya dan mengabdi majikannya dengan tulus hati. Prinsip hidup para hamba dalam pelayanan mereka adalah: “Kami ini hamba-hamba tak berguna. Kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan.” Tentu saja semangat hamba inilah yang perlu dikembangkan oleh para murid Kristus.

Satu kebijaksanaan yang seharusnya menyadarkan kita adalah bahwa manusia diciptakan sewajah dengan Allah. Oleh karena itu manusia seharusnya menyadari makna pengabdian yang tulus kepada Tuhan. Memberi diri tanpa perhitungan tertentu untuk memperoleh sesuatu sebagai balasan. Hati kita seharusnya seperti hati seorang hamba yang siap untuk melayani Tuhan. Hamba yang baik tidak akan membanggakan dirinya sebagai pelayan, tidak mencari popularitas tetapi merasa sebagai hamba yang tidak berguna dan siap melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Hamba dapatlah menderita sebagai orang jujur di hadirat Allah tetapi mereka dilindungi dan dijaga oleh kasih dan kerahiman Allah.

Apa yang harus kita lakukan?

Masing-masing kita perlu dan harus memiliki hati sebagai hamba yang setia melayani. Pengabdian  yang kita miliki merupakan wujud kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Maka jangan berhenti berbuat baik dalam melayani. Tinggalkanlah egomu dan mengabdilah. Ingatlah, barang siapa yang mengerjakannya lebih dari apa yang dibayarkan kepadanya suatu saat akan menerima lebih dari apa yang dikerjakannya.

Sabda Tuhan juga mengoreksi mental majikan dalam diri kita terhadap sesama: pembantu, sopir, karyawan yang sering dianggap sebagai "sebuah" untuk mempermudah pekerjaan kita dan lupa bahwa mereka adalah "siapa" yang harus diberdayakan untuk menjadi sungguh-sungguh manusia. Kategori kita adalah bahwa mereka digaji dan pantas untuk dipekerjakan. Seharusnya kita melihat mereka sebagai mitra yang turut membantu karya kita, dan kita memberdayakan mereka. Gereja dalam hal ini komunitas-komunitas biara, paroki, sekolah-sekolah dan rumah sakit katolik kadang lupa dengan semangat ini. Maka gaji para karyawan pun terkadang minim di bawah standar upah minimum. Memang mereka mungkin berprisip kami hanya para hamba tetapi "Seorang pekerja patut mendapat upahnya".


Doa seorang hamba:  Aku melayani Tuhan dengan setulus hati.

PJSDB

1 comment:

  1. ya, kita sebenarnya sering bersikap seperti majikan yang selalu ingin(meskipun keinginan ini tersembunyi dalam lubuk hati)dilayani. Ego kita terlalu tinggi. Maka seorang yang mampu untuk melawan egonya dan menjadi orang yang siap untuk melayani sesama, membuat orang lain kagum terhadap sikapnya. Seakan sikap ego kerap muncul dipermukaan terlebih orang-orang yang latar belakang terlalu disayang orang tuanya. Setelah dewasa menuntut orang lain untuk memperhatikan dia. Demikian juga orang yang defisit kasih sayang, dia akan merindukan orang-orang sekitarnya memberi perhatian pada dia. Karena saat dia masih sangat muda tidak mendapat perhatian sepenuhnya. Seandainya dia hidup didalam asrama dan mendapat banyak teman dengan satu pembimbing dia akan nampak dekat dengan pembimbing dan selalu baik dengan pembimbing karena ingin mendapat perhatian. Bila tidak mendapat perhatian dia akan kecewa besar. Pengalaman ini adalah pengalaman yang dialami oleh keponakanku saat ini.Semula muncul sakit maag, pusing, radang kandung kemih dlsb. Begitu ada ibu yang memperhatikan semua penyakit hilang. Orang demikian adalah orang yang keinginan untuk dilayani nampak jelas. Seperti majikan bukan seperti hamba.

    ReplyDelete