Saturday, March 17, 2012

Renungan 17 Maret 2012

Sabtu Pekan III/B Prapaskah
Hos 6:1-6
Mzm 51:3-4, 18-21 
Luk 18:9-14

Jangan ada kesalehan palsu!


Seorang katekis datang kepada Romonya yang barusan bertugas di Paroki untuk curhat. Ia menceritakan segala sesuatu terutama pengalamannya selama mengajar agama dan jumlah baptisan baru di Paroki tersebut. Dia bangga dengan bertambahnya jumlah Umat Katolik di Parokinya. Setelah lama bercerita, Romo baru itu bertanya kepadanya, “Berapa orang yang masih setia sampai saat ini?” “Saya tidak tahu persis Mo” kata Katekis. “Kita akan berkatekese lagi setiap hari Minggu karena masih banyak umat belum memahami sakramen-sakramen. Rata-rata para bapa di sini beristeri tiga dan para ibu bersuami dua” Kata Romonya.

Menjadi orang Katolik bukan hanya berarti orang itu dibaptis, menyandang nama baptis dan menerima pelayanan-pelayanan gerejani lainnya. Hal lain yang penting dalam hidup kristiani adalah bagaimana orang menghayati hidup kristianinya secara benar. Bagaimana ia melakukan kebajikan-kebajikan kristiani kepada sesama lain. Bagaimana ia bertumbuh dalam rahmat Tuhan. Apakah orang yang dibaptis masih membutuhkan Tuhan? Seringkali orang hanya berbangga karena sudah dibaptis tetapi hidupnya jauh dari semangat Yesus Kristus.

Nabi Hosea hari ini tampil lagi dengan sebuah ajakan kepada umat Israel di Samaria untuk selalu berharap kepada Tuhan. Tuhan senantiasa menaruh perhatian dan kasih sayang kepada umat yang ingin mengalami kasihNya. Oleh karena itu mereka perlu berbalik kepadaNya. Tuhan menginginkan kasih setia bukan kurban bakaran. Dengan memperhatikan serta melakukan hukum-hukum serta ketetapan-ketetapan Tuhan maka mereka akan merasakan damai dan sukacita di dalam hati mereka. Maka yang penting di sini adalah keterbukaan hati kepada Tuhan untuk berubah dalam hidup dan menerima damai serta sukacitaNya. 

Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus melanjutkan pengajaranNya tentang kasih kepada Allah dan sesama dengan mengambil contoh dua orang yang berbeda yakni orang Farisi dan pemungut cukai. Kaum Farisi adalah kelompok yang menyendiri dan berusaha untuk memahami dan melakukan semua hukum Tuhan di dalam Taurat. Karena mereka terpisah maka kecenderungan mereka adalah perasaan bahwa mereka orang yang sempurna. Ukuran kesempurnaan bagi mereka adalah mengetahui isi Hukum Taurat dan melakukan semua peraturan dan ketetapan seperti berpuasa dan melakukan perbuatan amal kasih. Pemungut cukai, dengan kerendahan hati berdoa memohon ampun kepada Tuhan atas dosa-dosa dan salah yang sudah diperbuatnya. Ia tidak berani mengangkat mukanya dan sambil menepuk dada ia berkata: "Tuhan kasihanilah aku orang berdosa". Orang berdosa yang mengenal dirinya dan rendah hati jauh lebih bermartabat di hadapan Tuhan dari pada orang yang mengklaim dirinya orang benar tetapi tidak mau berubah atau tidak membutuhkan Tuhan dalam hidupnya.


Gambaran orang Farisi dan pemungut cukai juga menyadarkan kita tentang kehidupan doa kita. Terkadang doa-doa yang dipanjatkan tidak lebih dari ungkapan kesombongan pribadi dan pembenaran diri di hadapan Tuhan bahwa kita orang yang tahu berdoa dan saleh. Sedangkan orang lain belum tahu berdoa. Ukuran kualitas doa bukan pada panjangnya kata-kata tetapi bagaimana kita menghayati doa itu sebagai saat bersatu dengan dengan Tuhan. Kesalehannya adalah kesalehan palsu. Pemungut cukai tidak hanya memberikan teladan kerendahan hati dan pertobatan tetapi juga doa yang menunjukkan dirinya yang nyata. Doa mohon pengampunan dan belas kasih. Bagi Yesus, pemungut cukai ini yang dibenarkan karena dia jujur kepada Tuhan. Kesalehannya adalah kesalehan seorang anak yang berdosa dan bertobat. 

Orang Farisi memang hebat karena mengetahui dan melaksanakan hukum-hukum Tuhan. tetapi kehebatannya menjadi tidak bernilai karena semua yang dilakukan adalah kesalehan palsu. Tidak ada perubahan hidup dari dalam. Hal yang dilakukan hanya untuk dipuji orang. Sangat manusiawi! Namanya semakin dikenal sedang nama Tuhan semakin dilupakan. Sifat kesombongan manusiawinya tetap melekat. Sebaliknya pemungut cukai adalah pribadi yang bertobat. Dia rendah hati dan sadar bahwa dirinya orang berdosa dan patut memohon pengampunan dari Tuhan. Suatu kesadaran sebagai anak Allah. Mereka-mereka inilah yang terakhir menjadi terdahulu karena metanoia.

Seringkali kita berpikir seperti orang Farisi bahwa kita adalah orang benar dan saleh karena mengenal dan melakukan hukum dan ketetapan-ketetapan dari Tuhan. Padahal semua itu supaya dilihat orang dan dipuji. Betapa manusiawinya hidup kita. Kesombongan dan sifat egois masih merajai hidup manusia. Sebaiknya mari kita rendah hati dan memohon pengampunan tanpa batas dari Tuhan. Semakin kita rendah hati, kita juga semakin layak dan mirip dengan Yesus yang meskipun Allah, rela merendahkan diriNya bahkan wafat di kayu salib (Flp 2:8). Apakah kita sadar dan mampu melakukannya dalam hidup ini?

PJSDB

No comments:

Post a Comment